Anda di halaman 1dari 4

Tak ada manusia yang tahan sendirian. Sendirian itu dingin dan mencekam.

Baik
dalam pengertian fisik maupun kejiwaan. Tak terkecuali bagi para Nabi. Sejak Nabi
Adam hingga Nabi Muhammad saw, mereka tak pernah sendirian. Mereka selalu
bersama orang lain. Para keluarga dan pendukungnya.

Adam diturunkan ke muka bumi bersama istrinya, Hawa. Ibrahim ditemani dua
putranya Ismail dan Ishaq. Musa diutus menjadi nabi bersama saudaranya Harun.
Isa didamping pendukung setianya yang dikenal dengan hawariyun. Begitu juga
Nabi Muhammad saw ketika keluar dari kesendiriannya di Gua Hira segera
mendapati istrinya tercinta, Khadijah.

Dalam kasus-kasus sosial di masyarakat modern, utamanya di kota-kota


metropolitan, kita sering dikejutkan oleh fatalnya akibat dari kesendirian. Kisah
tragis eksekutif muda yang meloncat dari ketinggian apartemennya. Orang-orang
jompo yang hampa perhatian dunia luar di panti-panti. Anak-anak yang broken
home karena tak cukup disapa kedua orang tuanya. Para pemburu karir yang hidup
melajang. Kesendirian ternyata bisa menyebabkan orang stres lalu bunuh diri!

Di Barat, kecenderungan hidup sendirian dan melajang, mulai dihindari. Penduduk


pribumi baru sadar kalau kesendirian bisa mengancam proses regenerasi. Angka
pertumbuhan mereka bisa mencapai nol. Mereka lebih mementingkan karir.
Kenikmatan hidup pribadi dianggap lebih praktis. Kalaupun ingin punya anak,
mereka mengadopsi anak yang cukup besar. Alasan agar tak repot-repot menikah,
merawat bayi, dan mengikuti program pelangsingan tubuh setelah hamil, tak
mampu memecahkan masalah. Kecenderungan melajang massal bukan hanya telah
menyia-nyiakan sebagian potensi kemanusiaan, tapi juag melenyapkan sel terkecil
yang membentuk masyarakat, yaitu keluarga.

Begitu bahayanya kesendirian ini, tak heran kalau Rasulullah saw bersabda,
Berdua lebih baik daripada sendiri. Bertiga lebih baik daripada berdua. Berempat
lebih baik daripada bertiga, maka hendaklah kalian tetap bersama berjamaah,
karena sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku kecuali atas sebuah
petunjuk (hidayah), (HR Ahmad).

Umar bin Khaththab dalam salah satu isi khutbahnya pernah berkata, Barangsiapa
di antara kamu menginginkan kenikmatan surga, hendaklah ia senantiasa komitmen
dengan jamaah. Dalam kesempatan lain, seperti dikutip ad-Darimy dalam

Sunannya, Umar berkata, Tiada Islam tanpa jamaah, tiada jamaah tanpa imamah,
tiada imamah tanpa taat dan tiada taat tanpa baiat."

Begitu pentingya hidup berjamaah sampai-sampai Rasulullah saw tetap


memerintahkan kaum Muslimin untuk terus hidup berjamaah walau dalam keadaan
bagaimanapun. "Barangsiapa melihat ketidakberesan yang menjengkelkan pada
pemimpinnya maka hendaklah ia bersabar. Sesungguhnya barangsiapa yang
memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal pun kemudian mati, maka ia mati
dalam kejahiliyahan," (HR Muslim).

Ibnu Taimiyah (1263-1328 M) hidup dalam zaman yang porak-poranda. Tak saja
kekhalifahan yang semula pecah dua (Khalifah Umayyah dan Abbasiyah) telah
menjadi puluhan dan bahkan ratusan negara kecil yang hidup atau ingin hidup
sendiri-sendiri. Tetapi serangan-serangan dari bangsa Eropa dalam Perang Salib dan
serangan besar bangsa Mongol lebih dahsyat lagi karena menghancurkan berbagai
tatanan kehidupan kaum Muslimin yang sudah sangat rapuh itu.

Selain banyak negara yang terpisah-pisah, berbagai kelompok aliran juga


berkembang. Ada aliran yang muncul dari kefrustrasian terhadap rusaknya
masyarakat sehingga mengambil sikap menarik diri secara ekstrem dalam
pergaulan duniawi. Ada aliran yang tumbuh dari sikap kepongahan terhadap harga
diri kelompok, baik dikaitkan dengan keturunan maupun pemikiran keagamaan.
Menghadapi berbagai keruwetan tersebut, Ibnu Taimiyah tidak mencabut diri dari
masyarakat dan negaranya, lalu menyepi dan menyendiri. Justru ia menggalang
kekuatan dakwah dengan terus menerus membangun kesadaran umat untuk
kembali kepada sumber nilai Islam: al-Qur'an dan Hadits.

Bahkan, saat berbagai fitnah menerpanya sehingga menyebabkannya berkali-kali


masuk penjara, Ibnu Taimiyah tak kehilangan komitmen untuk tetap hidup dalam
jamaahnya. Ketika bangsa Mongol menyerang negaranya, Ibnu Taimiyah justru
tampil sebagai panglima yang memimpin perlawanan terhadap bangsa yang
kekuatannya tengah bangkit sejak awal abad ke 13 itu.
Ibnu Taimiyah bergaul dengan berbagai kelompok dan pemikiran tanpa terjebak
dalam fanatisme kelompok. "Sebagai seorang Muslim kita tidak boleh memisahmisahkan atau membeda-bedakan antara para imam pemimpin madzhab. Hal itu
tidak ada dalam perintaah Allah dan Rasul-Nya," katanya.

Jamaah merupakan sentral pemikiran Ibnu Taimiyah dalam masalah masyarakat


dan negara. Baginya bentuk-bentuk negara hanyalah sekunder, selama jamaah dan
ideologinya belum mewujud dalam kehidupan kaum Muslimin. Kewajiban berjamaah
tetap ahrus melekat pada sekelompok komunitas Muslim yang hidup di negara kafir
sekalipun.

"Apabila masyarakat itu (tidak harmonis dan) melanggar peraturan, melakukan


kejahatan dan membunuh imam mereka, maka dalam keadaan seperti itu percuma
saja imamah ditegakkan," katanya. Ibnu Taimiyah memandang bahwa negara yang
ditempatinya saat itu merupakan sebuah ladang yang berpotensi untuk
mewujudkan jamaah menuju kesempurnaan imamah. Keberadaan sebuah negara
yang berdiri sendiri merupakan sebuah modal keteraturan, dibandingkan situasi
yang kacau balau (chaos).

Komitmen terhadap gagasan jamaahlah yang menyebabkan Ibnu Taimiyah tidak


pernah meninggalkan negerinya, bahkan syahid dalam penjara. Baginya upaya
mendekatkan kelompok-kelompok Muslim, menyadarkan individu-individu umat dan
memberikan nasihat untuk para raja adalah kewajiban yang harus ditunaikan.

Begitulah kenyataan umat ini. Mungkin banyak orang shalih di antara mereka, tapi
semuanya seperti daun-daun yang berhamburan, tidak terhimpun dalam sebuah
wadah yang bernama jamaah. Barang kali banyak orang hebat di antara mereka,
tapi kehebatan itu hilang diterpa masa. Banyak potensi yang tersimpan pada
individu-individu, tapi semuanya berserakan, tak menyatu dalam satu jamaah.

Jalan panjang kebangkitan umat menyongsong fase kebangkitan seperti yang


diprediksikan Rasulullah saw, harus dimulai dari sekarang. Caranya, menghimpun
dedaunan yang berhamburan itu, merajut jalinan cinta, menyatukan kerja dalam
satu simpul harmoni, dan `meledakkannya' pada momentum sejarah yang tepat.
Dengan demikian, kita bisa berharap pohon peradaban yang teduh untuk menaungi
kemanusiaan bisa tumbuh.

Jamaah adalah salah satu cara paling tepat untuk menyederhanakan perbedaanperbedaan pada individu. Dalam satu jamaah, individu-individu yang memiliki
kemiripan disatukan dalam sebuah simpul kesatuan. Meskipun banyak jamaah,

tetap jauh lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Menarik apa yang pernah
disampaikan Anis Matta, seorang pemikir muda Muslim, Memetakan orang banyak
melalui pengelompokan atau simpul-simpulnya jauh lebih mudah, ketimbang harus
memetakan mereka sebagai individu.

Memang, nyatanya itu bukan pekerjaan mudah. Ternyata, cinta tak gampang
ditumbuhkan. Orang hebat tak selalu bersedia menyatu dengan orang hebat lain.
Mungkin benar ungkapan yang mengatakan, Seorang prajurit bodoh, kadangkadang lebih berguna daripada dua jenderal yang hebat.

Tapi, tak ada jalan lain. Nabi Muhammad saw takkan pernah memaafkan orang yang
meninggalkan jamaah hanya karena tak cocok bersama orang lain dalam
jamaahnya. Sebab, Kekeruhan jamaah, jauh lebih baik daripada kejernihan individu
(yang tidak berjamaah), kata Ali bin Abi Thalib.
Karenanya, lahirnya beragam kelompok, partai dan semua madzhab saat ini,
merupakan suatu seni tersendiri yang mestinya saling melengkapi. Setiap jamaah
hendaknya mendukung jamaah lain. Ini yang akan menghantarkan kita pada
tegaknya syariat Islam dalam satu payung. Khilafah Islamiyah!

Penulis : Ust. Hepi Andi Bastoni, MA

Anda mungkin juga menyukai