Baik
dalam pengertian fisik maupun kejiwaan. Tak terkecuali bagi para Nabi. Sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad saw, mereka tak pernah sendirian. Mereka selalu
bersama orang lain. Para keluarga dan pendukungnya.
Adam diturunkan ke muka bumi bersama istrinya, Hawa. Ibrahim ditemani dua
putranya Ismail dan Ishaq. Musa diutus menjadi nabi bersama saudaranya Harun.
Isa didamping pendukung setianya yang dikenal dengan hawariyun. Begitu juga
Nabi Muhammad saw ketika keluar dari kesendiriannya di Gua Hira segera
mendapati istrinya tercinta, Khadijah.
Begitu bahayanya kesendirian ini, tak heran kalau Rasulullah saw bersabda,
Berdua lebih baik daripada sendiri. Bertiga lebih baik daripada berdua. Berempat
lebih baik daripada bertiga, maka hendaklah kalian tetap bersama berjamaah,
karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali atas sebuah
petunjuk (hidayah), (HR Ahmad).
Umar bin Khaththab dalam salah satu isi khutbahnya pernah berkata, Barangsiapa
di antara kamu menginginkan kenikmatan surga, hendaklah ia senantiasa komitmen
dengan jamaah. Dalam kesempatan lain, seperti dikutip ad-Darimy dalam
Sunannya, Umar berkata, Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa imamah,
tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat."
Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) hidup dalam zaman yang porak-poranda. Tak saja
kekhalifahan yang semula pecah dua (Khalifah Umayyah dan Abbasiyah) telah
menjadi puluhan dan bahkan ratusan negara kecil yang hidup atau ingin hidup
sendiri-sendiri. Tetapi serangan-serangan dari bangsa Eropa dalam Perang Salib dan
serangan besar bangsa Mongol lebih dahsyat lagi karena menghancurkan berbagai
tatanan kehidupan kaum Muslimin yang sudah sangat rapuh itu.
Begitulah kenyataan umat ini. Mungkin banyak orang shalih di antara mereka, tapi
semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah
wadah yang bernama jamaah. Barang kali banyak orang hebat di antara mereka,
tapi kehebatan itu hilang diterpa masa. Banyak potensi yang tersimpan pada
individu-individu, tapi semuanya berserakan, tak menyatu dalam satu jamaah.
Jamaah adalah salah satu cara paling tepat untuk menyederhanakan perbedaanperbedaan pada individu. Dalam satu jamaah, individu-individu yang memiliki
kemiripan disatukan dalam sebuah simpul kesatuan. Meskipun banyak jamaah,
tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Menarik apa yang pernah
disampaikan Anis Matta, seorang pemikir muda Muslim, Memetakan orang banyak
melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya jauh lebih mudah, ketimbang harus
memetakan mereka sebagai individu.
Memang, nyatanya itu bukan pekerjaan mudah. Ternyata, cinta tak gampang
ditumbuhkan. Orang hebat tak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat lain.
Mungkin benar ungkapan yang mengatakan, Seorang prajurit bodoh, kadangkadang lebih berguna daripada dua jenderal yang hebat.
Tapi, tak ada jalan lain. Nabi Muhammad saw takkan pernah memaafkan orang yang
meninggalkan jamaah hanya karena tak cocok bersama orang lain dalam
jamaahnya. Sebab, Kekeruhan jamaah, jauh lebih baik daripada kejernihan individu
(yang tidak berjamaah), kata Ali bin Abi Thalib.
Karenanya, lahirnya beragam kelompok, partai dan semua madzhab saat ini,
merupakan suatu seni tersendiri yang mestinya saling melengkapi. Setiap jamaah
hendaknya mendukung jamaah lain. Ini yang akan menghantarkan kita pada
tegaknya syariat Islam dalam satu payung. Khilafah Islamiyah!