Anda di halaman 1dari 24

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1

Latar Belakang
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah

mati) yang terakumulasi disebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi
(biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya
serpihan, luka peluru, atau jarum suntik).1 Proses ini merupakan reaksi
perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke
bagian lain dari tubuh.Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang
pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah
respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel
darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkan aliran darah setempat.1,2
Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul,
oleh sel-sel sehat di sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah
menginfeksi struktur lain di sekitarnya. Meskipun demikian, seringkali proses
enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-sel imun untuk
menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan
bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah.1
Invasi dari ruang pararectal oleh bakteri patogenik dapat mengarah ke
abses anorektal. Umumnya disebabkan oleh defekasi yang memanjang dari celah
anus menjadi ruang pararectal, abses mungkin tampak kecil tetapi sering
mengandung sejumlah besar nanah. Beberapa patogen dapat hadir, termasuk
Escherichia coli, Proteus, streptokokus, dan staphylococci. Faktor lain yang dapat
berkontribusi pada pengembangan suatu abses anorektal termasuk infeksi folikel
rambut, kelenjar sebasea, atau kelenjar keringat dan lecet, celah, atau anal
trauma.Insidensi abses anorektal lebih tinggi pada laki-laki. Terdapat sekitar 740% pada kasus abses anorektal berlanjut menjadi fistel perianal. 3
Prevalensi abses anal dan fistula pada populasi umum mungkin jauh lebih
tinggi dibandingkan yang terlihat dalam praktik klinis karena mayoritas pasien
dengan gejala referable untuk anorektum tersebut tidak mencari perhatian medis.

Insiden fistula anal berkembang dari abses anus berkisar 26-38 persen.
Insiden abses perianal diperkirakan antara 68.000 dan 96.000 kasus per tahun di
Amerika Serikat. Usia rata-rata untuk presentasi abses perianal adalah 40 tahun
(kisaran 20 sampai 60 tahun). Laki-laki dewasa dua kali lebih mungkin untuk
mengembangkan abses dan /atau fistula dibandingkan dengan wanita. Insiden dan
epidemiologi abses perianal dipelajari antara penduduk Kota Helsinki selama
periode 10 tahun, 1969-1978. Kejadian rata-rata per 100.000 penduduk adalah
12,3% untuk pria dan 5,6% untuk perempuan.2
Adalah hal yang sangat penting untuk diperhatikan bahwa penanganan hanya
dengan menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan
tindakan yang efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotik sering tidak mampu
masuk ke dalam abses, selain bahwa antibiotik tersebut seringkali tidak dapat
bekerja dalam pH yang rendah. Drainase abses dengan menggunakan pembedahan
biasanya diindikasikan apabila abses telah berkembang dari peradangan serosa
yang keras menjadi tahap nanah yang lebih lunak.3
2

Rumusan Masalah
Laporan kasus ini membahas definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi,

patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan,


dan komplikasi dari abses perianal.
3

Tujuan Penulisan
1

Meningkatkan kemampuan dalam penulisan ilmiah di bidang kedokteran.

Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi


Dokter (P3D) di Departemen Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

Memahami definisi, etiologi, epidemiologi, anatomi, patofisiologi,


manifestasi klinis, diagnosis, penatalaksanaan, teknik pembedahan, dan
komplikasi abses perianal.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.

Anatomi Saluran Cerna Bawah


Saluran pencernaan (traktus digestivus) pada dasarnya dalah suatu saluran

(tabung) dengan panjang sekitar 30 kaki (9 m) yang berjalan melalui bagian


tengah tubuh dari mulut ke anus. Saluran cerna terbagi menjadi saluran cerna atas
dan bawah yang dipisahkan oleh ligamentum treitz yang merupakan bagian
duodenum pars ascending yang berbatasan dengan jejunum. Oleh sebab itu, pada
bagian ini akan dibahas usus halus, usus besar, rektum, dan anus sebagai bagian
saluran pencernaan bawah.4
Intestinum Tenue dan Intestinum Crassum merupakan bagian saluran
pencernaan makanan (traktus digestivus). Setelah melewati pilorus disebut
Intestinum Tenue atau usus halus. Usus halus adalah tabung yang kira-kira sekitar
dua setengah meter panjangnya dalam keadaan hidup. Angka yang biasa
diberikan, enam meter adalah penemuan setelah mati bila otot telah kehilangan
tonusnya. Usus halus memanjang dari lambung sampai katup ilio-kolika, tempat
bersambungnya dengan usus besar.4
Usus halus terletak di daerah umbilikus dan dikelilingi oleh usus besar dan
dibagi dalam beberapa bagian yaitu duodenum, jejunum, dan ileum. Karena tidak
mempunyai mesenterium maka duodenum disebut juga Intestinum Tenue non
Mesenteriale dan jejunum serta ileum yang

mempunyai

mesenterium

disebut

Intestinum Tenue Mesenteriale.4


2.1.1

Anatomi Anorektal
Rektum memiliki 3 buah valvula : superior kiri, medial kanan dan inferior

kiri. 2/3 bagian distal rektum terletak di rongga pelvik dan terfiksir, sedangkan 1/3
bagian proksimal terletak dirongga abdomen dan relatif mobile. Kedua bagian ini
dipisahkan oleh peritoneum reflektum dimana bagian anterior lebih panjang
dibanding bagian posterior.5,6 (Gambar 1)

Saluran anal (anal canal) adalah bagian terakhir dari usus, berfungsi
sebagai pintu masuk ke bagian usus yang lebih proksimal; dus, dikelilingi oleh
spinkter ani (eksternal dan internal) serta otot-otot yang mengatur pasase isi
rektum kedunia luar. Spinkter ani eksterna terdiri dari 3 sling : atas, medial dan
depan .5,6 (Gambar 2 )

Gambar 2.1. Diagram rektum dan saluran anal

Gambar 2.2. Spinkter ani external laki-laki


Pendarahan rektum berasal dari arteri hemorrhoidalis superior dan
medialis (a.hemorrhoidalis medialis biasanya tidak ada pada wanita, diganti oleh
a.uterina) yang merupakan cabang dari a.mesenterika inferior. Sedangkan arteri
hemorrhoidalis inferior adalah cabang dari a.pudendalis interna, berasal dari
a.iliaka interna, mendarahi rektum bagian distal dan daerah anus. 6,7 Persyarafan
motorik spinkter ani interna berasal dari serabut syaraf simpatis (n.hypogastrikus)
yang menyebabkan kontraksi usus dan serabut syaraf parasimpatis (n.splanknikus)
yang menyebabkan relaksasi usus. Kedua jenis serabut syaraf ini membentuk
pleksus rektalis. Sedangkan muskulus levator ani dipersyarafi oleh n.sakralis 3
dan 4. Nervus pudendalis mensyarafi spinkter ani eksterna dan m.puborektalis.
Syaraf simpatis tidak mempengaruhi otot rektum. Defekasi sepenuhnya dikontrol
oleh n.splanknikus (parasimpatis). Walhasil, kontinensia sepenuhnya dipengaruhi
oleh n.pudendalis dan n.splanknikus pelvik.7

2.2

Definisi Abses Perianal


Abses perianal adalah infeksi yang terdapat di jaringan lunak sekitar

saluran anal, yang membentuk rongga abses. Lebar dan dalamnya dari abses
bervariasi, dan rongga abses ini sering membentuk suatu saluran fistel. Sehingga
sering abses perianal disertai adanya fistel perianal.8

2.3

Etiologi Abses Perianal


Abses dan fistula perianal merupakan gangguan anorektal yang timbul

didomanasi dari obstruksi kriptus anal. Infeksi dari hasil sekresi kelenjar
selanjutnya akan statis di nanah dan terjadilah proses pembentukan abses dalam
kelenjar anal. Biasanya abses terbentuk awalnya dalam ruang intersfingter dan
kemudian menyebar di sepanjang ruang potensial yang berdekatan.9
Baik bakteri aerob maupun anaerob mempunyai peluang yang sama besar
dalam pembentukan abses. Bakteri anaerob yang biasa terlibat antara lain
Bacteroides

fragilis,

Peptostreptococcus,

Prevotella,

Fusobacterium,

Porphyromonas, dan Clostridium. Sedangkan bakteri aerob yang biasa terlibat


adalah Staphylococcus aureus, Streptococcus, dan Eischeria coli.9

2.4

Patogenesis Abses Perianal


Kebanyakan abses perianal berasal dari kelenjar anal yang terinfeksi.

Kelenjar ini terdapat pada kripta anal yang berada setentang dengan linea dentata.
Setiap manusia memiliki di antara 6-8 kelenjar ini, yang membentang dari
sphincter internal sampai ke saluran intersphincter. Penyumbatan pada kelenjar ini
mengakibatkan terjadinya stasis, perkembangbiakan bakteri dan akhirnya
mengakibatkan terbentuknya abses yang berada pada saluran interspinchter.10
Abses yang terbentuk memiliki beberapa akses penyebaran yang terdapat
di beberapa tempat. Akses yang paling sering yaitu menurun dan meluas pada
anoderm yang akan menjadi abses perianal nantinya atau melewati spinchter

eksterna masuk ke fossa ischiorectal dan menjadi abses fossa ischiorectal. Akses
yang kurang sering menjadi rute penyebaran yaitu penyebaran ke atas menuju
saluran intersphincter ke rongga supralevator atau ke submucosa. Ketika abses
didrainase, baik secara surgikal atau secara spontan, foci septik yang menetap dan
epitelisasi saluran drainase dapat terjadi dan mengakibatkan terjadinya fistula-inano yang menetap.

Gambar 2.3. Klasifikasi abses anorectal 9


Bakteri aerob dan anaerob menjadi penyebab utama terbentuknya abses.
Bakteri anaerob yang paling sering yaitu Bacteroides fragilis, Peptostreptococcus,
Prevotella, Fusobacterium, Porphyromonas, dan Clostridium. Sedangkan bakteri
aerob

yang

paling

sering

yaitu

Staphylococcus

aureus,

Streptococcus

dan Escherichia coli.12 Studi terbaru telah mencatat adanya Community-acquired


Methicillin-resistant S aureus (MRSA) sebagai patogen utama terbentuknya
abses.13
Kira-kira 10% dari abses anorektal disebabkan oleh penyebab lain selain
infeksi kelenjar anal, antara lain Crohn disease, trauma, immunodefisiensi akibat
infeksi HIV atau keganasan (baik keganasan hematologi maupun pada kanker
anorektal), tuberculosis, hidradenitis supurativa, infeksi menular seksual, terapi
radiasi, benda asing, perforasi diverticular, Inflammatory Bowel Disease atau
apendisitis (penyebab yang jarang pada abses supralevator).10

2.5

Gejala Klinis9

Awalnya, pasien bisa merasakan nyeri yang tumpul, berdenyut yang


memburuk sesaat sebelum defekasi yang membaik setelah defekasi tetapi pasien
tetap tidak merasa nyaman. Rasa nyeri diperburuk oleh pergerakan dan
pada

saat menduduk. Abses dapat terjadi pada berbagai ruang di dalam dan

sekitar rektum. Seringkali mengandung sejumlah pus berbau menyengat dan


nyeri. Apabila abses terletak superficial, maka akan tampak bengkak, kemerahan,
dan nyeri tekan. Nyeri memburuk dengan mengedan, batuk atau bersin, terutama
pada abses intersfingter. Dengan perjalanan abses, nyeri dapat mengganggu
aktivitas seperti berjalan atau duduk.
Abses yang terletak lebih dalam memgakibatkan gejala toksik dan bahkan
nyeri abdomen bawah, serta deman. Sebagian besar abses rectal akan
mengakibatkan fistula. Abses di bawah kulit bias membengkak, merah, lembut
dan sangat nyeri. Abses yang terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja tidak
menyebabkan gejala, namun bisa menyebabkan demam dan nyeri di perut bagian
bawah.
2.6

Diagnosa dan Pemeriksaan Penunjang

2.6.1 Diagnosa9,10
Pemeriksaan colok dubur dibawah anestesi dapat membantu dalam kasuskasus tertentu, karena ketidaknyamanan pasien yang signifikan dapat menghalangi
penilaian terhadap pemeriksaan fisik yang menyeluruh. Contohnya, evaluasi
terhadap abses ischiorektal yang optimal dapat dilakukan dengan hanya
menggunakan pemeriksaan colok dubur. Dengan adanya obat anestesi, fistula
dapat disuntikkan larutan peroksida untuk memfasilitasi visualisasi pembukaan
fistula internal. Bukti menunjukkan bahwa penggunaan visualisasi endoskopik
(transrektal dan transanal) adalah cara terbaik untuk mengevaluasi kasus yang
kompleks abses perianal dan fistula.
Dengan teknik endoskopik, tingkat dan konfigurasi dari abses dan fistula
dapat jelas divisualisasikan. Visualisasi endoskopi telah dilaporkan sama
efektifnya seperti fistulografi. Jika ditangani dengan dokter yang berpengalaman,

evaluasi secara endoskopik adalah prosedur diagnostik pilihan pada pasien dengan
kelainan perirektal karena rendahnya risiko infeksi serta kenyamanan pasien tidak
terganggu. Evaluasi secara endoskopik setelah pembedahan efektif untuk
memeriksa respon pasien terhadap terapi.
2.6.2

Pemeriksaan Laboratorium9
Belum ada pemeriksaan laboratorium khusus yang dapat dilakukan

untuk mengevaluasi pasien dengan abses perianal atau anorektal, kecuali


pada

pasien tertentu, seperti individu dengan diabetes dan

pasien dengan

imunitas tubuh yang rendah karena memiliki risiko tinggi terhadap terjadinya
sepsis bakteremia

yang dapat disebabkan dari abses anorektal. Dalam kasus

tersebut, evaluasi laboratorium lengkap adalah penting


2.6.3

Pemeriksaan Radiologi9
Pemeriksaan radiologi jarang diperlukan pada evaluasi pasien dengan

absesperianal, namun pada pasien dengan gejala klinis abses intersfingter atau
supralevatormungkin memerlukan pemeriksaan konfirmasi dengan CT scan,
MRI, atauultrasonografi dubur. Namun pemeriksaan radiologi adalah modalitas
terakhir yangharus dilakukan karena terbatasnya kegunaannya. USG juga dapat
digunakan secaraintraoperatif untuk membantu mengidentifikasi abses atau fistula
dengan lokasi yangsulit.
2.7
I.

Penatalaksanaan Abses Perianal


Medikamentosa
Perlunya menggunakan antibiotik secara rutin pada pasien dengan abses

perianal dan abses-abses anorektal lainnya belum sepenuhnya dipastikan, sebab


tidak menunjukkan adanya perbaikan dalam durasi penyembuhan ataupun tingkat
rekurensinya. 9
Maka dari itu, bagi sebagian besar pasien, terapi medis adjuvant dengan
antibiotik dianggap tidak perlu. Namun bagaimanapun juga, penggunaan
bersamaan antibiotik dapat dibenarkan pada pasien dengan kondisi seperti berikut:

10

-Respon inflamasi sistemik atau sepsis


-Selulitis luas
-Diabetes
-Imunosupresi
-Kelainan katup jantung atau prostesis
Predisposisi atau faktor-faktor komorbid pada pasien dapat dijadikan
panduan dalam memilih
peningkatan

prevalensi

antibiotik empiris. Jika antibiotik dianggap perlu,


methicillin-resistant

Staphylococcus

aureus

harus

diperhitungkan; menurut sebuah studi tahun 2009, baik vankomisin maupun


trimetoprim-sulfametoksazol menyediakan cakupan yang sangat baik.9
II.

Intervensi Bedah
Abses perianal harus ditangani secara tepat waktu dengan insisi dan

drainase. Drainase harus dilakukan sedekat mungkin dengan anus

untuk

memperpendek durasi kemungkinan terbentuknya saluran fistula kemudian.


Selain drainase yang adekuat, harus diupayakan untuk mencegah rekurensi akut
terjadinya abses dengan eksisi kulit di atasnya, ataupun memasukkan kateter
untuk drainase. 9
A. Persiapan
Abses-abses anorektal alaminya terjadi secara akut, sehingga persiapan
usus secara perioperative biasanya tidak memungkinakna dan secara tipikal juga
tidak terlalu diperlukan. Status imun tetanus harus dipastikan. Bila tidak diketahui
apakah pasien sudah pernah mendapatkan vaksinasi sebelumnya, maka harus
diberikan dengan berpedoman pada panduan risiko luka yang berlaku.
Analgesia yang adekuat sebelum dilakukan aspirasi adalah wajib.
Lidokain 2% dengan epinefrin disuntikkan secara subkutan di atas dan di sekitar
pinggiran abses dan

pemberian narkotik secara intramuskular (IM) maupun

intravaskular (IV) juga direkomendasikan. Etilena klorida semprot diterapkan ke


daerah yang dicurigai segera sebelum aspirasi. Tindakan ini juga dapat membantu
mengurangi ketidaknyamanan pasien saat dilakukan aspirasi. Efek dingin dari
etilena klorida menjadikan reseptor rasa sakit untuk sementara tidak dapat
mengirimkan sinyal rasa sakit ke korteks serebral.9

11

B. Manajemen Abses
Penanganan abses perianal melibatkan drainase bedah secara dini untuk
mengeringkan kumpulan purulen. Terapi menggunakan antibiotik primer secara
tunggal bersifat tidak efektif dalam menyelesaikan infeksi yang mendasari dan
hanya menunda intervensi bedah saja. Keterlambatan dalam intervensi bedah akan
memperpanjang infeksi dan menambah kerusakan jaringan, dan dapat
mengganggu fungsi kontinensia sfingter dan menyebabkan striktur atau
pembentukan fistula. Kemampuan untuk mendrainase abses perianal bergantung
pada bagaimana kenyamanan pasien untuk dilakukan tindakan dan juga pada
lokasi serta aksesibilitas abses.9,10
Pada abses perianal, letak abses termasuk superfisial dan drainase biasanya
dapat dilakukan pada ruangan klinik biasa ataupun IGD sederhana dengan
menggunakan anestesi lokal. Sebuah sayatan kecil dibuat di area abses yang
dijumpai fluktuasi; untuk mempersempit kemungkinan dari setiap fistula yang
dapat terbentuk, sayatan harus dibuat sedekat mungkin dengan anus dan dilakukan
dengan sangat hati-hati. Nanah dikumpulkan dan dilakukan pemeriksaan kultur.
Hemostasis dipertahankan dengan tekanan manual, dan luka dibalut dengan kassa
iodofor. 9,10
Setelah 24 jam, kassa kemudian dibuka, dan pasien diminta untuk mandi
air hangat dengan antiseptik (Sitz Bath) 3 kali sehari dan setelah buang air besar.
Analgesik pasca operasi dan pencahar diresepkan untuk mengurangi rasa sakit dan
mencegah terjadinya sembelit. Biasanya, pasien harus tetap berobat jalan dengan
dokter dalam 2-3 minggu untuk evaluasi luka dan inspeksi untuk kemungkinan
terbentuknya fistula-in-ano.10

2.8

Komplikasi Abses Perianal


Ketika

infeksi

dari

ruang

perianal

mencapai

akses

ke

ruang

intersphincteric, maka selanjutnya infeksi akan mudah berjalan menuju ke ruang


perirectal yang berdekatan. Perpanjangan infeksi dapat melibatkan ruang
intersphincteric, ruang iskiorektalis, atau bahkan ruang supralevator. Dalam

12

beberapa kasus, abses tetap terkandung dalam ruang intersphincteric. Tingkat


keparahan dan kedalaman abses yang cukup variabel, dan rongga abses sering
dikaitkan dengan pembentukan fistula-in-ano.9
Fistula anorektal terjadi pada 30-60% pasien dengan abses anorektal.
Fistula Anorectalmuncul sebagai akibat obstruksi dari kripta anal dan atau
kelenjar anal, yang teridentifikasi dengan adanya drainase dari kanal anal atau dari
kulit disekitar perianal. Penyebab lainnya dari fistula perianal merupakan multi
faktor, termasuk penyakit divertikular, imflammatory bowel disease, keganasan
dan infeksi yang kompleks, seperti tuberkulosis dan actinomikosis.13
Fistula-in-ano menandakan suatu fase kronis dari sepsis anorektal dan
ditandai dengan drainase purulen yang kronis atau nyeri siklik yang berkaitan
dengan reakumulasi abses diikuti dengan dekompresi spontan intermiten. Ini
adalah histori alami pada hampir 50% kasus abses perianal dan merupakan hasil
dari suatu sepsis anal yang persisten dan/atau saluran yang terepitelialisasi.13
Pembagian dari fitula-in-ani bergantung kepada lokasinya terkait dengan
otot-otot sphinter (Klasifikasi Parks), yaitu : intersphincteric, transsphincteric,
suprasphincteric, or extrasphincteric.9
Klasifikasi Parks mendefinisi 4 tipe fistula anorektal mayor sesuai dnegan
tingkatkekerapannya:

intersphincteric

(70%),

transsphincteric

(23%),

extrasphincteric (5%), dansuprasphincteric (2%). Fistula intersphincteric fistula


ditemukan antara sfingter internal daneksternal. Fistula transsphincteric fistula
berjalan melalui sfingter eksternal menuju ke fossaischiorectal. Fistula
extrasphincteric berjalan dari rektum menuju ke kulit melalui levator ani.Ynag
terakhir, fistula suprasphincterik berjalan dari intersphincteric plane ke
muskulus puborektalis, keluar ke kulit setelah menyeberangi levator ani.13

BAB 3

13

LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Hilton Hutapea
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Umur
: 1 tahun 0 bulan 27 hari
No. Rekam Medik
: 00.68.51.78
Ruangan
: RB2A
Tanggal masuk
: 30 Agustus 2016
ANAMNESIS
Keluhan utama

: Benjolan pada kemaluan

Telaah :
Hal ini dialami pasien sejak 2 minggu setelah lahir. sudah dialami oleh
pasien selama 7 bulan ini. Awalnya pasien merasakan adanya benjolan yang
bersifat nyeri dan panas di daerah anus, benjolan kemudian pecah dan
mengeluarkan cairan berwarna kuning kecokelatan dengan konsistensi kental dan
berbau. Pasien juga mengatakan setelah benjolan kempis, muncul lagi benjolan
yang baru pada tempat yang lain di daerah anus. Demam (+) dialami pasien setiap
muncul benjolan dan menghilang bila benjolan pecah dan kempis. Hal ini sudah
berulang kali terjadi hingga 5 kali dalam 7 bulan ini. Pasien mengaku belum
pernah berobat sebelumnya untuk keluhan ini.
Pasien juga mengeluhkan BAB konsistensi cair, bercampur lendir dan
darah sebanyak 4x/hari sejak 9 bulan yang lalu. Penurunan berat badan (+)
sebanyak 20 kg dalam 1 tahun ini. Riwayat menjalani pengobatan alternatif
dengan rebusan daun-daunan (+) selama 3 bulan namun keluhan dirasakan tidak
berkurang
Pasien sudah pernah dilakukan pemeriksaan kolonoskopi 1 tahun yang lalu di RS
luar dan oleh dokter di sana, pasien disangkakan mengalami keganasan pada
rektum.
RPT : Tumor Rektum

14

RPO : Pengobatan alternatif


STATUS PRESENS
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan Darah: 100/60 mmHg
Pulse: 104 kali / menit
RR: 22 kali / menit
Temperature : 37,70C
STATUS GENERALISATA
Kepala
:
Mata: Konjungtiva palpebra inferior pucat (+/+), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor ( 3mm), refleks cahaya (+/+)
Telinga: Tidak ditemukan kelainan
Hidung: Dalam batas normal
Mulut: Maloklusi gigi (-), unstable mandibula (-)
Leher
: Tidak ditemukan kelainan
Thoraks:
Inspeksi
: Simetris fusiformis
Palpasi
: Stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: Sonor
Auskultasi
: SP : vesikuler , ST : (-)
Abdomen:
Inspeksi
: Simetris,distensi ( - )
Auskultasi
: Peristaltik (+) normal
Perkusi
: Timpani
Palpasi
: Soepel, H/L/R tidak teraba
Genitalia :
Inspeksi
: Pembesaran asimetris pada skrotum kiri
Palpasi
: Konsistensi lunak, benjolan tidak dapat direposisi
Ekstremitas :
Inferior : edema (-/-), dalam batas normal
Superior : edema (-/-), dalam batas normal
Pulse 96 x/i, regular, t/v cukup, CRT <3 detik, akral hangat
DIRECT RECTAL EXAMINATION (DRE) : tidak dilakukan
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Darah lengkap

: Anemia hipokrom mikrositer,Leukositosis, Trombositosis

Faal hemostasis

: Tidak dilakukan pemeriksaan

DIAGNOSIS KERJA

15

HIL (L) Ireponible


PENATALAKSANAAN
-IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
-Inj paracetamol 100mg/8jam/iv
RENCANA TINDAKAN
-Herniorafi
-Cek lab

FOTO KLINIS PASIEN

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Pemeriksaan Photo Thorax Anak AP Supine (31 Agustus 2016)

16

Kedua sinus costophrenikus lancip, kedua diafragma licin. Tampak perselubungan


di suprahiler kanan. Jantung ukuran normal CTR < 50%. Tulang-tulang dan soft
tissue baik.
Kesimpulan : Suspek pneumonia kanan.
Pemeriksaan Laboratorium tanggal 30 Agustus 2016
PEMERIKSAAN

HASIL

RUJUKAN

Hb

8.4

13-18

Ht

29

39-54

Eritrosit

4,91

4,5-6,5

Leukosit

14,890

4.000-11.000

Trombosit

838,000

150.000-450.000

75

<200

BUN

11

9-21

UREUM

24

19-44

DarahLengkap

Kadar GulaDarah
KGD SEWAKTU
Fungsi Ginjal

17

KREATININ

0,43

0,7-1,3

NATRIUM

138

135-155

KALIUM

4,5

3,6-5,5

KLORIDA

109

96-106

Elektrolit

18

FOLLOW UP PASIEN
Tanggal
31/8/2016

1-09-2016

Benjolan
Sens : Compos Mentis
pada skrotum HD stabil
kiri,deman(+
)
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :
- Tidak ditemukan kelainan
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (-), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN
Benjolan
Sens : Compos Mentis
pada skrotum HD stabil
kiri,deman(+
)
Mata :
- konj. Anemis -/-

A
HIL(L)
Ireponible

HIL(L)
Ireponible

P
Terapi
- IVFD RL
20 gtt/i
- Inj Diazepam
2mg/8jam/iv
-Inj paracetamol
100mg/8jam/iv

Rencana
- cek lab
(darah rutin)
-rencana
herniotomi

- IVFD RL
20 gtt/i
-Inj paracetamol
100mg/8jam/iv

--konsul
anak untuk
toleransi
operasi
- konsul

19

- Sklera ikterik -/Leher :


- Tidak ditemukan kelainan
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (-), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN

anestesi
untuk
tindakan
anestesi

20

BAB V
DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Teori

Kasus
21

Manifestasi Klinis
Awalnya,

merasakan

Pada anamnesis dijumpai adanya

nyeri yang tumpul, berdenyut yang

nyeri pada daerah anus, pasien

memburuk sesaat sebelum defekasi

merasakan adanya benjolan yang

yang membaik setelah defekasi tetapi

bersifat nyeri dan panas di daerah

pasien tetap tidak

anus, benjolan kemudian pecah

Rasa

pasien

merasa

nyeri

pergerakan

bisa

diperburuk
dan

menduduk.

nyaman.

pada

oleh

dan

mengeluarkan

saat

berwarna

kuning

cairan

kecokelatan

Abses dapat terjadi pada

dengan konsistensi kental dan

berbagai ruang di dalam dan sekitar

berbau. Pasien juga mengatakan

rektum.

mengandung

setelah benjolan kempis, muncul lagi

sejumlah pus berbau menyengat dan

benjolan yang baru pada tempat

nyeri.Apabila abses terletak superficial,

yang lain di daerah anus. Demam

maka

bengkak,

(+) dialami pasien setiap muncul

kemerahan, dan nyeri tekan. Nyeri

benjolan dan menghilang bila

memburuk dengan mengedan, batuk

benjolan pecah dan kempis.


Pasien juga mengeluhkan BAB

atau

Seringkali

akan

bersin,

tampak

terutama

pada

abses

konsistensi cair, bercampur lendir

intersfingter. Dengan perjalanan abses,


nyeri

dapat

mengganggu

seperti berjalan atau duduk.


Abses yang terletak lebih
mengakibatkan

gejala

dan darah sebanyak 4x/hari sejak 9

aktivitas
dalam

toksik

dan

bahkan nyeri abdomen bawah, serta


deman. Sebagian besar abses rectal

bulan yang lalu.


Pada pemeriksaan fisik, ditemukan
pada anus benjolan (+) eritematous
di regio perianal dextra, 3cm,
nyeri tekan(+)

akan mengakibatkan fistula. Abses di


bawah kulit bias membengkak, merah,
lembut dan sangat nyeri. Abses yang
terletak lebih tinggi di rektum, bisa saja
tidak menyebabkan gejala, namun bisa
menyebabkan demam dan nyeri di
perut bagian bawah.
Penegakan Diagnosa
Pemeriksaan
dibawah

anestesi

colok
dapat

dubur -

membantu

dubur sulit dinilai karena pasien

dalam kasus- kasus tertentu, karena


ketidaknyamanan

pasien

yang

signifikan dapat menghalangi penilaian


terhadap

pemeriksaan

menyeluruh.

fisik

Contohnya,

yang
evaluasi

Pada pasien, pemeriksaan colok

merasa nyeri.
Pasien direncanakan
dilakukan

kolonoskopi

untuk
dan

biopsi dan CT Scan Whole


Abdomen.

22

23

BAB VI
KESIMPULAN
Seorang laki-laki, ZA, usia 38 tahun, didiagnosa dengan Abses Perianal + Tumor
Rektum dan diberikan penatalaksanaan seperti berikut :
-

Drainase abses
IVFD Ringer Laktat 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam
Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

DAFTAR PUSTAKA

24

1. Sjamsuhidayat R, Wim de Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, Jakarta,


EGC, 2005
2. Schwartz, Shires, Spencer, Intisari Prinsip-prinsip Ilmu Bedah, Edisi 6,
EGC, Jakarta
3. Price, SA dan Wilson, LM, 1995, Patofisiologi : Konsep Klinis ProsesProses Penyakit (terjemahan), Eidisi 4, Volume 1, EGC, Jakarta
4. Lauralee Sherwood. Sistem Pencernaan. Lauralee Sherwood. Fisiologi
Manusia : Dari Sel Ke Sistem. Jakarta: EGC 2001;541.
5. Yamada T. Atlas of gastroenterology. 2nd ed.Tokyo;1999.
6. Shafik A. Surgical anatomy of the anal canal.In: Neto JA,editor. New
trends in coloproctology. Rio de Jainero;Livraria:2000.p.3-18.
7. Wexner SD, Jorge JM. Evaluation of functional studies on anorectal
disease.

In:

New

trends

in

coloproctology.

Rio

de

Jainero;Livraria:2000.p.23-38.
8. Sjamsuhidayat, R. dan de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Ed. 3.
Jakarta: EGC, 2010.
9. Hebdra,
A.
2015.

Anorectal

Abscess.

Didapat

http://emedicine.medscape.com/article/191975-overview#a6

dari:
[Diakses

tanggal 28 Agustus 2016].


10. Whiteford MH. Perianal abscess/fistula disease. Clinics in colon and rectal
surgery. 2007 May;20(02):102-9.
11. Brook I, Frazier EH. The aerobic and anaerobic bacteriology of perirectal
abscesses. J Clin Microbiol. 1997 Nov. 35(11):2974-6.
12. Brown SR, Horton JD, Davis KG. Perirectal abscess infections related to
MRSA: a prevalent and underrecognized pathogen. J Surg Educ. 2009
Sep-Oct. 66(5):264-6.
13. Whiteford, Mark. 2005. Practice Parameterzs for the Treatment of
Perianal Abscess and Fistula-in-Ano. Diseases of the Colon and Rectum.
No 48:1337-1342.

Anda mungkin juga menyukai