Anda di halaman 1dari 41

1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Usus Besar
Usus besar berbentuk tabung muskular berongga dengan panjang sekitar
1,5 m yang terbentang dari sekum hingga kanalis ani. Diameter usus besar lebih
besar daripada usus kecil yaitu sekitar 6,5 cm, namun semakin dekat dengan anus
diameternya pun semakin kecil. Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan
rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada
ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum dan
mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam usus halus.
Kolon terbagi atas kolon asenden, tranversum, desenden, dan sigmoid. Kolon
membentuk kelokan tajam pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut
disebut dengan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai
setinggi krista iliaka dan membentuk lekukan berbentuk-S. Lekukan bagian
bawah membelok ke kiri sewaktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Bagian
utama usus yang terakhir disebut sebagai rektum dan membentang dari kolon
sigmoid hingga anus (muara ke bagian luar tubuh). Satu inci terakhir dari rektum
disebut sebagai kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan
internus. Panjang rektum dan kanalis ani adalah sekitar 15 cm.
Persarafan usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom dengan
perkecualian sfingter eksterna yang berada dibawah kontrol volunter. Serabut
parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum,dan
saraf pelvikus yang berasal dari daerah sacral mensuplai bagian distal. Serabut
simpatis

meninggalkan

medulla

spinalis

melalui

saraf

splangnikus

untuk mencapai kolon. Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan


sekresi

dan

kontraksi,

serta

perangsangan

sfingter

rektum, sedangkan

perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Sistem saraf


otonom intrinsik pada usus terdiri dari 3 pleksus: (1) Pleksus Auerbach yaitu
terletak diantara lapisan otot sirkuler dan longitudinal, (2) Pleksus Henle yaitu

terletak disepanjang batas dalam otot sirkuler, (3) Pleksus Meissner yaitu terletak
di sub-mukosa. Pada penderita penyakit Hirschsprung, tidak dijumpai ganglion
pada ke-3 pleksus tersebut.

Gambar 2.1 Anatomi Usus Besar


2.2. Penyakit Hirschsprung
2.2.1. Definisi
Penyakit Hirschsprung juga disebut dengan aganglionik megakolon
kongenital adalah salah satu penyebab paling umum dari obstruksi usus neonatal
(bayi berumur 0-28 hari). Penyakit Hirschprung dikarakteristikkan sebagai tidak
adanya sel ganglion di pleksus myenterikus (auerbachs) dan submukosa
(meissners). Pada bayi yang lahir dengan penyakit Hirschsprung tidak ditemui
adanya sel ganglion yang berfungsi melakukan gerak peristaltik.6

Gambar 2.2 Dilatasi kolon akibat tidak ditemukannya sel saraf pada bagian akhir
usus Pleksus Myenterik (Auerbach) dan Pleksus Submukosal (Meissner)
2.2.2. Epidemiologi
Penyakit Hirschsprung terjadi pada 1 dari 5.000 kelahiran hidup dan
merupakan penyebab tersering obstruksi saluran cerna bagian bawah pada
neonatus. Penyakit yang lebih sering ditemukan memperlihatkan predominasi
pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 4:1. Insidens
penyakit Hirschsprung bertambah pada kasus-kasus familial yang rata-rata
mencapai sekitar 6% (berkisar antara 2-18%). Rectosigmoid paling sering terkena
sekitar 75% kasus, flexura lienalis atau colon transversum pada 17% kasus.7
Menurut penelitian menangani penyakit Hirschsprung di RS Cipto
Mangunkusumo memperlihatkan proporsi penyakit Hirschprung lebih banyak
ditemukan pada pasien berumur 0-1 bulan yaitu sebesar 29,71% (52 dari 175
orang) sedangkan untuk umur 1 bulan-1 tahun sebesar 22,85% (40 dari 175
orang). Penderita penyakit Hirschsprung sebanyak 131 orang (74,85%) berjenis
kelamin lelaki sedangkan perempuan yang berjumlah 44 orang (25,15%). 8 Hasil
penelitian di RSUP H. Adam Malik pada tahun 2005-2009 tercatat ada 50 orang
anak yang menderita penyakit Hirschsprung. Dari 50 orang sampel tersebut,

distribusi tertinggi pada kelompok usia 0-2 tahun yaitu sebanyak 40 orang (80%).
Ada 36 orang (72%) berjenis kelamin laki-laki dan 14 orang (28%) berjenis
kelamin perempuan yang tercatat menderita penyakit Hirschsprung.9
2.2.3. Etiologi
Penyakit Hirschsprung disebabkan karena kegagalan migrasi sel-sel
saraf parasimpatis myenterik dari kranial ke kaudal. Sehingga sel ganglion selalu
tidak ditemukan dimulai dari anus dan panjangnya bervariasi ke proksimal.7
a

Ketiadaan Sel-sel Ganglion

Ketiadaan sel-sel ganglion pada lapisan submukosa (Meissner) dan pleksus


myenteric (Auerbach) pada usus bagian distal merupakan tanda patologis untuk
penyakit Hirschsprung. Hal ini disebabkan oleh karena kegagalan migrasi dari selsel neural crest vagal servikal dari esofagus ke anus pada minggu ke 5 smpai 12
kehamilan. Teori terbaru mengajukan bahwa neuroblasts mungkin bisa ada namun
gagal unutk berkembang menjadi ganglia dewasa yang berfungsi atau bahwa
mereka mengalami hambatan sewaktu bermigrasi atau mengalami kerusakan
karena elemen-elemen didalam lingkungn mikro dalam dinding usus. Faktorfaktor yang dapat mengganggu migrasi, proliferasi, diferensiasi, dan kolonisasi
dari sel-sel ini mungkin terletak pada genetik, imunologi, vaskular, atau
mekanisme lainnya.7
b

Mutasi Gen

Mutasi pada RET proto-oncogene, yang berlokasi pada kromosom 10q11.2, telah
ditemukan dalam kaitannya dengan penyakit Hirschsprung. Mutasi RET dapat
menyebabkan hilangnya sinyal pada tingkat molekular yang diperlukan dalam
pertubuhan sel dan diferensiasi ganglia enterik. Gen lainnya yang rentan untuk
penyakit Hirschsprung adalah endothelin-B receptor gene (EDNRB) yang
berlokasi pada kromososm 13q22. Sinyal dari gen ini diperlukan untuk
perkembangan dan pematangan sel-sel neural crest yang mempersarafi colon.
Mutasi pada gen ini paling sering ditemukan pada penyakit non-familial dan
short-segment. Endothelian-3 gene baru-baru ini telah diajukan sebagai gen yang
rentan juga. Defek dari mutasi genetik ini adalah mengganggu atau menghambat

pensinyalan yang penting untuk perkembangan normal dari sistem saraf enterik.
Mutasi pada proto-onkogen RET adalah diwariskan dengan pola dominan
autosom dengan 50-70% penetrasi dan ditemukan dalam sekitar 50% kasus
familial dan hanya 15-20% pada kasus sporadis. Mutasi pada gen EDNRB
diwariskan dengan pola pseudodominan dan ditemukan hanya 5% pada kasus familial,
biasanya pada kasus sporadis.7
c

Kelainan dalam Lingkungan

Kelainan dalam lingkungan mikro pada dinding usus dapat mencegah migrasi selsel neural crest normal ataupun diferensiasinya. Suatu peningkatan bermakna dari
antigen major histocompatibility complex (MHC) kelas 2 telah terbukti terdapat
pada segmen aganglionik dari usus pasien dengan penyakit Hirschsprung, namun
tidak ditemukan pada usus dengan ganglionik normal pada kontrol, menunjukkan
suatu mekanisme autoimun pada penyakit ini.7
d

Matriks Protein Ekstraseluler

Matriks protein ekstraseluler adalah hal penting dalam perlekatan sel dan
pergerakan dalam perkembangan tahap awal. Kadar glycoproteins laminin dan
kolagen tipe IV yang tinggi dalam matriks telah ditemukan dalam segmen usus
aganglionik. Perubahan dalam lingkungan mikro ini di dalam usus dapat
mencegah migrasi sel-sel normal neural crest dan memiliki peranan dalam etiologi
penyakit Hirschsprung.7
2.2.4. Faktor Risiko
Faktor risiko penyakit Hirschprung meliputi:10
a) Riwayat Keluarga
Risiko tertinggi terjadinya penyakit Hirschprung biasanya pada pasien yang
mempunyai

riwayat

keluarga

dengan

penyakit

Hirschprung.

Penyakit

hirschsprung lebih sering terjadi diturunkan oleh ibu aganglionosis dibanding oleh
ayah.
b) Riwayat Sindrom Down
Sekitar 12% dari kasus penyakit Hirschsprung terjadi sebagai bagian dari sindrom
yang disebabkan oleh kelainan kromosom. Kelainan kromosom yang paling

umum beresiko menyebabkan terjadinya penyakit Hirshsprung adalah Sindrom


Down. 2-10% dari individu dengan penyakit Hirschsprung merupakan penderita
sindrom Down.
c) Umur Ibu
Umur ibu yang semakin tua (> 35 tahun) dalam waktu hamil dapat meningkatkan
risiko terjadinya kelainan kongenital pada bayinya. Bayi dengan sindrom Down
lebih sering ditemukan pada bayi-bayi yang dilahirkan oleh ibu yang mendekati
masa menopause.
d

Ras/Etnis
Di Indonesia, beberapa suku ada yang memperbolehkan perkawinan kerabat dekat
(sedarah) seperti suku Batak Toba (pariban) dan Batak Karo (impal). Perkawinan
pariban dapat disebut sebagai perkawinan hubungan darah atau incest.
Perkawinan incest membawa akibat pada kesehatan fisik yang sangat berat dan
memperbesar kemungkinan anak lahir dengan kelainan kongenital.
2.2.5. Tipe Hirschsprung
Hirschsprung dikategorikan berdasarkan seberapa banyak kolon yang
terkena.Tipe Hirschsprung meliputi:11

Ultra short segment: Ganglion tidak ada pada bagian yang sangat kecildari
rektum.

Short segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian kecil dari
kolon.

Long segment: Ganglion tidak ada pada rektum dan sebagian besar kolon.

Very long segment: Ganglion tidak ada pada seluruh kolon, rektum dan
kadang sebagian usus kecil.

Gambar 2.3 Tipe Hirschprung


2.2.6. Patogenesis
Kelainan pada penyakit ini berhubungan dengan spasme pada kolon distal
dan spfingter anus interna sehingga terjadi obstruksi. Sehingga pada bagian
abnormal akan mengalami kontraksi di segmen bagian distal, sedangkan bagian
yang normal akan mengalami dilatasi di bagian proksimalnya.12 Dasar patofisologi
penyakit Hirschcprungs adalah tidak adanya gelombang propulsif dan
abnormalitas atau hilangnya relakasasi dari sfingter anus internus yang
disebabkan aganglionosis, hipoganglionosis, atau disganglionosis pada usus yang
terkena.8,13
Tidak terdapatnya ganglion pada kolon menyebabkan peristaltik usus
menghilang sehingga feses dalam lumen kolon terhambat yang menimbulkan
terjadinya distensi dan penebalan dinding kolon di bagian proksimal daerah
aganglionik sebagai akibat usaha melewati daerah obstruksi di bawahnya.
Keadaan ini akan menimbulkan gejala obstruksi usus akut atau kronis yang
tergantung panjang usus yang mengalami aganglionik. Obstruksi kronis

menimbulkan distensi usus sehingga dinding usus mengalami iskemia yang


disertai iritasi feses dan menyebabkan invasi bakteri. Pada tahap selanjutnya
terjadi nekrosis, ulkus mukosa kolon, pneumomatosis, sampai perforasi kolon.
Keadaan ini menimbulkan gejala enterokolitis dari ringan sampai berat. Bahkan
terjadi sepsis, dan kehilangan cairan tubuh yang berlebihan.13,14
2.2.7. Penegakkan Diagnosa
2.2.7.1. Gambaran Klinis
Gambaran klinis penyakit Hirschsprung dapat kita bedakan berdasarkan
usia gejala klinis mulai terlihat:8
(i). Periode Neonatal
Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai, yakni pengeluaran mekonium yang
terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen. Pengeluaran mekonium yang
terlambat (lebih dari 24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang signifikans.
Muntah hijau dan distensi abdomen biasanya dapat berkurang manakala
mekonium dapat dikeluarkan segera. Sedangkan enterokolitis merupakan
ancaman komplikasi yang serius bagi penderita penyakit Hirschsprung ini, yang
dapat menyerang pada usia kapan saja, namun paling tinggi saat usia 2-4 minggu,
meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1 minggu. Gejalanya berupa diare,
distensi abdomen, feces berbau busuk dan disertai demam.
(ii). Anak
Pada anak yang lebih besar, gejala klinis yang menonjol adalah konstipasi kronis
dan gizi buruk (failure to thrive). Dapat pula terlihat gerakan peristaltik usus di
dinding abdomen. Jika dilakukan pemeriksaan colok dubur, maka feces biasanya
keluar menyemprot, konsistensi semi-liquid dan berbau tidak sedap. Penderita
biasanya buang air besar tidak teratur, sekali dalam beberapa hari dan biasanya
sulit untuk defekasi.

2.2.7.2. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan manometri rektum dan biopsi rektum (rectal suction
biopsy) adalah indikator yang paling mudah dan paling dapat diandalkan untuk
menegakkan diagnosis penyakit Hirschsprung. Anorektal manometri mengukur
tekanan sfingter anal internal sementara balon didistensikan di dalam rektum.
Pada orang normal, distensi rektum memicu penurunan refleks tekanan sfingter
internal. Pada pasien dengan penyakit Hirschsprung, pemeriksaan Manometri
pada anus (balloon distention of the rectum) menunjukkan tidak adanya relaksasi
sfingter anal internal pada rectum yg distensi. Keakuratan tes diagnostik ini lebih
dari 90%, tetapi secara teknis sulit pada bayi muda.15,16
Pemeriksaan pencitraan (imaging) dapat membantu mendiagnosis
penyakit Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos abdomen dapat menunjukkan
dilatasi usus halus atau kolon proksimal. Radiografi enema dengan kontras pada
usus besar umumnya normal untuk tiga bulan pertama kehidupan. Setelah proses
dilatasi dimulai, bagian aganglionik pada usus besar akan tampak normal dan
kolon yg lebih proksimal akan melebar. Adanya "zona transisi" (titik di mana usus
normal menjadi aganglionik) dapat terlihat pada radiografi kontras enema.
Pemeriksaan barium enema berguna dalam menentukan sejauh mana segmen
aganglionosis sebelum operasi dilakukan dan dapat mengevaluasi penyakit lain.
Enema kontras harus dihindari pada pasien dengan enterokolitis karena risiko
perforasi. Pemeriksaan radiografi enema dengan kontras dan manometri anal
memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang sama.16

10

Gambar 1. Radigrafi Abdomen menunjukkan tanda dilatasi usus halus dengan


tidak adanya gas pada rectum17

Gambar 2. Barium enema menunjukkan penurunan caliber rectum dan dilatasi


usus besar dengan kontur mukosa irregular (diskinesia)17
Diagnosis pasti penyakit Hirschsprung adalah dengan biopsi rektal, yang
menunjukkan tidak adanya sel ganglion dan adanya hipertrofi trunkus saraf.
Daerah biopsi setidaknya harus 0,6 inci ( 1,5 cm ) di atas linea dentatus (dentate
line) karena rektum bagian distal biasanya tidak memiliki sel- sel ganglion
(hipoganglionosis). Bahan biopsi harus berisi sampel yang memadai dari
submukosa untuk mengevaluasi keberadaan sel ganglion. Spesimen biopsi dapat
diwarnai dengan acetylcholinesterase, yang dapat mempermudah interpretasi.

11

Pasien dengan aganglionosis menunjukkan sejumlah besar berkas saraf hipertrofi


yang positif terhadap acetylcholinesterase dengan tidak adanya sel ganglion.
Biopsi rektal dapat dilakukan pada saat operasi untuk mengkonfirmasi diagnosis
dan sampai sejauh mana daerah aganglionik yang terlibat.15,16
2.2.8. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari penyakit hirschsprung didasarkan pada beberapa
penyakit yang mempunyai gejala obstruksi letak rendah yang mirip penyakit
hirschsprung. Pada neonatal gejala yang mirip dengan penyakit hirschsprung
dapat

berupa meconium

plug

syndrome,

stenosis

anus,

prematuritas,

enterokolitis nekrotikans, dan fisura ani. Sedangkan pada anak-anak yang lebih
besar diagnosis bandingnya dapat berupa konstipasi oleh karena beberapa
sebab, stenosis anus, tumor anorektum, dan fisura anus.18,19
2.2.9. Penatalaksanaan
2.2.9.1. Pengobatan
Pengobatan penyakit Hirschsprung terdiri atas pengobatan non bedah dan
pengobatan bedah. Pengobatan non bedah dimaksudkan untuk mengobati
komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi atau untuk memperbaiki keadaan
umum penderita sampai pada saat operasi definitif dapat dikerjakan. Pengobatan
non bedah diarahkan pada stabilisasi cairan, elektrolit, asam basa dan mencegah
terjadinya overdistensi sehingga akan menghindari terjadinya perforasi usus serta
mencegah terjadinya sepsis. Tindakan-tindakan nonbedah yang dapat dikerjakan
adalah pemasangan infus, pemasangan pipa nasogastrik, pemasangan pipa rektum,
pemberian antibiotik, lavase kolon dengan irigasi cairan, koreksi elektrolit serta
penjagaan nutrisi.8
2.2.9.2. Tindakan Pembedahan
Tindakan bedah pada penyakit Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah
sementara dan tindakan bedah definitif. Tindakan bedah sementara dimaksudkan
untuk dekompresi abdomen dengan cara membuat kolostomi pada kolon yang
mempunyai ganglion normal bagian distal. Tindakan ini dapat mencegah

12

terjadinya enterokolitis yang diketahui sebagai penyebab utama terjadinya


kematian pada penderita penyakit Hirschsprung.20
Tindakan bedah definitif yang dilakukan pada penyakit Hirschsprung
antara lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel, bedah Laparoskopik, dll.20
a. Prosedur Swenson
Swenson memperkenalkan prosedur rektosigmoidektomi dengan preservasi
sfingter anal. Anastomosis dilakukan langsung di luar rongga peritoneal.
Pembedahan ini disebut sebagai prosedur rektosigmoidektomi dilanjutkan dengan
pull-through abdomino-perineal. Puntung rektum ditinggalkan 2-3 cm dari garis
mukokutan. Pada masa pascabedah ditemukan beberapa komplikasi seperti
kebocoran anastomosis, stenosis, inkontinensi, enterokolitis dan lain-lain.
Teknik pembedahan prosedur Swenson yaitu reseksi kolon aganglion dimulai
dengan pemotongan arteri dan vena sigmoidalis dan hemoroidalis superior.
Segmen sigmoid dibebaskan beberapa sentimeter dari dasar peritoneum sampai 12 cm proksimal kolostomi. Puntung rektosigmoid dibebaskan dari jaringan
sekitarnya di dalam rongga pelvis untuk dapat diprolapskan melalui anus.
Pembebasan kolon proksimal dilakukan untuk memungkinkan kolon tersebut
dapat

ditarik

ke

perineum

melalui

anus

tanpa

tegangan.

Puntung rektum diprolapskan dengan tarikan klem yang dipasang di dalam lumen.
Pemotongan rektum dilakukan 2 cm proksimal dari garis mukokutan, bagian
posterior dan bagian anterior sama tinggi (Prosedur Swenson I). Atau pemotongan
dilakukan dengan arah miring, 2 cm di bagian anterior dan 0,5 cm di bagian
posterior (prosedur Swenson II). Selanjut-nya, kolon proksimal ditarik ke
perineum melalui puntung rektum yang telah terbuka. Anastomosis dilakukan
dengan jahitan dua lapis dengan menggunakan benang sutera atau benang vicryl.
Setelah anastomosis kolorektal selesai dilaku-kan, kemudian rektum dimasukkan
kembali ke rongga pelvis. Reperitonealisasi dilakukan dengan perhatian pada
vaskularisasi kolon agar tidak terjahit. Penutupan dinding abdomen dilakukan

13

setelah pencucian rongga peritoneum. Kateter dan pipa rektal kecil dipertahankan
untuk 2 - 3 hari.21
b. Prosedur Duhamel
Pada tahun 1956, Duhamel memperkenalkan prosedur bedah definitif dengan
rektum dipertahankan. Kolon berganglion normal di proksimal ditarik melalui
retrorektal transanal dan dilakukan anastomosis kolorektal ujung ke sisi.
Kemudian kolon proksimal ditarik melalui retrorektal transanal dan dilakukan
anastomosis kolorektal ujung ke sisi. Prosedur Duhamel asli, anastomosis kolon
proksimal dilakukan pada sfingter anal internal dan dinilai kurang baik sebab
sering terjadi stenosis, inkontinensi, dan pembentukan fekaloma dalam puntung
rektum yang ditinggalkan terlalu panjang. Untuk mencegah kekurangan tersebut
di atas dikembangkan berbagai modifikasi.8,21
Reseksi segmen sigmoid dikerjakan seperti pada prosedur Swenson. Puntung
rektum dipotong sekitar 2-3 cm di atas dasar peritoneum dan ditutup dengan
jahitan dua lapis memakai benang sutera atau vicryl. Ruang retrorektal dibuka
sehingga seluruh permukaan dinding posterior rektum bebas. Sayatan endoanal
setengah lingkaran dilakukan pada dinding posterior rektum pada jarak 0,5 cm
dari linea dentata. Selanjutnya kolon proksimal ditarik retrorektal melalui insisi
endoanal

keluar

anus.

Mesokolon

diletakkan

di

bagian

posterior.

Anastomosis kolorektal dilakukan untuk membentuk rektum baru dengan


menghilangkan septum (dinding rektum poste-rior dan dinding anterior kolon
proksimal). Teknik anastomosis dikerjakan dengan bermacam-macam cara.
Beberapa teknik anastomosis yang dikenal adalah :
1

Prosedur Duhamel Asli (1956),

Prosedur Duhamel Modifikasi Grob (1959),

Prosedur Duhamel Modifikasi Talbert dan Ravitch,

14

Prosedur Duhamel Modifikasi Ikeda,

Prosedur Duhamel Modifikasi Adang.

Prosedur Bedah Definitif Melalui Laparoskopik8,22


a. Beberapa tahun terakhir penanganan bedah PH berkembang dari dua atau tiga
tahapan rekonstruksi (multi-stage proce-dure) ke prosedur satu tahap (singlestage procedure) pada pasien usia dini. Telah dilaporkan oleh banyak senter
bedah mengenai pengalaman mereka melakukan pull-through kolon primer
satu tahap. Prosedur satu tahap dikerjakan juga dengan tehnik laparokopik.
Keuntungan prosedur satu tahap dibandingkan dengan prosedur bedah
bertahap dikatakan terdapat penurunan morbiditas, tidak memerlukan
kolosto-mi, masa rawat lebih singkat dan biaya rumah sakit lebih murah.
b. Kesulitan bedah laparoskopik di antaranya : 1. Dengan endostapler puntung
rektum tidak terpotong tuntas pada prosedur Duhamel, sehingga terjadi
pouchitis. 2. Anus bayi yang masih kecil tidak muat untuk stapler sehingga
menyulitkan . 3. Biaya mahal. 4. Waktu yang dibutuhkan lama, dari 17 kasus
yang ditangani dengan prosedur Duhamel, Muraji (2002) memerlukan waktu
5 jam.

15

2.2.10. Komplikasi
Komplikasi

pasca

tindakan

bedah

penyakit

Hirschsprung

dapat

digolongkan atas kebocoran anastomose, stenosis, enterokolitis dan gangguan


fungsi spinkter. Enterokolitis telah dilaporkan sampai 58% kasus pada penderita
penyakit Hirschsprung yang diakibatkan oleh karena iskemia mukosa dengan
invasi bakteri dan translokasi. Perubahan-perubahan pada komponen musin dan
sel neuroendokrin, kenaikan aktivitas prostaglandin, infeksi Clostridium difficile
atau rotavirus dicurigai sebagai penyebab terjadinya enterokolitis. Pada keadaan
yang sangat berat enterokolitis akan menyebabkan terjadinya megakolon toksik
yang ditandai dengan demam, muntah hijau, diare hebat, distensi abdomen,
dehidrasi dan syok. Terjadinya ulserasi dan nekrosis akibat iskemia mukosa diatas
segmen aganglionik akan menyebakan terjadinya sepsis, pneumatosis dan
perforasi usus.8
Enterokolitis merupakan ancaman komplikasi yang serius bagi penderita
penyakit Hirschsprung ini, yang dapat menyerang pada usia kapan saja, namun
paling tinggi saat usia 2-4 minggu, meskipun sudah dapat dijumpai pada usia 1
minggu. Gejalanya berupa diare, distensi abdomen, feces berbau busuk dan
disertai demam. Sedangkan komplikasi potensial untuk operasi kompleks terkait
dengan penyakit Hirschsprung mencakup seluruh spektrum komplikasi
tindakan

dari

bedah gastrointestinal. Secara umum, komplikasi kebocoran

anastomosis dan pembentukan striktur (5-15%), obstruksi usus (5%), abses pelvis
(5%), infeksi luka (10%), dan membutuhkan re-operasi kembali (5%) seperti
prolaps atau striktur.8

Enterokolitis
Enterokolitis menyumbang morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada pasien
dengan penyakit Hirschsprung. Hasil enterokolitis dari proses inflamasi pada
mukosa dari usus besar atau usus kecil. Sebagai penyakit berlangsung, lumen usus
menjadi penuh dengan eksudat fibrin dan berada pada peningkatan risiko untuk

16

perforasi. Proses ini dapat terjadi di kedua bagian aganglionik dan ganglionik
usus. Pasien mungkin hadir pasca operasi dengan distensi perut, muntah, sembelit
atau indikasi obstruksi yang sedang berlangsung. Obstruksi mekanik dapat dengan
mudah didiagnosis dengan rektal digital dan barium enema.23

Aganglionosis Persistent
Jarang terjadi dan mungkin karena kesalahan patologis, reseksi tidak memadai,
atau hilangnya sel ganglion setelah di tarik keluar.

Internal sphincter achalasia


Dapat mengakibatkan obstruksi persisten. Hal ini dapat diobati dengan
sfingterotomi internal intrasphincteri toksin botulinum, atau nitrogliserin pasta.
Sebagian besar kasus akan menyelesaikan pada usia 5 tahun.

Inkontinensia
Hal ini mungkin hasil dari fungsi sfingter normal, ataupun kesalahan dalam
tindakan operasi sehingga penurunan sensasi, atau inkontinensia sekunder. Secara
umum manometri anorectal dan USG harus membantu dalam membedakan antara
diagnosa ini.
Beberapa hal dicatat sebagai faktor predisposisi terjadinya penyulit pasca
operasi, diantaranya : usia muda saat operasi, kondisi umum penderita saat
operasi, prosedur bedah yang digunakan, keterampilan dan pengalaman dokter
bedah, jenis dan cara pemberian antibiotik serta

perawatan

pasca bedah.

Kebocoran anastomose pasca operasi dapat disebabkan oleh ketegangan yang


berlebihan pada garis anastomose, vaskularisasi yang tidak adekuat pada kedua
tepi sayatan ujung usus, infeksi dan abses sekitar anastomose serta trauma colok
dubur atau businasi pasca operasi yang dikerjakan terlalu dini dan tidak hatihati.20
Stenosis yang terjadi pasca operasi tarik terobos dapat disebabkan oleh
gangguan penyembuhan luka di daerah anastomose, serta prosedur bedah yang
dipergunakan. Stenosis

sirkuler biasanya disebabkan komplikasi prosedur

Swenson atau Rehbein, stenosis posterior berbentuk oval akibat prosedur


Duhamel sedangkan bila stenosis memanjang biasanya akibat prosedur Soave.
Sedangkan fungsi spinkter ani pasca bedah yang merupakan pokok bahasan utama

17

dari penelitian ini dapat dikatakan sebagai parameter utama keberhasilan operasi
tarik terobos, disamping komplikasi utama yang disebutkan diatas.20
Namun hingga saat ini, belum ada suatu parameter atau skala yang
diterima universal untuk menilai fungsi anorektal ini. Fecal soiling atau kecipirit
merupakan parameter yang sering dipakai peneliti terdahulu untuk menilai fungsi
anorektal pasca operasi, meskipun secara teoritis hal tersebut tidaklah sama.
Kecipirit adalah suatu keadaan keluarnya feces lewat anus tanpa dapat
dikendalikan oleh penderita, keluarnya sedikit-sedikit dan sering. Untuk menilai
kecipirit, umur dan lamanya pasca operasi sangatlah menentukan. Hal ini dapat
dimengerti

jikalau

kita

mencermati

perbedaan

prosedur

operasi

yang

dipergunakan. stenosis, Namun kecipirit tidaklah sama dengan inkontinensia.

2.2.11. Prognosis
Kelangsungan hidup pasien dengan penyakit Hirschsprung sangat
bergantung pada diagnosis awal dan pendekatan operasi. Secara umum
prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit Hirschsprung yang mendapat
tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien
yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus
dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan
pembedahan pada bayi sekitar 20%.8,23

2.3. Stoma
Stoma adalah lubang buatan pada abdomen untuk mengalirkan urine atau
faeces keluar dari tubuh.24
Macam-macam Stoma :

18

1. Colostomy (Lubang buatan di usus besar)


2. Tracheostomy (Lubang buatan di tenggorok)
3. Urostomy (Lubang buatan di kandung kemih)

2.3.1. Gastrointestinal Stoma


Pada umumnya dibuat untuk ileum (ileostomy) atau colon (colostomy).
Tedapat 2 jenis gastrointestinal Stoma :24,25
1. Temporary (de-functioning) stomas : meliputi ileostomy atau colostomy yang
dibuat untuk melindungi suatu anastomosis atau dekompresi atau penyembuhan
segmen usus bagian distalnya. Stoma mempunyai 2 lubang yaitu lubang
proksimal adalah tempat keluarnya faeces dan lubang distal tempat keluarnya
mukus dari usus bagian distalnya.
2. Permanent stomas : lubang dinding abdomen yang dibuat secara permanen
tempat menempelkan bagian akhir dari usus pada permukaan kulit. Terdapat
beberapa bentuk permanent stoma antara lain:
a. Panproctocolectomy : ileostomy permanent yang dibuat dari ileum
terminalis, seluruh colon rectum dan anus diangkat.

19

b. Total colectomy: ileostomy dibuat tetapi ujung rectum tetap dan disalurkan
ke dinding abdomen sebagai mucus fistula.
c. Abdomenoperineal (A-P) excision : colostoly pada fossa iliaca sinistra,
rectum dan anus diangkat, sering disertai dengan pengangkatan 1/3 bagian
atas dinding posterior vagina
d. Hartmarns procedure, eksisi dari sigmoid atau atas rectum colostomy dibuat
dan ujung rectum ditutup dan dibiarkan didalam pelvis.
e. Pelvis exenteration: operasi radikal untuk pengangkatan organ pelvis; dibuat
colostoly dan urostomy.

a) Kelainan pada organ Pencernaan yang menimbulkan indikasi tindakan


gastrointestinal Stoma :24,25
1. Esafagus : Kanker pada bagian ini akan menyebabkan gangguan menelan,
dimulai sulit menelan dan bila tidak cepat diangkat akan tersumbat total
sehingga tidak bisa menelan sama sekali.
2. Lambung : Seperti di Esophagus kanker di lambung juga akan menyebabkan
tersumbatnya saluran cerna, tetapi tergantung lokasi, kanker pada lokasi
tertentu tidak akan menyebabkan tersumbatnya saluran cerna sampai pada
stadium lanjut.
3. Usus Besar : Kanker usus besar awalnya menimbulkan gejala gangguan pola
defikasi artinya secara berangsur angsur penderita merasa tidak nyaman diperut
kemudian mulas yang sukar diterangkan sebabnya dilanjutkan dengan diare /
mencret berak darah lender ini terutama untuk kanker rectum dan obstruksi
saluran cerna karena tersumbatnya usus besar akhirnya perut kembung karena
kotoran menumpuk dalam usus karena tidak bisa keluar.

20

Untuk kanker rektum, jenis operasinya tergantung pada seberapa jauh jarak
kanker ini dari anus dan seberapa dalam dia tumbuh ke dalam dinding
rektum.Pengangkatan seluruh rektum dan anus mengharuskan penderita
menjalani kolostomi menetap (pembuatan hubungan antara dinding perut
dengan kolon). Dengan kolostomi, isi usus besar dikosongkan melalui lubang
di dinding perut ke dalam suatu kantung, yang disebut kantung kolostomi.
4. Usus Halus : Kebanyakan tumor usus halus adalah jinak. Kebanyakan tumor
jinak tidak menyebabkan gejala. Tetapi tumor yang berukuran besar bisa
menyebabkan terdapatnya darah dalam tinja, penyumbatan usus (sebagian atau
total), atau penjeratan usus bila satu bagian usus masuk ke usus yang berada di
depannya (intususepsi).
5. Pangkreas : Kanker pangkreas karena letaknya sangat sulit terdiagnosis,
biasanya diketahui setelah ada komplikasi ikterus atau penyumbatan pada usus
12 jari.
6. Hati : Kanker primer yang terletak ditepi pada keadaan dini bila cepat diketahui
dan segera diambil tindakan operasi akan menyembuhkan penyakitnya. Pada
hati sering dijumpai kanker sekunder yang berasal dari penyebaran kanker alat
tubuh lain seperti usus, paru, payudara, genitalia, interna.

b) Kolostomi24,25
Dari kata kolon yang artinya usus besar dan stoma yang artinya mulut
diartikan disini sebagai mulut yang dibuat dari usus besar dan lebih dikenal
sebagai anus buatan.
Kolostomi dikerjakan / dibuat pada keadaan :
1) Kanker usus besar terletak pada kolon rectum distal (kurang 5 cm dari batas
anus)

21

2) Kanker genitalia yang sudah mengenai otot anus


3) Kanker usus besar yang terlambat dioperasi walaupun terletak dari 5 cm diatas
anus.

c) Perawatan Colostomy26
1. Penjelasan yang baik pada penderita maupun keluarga baik sebelum dan
sesudah operasi.
2. Kosongkan pouch (kantong) beberapa kali sehari dan ganti setiap 1-3 hari atau
bila terjadi perembesan, cara :
a. Persiapkan pouch pengganti
b. Lepas / angkat pouch yang diganti
c. Perhatikan keadaan kulit sekitar stoma (adakah luka, iritasi, atau radang),
bersihkan kulit dengan air hangat tanpa sabun atau alcohol atau desinfektans
d. Pasang pouch yang baru.

22

BAB 3
LAPORAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama

: Jidan Aliyansyah

Jenis Kelamin

: Perempuan

Umur

: 1 bulan

No. Rekam Medik

: 67.54.37

Ruangan

: Rb2a

Tanggal masuk

: 23 Mei 2016

ANAMNESIS
Keluhan utama

: Sulit BAB

Telaah

: Hal ini sudah dialami oleh pasien sejak lahir sampai

sekarang. Pasien baru bisa buang air besar jika diberi obat dulcolax. Kotoran

23

keluar sedikit - sedikit, dengan konsistensi lunak, darah tidak dijumpai. Muntah
dialami tiap kali pasien diberi minum ASI. Muntah berwarna kekuningan dan
bercampur lendir, darah tidak dijumpai. Orangtua pasien juga mengeluhkan perut
pasien yang kembung dan berkurang setelah pasien buang air besar. Demam tidak
dijumpai, kuning tidak dijumpai.
Riwayat kelahiran, pasien lahir melalui persalinan Sectio Caesaria di RS
Sembiring dengan pertolongan dokter spesialis kandungan. Pasien lahir kurang
bulan (usia gestasi 35 minggu) dengan BB lahir 3600 gram dengan panjang
badan lahir 53 cm. Pasien langsung menangis dan riwayat biru tidak dijumpai
Riwayat kehamilan, pasien merupakan anak ke dua dari dua bersaudara. Anak
pertama perempuan lahir normal dan pertumbuhan normal. Riwayat kelainan
kongenital dalam keluarga (-). Usia ibu saat hamil 24 tahun. Ibu tidak menderita
DM ataupun hipertensi saat hamil. Ibu tidak mengkonsumsi obat ataupun jamu.
Riwayat imunisasi, pasien baru mendapatkan imunisasi pertama
Pasien merupakan pasien poli bedah anak dan masuk ke ruangan untuk dilakukan
tindakan operasi
RPT

:-

RPO

:-

STATUS PRESENS
Sensorium

: Compos Mentis

Tekanan darah

: 100/60 mmHg

Nadi

: 116 x/menit

Pernafasan

: 16 x/menit

Suhu

: 36,5C

PEMERIKSAAN FISIK
Kepala

: UUB terbuka rata, Lingkar kepala 33 cm

Mata

: Pupil isokor 3mm, refleks cahaya (+/+), konjungtiva palpebra


inferior pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)

24

Telinga/ hidung/ mulut: dalam batas normal


Leher

: TVJ R-2 cm H2O

Toraks
Inspeksi

: simetris fusiformis

Palpasi

: stem fremitus kanan=kiri, kesan normal

Perkusi

: sonor pada kedua lapangan paru

Auskultasi

: suara pernapasan vesikuler, suara tambahan (-)

Abdomen
Inspeksi

: Simetris

Palpasi

: Distensi (+),

Perkusi

: timpani, nyeri ketok (-)

Auskultasi

: peristaltik (+) normal

Ekstremitas : dalam batas normal


Anogenital

: Perempuan, anus dijumpai

Pemeriksaan Penunjang
Hasil Pemeriksaan Photo Thorax Anak AP (17 Mei 2016)
CTR < 50%, jantung tidak membesar, apeks terangkat. Aorta baik, Mediastinum
superior tidak melebar, trakea di tengah, kedua hilus tidak menebal. Tidak tampak
infiltrat maupun nodul pada kedua lapangan paru, corakan bronkovaskuler pada
kedua paru baik. Sinus kostoprenikus dan diafragma baik. Tulang-tulang dinding
dada baik.
Kesimpulan : Sugestif CHD

25

Hasil

BNO

Abdomen (17
Mei

2016)
Barium
retensi :
Tampak dilatasi

usus-

usus

dengan

penebalan sebagian dindingnya. Tidak tampak sisa kontras.


Kesimpulan :Tidak jelas terlihat sisa kontras. Retesndi usus halus, kesan atresia

Hasil Colon in Loop dengan Kontras (17 Mei 2016)


Dilakukan pemeriksaan colon in loop menggunakan kontras water soluble yang
dimasukkan melalui kateter yang terpasang di anus dan balon dikembangkan
dengan hasil berikut :
Tampak kontras dengan lancar mengisi rektumsampai kolon sigmoid dengan
kaliber rektum yang terlihat lebih kecil dibandingkan sigmoid (rekto sigmoid ratio

26

<1). Tampak gambaran zona transisi berbentuk cone pada daerah rektum. Masa
fekal terlihat pada rekto-sigmoid. Tak tampak additional shadow maupun filling
defek. Tak tampak hambatan maupun ekstravasasi kontras.
Kesimpulan :
Masih mungkin suatu Hirshprungs disease dengan zona transisi berbentuk cone
pada daerah rektum.

Pemeriksaan Laboratorium tanggal 19 Mei 2016


PEMERIKSAAN

HASIL

RUJUKAN

Darah Lengkap
Hb

12.5

12-16

Ht

36

36-47

Leukosit

10,940

4,5-11,0

27

Trombosit

486

150-450

Waktu trombin
Pt

0.8

Aptt

0.9

TT

1.16

INR

0.64
FUNGSI HATI

ALBUMIN

3,4

3,5-5,0

HATI
SGOT

23

5-34

SGPT

12

0-55

FUNGSI GINJAL
UREUM

13

18-55

KREATININ

0,39

0,7-1,3

ELEKTROLIT
NATRIUM

130

135-155

KALIUM

3.6

3,6-5,5

KLORIDA

98

96-106

FOLLOW UP
Tanggal

P
Terapi

Rencana

18/05/2016 Distensi abdom Sens : Compos Mentis


(+), sulit BAB HD stabil
(+)
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :
-JVP R-2 cm H2O
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (+), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN

Susp. Hirschprungs
disease

- perbaikan KU
- wash out 2x1

-cek lab (darah rutin,


elektrolit,
albumin,
KGDS, HST, LFT,
RFT)USG Abdomen
-operasi
Sigmoidostomy
(26/05/2016)

23/05/2016 Distensi abdom Sens : Compos Mentis


(+), sulit BAB HD stabil
(+)
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :

Susp. Hirschprungs
disease

- bowel preparation
- wash out 2x1

-operasi
sigmoidostomy
(26/05/2016)
Assasment bedah anak:
Rencana operasi
colostomy di COT.
Pasien setuju dilakukan

-JVP R-2 cm H2O


Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (+), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN
24/05/2016 Distensi abdom Sens : Compos Mentis
(+), sulit BAB HD stabil
(+)
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :
-JVP R-2 cm H2O
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (+), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN

operasi
-rawat ruangan

Susp. Hirschprungs
disease

- bowel preparation
- wash out 2x1

-operasi
sigmoidostomy
(26/05/2016)

25/05/2016 Distensi abdom Sens : Compos Mentis


(+), sulit BAB HD stabil
(+)
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :
-JVP R-2 cm H2O
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (+), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN

Susp. Hirschprungs
disease

26/05/2016 Distensi abdom Sens : Compos Mentis


(+), sulit BAB HD stabil
(+)
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :
-JVP R-2 cm H2O
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/-

Susp. Hirschprungs
disease

- bowel preparation
- wash out 2x1
Pre operasi:
1. SIO
2. IVFD RL 10 gtt/i
3. Inj. Ceftazidin I jam
sebelum operasi
4. Puasa 6-8 jam sebelum
operasi
5. Personal hygiene
6. Berdoa

-operasi
sigmoidostomy
(26/05/2016)
-konsul anak untuk
toleransi operasi
- konsul anestesi untuk
tindakan anestesi

Sigmoidostomy di COT

(jawaban konsul anak


dan anestesi ACC)

Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (+), soepel
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN
27/05/2016

Post op hari I, Sens : Compos Mentis


BAB
HD stabil
Mata :
- konj. Anemis -/- Sklera ikterik -/Leher :
-JVP R-2 cm H2O
Thorak
-SP : Vesikuler
-ST : Rh -/Abdomen :
Inspeksi : Simetris
Palpasi : distensi (-), soepel,
stoma: viable, produksi feses
(+)
Perkusi : tympani
Auskultasi : peristaltik (+)
Ekstremitas : DBN

Post sigmoidostomy - IVFD RL 15 gtt/i (micro)


- boleh pulang 2-3 hari
d/t susp.
- inj. Ceftazidin 50 mg/12 jam lagi, apabila keadaan
Hirschprungs disease - inj. Ranitidin 4 mg/ 12 jam
sudah membaik
- inj. PCT 40 mg/8 jam (k/p)

Hasil pemeriksaan BNO/ Abdomen (18/005/2016)

32

Hasil pemeriksaan:
Suspek dilatasi usus-usus dengan penebalan sebagian
dindingnya. Tidak tampak sisa kontras.
Kesimpulan:
Tidak jelas terlihat sisa kontras. Distensi usus halus, kesan
atresia.

32

33

BAB 4
DISKUSI
TEORI

KASUS

Penyakit lebih sering ditemukan pada lakilaki

dibandingkan

perempuan

dengan

Pasien merupakan anak


laki-laki dan pada kasus

perbandingan 4:1. Rectosigmoid paling sering

ini yang terkena adalah

terkena sekitar 75% kasus, flexura lienalis

rectosigmoid.

atau colon transversum pada 17% kasus.7

Ada trias gejala klinis yang sering dijumpai pada

Keluhan utama pasien dirujuk

neonatus, yakni pengeluaran mekonium yang

adalah karena tidak BAB lebih

terlambat, muntah hijau dan distensi abdomen.

dari 24 jam setelah lahir dan

Pengeluaran mekonium yang terlambat (lebih dari

BAB selanjutnya harus dipancing

24 jam pertama) merupakan tanda klinis yang


signifikans. Muntah hijau dan distensi abdomen
biasanya dapat berkurang manakala mekonium
dapat dikeluarkan seger

dengan obat pencahar. Selain itu


dijumpai distensi abdomen dan
muntah kekuningan.

Pemeriksaan pencitraan (imaging) dapat

Pada pemeriksaan

membantu mendiagnosis penyakit

BNO/Abdomen didapatkan

Hirschsprung. Pemeriksaan foto polos

Suspek dilatasi usus-usus dengan

abdomen dapat menunjukkan dilatasi usus

penebalan sebagian dindingnya.

halus atau kolon proksimal. Radiografi enema


dengan kontras pada bagian aganglionik pada
usus besar akan tampak normal dan kolon yg
lebih proksimal akan melebar. Adanya "zona
transisi" (titik di mana usus normal menjadi
aganglionik).

Pada pemeriksaan Colon in Loop


tampak gambaran zona transisi
berbentuk cone pada daerah
rektum. Masa fekal terlihat pada
rekto-sigmoid.

. Tatalaksana penyakit Hirschprung terdiri Pada pasien dilakukan wash out


dari non bedah dan bedah. Tindakan-tindakan dua kali sehari dan telah

34

nonbedah yang dapat dikerjakan adalah dilakukan sigmoidostomi dan


pemasangan
nasogastrik,

infus,

pemasangan

pemasangan

pipa

pipa direncanakan akan dilakukan


rektum, tindakan bedah definitive.

pemberian antibiotik, lavase kolon dengan


irigasi

cairan,

koreksi

elektrolit

serta

penjagaan nutrisi.
Tindakan

bedah

pada

penyakit

Hirschsprung terdiri atas tindakan bedah


sementara dan tindakan bedah definitif.
Tindakan bedah sementara untuk dekompresi
abdomen dengan cara membuat kolostomi
pada kolon yang mempunyai ganglion normal
bagian distal untuk

mencegah terjadinya

enterokolitis.
Tindakan bedah definitif yang
dilakukan pada penyakit Hirschsprung antara
lain prosedur Swenson, prosedur Duhamel,
bedah Laparoskopik, dll.

BAB 5
KESIMPULAN

35

Seorang pasien laki-laki, usia 1 bulan datang dengan sulit BAB, perut
kembung, dan selalu muntah setelah minum ASI. Riwayat mekonium tidak keluar
dalam 24 jam pertama setelah lahir dijumpai. Pemeriksaan BNO/Abdomen dan
Colon in Loop menunjukkan hasil kemungkinan suatu penyakit Hirschprung dan
telah dilakukan Sigmoidestomy pada 26 Mei 2016.

36

DAFTAR PUSTAKA

Kartono D. Penyakit Hirschsprung : Perbandingan prosedur Swenson dan


Duhamel modifikasi. Disertasi. Pascasarjana FKUI. 1993.

Heikkinen M, Rintala R, Luukkonen. Longterm anal spincter performance


after surgery for Hirschsprungs disease. J Pediatr Surg 1997; 32: 1443

Fonkalsrud. Hirschsprungs disease. In:Zinner MJ, Swhartz SI, Ellis H,


editors. Maingots Abdominal Operation. 10th ed. New York: Prentice-Hall
intl.inc.;1997.p.2097-105

Nur Rahmat Wibowo, Hermanto, BAB 1 dalam: Hirschsprungs Disease.


Bagian SMF Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Tanjung Pura.

37

Samuel Nurko MD, MPH, Hirschprung Disease dalam; American Motility


Society (AMS) and the International Foundation For Functional
Gastrointestinal Disorders (IFFGD)

Warner, B.W. 2004. Pediatric Surgery in Sabiston Textbook of Surgery. 17th


edition. Elsevier-Saunders. Philadelphia. Page 2113-2114.

Holschneider A., Ure B.M., 2000. Hirschsprungs Disease in Ashcraft


Pediatric

Surgery.

3rd

edition.

W.B.

Saunders

Company.

Philadelphia. Page 453-468.


8

Kartono, D. 2010. Penyakit Hirschsprung. Cetakan Kedua. Sagung Seto.


Jakarta.

Verawati, S. 2010. Karakteristik Bayi yang Menderita Penyakit Hirschprung


di RSUP H. Adam Malik Medan.

10 Wagner,

J.P.

2014.

Hirschprung

Disease.

http://emedicine.medscape.com/article/178493-overview#showall (Diakses
tanggal 9 Juni 2015)
11 Hackam D.J., Newman K., Ford H.R. 2005. Pediatric Surgery in Schwartzs
Principles of Surgery. 8th edition. McGraw-Hill. NewYork. Page 14961498.
12 Martini, Frederic H., Judi, Nath., & Edwin, Bartholomew. Martini :
Fundamentals of Anatomy & Physiology 9th Edition.
13 Pasumarthy L, Srour JW. Hisrschprungs Disease: A Case to Remember.
Practical Gastroenterology. 2008: 42-45.
14 Nurko SMD. Hirschsprungs Disease. Center for Motility and Functional
Gastrointestinal Disorder.2007.

38

15 Wyllie, R. 2004. Motility Disorders and Hirschsprung Disease in Nelson


Textbook of Pediatrics 17th ed. USA: Saunders, An Imprint of Elsevier.
Chapter 313
16 Kessmann, J. 2006. Hirschsprungs Disease: Diagnosis and Management.
Available from: http://www.aafp.org/afp/2006/1015/p1319.pdf
17 Yoshida, C. 2013. Hirschsprung Disease Imaging. Available from: http://
http://emedicine.medscape.com/article/409150-overview#a19
18 Izadi M, Mansour MF, Jafarshad R, Joukar F, Bagherzadeh AH, Tareh F.
Clinical Manifestations of Hirschsprungs Disease: A Six Year Course
Review of Admitted Patients in Gilan, Northern Iran. Middle East Journal of
Digestive Diseases. 2009;1:68-73.
19 Theodore Z, Polley JR, Coran GA. Hirschsprung's Disease In The
Newborn. Pediatric Surgery International. 1986:80-83.
20 Lee,

Steven

L,

(2005),

Hirschprung

Disease.

http://www.emedicine.com/med/topic 1016. htm. Diakses pada tanggal 09


Juni 2015.
21 Milla, P. J., 2006. Penyakit Hirschsprung dan Neuropati Lain. Dalam : Buku
Pediatri Rudolph Volume 2. Edisi 20. EGC. Jakarta
22 Haricharan,

R.N.

dkk.,

2008.

Hirschsprung

Disease.

http://www.sassit.co.za/Journals/Paeds/HirschsprungSurg.pdf. Diakses pada


tanggal 09 Juni 2015.
23 Sacharin, R. M., 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Edisi Kedua. EGC.
Jakarta
24 Georgina Casey, stoma wound. Nursing Standard, 2000. Proquest Nursing
& Allied Health Search.

39

25 Kathleen Osborn, Nursing Burn Injuries. Nursing Management; 2003.


Proquest Nursing & Allied Health Search
26 Maureen Benbow, Healing and stoma wound Classification. Journal of
Community Nursing; 2007, Proquest Nursing & Allied Health Search

40

Anda mungkin juga menyukai