Anda di halaman 1dari 35

BAB 1

Pendahuluan
1.1

Latar Belakang
Batubara adalah mineral organik yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan

purba yang mengendap, selanjutnya berubah bentuk akibat proses fisika dan kimia yang
berlangsung selama jutaan tahun. Batubara merupakan salah satu sumber energi primer yang
memiliki riwayat pemanfaatan yang sangat panjang dan pertama kali digunakan secara
komersial di Cina untuk mencairkan tembaga & untuk mencetak uang logam sekitar tahun
1000SM sementara bangsa Romawi baru mulai menggunakannya pada tahun 400SM
Penemuan revolusional mesin uap oleh James Watt, yang dipatenkan pada tahun
1769, sangat berperan dalam pertumbuhan penggunaan batubara. Disinilah, awal riwayat
penambangan dan penggunaan batubara yang tidak dapat dilepaskan dari sejarah Revolusi
Industri, terutama yang terkait dengan produksi besi dan baja, transportasi kereta api dan
kapal uap.
Penggunaan batubara sebagai sumber energi primer mulai berkurang seiring dengan
semakin meningkatnya pemakaian minyak. Dan akhirnya, sejak tahun 1960 minyak
menempati posisi paling atas sebagai sumber energi primer menggantikan batubara.
Krisis minyak pada tahun 1973 yang diakibatkan oleh: sulitnya upaya pemenuhan
pasokan energi yang kontinyu dan diperburuk lagi oleh labilnya kondisi keamanan di Timur
Tengah (sebagai produsen minyak terbesar), ternyata sangat berpengaruh pada fluktuasi harga
maupun stabilitas pasokan, ahirnya masyarakat dunia kembali melirik kepada batubara,
dengan beberapa alasan:
1

Cadangan batubara sangat banyak dan tersebar luas diseluruh dunia, baik di negara
maju maupun negara berkembang, termasuk Indonesia yang merupakan salah satu
negara memiliki cadangan batubara yang besar, yaitu +/-123.5 milyar ton (70%-nya

merupakan batubara muda sedangkan 30% sisanya adalah batubara kualitas tinggi).
Batubara dapat diperoleh dari banyak sumber di pasar dunia dengan pasokan yang

stabil, harga yang murah dibandingkan dengan minyak dan gas.


Batubara aman untuk ditransportasikan, disimpan, ditumpuk disekitar tambang,
pembangkit listrik, atau lokasi sementara serta kualitasnya tidak banyak terpengaruh

oleh cuaca maupun hujan.


Pemanfaatan Teknologi Batubara Bersih (CLEAN COAL TECHNOLOGY) telah
dikembangkan melalui proses Gasifikasi Batubara untuk mendapatkan Gas Bakar

Sintetis (dengan emisi yang ramah lingkungan) sebagai sumber panas dan bahan
bakar alternatif yang sangat murah untuk diaplikasikan pada Mesin-Mesin Pengering,
Pemanas, Pembakar termasuk Pembangkit Listrik dan GENSET
Alasan Pengembangan Teknologi Gasifikasi Batubara
1

Teknologi ini adalah cara untuk memperoleh Gas Bakar Sintetis melalui proses
Gasifikasi batubara termasuk yang berkalori rendah, diketahui bahwa Indonesia
sangat banyak memiliki cadangan (sekitar 85 milyar ton) batubara muda atau lignite
merupakan sumber bahan baku yang dapat digunakan dalam teknologi ini (disarankan

untuk menggunakan batubara berkalori 4500 kcal keatas)


Dengan melimpahnya cadangan batubara tentunya menjadikan harga lebih murah

sementara jaringan distribusinya pun terus meluas.


Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai salah satu komponen biaya produksi yang
dominan terus membebani kalangan Industri dengan harganya yang naik tajam sejak
tahun 2005, apalagi harga BBM didalam negeri sangat tergantung dengan pasar dunia,
sementara cadangannya pun semakin menurun.

Keunggulan Teknologi Gasifikasi Batubara


1
2
3
4

1.2

Dapat menghemat biaya pemakaian bahan bakar (dibanding solar) sekitar 70-80%
Pengembalian investasi sangat singkat (pemakaian 16 jam/hari) sekitar 3-4 bulan.
Mudah dalam pengoperasian dan tidak menimbulkan resiko / bahaya
Tidak berbau dan ramah lingkungan

Remusan Masalah
1
2
3

Apa definisi dari gasifikasi batubara ?


Pensip kerja apa yang digunakan pada gasifikasi ?
Apa saja aplikasi dari teknologi gasifikasi pada batubara ?

1.3

Tujuan dan Manfaat


1
2
3

Dapat Mengetahui bagaimana cara pemanfaatan batubara dengan metode gasifikasi.


Dapat mengetahau gasifikasi dan apilkasinya.
Untuk memenuhi persyaratan matakuliah batubara dan dapat menambah ilmu
pengetahuan kita semua.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sejarah Perkembangan Gasifikasi

Gasifikasi batubara pertama kali diusulkan untuk dijadikan cara alternatif oleh
presiden Amerika Serikat Jimmy Carter pada tahun 1970. Proyek tersebut termasuk dalam
program Synthetic Fuels Corporation. Usulan itu muncul ketika itu karena pada tahun 1970
harga minyak yang diimpor terus-menerus mengalami peningkatan. Alasan lain adalah karena
gasifikasi batu bara lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan pembakaran minyak.
Pada dasarnya, gas ini dihasilkan dari proses mengubah batubara secara keseluruhan
atau sebagian menjadi gas yang mudah terbakar. Setelah proses pemurnian, gas yang
dihasilkan, seperti karbon monoksida, karbon dioksida, hidrogen, metana, dan nitrogen, bisa
digunakan sebagai bahan bakar atau bahan mentah bagi industri kimia atau pupuk.
Batu bara bisa diubah menjadi gas dalam beberapa cara. Metode termudah, dan
pertama kali digunakan, adalah memanaskan batubara dalam sebuah tabung tanpa udara.
Proses ini hanya mengubah sebagian dari batu bara menjadi gas dan residu kokas. William
Murdock, insinyur Skotlandia, memakai teknik ini dalam komersialisasi gas batu bara pada
1792.
Teknik untuk mengubah batubara menjadi gas secara keseluruhan bisa dilakukan
dengan mereaksikan batubara, udara, dan uap dalam sebuah tabung vertikal. Gas yang
dihasilkan disebut gas producer, yang memiliki kandungan termal relatif rendah. Pada 1873,
pengembangan proses perputaran uap-udara memungkinkan produksi gas dengan kandungan
panas lebih tinggi (gas air).
Sejak 1940, proses ini dikembangkan untuk memproduksi gas yang setara dengan gas
air, menggunakan uap dan oksigen murni sebagai reaktan. Proses gasifikasi batubara
selanjutnya adalah memadukan batubara, oksigen murni, dan uap dengan tekanan tinggi
untuk

menghasilkan

gas

yang

bisa

diubah

menjadi

gas

alam

sintetis.

Proses modern yang paling umum digunakan adalah memasukkan batu bara dalam tabung
vertikal. Batu bara diproses pada bagian atas tabung bersama udara sedangkan uap
dimasukkan di bagian bawah. Gas, udara, dan uap naik ke atas tabung dan memanaskan batu
bara dan bereaksi menghasilkan gas. Abunya dipisahkan di bagian dasar tabung.
Dua proses lain yang biasa digunakan secara komersial adalah mereaksikan serbuk
batu bara dengan uap dan oksigen. Proses Winkler mengaduk serbuk batu bara dengan gas
reaktan. Proses Koppers-Totzek bekerja pada temperatur yang lebih tinggi. Kedua proses ini
dipakai untuk memproduksi gas bahan bakar serta pembangkit gas pembuat pupuk dan bahan
kimia.

BAB 3
PEMBAHASAN
3.1

Sejarah Penelitian Proses Gasifikasi


Indonesia merupakan salah satu

pengekspor batubara besar didunia, Sumatera

Selatan khususnya merupakan salah satu penghasil batubara terbesar di Indonesia sekitar
39.64%, hal ini bisa terlihat pada gambar 2.1

Gambar.1 Provinsi Penghasil Batubara di Indonesia


Batubara ada yang thermal (steaming) coal dan metalurgi coal. Batubara termal
biasanya di haluskan dan dibakarkan dalam boiler untuk menghasilkan listrik dan batubara
metalurgi digunakan untuk menghasilkan coke untuk pelelehan besi dan baja. Sayangnya
utilitas batubara pada teknologi yang digunakan sekarang ini mempunyai dampak yang tidak
diinginkan terhadap lingkungan. Polutan utama meliputi oksida oksida nitrogen dan sulfur,
abu dan slag, emisi partikel dan gas rumah kaca seperti karbondioksida. Oleh karena itu
diperlukan penyikapan secara insentif tinggi untuk menurunkan emisi dan mengembangkan
efisiensi fuel (bahan bakar) teknologi utilitas batubara.
Gasifikasi batubara adalah proses untuk mengubah batubara menjadi fuel gas yang
kaya akan CO dan H2. Hal ini bukan lagi teknologi baru. Gas yang dihasilkan dari karbonisasi
coking coal telah digunakan sebagai penerangan sejak tahun 1792. Proses original yang sama
dengan coking ini adalah proses yang mengubah non-coking coal yang didemonstrasikan
pada tahun 1860. Tetapi pada akhirnya tidak dipakai lagi karena CO merupakan gas beracun
lebih beracun dari pada CO2 karena kecepatan CO mengikat hemoglobin lebih cepat
dibandingkan dengan CO2. Pada akhir tahun 1880 produksi kimia dari proses gasifikasi
didemonstrasikan dalam pembuatan amoniak. Teknologi ini berkembang sangat cepat ke
daerah Eropa, Jepang dan Amerika Serikat.
System gasifikasi batubara modern digunakan untuk menghasilkan bahan-bahan
kimia seperti hidrogen dan metanol dan untuk menyediakan sistem yang lebih bersih dan
efisien. Ada beberapa tipe gasifier modern yang sudah ada yaitu entrained-flow, fluidized-bed
dan fixed-bed dan kondisi ketiga sistem itu sangat berdasarkan pada tipe batubara yang
digunakan.

Sampai akhir tahun 1920-an gas hasil gasifikasi diperoleh dengan oksidasi sebagian
(partial oxidation) coke dengan udara terhumidifikasi. Setelah Carl von Linde
mengkomersialkan pemisahan kriogenik dari udara selama tahun 1920-an, proses gasifikasi
menghasilkan gas sintesa dan hidrogen menggunakan oksigen blast, hal ini merupakan
tonggak perkembangan proses gasifikasi seperti proses Winkle fluid-bed (1926), Lurgi
pressurized gasification (1931), dan Koppers-Totzek entrained-flow (1940-an).
Perkembangan gasifikasi selanjutnya dimulai selama perang dunia kedua ketika
insinyur Jerman menggunakan proses gasifikasi untuk memproduksi bahan bakar sintetik.
Teknologi ini diekspor ke Afrika Selatan pada tahun 1950-an yang kemudian memicu
berdirinya perusahaan gasifikasi batubara terbesar sampai saat ini yaitu South African Coal
Oil and Gas Corporation (Sasol) dan menjadi pusat gasifikasi terbesar di dunia pada akhir
tahun 1970-an. Perusahaan ini menggunakan gasifikasi batubara dan sintesis Fischer-Tropsch
sebagai dasar dari pembuatan gas sintesis kompleks dan industri petrokimia.
Pada tahun 1950-an, baik Texaco dan Shell oil juga mengembangkan proses
gasifikasi. Dengan keberadaan gas bumi dan minyak yang banyak pada tahun 1950-an, peran
gasifikasi batubara mulai menurun. Menurunnya peran ini bukan hanya disebabkan oleh
ketersediaan gas bumi dan minyak yang banyak tetapi juga karena nilai kalor gas bumi dan
minyak yang lebih tinggi serta sedikitnya kandungan pengotor bila dibandingkan dengan
batubara.
Untuk pemanfaatan tar dimulai pada pertengahan abad ke-19, ketika perkembangan
teknik kimia telah memungkinkan untuk melakukan distilasi dan pemurnian tar menjadi
produk pewarna sintetik dan bahan kimia. Jadi, sebelum industri kimia yang berbahan baku
migas atau disebut dengan petrokimia berkembang, industri kimia berbasis batubara atau
disebut dengan coal-chemical telah lebih dulu eksis.
Kemudian awal tahun 1970-an krisis minyak pun mulai terjadi sedangkan di pihak
lain cadangan batubara masih dalam jumlah yang sangat besar sehingga pengembangan
teknologi proses batubara kembali dilirik. Hal ini memicu berbagai teknologi proses alternatif
pengembangan penggunaan batubara seperti gasifikasi dan likuifaksi. Terdapat juga proses
hidrogenasi batubara dikonversi secara langsung menjadi metana sebagai pengganti gas bumi
atau Synthetic Natural Gas (SNG). Karena beroperasi pada tekanan yang tinggi menjadikan
proses hidrogasifikasi agak sulit untuk dikomersialisasikan.
Setelah embargo minyak Timur Tengah terjadi tahun 1973. Pemerintah Amerika
menyediakan dukungan dana untuk konsep penelitian gasifikasi, termasuk penelitian pertama
Integrated Gasification Combine Cycle (IGCC). Pada proses IGCC, batubara digasifikasi

dimana produk dari gasifikasi kemudian di purifikasi untuk menghilangkan asam dan
partikulat pengotor sebelum diinjeksi ke gas turbin. Panas yang diambil dari exhaust gas
turbin dimanfaatkan untuk menghasilkan steam penggerak turbin uap. Karena pembakaran
flue gas berasal dari turbin gas hampir bebas dari asam dan partikulat pengotor, IGCC
dianggap sebagai teknologi pemusnah hujan asam. Tetapi yang lebih penting, efisiensi dari
IGCC lebih tinggi dari pada sistem konvensional serta secara signifikan pula CO 2 yang
dihasilkan jauh lebih sedikit. Hal ini membuat IGCC merupakan solusi bagi negara-negara
yang harus menurunkan emisi gas rumah kaca tetapi tidak bisa berganti ke sumber energi
lain. Pada awal 1990-an lembaga-lembaga pemerintahan Amerika dan Eropa menyediakan
dana penelitian untuk menguji kelayakan proses IGCC. Kemudian tahun 2000an IGCC
mulai dikomersialkan.
Proses komersialisasi gasifikasi batubara dimulai oleh 3 proses gasifikasi yaitu proses
Lurgi, Winkler, dan Koppers-Totzek. Proses Lurgi beroperasi pada tekanan tinggi 2030 atm
dengan temperatur 1000oC. Winkler yang menggunakan gasifier tipe fluidized beroperasi
pada temperatur 800-900oC dengan tekanan atmosfer, begitu juga dengan proses KoppersTotzek yang beroperasi pada tekanan atmosfer tetapi menggunakan temperatur yang lebih
tinggi lagi sekitar 1500-1800oC tetapi proses Koppers-Totzek hampir tidak menghasilkan
produk samping dan yield gas sintesis paling tinggi yaitu 95%. Adapun proses Otto-Rummel
yang menggunakan gasifier molten bath yang beroperasi pada temperatur 1400-1700oC dan
tekanan atmosferik.
Pada masa sekarang ini pengembangan proses gasifikasi hampir menyeluruh di
seluruh benua. Di benua Afrika terdapat konsentrasi terbesar di dunia terletak di Afrika
Selatan (Sasol) dimana lebih dari 40% produksi bahan bakar sintetik dan kimia dari gasifikasi
batubara. Ada 3 pabrik Sasol (Sasol I, II, III) yang berlokasi di Seconda dan Sasolburg. Di
benua Asia, pabrik terbesar berada di India, China, dan Jepang. Sedangkan di benua Eropa
ada 5 proyek besar IGCC beroperasi di Eropa Barat dengan konsentrasi terbesar di Itali yang
memiliki 3 proyek terbesar yaitu Priolo (Sicily), Sarroch (Sardinia), dan Sannazzaro (Italia
Utara). Sedangkan 2 proyek lainnya di Puertollano (Spanyol), dan Buggenum (Belanda). Di
benua Amerika Utara kebanyakan di Kingsport, Tennessee dan North Dakota.
Di Indonesia sendiri, sudah dibangun pilot plant gasifikasi batubara untuk
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) sistem bifuel yaitu campuran gas batubara dan
solar. Pilot plant ini dibangun atas kerjasama antara Puslitbang Teknologi Mineral dan
Batubara dengan PT PLN (Persero) dan PT Coal Gas Indonesia. Bila pilot plant ini berhasil
maka dapat mengurangi penggunaan BBM (solar) oleh PLTD milik PT PLN sehingga dapat

menekan biaya produksi listrik sekaligus mengurangi beban subsidi pemerintah. Disamping
itu juga akan meningkatkan nilai tambah batubara, menambah devisa negara dan membuka
lapangan kerja.
Prosesproses gasifikasi diatas, rata-rata menggunakan temperatur dan atau tekanan
tinggi sehingga memerlukan kebutuhan energi panas yang sangat besar pula. Sehingga
perkembangan penelitian dalam bidang gasifikasi masih terus dilakukan untuk menurunkan
temperatur reaksi dan hasil gasifikasi yang lebih baik lagi.
Penelitian terdahulu walaupun bisa mencapai yield yang tinggi tetapi masih
membutuhkan temperatur yang tinggi. Sehingga hal ini merupakan tantangan bagi penelitian
selanjutnya. Untuk lebih jelasnya penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1
Tabel 1. Sejarah penelitian proses gasifikasi batubara
N
o
1

Peneliti/
Pengembang
Lurgi

Cara
Kontak
Fixed bed

Winkler

Fluidized
bed

Kopper-Totzek

Entrained
Phase

Otto-Rummel

Molten
bath

3.2

Kondisi
Yield
Kelebihan
Operasi
(%)
o
T= 1000 C
<95
- Yield
P = 20-30
Tinggi
atm
T = 800- < 95% - Tekanan
900oC
sangat
P
=
rendah
atmosferik
- Yield
Tinggi
T = 1500- 95
- Yield
o
1800 C
tinggi
P
=
- Tekanan
atmosferik
Rendah
T = 1400- < 95
- Yield
1700oC
tinggi
P
=
- Tekanan
atmosferik
Rendah

Kelemahan
Temperatur
dan tekanan
tinggi
Temperatur
masih
relatif
tinggi
Temperatur
masih
sangat
tinggi
Temperatur
masih
sangat
tinggi

Definisi Gasifikasi
Proses gasifikasi batubara adalah proses yang mengubah batubara dari bahan bakar

padat menjadi bahan bakar gas. Dengan mengubah batubara menjadi gas, maka material yang
tidak diinginkan yang terkandung dalam batubara seperti senyawa sulfur dan abu, dapat
dihilangkan dari gas dengan menggunakan metode tertentu sehingga dapat dihasilkan gas
bersih dan dapat dialirkan sebagai sumber energi.

Sebagaimana diketahui, saat bahan bakar dibakar, energi kimia akan dilepaskan dalam
bentuk panas. Pembakaran terjadi saat Oksigen yang terkandung dalam udara bereaksi
dengan karbon dan hidrogen yang terkandung dalam batubara dan menghasilkan CO2 dan air
serta energi panas. Dalam kondisi normal, dengan pasokan udara yang tepat akan
mengkonversi semua energi kimia menjadi energi panas.
Namun kemudian, jika pasokan udara dikurangi, maka pelepasan energi kimia dari
batubara akan berkurang, dan kemudian senyawa gas baru akan terbentuk dari proses
pembakaran yang tidak sempurna ini (sebut saja pembakaran setengah matang). Senyawa
gas yang terbentuk ini terdiri atas H2, CO, dan CH4 (methana), yang masih memiliki potensi
energi kimia yang belum dilepaskan. Dalam bentuk gas, potensi energi ini akan lebih mudah
dialirkan dan digunakan untuk sumber energi pada proses lainnya, misalnya dibakar dalam
boiler, mesin diesel, gas turbine, atau diproses untuk menjadi bahan sintetis lainnya
(menggantikan bahan baku gas alam). Dengan fungsinya yang bisa menggantikan gas alam,
maka gas hasil gasifikasi batubara disebut juga dengan syngas (syntetic gas). Dengan proses
lanjutan, syngas ini dapat diproses menjadi cairan. Proses ini disebut dengan coal liquefaction
(pencairan batubara). Metodenya ada bermacam-macam, antara lain Fischer-Tropch, Bergius,
dan Scroeder.
Untuk dapat menghasilkan gas dari batubara dengan maksimal, maka pasokan
oksigen harus dikontrol sehingga panas yang dihasilkan dari pembakaran setengah matang
ditambah energi yang terkandung pada senyawa gas yang terbentuk setara dengan energi dari
batubara yang dipasok.
Di bawah ini beberapa skema gasifier, untuk tipe-tipe yang sederhana. Detail cara
kerja, keunggulan dan kelemahan masing-masing tipe akan lebih lanjut dibahas nanti.

3.3

Prinsip Kerja Pada Gasifikasi

a. Prinsip Kerja Umum


Proses Fisika
Beberapa proses fisis yang terjadi pada gasifikasi adalah sebagai berikut:

Pemanasan, yaitu proses penambahan batu bara dengan oksigen dan uap air,

kemudian dipanaskan/dikompresi sampai suhunya tinggi.


b Pengeringan, yaitu pelepasan uap air dari padatan batu bara.
c Pemanasan lanjut: Batu bara dipanaskan kembali sampai suhunya sangat tinggi.
d Devolatilisasi, yaitu pengeluaran volatil (senyawa dengan struktur benzena) yang
e

terdapat pada batu bara sampai hanya tersisa arang saja.


Pembakaran arang agar tidak ada lagi udara yang tersisa.

2 Proses Kimia
Prinsip reaksi kimia pada proses gasifikasi sebagai berikut :
1. Reaksi pembakaran
C

+ O2

CO

H = -111 mJ/kmol

(1)

Reaksi ini eksotermis. Selanjutnya reaksi ini tidak berhenti sampai menjadi CO, tetapi setiap
oksigen bebas bereaksi dengan cepat dengan CO dalam fase gas untuk menjadi CO 2, seperti
reaksi di bawah ini :
CO + O2

CO2

H = -283 KJ/mol

(2)

H2 + O2

H2O

H = -242 mJ/kmol

(3)

2O

H = +159.7 kJ/mol

(4)

2. Reaksi Boudouard
C

CO2

Reaksi endotermis pada reaksi boudouard yang sangat lambat.


3. Reaksi water gas
Untuk mengendalikan temperatur yang tinggi yang diperoleh dari reaksi C O 2 dan
untuk meningkatkan nilai kalor gas sintesis, melalui penambahan hidrogen dimana hidrogen
juga sebagai produk utama biasanya ditambahkan steam sebagai reaktan. Reaksi ini
merupakan reaksi endotermis dimana mengandalkan panas yang dibebaskan dari reaksi C-O 2
untuk kebutuhan energi. Selanjutnya, laju reaksi C + H 2O sangat lambat dibandingkan C-O2.
Reaksi water gas dapat dilihat pada reaksi dibawah ini :
C
4

H2O

CO + H2

H = +118.9 kJ/mol

(5)

Reaksi Metanasi
Pada beberapa proses gasifikasi terutama untuk gasifikasi yang menginginkan metana

sebagai produk utama untuk proses SNG.


C

2 H2

CH4

H = -75 kJ/mol

Reaksi dengan oksigen selalu saja eksotermis, sedangkan reaksi dengan steam atau
CO2 selalu saja endotermis. Dalam gasifier dimana oksigen dan steam digunakan untuk
mengontrol temperatur, dimana peran steam yaitu sebagai moderator. Pada umumnya steam
yang digunakan adalah superheated dengan range temperatur 300 400oC. Pada beberapa
metoda gasifikasi memang ditambahkan nitrogen atau CO 2 ke dalam oksigen untuk
memindahkan panas secara tidak langsung dari reaktor gasifikasi.
Selain kandungan C, H, dan O, batubara masih mengandung komponen lainnya yaitu
sulfur yang terkonversi menjadi H2S dan COS, serta komponen nitrogen yang terkonversi
menjadi elemen nitrogen, NH3, dan HCN.
b. Teknologi Gasifikasi berdasarkan konfigurasi aliran

Gambar2. Teknologi Gasifikasi Berdasarkan Konfigurasi Aliran


Gasifikasi melibatkan reaksi sumber karbon, kemungkinan bergabung dengan
hidrogen, dengan sumber hidrogen (biasanya steam) dan/atau oksigen untuk yield gas
yang terdiri dari hidrogen, karbonmonoksida, karbondioksida, dan metana. Proporsi
komponen gas ini bergantung pada rasio reaktan yang digunakan dan kondisi reaksi.
Feedstock diubah menjadi bentuk gas, substan yang tidak diinginkan seperti senyawa
sulfur dan partikel solid di entrained dapat dipisahkan dari gas dengan beberapa teknik.
Syngas bersih (khususnya campuran karbonmonoksida dan hidrogen) dapat diubah menjadi
bahan bakar gas, bahan bakar likuid, bahan kimia, electric power (daya listrik) atau
kombinasinya.
Teknologi gasifikasi dapat dikelompokkan berdasarkan konfigurasi aliran dari unit
gasifiernya. Konfigurasi yaitu :
1.

Fixed bed

2.

Fluidized bed

3.

Entrained flow

4.

Molten bath

1 Fixe bed
Pada konfigurasi ini, batubara diumpankan dari atas kemudian perlahan-lahan turun
kebawah dan dipanaskan oleh gas panas dari arah bawah. Batubara melewati zona
karbonisasi kemudian zona gasifikasi, akhirnya sampai pada zona pembakaran pada bagian
bawah gasifier tempat reaktan gas diinjeksi. Sistem ini diilustrasikan pada Gambar 2.2.
berikut ini :

Gambar 3. Fixed bed gasifier

Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier, yaitu :

Gambar 4. Reaksi kimia yang terjadi dalam fixed bed gasifier


Pada proses gasifikasi dengan fixed bed gasifier
Ada 4 zona reaksi yaitu :
a. Zona devolatilisasi
Pada zona ini terjadi penguapan uap air dan zat-zat volatil yang terkandung dalam
batubara.
b. Zona Gasifikasi
Pada zona ini uap air yang dialirkan dan CO 2 yang terbentuk dari pembakaran
sempurna bereaksi dengan batubara pada suhu tinggi membentuk gas sintesis yang
terdiri dari CO, H2 dan N2.
c. Zona Pembakaran
Pada zona ini oksigen yang masuk bereaksi dengan sebagian batubara membentuk CO 2
dan H2O yang diperlukan dalam reaksi gasifikasi.
d. Zona abu
Zona ini adalah tempat penampungan abu yang dihasilkan, baik hasil reaksi
pembakaran maupun reaksi gasifikasi.

Fluidized bed

Dalam fluidized bed gasifier, reaktor gas digunakan untuk membuat fluidisasi material
batubara. Untuk menghindari sintering dari abu, fluidized bed gasifier dibatasi beroperasi
pada temperatur non-slagging.

Gambar 5. Fluidized bed gasifier


Batubara dimasukkan dari bagian samping sedangkan oksidannya dari ara bawah.
Oksidan (O2 dan uap) selain berperan sebagai reaktan pada proses, juga berfungsi sebagai
media lapisan mengambang dari batubara yang digasifikasi. Dengan kondisi penggunaan
oksidan yang demikian maka salah satu fungsi tidak akan dapat maksimal karena harus
melengkapi fungsi lainnya atau bersifat komplementer.
3

Entrained flow
Batubara dialirkan kedalam gasifier secara cocurrent atau bersama-sama dengan agen

gasifikasi atau oksidan berupa uap air dan oksigen, bereaksi pada tekanan atmosfer. Pada
entrained gasifier, batubara dihaluskan sampai ukuran kurang dari 0,1 mm diumpankan
dengan reaktan gas ke dalam chamber dimana reaksi gasifikasi terjadi seperti halnya sistem
pembakaran bahan bakar berbentuk serbuk.
Residence time

partikel padatan yang singkat dalam sistem fase entrained

memerlukan kondisi operasi dibawah slagging untuk mencapai laju reaksi dan konversi
karbon yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa operasi non-slagging pada entrained gasifier
baik sekali hanya untuk proses hidrogasifikasi.

Gambar 6. Entrained gasifier


Konfigurasi lainnya adalah molten bath
4 Molten bath
Molten bath mirip dengan sistem fluidized bed dimana reaksi terjadi dalam medium
yang tercampur merata dari inersia panas tinggi. Temperatur operasi tergantung pada tipe
bath : untuk slag dan molten metal bath diperlukan temperatur tinggi (14001700oC), tetapi
temperatur 1000oC dapat digunakan molten salt. Reaktan gas dapat diinjeksi dari atas seperti
jet kemudian berpenetrasi kedalam permukaan bath, seperti ditunjukkan pada gambar 2.6,
atau dapat diumpankan ke bottom bath

Gambar 7. Molten bath gasifier


Fixed bed gasifier termasuk dalam kategori sistem aliran counter current, fluidized
bed dan molten bath gasifier dapat dianggap sebagai reaktor tanki pengaduk kontinyu dan
entrained gasifier sebagai sistem aliran co-current.

Aliran counter current dalam reaktor fixed bed, pemindahan volatile matter yang
dihasilkan dari gasifier tanpa melewati zona gasifikasi temperatur tinggi atau zona
pembakaran. Karakteristik komposisi produk gas pada fixed bed gasifier yaitu adanya uap
tar (bila digunakan antrasit atau devolatilisasi char/coke sebagai bahan baku) dan yield
metana yang tinggi. Residence time yang paling lama terdapat pada fixed bed gasifier dimana
kecepatan gas dibatasi untuk menghindari semburan serbuk batubara ke dalam aliran produk
gas. Sedangkan residence time terpendek terdapat dalam entrained gasifier.
Perbedaan residence time padatan diantara tipe gasifier merupakan hal substansial.
Pada fixed bed residence time padatan biasanya beberapa jam. Sedangkan pada fluidized bed
atau molten bath pada umumnya sekitar 1 jam. Pada fluidized bed, char yang tidak
terkonversi dikumpulkan dan diumpankan ke gasifier lainnya atau ke pembakar. Sedangkan
pada entrained kecuali untuk hidrogasifikasi, umumnya beroperasi pada temperatur slagging
untuk mencapai laju reaksi dan konversi karbon yang tinggi. Residence time yang pendek
pada entrained membuat kontrol pada kondisi operasi gasifikasi lebih sulit dan perlu adanya
kekonsistensian umpan batubara, merupakan hal yang harus diperhatikan.
Dari penjelasan diatas maka dapat ditabulasikan perbandingan antara ketiga jenis
gasifier berdasarkan parameter di tabel 1 berikut ini :

Parameter
Fixed/Moving Bed
Ukuran umpan
< 51 mm
Toleransi
kehalusan
Terbatas
partikel

Fluidized Bed
< 6 mm

Entrained Bed
< 0.15 mm

Baik

Sangat baik

Toleransi

kekasaran

partikel

Sangat baik
Batubara

Toleransi jenis umpan

Baik
kualitas Batubara

rendah

Buruk
kualitas

rendah dan biomassa

Segala jenis batubara,


tetapi

tidak

Kebutuhan oksidan
Rendah
Kebutuhan kukus
Tinggi
Temperatur reaksi
1090 C
Temperatur
gas
450 600 C
keluaran
Produksi abu
Kering
Efisiensi gas dingin
80%
Kapasitas penggunaan Kecil

Menengah
Menengah
800 1000 C

untuk biomassa
Tinggi
Rendah
> 1990 C

800 1000 C

> 1260 C

Kering
89.2%
Menengah

Permasalahan

Konversi karbon

Terak
80%
Besar
Pendinginan

Produksi tar

cocok

gas

produk

Tabel 1. Perbandingan jenis-jenis gasifier


c. Design Gasifier
Ada 4 parameter disain yang utama, yaitu :
1

Temperatur

Gasifier dapat dibagi dalam 3 kategori tergantung pada keadaan fisik abu dalam reaktor
gasifikasi.
Abu kering
Untuk kebanyakan batubara, operasi diatas sekitar 1000oC menghasilkan abu kering tanpa
sintering atau slagging.
Abu agglomerasi
Operasi juga dimungkinkan terjadi pada temperatur dimana partikel abu menjadi
lengket, membentuk agglomerat. Reaktor harus didisain sedemikian rupa sehingga abu tadi
dikeluarkan dan dikontrol supaya kondisi operasi steady state. Pada kebanyakan batubara,
kondisi abu agglomerasi terjadi pada range temperatur 10001200oC tergantung pada
komposisi abu.
Slagging
Operasi diatas 1200oC menyebabkan abu membentuk molten slag. Pada operasi ini
diperlukan pemilihan material non-korosif dan erosif. Temperatur gasifikasi dipengaruhi oleh
komposisi produk gas karena temperatur berpengaruh pada kesetimbangan dan kinetika

reaksi gasifikasi. Bahan baku gas dari gasifier yang beroperasi dibawah kondisi slagging pada
umumnya memiliki konsentrasi CO2 dan uap air relatif rendah sedangkan konsentrasi CO
dan H2 relatif tinggi. Bila uap air digunakan sebagai agen gasifikasi dibawah kondisi nonslagging, maka diperlukan ekses (dalam beberapa kasus sekitar 400%) dibanding dengan
jumlah batubara. Jumlah ini disebabkan oleh kinetika dan kesetimbangan yang tidak
diinginkan untuk dekomposisi uap air pada temperatur rendah. Penggunaan uap air berlebih
ini menyebabkan berkurangnya efisiensi. Pengunaan temperatur tinggi memerlukan oksigen
lebih banyak lagi dan sebagai konsekuensinya bertambah pula kebutuhan energi untuk
pemisahan udara.
Untuk reaksi pada temperatur slagging, kinetika reaksi terjadi dengan cepat dan
perbedaan kereaktifan dari batubara tidak terlalu penting dibanding operasi pada temperatur
non-slagging. Tipe abu dan kandungan dari batubara juga harus diperhatikan. Abu dengan
temperatur fusi tinggi pada umumnya tidak dinginkan pada operasi slagging. Pada beberapa
kasus, biasanya ditambahkan fluxing agent seperti batu kapur untuk menghindari slag.
Dibawah kondisi non-slaging, batubara yang lebih aktif (seperti lignit) pada umunya lebih
mudah untuk digasifikasi. Untuk gasifikasi dengan memakai uap air biasanya beroperasi pada
temperatur setinggi mungkin untuk meningkatkan kinetika reaksi dan kesetimbangan yield.
Walaupun gasifikasi pada temperatur tinggi memiliki sejumlah kelebihan (sebagai contohnya,
laju reaksi yang tinggi dan kemampuan untuk menggasifikasi batubara yang tidak bereaksi),
teknologi yang digunakan biasanya lebih rumit dari pada temperatur rendah
2. Tekanan
Proses gasifikasi dapat dioperasikan baik pada tekanan atmosfer maupun kenaikan
tekanan. Kesetimbangan menunjukkan bahwa kenaikan tekanan cenderung memperlambat
dekomposisi CO2 dan uap air serta pembentukan CO dan H2. Pada kenyataannya, efek
terhadap komposisi produk gas adalah kecil pada tekanan diatas 30 bar, dibandingkan dengan
faktor lain seperti temperatur reaksi.
Pada tekanan yang lebih tinggi akan terjadi pembentukan metana dengan reaksi
hidrogasifikasi dengan tekanan minimal 80 bar. Operasi pada kenaikan tekanan menaikkan
laju reaksi secara keseluruhan tetapi perubahan pada umumnya sedikit signifikan terhadap
tekanan karena tidak semua reaksi kimia bisa dikontrol (sebagai contohnya, reaksi
pembakaran dan dekomposisi termal biasanya dikontrol oleh laju difusi). Kenaikan per unit
volum dari gasifier tidak terlalu signifikan terhadap tekanan, hukum akar kuadrat hanya
ditujukan pada sejumlah gasifier. Pada kenyataannya, residence time gas-solid pada disain

gasifier bertekanan bisa lebih lama dibanding gasifier tekanan atmosfer supaya menaikkan
derajat konversi.
Proses gasifikasi dengan kenaikan tekanan merupakan teknologi lebih rumit daripada
gasifikasi tekanan atmosfer untuk beberapa alasan. Alasan yang paling banyak yaitu batubara
yang diumpankan kedalam gasifier harus melawan gradien tekanan. Gasifier pada proses
kenaikan tekanan menyerupai vesel bertekanan pada pressurised fluidized bed combustor.
3. Reaktan Gas
Reaktan utama sebagai oksidan pada proses gasifikasi adalah oksigen, uap air, dan
hidrogen. Penggunaan reaktan gas bisa sendiri atau pun kombinasi dari ketiga reaktan
tersebut.
a. Oksigen/Uap air
Gasifier yang menggunakan oksigen dan uap air, panas diabsorb oleh reaksi
endotermis air-gas. Panas yang terjadi dikarenakan oleh reaksi pembakaran antara oksigen
dan batubara yang merupakan heat balance secara keseluruhan dalam gasifier.
b. Udara/Uap air
Bila digunakan udara yang mengandung nitrogen, bukan oksigen murni maka uap air
yang digunakan lebih sedikit karena lebih banyak lagi panas sensibel yang dibutuhkan untuk
membuat udara mencapai temperatur reaksi. Heat balance menunjukkan bahwa proses yang
menggunakan udara dan uap air hanya mungkin terjadi pada tempearatur non-slagging.
c.

Udara
Pada temperatur slaging proses yang hanya memakai udara sebagai reaktan oksidan,

panas dilepaskan oleh reaksi pembakaran diimbangi dengan panas sensibel yang dibutukan
agar udara mencapai temperatur reaksi. Uap air diperlukan dalam jumlah yang sedikit untuk
mengontrol keseimbangan panas bila udara dipanaskan terlebih dahulu. Untuk kondisi
dibawah non-slagging uadara dapat digunakan sebagai oksidan tunggal bila panas
dipindahkan dari proses dengan kata lain reaksi endotermis uap air-karbon.
d. Hidrogen
Bila proses gasifikasi menggunakan hidrogen maka produk gas yang dihasilkan
berupa metana sebagai produk utama. Proses ini dinamakan hidrogasifikasi. Hidrogen
biasanya didapat dari gasifier oksigen/uap air konvensional.
Pemilihan reaktan disesuaikan dengan sifat atau spesifikasi dari produk gas yang kita
inginkan. Bila kita menginginkan gas dengan nilai kalor rendah sebagai produk akhir maka
pada proses gasifikasi kita menggunakan udara dan uap air atau hanya menggunakan udara.

Untuk menghasilkan gas dengan nilai kalor medium maka penggunaaan nitrogen harus
dihindari dan menggunakan oksigen-uap air, atau hanya menggunakan uap air. Tanpa adanya
nitrogen membuat gas bernilai kalor medium cocok untuk dikonversi lanjut menjadi bahan
bakar liquid dan kimia, hidrogen, atau SNG (Sinthetic Natural Gas). Sebagai alternatif, SNG
dapat diproduksi secara langsung dengan proses hidrogasifikasi dengan menggunakan
hidrogen sebagai reaktan. Proses yang hanya menggunakan uap air (dengan suplai panas
secara tidak langsung) diharapkan dapat lebih efisien daripada proses yang menggunakan
oksigen-uap air karena tidak ada energi yang dibutuhkan untuk memisahkan oksigen dari
udara. Untuk alasan serupa, proses gasifikasi air-blown dapat diharapkan lebih efisien dari
proses oxygen-blown. Pada kasus ini, keuntungan yang diperoleh dapat menjadi hilang bila
kandungan panas sensibel pada produk gas juga lebih meningkat.
Untuk produksi SNG secara langsung dengan menggunakan proses hidrogasifier
dianggap potensial lebih efisien daripada produksi SNG dari sintesis gas yang kemudian baru
dikonversi menjadi SNG. Konversi ini merupakan reaksi yang sangat eksotermis terjadi pada
temperatur 350oC. Pengaruh utama dari pemilihan reaktan gas yaitu adanya perbandingan
antara pengunaan udara (air-blown) dan penggunaan oksigen (oxygen blown). Air blow
gasifier biasanya beroperasi 1/3 sampai1/2 dari sistem oxygen blown. Hidrogasifikasi
biasanya beroperasi pada tekanan tinggi (80 200 bar).
Disain gasifier biasanya mempertimbangkan reaksi-reaksi endotermis-eksotermis
yang terjadi selama proses, sehingga tercipta suatu kesetimbangan panas. Bila menggunakan
sistem uap-air-oksigen dan uap air-udara, panas diserap oleh reaksi air-gas. Pada gasifikasi
yang hanya menggunakan uap air sebagai pengoksidan, panas diserap oleh reaksi yang
disuplai oleh sumber panas lainya. Ada tiga pilihan yaitu :

perpindahan panas tidak langsung

paralel reaksi kimia eksotermis yang tidak melibatkan oksigen

pembawa panas

Hanya pembawa panas yang layak pada operasi temperatur slagging, dan alira panas
dari luar yang dibutuhkan agar dihasilkan keseimbangan panas dalam gasifier yang hanya
menggunakan udara pada temperatur non-slagging.

4. Metode Kontak
Metode kontak antara umpan (batubara) dan reaktan gas dalam gasifier dapat
dibedakan menjadi empat yaitu fixed bed, fluidized bed, entrained flow, dan molten bath.
Gasifikasi batubara merupakan proses yang mengkonversi batubara dari bentuk
padatan menjadi bahan bakar gas melalui oksidasi sebagian (partial oxidation). Gas yang
dihasilkan merupakan gas sintesis (syngas) berupa CO dan H2. Karena produk yang
dihasilkan dalam bentuk gas, maka kandungan sulfur dan abu yang merupakan produk yang
tidak diinginkan dihilangkan dari gas sintesis sehingga gas yang dihasilkan bersih.
Kontras dengan proses pembakaran (combustion) yang memerlukan udara berlebih,
proses gasifikasi terjadi pembakaran sebagian dari batubara dengan suplai oksigen dikontrol
(pada umumnya 20-70% dari jumlah O 2 teoritis yang dibutuhkan untuk pembakaran
sempurna). Dalam bentuk yang paling sederhana, reaksi stoikiometrinya sebagai berikut :
C

O2 gasifikasi

CO

H2O gasifikasi

CO + H2

Pada gasifikasi panas yang dihasilkan dari pembakaran

digunakan untuk

devolatilisasi dan menguraikan kandungan zat terbang menjadi hidrokarbon gas. Aliran gas
yang dihasilkan merupakan campuran dari inert flue gas dan hidrokarbon. Produk gas ini atau
gas sintesis memiliki nilai kalor (calorific value). Aliran gas biasanya mengandung sejumlah
besar nitrogen yang dapat mencapai lebih dari 60%. Hal ini dikarenakan pada proses
menggunakan udara.
Beberapa proses menggunakan oksigen atau uap air untuk menyediakan kebutuhan
oksigen. Sistem ini menghasilkan aliran gas yang mengandung calorific value yang lebih
tinggi. Tetapi hal ini membutuhkan tambahan biaya dan keselamatan yang lebih ketat.
d.

Tahapan Proses Gasifikasi


Tahapan gasifikasi batubara meliputi pengeringan, devolatilisasi, oksidasi, dan

reduksi. Tahap Pengeringan bertujuan untuk mengeluarkan atau menghilangkan kandungan


air yang terdapat dalam batubara. Devolatilisasi merupakan proses pemanasan batubara
sampai terjadi dekomposisi menjadi arang, tar dan gas. Tahapan oksidasi merupakan proses
pembakaran zat terbang hasil devolatilisasi untuk memanaskan arang. Pemanasan ini
mengakibatkan sebagian arang akan teroksidasi dan sisanya mengalami proses reduksi.

Dalam gasifier arang direduksi oleh steam atau kukus dan CO 2 menghasilkan gas H2
dan CO. Peningkatan jumlah atau laju steam atau kukus mengakibatkan penurunan gas CO
pada gas produk, namun akan meningkatkan kandungan H2 dan CO2 melalui reaksi geser atau
shift reaction. Komposisi gas yang dihasilkan ditentukan oleh temperatur dengan mengatur
laju oksigen yang digunakan.
Panas yang dihasilkan dari reaksi oksidasi digunakan untuk tahapan yang melibatkan
proses atau reaksi endotermis seperti reaksi reduksi, proses devolatilisasi dan tahapan
pengeringan.Skematik Prinsip Gasifikasi batubara

dalam gasifier dan zona reaksi

berdasarkan temperatur dapat diligat pada gambar 8 di bawah

Gambar 8. Zona Reaksi Batubara Pada Gasifier Tipe Updraft


Reaksi Utama Pada Proses Gasifikasi Batubara.
Secara umum proses gasifikasi batubara dilakukan dalam suatu reaktor yang disebut
gasifier dan prosesnya terdiri dari drying, pyrolysis, reduksi dan oksidasi.Reaktan utama pada
proses gasifikasi batubara adalah oksigen dalam udara dan uap air. Gas utama yang
dihasilkan dari gasifikasi batubara adalah CO, H2 dan gas lainnya seperti CH4, CO2 dan
nitrogen.Reaksi-reaksi utama yang terjadi selama proses gasifikasi batubara adalah sebagai
berikut:

1. Reaksi Drying/Moisture Release:


Drying merupakan proses pemanasan batubara pada temperatur antara 100 250
celcius. Pemanasan ini akan menghilangkan atau menguapkan air yang terkandung dalam
batubara. Adapun mekanismenya mengikuti reaksi berikut: Batubara + panas > batubara +
air (H2O, uap air)
Panas yang diperlukan untuk Penghilangan kandungan air ini diperoleh dari panas
hasil reaksi pembakaran char atau reaksi oksidasi karbon dalam char dengan oksigen. Air
dalam fasa uap ini dapat berreaksi dengan gas lain yang terjadi selama proses gasifikasi.
2. Reaksi Decomposition/Pyrolysis/Devolatilization:
Setelah mengalami proses penghilangan air, Batubara akan mengalami proses
pyrolysis yaitu penguraian batubara pada temperatur tinggi menjadi char, tar, dan volatile
mater. Proses ini berlangsung pada temperatur antara 200 500 celcius. Mekanisme reaksi
pyrolysi dapat dijelaskan sebagai berikut:
Batubara + panas > char + tar + gas
Pyrolysis merupakan proses yang sifatnya endothermik. Panas yang diperlukan untuk
terjadinya proses ini diperoleh dari reaksi oksidasi karbon dalam char dengan oksigen dari
udara. Proses ini biasa juga disebut dengan devolatilisasi.
3. Reaksi Reduction/Gasification:
Proses reduksi merupakan tahap utama dari gasifikasi. Pada tahap ini gas mampu
bakar dihasilkan. Gas hasil reaksi reduksi ini biasa disebut sebagai gas produser atau syntetic
gas atau syngas. Reaksi-reaksi yang terjadi pada tahap ini sifatnya endothermik. Panas yang
dibutuhkan dipasok dari panas hasil reaksi oksidasi. Reaksi-reaksi reduksi pada tahap ini
secara stoikiometrik adalah:
a. Reaksi uap air atau steam reaction yaitu reaksi reduksi antara karbon dalam char
dengan uap air sesuai dengan reaksi berikut:
C (char) + H2O + panas > CO (gas) + H2 (gas)

Reaksi ini menghasilkan produk gas yang mampu bakar (syngas). Secara
stoikiometrik karbon yang berreaksi dengan uap air akan menjadi gas karbon
monoksida dan gas hidrogen. Kedua gas ini merupakan komponen utama dari hasil
gasifikasi.
b. Reaksi karbon dengan gas karbon dioksida pada tahap ini akan mengikuti reaksi
berikut:
C (char) + CO2 + panas > 2 CO
Reaksi ini menghasilkan produk gas yang mampu bakar yaitu gas karbon monoksida.
Karbon dalam char yang berreaksi dengan gas karbon dioksida akan dikonversi
menjadi gas mampu bakar karbon monoksida. Reaksi ini biasa disebut sebagai
Boudouard reaction.
c.

Reaksi Geser atau Shift Reaction


Uap air yang ditambahkan akan berreaksi dengan gas CO2 membentuk gas CO sesuai
dengan reaksi berikut:
CO2 (gas) + H2O (uap) + panas > CO (gas) + H2 (gas)
Kedua Produk gas yang dihasilkan ini merupakan gas yang memiliki nilai mampu
bakar.

d. Reaksi Oxidation/Combustion:
Proses oksidasi merupakan reaksi yang melibatkan reaktan oksigen sebagai
oksidatornya. Karbon dalam char akan dioksidasi menjadi gas karbon dioksida atau
karbon monoksida. Produk gas yang dihasilkan tergantung pada jumlah oksigen yang
ditambahkan. Reaksi oksidasi yang terjadi antara karbon dengan gas oksigen sesuai
reaksi berikut:
1. Pembakaran sempurna:
Pembakaran sempurna dari karbon dengan oksigen akan sesuai dengan reaksi
berikut:

C (charbon) + O2 (udara) > CO2 (gas) + panas


Gas karbon dioksida dihasilkan ketika reaksi oksidasi berjalan sesuai dengan
stoikiometrik pembakaran sempurna. Reaksi pembakaran sempurna berjalan ketika
satu mol karbon dibakar dengan satu mol oksigen dan menghasilkan satu mol gas
karbon dioksida. Artinya, karbon dalam char yang bereaksi dengan oksigen hanya
akan membentuk gas karbon dioksida.
Gas hasil pembakaran sempurna tidak memiliki nilai bakar atau tidak mampu
bakar, sehingga reaksi ini tidak diharapkan terjadi.
2. Pembakaran tidak sempurna:
Pembakaran tidak sempurna terjadi ketika jumlah oksigen kurang dari nilai
stoikiometri pembakaran sempurna. Reaksi oksidasi karbon dalam batubara menjadi
tidak sempurna ketika satu mol karbon direaksikan dengan oksigen kurang daripada
satu mol.
Reaksi pembakaran satu mol karbon dengan oksigen yang hanya memenuhi
separuh dari kebutuhan stoikiometrinya akan menghasilkan produk berupa satu mol
gas karbon monoksida sesuai reaksi berikut:
C (charbon) + 0,5 O2 (udara) > CO (gas) + panas
Persamaan reaksi ini merupakan reaksi yang secara stoikiometrik merubah
seluruh karbon yang berreaksi dengan oksigen menjadi produk yang hanya terdiri dari
gas karbon monoksida. Setiap kelebihan oksigen dari 0,5 mol dapat merubah reaksi
dan membentuk gas karbon dioksida. Sebaliknya, jika oksigen kurang daripada 0,5
mol, maka akan menyebabkan sebagian karbon tidak bereaksi. Ada sisa karbon char.
Gas hasil reaksi pembakaran tidak sempurna menghasilkan gas yang memiliki nilai
bakar atau mampu bakar.
Reaksi oksidasi atau pembakaran adalah reaksi yang menghasilkan sumber
panas yang dibutuhkan bagi proses gasifikasi secara keseluruhan. Reaksi-reaksi
lainnya merupakan reaksi yang dapat diatur untuk mendapatkan gas sesuai dengan
komposisi gas yang diinginkan

3.4

Aplikasi Gasifikasi Batubara


Gas sintetik hasil gasifikasi batubara dapat diproses lebih lanjut atau dimanfaatkan

untuk berbagai keperluan, diantaranya adalah sebagai berikut:


1

Bahan bakar sintetik (Coal to Liquid, CTL)


Salah satu alasan mengapa pembuatan bahan bakar sintetik melalui gasifikasi batubara

terus berlangsung sampai sekarang adalah karena cadangan batubara dunia yang begitu
melimpah. Berdasarkan data BP World Energy Review tahun 2004, dengan tingkat produksi
sebesar 4,9 milyar ton per tahun (akhir 2003), cadangan batubara terbukti dapat bertahan
hingga 192 tahun.
Sedangkan minyak dan gas, dengan tingkat produksi saat itu, masing-masing hanya
mampu bertahan selama 41 tahun dan 67 tahun saja. Selain itu, harga minyak yang fluktuatif
dan cenderung tinggi menyebabkan bahan bakar sintetik dari batubara (CTL) menjadi
semakin kompetitif. Laporan departemen energi AS (DOE Annual Energy Outlook 2005)
menyebutkan potensi CTL diperkirakan sebesar 2 juta barel per hari pada tahun 2025,
ditambah Cina yang diperkirakan memiliki potensi 1 juta barel per hari.
Pada pembuatan BBM sintetik, batubara digasifikasi terlebih dulu untuk
menghasilkan gas sintetik yang komposisi utamanya terdiri dari hidrogen (H 2) dan karbon
monoksida (CO), kemudian dilanjutkan dengan proses Fischer-Tropsch (FT) untuk
menghasilkan hidrokarbon ringan (paraffin). Hidrokarbon tersebut kemudian diproses lebih
lanjut untuk menghasilkan bensin dan minyak diesel.
Karena nilai oktan pada produk bensin yang dihasilkan rendah, maka dilakukan upaya
untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi dari gas sintetik ini. Proses tersebut
dilakukan dengan memproduksi metanol dari gas sintetik terlebih dulu, kemudian metanol
diproses untuk menghasilkan bensin bernilai oktan tinggi. Metode ini disebut MTG
(Methanol to Gasoline).
2

Pembangkit listrik (Coal to Power)


Standar mutu lingkungan yang semakin ketat tentunya akan memaksa fasilitas

pembangkit listrik yang telah terpasang untuk dapat mengakomodasi peraturan tersebut. Ada
3 pilihan yang dapat dilakukan untuk itu, yaitu modifikasi dan upgrade fasilitas sehingga
teknologi pembersihan pasca pembakaran (post-combustion clean up technology) dapat

diterapkan, modifikasi sistem pembangkitan berbahan bakar batubara menjadi pembangkitan


kombinasi berbahan bakar gas alam (Natural Gas Combined Cycle, NGCC), dan modifikasi
sistem pembangkitan dengan memanfaatkan mekanisme gasifikasi batubara untuk
menghasilkan pembangkitan kombinasi. [Childress, 2000]

Gambar 9. Konsep Sistem Gasifikasi


Pada pilihan pertama di atas, biaya pemasangan peralatan pembersihan pasca
pembakaran sangat besar. Sebagai contoh, untuk pembangkit berbahan bakar batubara serbuk
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi, biaya pemasangan unit desulfurisasi (Flue Gas
Desulfurization, FGD) dapat mencapai 20% dari total biaya pembangunannya. Untuk pilihan
kedua yaitu mekanisme NGCC, meskipun emisi yang rendah dapat dicapai, tapi ongkos
bahan bakar yang relatif tinggi otomatis akan mempengaruhi biaya pembangkitan. Pilihan
ketiga merupakan alternatif terbaik, dimana pembangkitan kombinasi tersebut mampu
menghasilkan emisi yang sangat rendah dengan mengoptimalkan fasilitas pembangkit yang
ada serta menggunakan bahan bakar berbiaya rendah yaitu batubara.
Pembangkit listrik yang memanfaatkan gas sintetik hasil gasifikasi batubara disebut
dengan IGCC (Integrated Gasification Combined Cycle). Pada IGCC, pembangkitan listrik
dihasilkan dari mekanisme kombinasi antara turbin gas, HRSG (Heat Recovery Steam
Generator), dan turbin uap. Tipikal penggas yang digunakan pada IGCC adalah
bertipe entrained flow, seperti E-Gas (Conoco Phillips), Chevron-Texaco (GE Energy), SFG
(Siemens), Mitsubishi, dan Shell.
Secara garis besar, gas sintetik yang dihasilkan oleh penggas akan diproses di
pendingin gas (gas cooler) dan fasilitas pembersih gas (gas clean up) terlebih dulu sebelum

mengalir ke turbin gas. Setelah melewati siklus Brayton, gas buang dari turbin gas kemudian
mengalir ke HRSG, dimana panas dari gas tersebut kemudian dimanfaatkan untuk
menghasilkan uap air. Selain dari turbin gas, panas buangan yang dihasilkan dari proses
pendinginan gas juga dialirkan ke HRSG pula. Uap air dari HRSG inilah yang kemudian
dimanfaatkan untuk menggerakkan turbin uap melalui mekanisme siklus Rankine. Dengan
kombinasi 2 siklus ini, tidaklah mengherankan apabila efisiensi netto pembangkitan pada
IGCC lebih unggul dibandingkan dengan efisiensi pada sistem pembangkitan konvensional
(pulverized coal) yang saat ini mendominasi.
Pada proses pembersihan gas, unsur lain yang tidak ramah lingkungan yang
dihasilkan dari gasifikasi seperti HCN, H2S, NH3, COS, uap air raksa, dan char dibersihkan.
H2S dan COS dapat diproses dengan mudah dan diubah menjadi sulfur padat atau asam sulfat
yang merupakan produk sampingan, sedangkan NH3 dapat dibersihkan dengan menggunakan
air. Uap air raksa dibersihkan dengan melewatkan gas sintetik tekanan tinggi ke lapisan
karbon aktif. Adapun abu akan meleleh selama proses gasifikasi, yang kemudian diubah
menjadi padatan (glassy slag) yang stabil. Material ini dapat digunakan untuk campuran
bahan pada pekerjaan konstruksi.[Phillips, 2006].
Contoh pembangkit ini adalah Nuon IGCC yang terletak di Buggenum, Belanda,
berkapasitas 253MWe. Meskipun saat ini beroperasi secara komersial, pembangkit ini pada
awalnya merupakan demonstration plant yang dikenal dengan proyek Demkolec. Pembangkit
ini menghasilkan efisiensi netto sebesar 43% (Low Heating Value), dengan performansi baku
mutu lingkungan yang sangat bagus. Emisi NOx yang dihasilkan sangat rendah yaitu kurang
dari 10 ppm, kemudian efisiensi pengambilan sulfur di atas 99%, tingkat emisi flyash,
senyawa klorida dan logam berat mudah menguap yang bisa dibilang nol, serta air limbah
yang bisa diresirkulasi kembali sehingga tidak ada buangan air limbah ke lingkungan.[Chhoa,
2005].
Meskipun IGCC memiliki berbagai kelebihan, tapi masalah utama saat ini adalah
biaya pembangkitannya yang masih tinggi. Secara garis besar, disamping unit pembangkitan,
IGCC juga tersusun dari unit pemisah udara (Air Separation Unit, ASU) yang berfungsi
menyuplai oksigen ke penggas, dan unit penggas itu sendiri. Unit pembangkitan (turbin gas,
turbin uap, HRSG) dan unit ASU merupakan teknologi yang sudah mapan dan terbukti
sehingga dari segi ongkos, tidak mungkin untuk ditekan lagi. Untuk menekan biaya
pembangkitan pada IGCC, satu satunya cara adalah dengan meningkatkan performa

penggas dan membangun sistem (building block) gasifikasi yang efisien. [van der Burgt,
1998]. Dengan upaya demikian serta makin makin menguatnya isu lingkungan, biaya
pembangkitan pada IGCC diharapkan akan semakin kompetitif terhadap biaya pembangkitan
pada

pembangkitpulverized

coal (PC)

yang

saat

ini

mendominasi

yang

ongkos

pembangkitannya cenderung meningkat untuk mengakomodasi baku mutu lingkungan. Dan


pada tahun 2010, di Amerika diharapkan biaya pembangkitan IGCC akan menyamai ongkos
pembangkitan pada PC, yaitu sekitar US$1200/kW.[Arai, 2006].
Karena pada PLTU maupun IGCC dikenal dengan istilah scale merit, maka semakin
besar unit otomatis biaya pembangkitan juga semakin rendah. Salah satu laporan
menyebutkan bahwa IGCC komersial akan bernilai ekonomis pada kapasitas pembangkitan
minimal 550 MWe.[Trapp, 2005].
3.

Industri kimia (Coal to Chemical)


Gas sintetik hasil gasifikasi batubara juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri

kimia, diantaranya untuk pembuatan ammonia, pupuk, metanol, DME (Dimethyl Ether),
olefin, paraffin, dan lain lain.
Eastman Chemical di Kingsport, Tennessee, AS, memanfaatkan gasifikasi batubara untuk
memproduksi bahan baku industri kimia yaitu asam asetat. Fasilitas ini beroperasi sejak tahun
1983, menggunakan penggas Texaco. Pada awalnya, kapasitasnya hanya mampu memenuhi
separoh dari kebutuhan asam asetat yang diperlukan, tapi sejak tahun 1991 kapasitasnya
ditingkatkan hingga mampu memenuhi seluruh kebutuhan asam asetat untuk produksi hilir.
Perusahaan ini mengkonsumsi batubara sebanyak 1300 ton per hari untuk gasifikasi, dan
memproduksi lebih dari 400 jenis bahan kimia, serat sintetis, serta plastik, dengan omzet
sekitar US$5 miliar per tahun.[Trapp, 2001].
Di Cina yang memiliki cadangan batubara melimpah, Shell melalui kerjasama joint
venture dengan Sinopec membangun pabrik pupuk menggunakan mekanisme gasifikasi
batubara berkapasitas 2000 ton per hari di Yueyang, propinsi Hunan. Pembangunannya
sendiri dimulai tahun 2003 dan direncanakan beroperasi pada akhir 2006. Selain itu, Shell
juga menangani sekitar 12 proyek gasifikasi batubara lainnya di Cina, dimana hampir
70%nya untuk keperluan industri pupuk dan sisanya untuk produksi metanol, serta hidrogen
untuk keperluan pencairan batubara secara langsung. [Chhoa, 2005].

Selain Shell, GE Energy juga menyediakan teknologi gasifikasi batubara di Cina.


Sampai dengan Oktober 2006, dari 7 proyek yang direncanakan, 3 unit telah telah beroperasi
untuk memproduksi metanol dan ammonia.

BAB 4
PENUTUP
Dengan harga yang relatif murah dibandingkan dengan bahan bakar fosil lainnya,
kemudian ketersediaannya yang melimpah, serta penyebaran cadangan yang relatif merata di
seluruh dunia, batubara merupakan sumber energi primer yang menjanjikan. Apabila selama
ini pemanfaatan batubara terkesan terbatas untuk pembangkitan listrik saja, maka gasifikasi
batubara memberikan harapan yang besar untuk pemanfaatan batubara secara optimal di
masa mendatang. Dari paparan di atas dapat pula disimpulkan bahwa batubara memiliki
kekuatan yang besar untuk menarik roda perekonomian suatu bangsa melalui teknologi
gasifikasi.

Gasifikasi batubara tidak semata hanya dapat digunakan untuk satu tujuan saja,
misalnya untuk pembangkitan listrik, tapi dapat pula dirancang untuk tujuan yang lain secara
bersamaan. Sebagai contoh, fasilitas gasifikasi dapat didesain untuk menghasilkan listrik,
memproduksi bahan baku industri kimia, maupun membuat bahan bakar sintetis sekaligus.
Mekanisme ini disebut dengan polygeneration (polygen) atau co-generation (co-gen).

Gambar 6. Polygeneration

Memperhatikan nilai tambah (added value) batubara melalui teknologi gasifikasi dan
efek ekonomis yang ditimbulkannya, dapat dipahami bahwa batubara sesungguhnya lebih
dari sekedar komoditas dagang belaka. Batubara sesungguhnya merupakan sumber daya
strategis untuk menjamin kemandirian energi dan industri suatu bangsa di masa mendatang.
Penulis akan mencoba membandingkan kondisi perbatubaraan di Cina dan Indonesia
terkait hal ini. Meskipun data yang diambil hanya pada tahun 2003 dan 2004 saja, tapi
penulis melihat bahwa tahun tersebut merupakan titik balik penting yang merefleksikan
kebijakan energi pemerintah Cina yang perlu dijadikan pelajaran.
Berdasarkan laporan World Coal Institute (WCI), Cina memproduksi batubara
sebanyak 1,502 milyar ton dengan ekspor sebesar 95,1 juta ton (6,3% total produksi) pada
tahun 2003. Di tahun berikutnya, terjadi peningkatan produksi sekitar 450 juta ton sehingga
total produksi menjadi 1,956 milyar ton. Menariknya, meskipun terjadi kenaikan produksi,
volume ekspor batubara Cina justru menurun menjadi 86 juta ton (4,4% total produksi).
Bersamaan dengan penurunan ekspor, volume impor justru naik dari 10,29 juta ton pada

tahun 2003 menjadi 18,36 juta ton pada tahun 2004. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
akhirnya memaksa pemerintah Cina untuk memikirkan keamanan energi dalam negeri, dan
batubara merupakan pilihan utama. Hal inilah yang mengakibatkan penurunan ekspor dan
meningkatnya volume impor batubara. Disamping itu, pemerintah Cina juga meluncurkan
proyek proyek pembangunan pabrik pupuk, metanol, dan industri petrokimia lainnya
sampai tahun 2020 untuk mendongkrak perekonomian mereka melalui mekanisme gasifikasi
batubara.
Dari laporan WCI pula, produksi batubara Indonesia pada tahun 2003 mencapai 120,1
juta ton, dengan volume ekspor sebesar 90,1 juta ton (75% total produksi). Kemudian pada
tahun 2004 terjadi peningkatan produksi sehingga total produksi batubara Indonesia menjadi
129 juta ton, dengan peningkatan ekspor mencapai 107 juta ton (83% total produksi).
Sungguh ironis bahwa pemerintah tidak mau belajar dari pengalaman, dimana Indonesia yang
dulunya eksportir minyak, sekarang menjadi importir murni sejak tahun 2004. Sangat
disayangkan pula, pemerintah nampaknya menganggap bahwa batubara tidak lebih dari
komoditas ekspor belaka seperti halnya minyak dulu.

Daftar Pustaka
http://imambudiraharjo.wordpress.com/2009/03/06/gasifikasi-batubara/
http://majalahenergi.com/forum/energi-baru-dan-terbarukan/bentuk-energi-baru/tf-2106konversi-energi-gasifikasi-batu-bara
http://majarimagazine.com/2008/06/gasifikasi-batubara-dengan-unggun-terfluidakan/
http://www.scribd.com/doc/23131974/GASIFIKASI
http://majarimagazine.com/2007/12/teknologi-gasifikasi-batubara/
http://www.google.co.id/imgres?
q=aplikasi+gasifikasi+batubara&hl=id&biw=1366&bih=677&tbm=isch&tbnid=P36_aLTjnO

apEM:&imgrefurl=http://energybiomasa.blogspot.com/&docid=KKg2Arg_z1BoxM&imgurl
=http://1.bp.blogspot.com/_vCjGoiXeg68/Seh_FVMFsSI/AAAAAAAAA0/G5UGlAdubIw/s400/S3010003.JPG&w=400&h=395&ei=-C4DT_u0I4rxrQfPPGVDA&zoom=1

MAKALAH
PEMANFAATAN BATUBARA
GASIFIKASI BATUBARA

DISUSUN OLEH :
1 . Hasni Kesuma Ratih

(061230400321)

2. Lian Elvani

(061330400320)

3. Lindra Ayu Puspadewi

(061330400321)

4. Mega Shinthia

(061330400322)

5. Miranda Aristy

(061330400323)

6. Nyayu Halimah. T

(061330400329)

7. Muhammad Firmansyah (061330400325)


8. Siti Rahmayanti

(061330400333)

9. Temmy Gusrini

(061330400335)

10. Virta Puspita Sari

(061330400336)

Kelas : 5KB
Dosen Pengajar :
Ir. Irawan Rusnadi, M.T.

POLITEKNIK NEGERI SRIWIJAYA


PALEMBANG
2015

Anda mungkin juga menyukai