Anda di halaman 1dari 21

BAB I

TINJAUAN TEORI
A. Pengertian Serosis Hepatis
Sirosis hepatis adalah penyakit yang ditandai oleh adanya peradangan
difus dan menahun pada hati, diikuti dengan proliferasi jaringan ikat,
degenerasi dan regenerasi sel-sel hati, sehingga timbul kekacauan dalam
susunan parenkim hati (Mansjoer, 2001).
Sirosis adalah kondisi fibrosis dan pembentukan jaringan parut yang
difus di hati.Jaringan hati normal digantikan oleh nodus-nodus fibrosa yang
mengerut dan mengelilingi hepatosit. Arsitektur dan fungsi normal hati
terganggu (Corwin, 2001).
Sirosis hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan
stadium akhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati
(Sujono, 2002).
B. Etiologi Serosis Hepatis
Menurut FKUI (2001), penyebab sirosis hepatis antara lain :
1. Malnutrisi
2. Alkoholisme
Alkohol adalah salah satu penyebab terjadinya serosis hepatis karena
sifat alkohol itu sendiri yang merupakan zat toksis bagi tubuh yang
langsung terabsorbsi oleh hati yang dapat juga mengakibatkan
perlemakan hati.
3. Virus hepatitis
Hepatitis virus yang telah menginfeksi sel hati semakin lama akan
berkembang menjadi sirosis hepatis
4. Kegagalan jantung yang menyebabkan bendungan vena hepatika
5. Penyakit Wilson (penumpukan tembaga yang berlebihan bawaan)
6. Hemokromatosis (kelebihan zat besi)
Kelebihan zat besi juga akan semakin memperberat kerja hati sehingga
hati tidak dapat mengolah zat besi yang dapat diabsorbsi tubuh tetapi zat
besi akan tertimbun dalam jumlah banyak yang dapat menyebabkan
sirosis hepatis

7. Zat toksik
C. Klasifikasi Serosis Hepatis
Tiga tipe sirosis secara morfologi terbagi atas :
1. Sirosis Laennec
Sirosis Laennec ditandai dengan lembaran-lembaran jaringan ikat
yang tebal terbentuk pada tepian lobulus, membagi parenkim menjadi
nodulnodul halus. Nodul ini dapat membesar akibat aktivitas regenerasi
sebagai upaya hati mengganti sel yang rusak. Pada stadium akhir sirosis,
hati akan menciut, keras dan hampir tidak memiliki parenkim normal yang
menyebabkan terjadinya hipertensi portal dan gagal hati. Penderita sirosis
Laennec

lebih

beresiko

menderita

karsinoma

sel

hati

primer

(hepatoselular) (Price & Wilson, 2005).


2. Sirosis Pascanekrotik
Sirosis pascanekrotik terjadi setelah nekrosis berbercak pada
jaringan hati, sebagai akibat lanjut dari hepatitis virus akut yang terjadi
sebelumnya. Hepatosit dikelilingi dan dipisahkan oleh jaringan parut
dengan kehilangan banyak sel hati dan di selingi dengan parenkim hati
normal, biasanya mengkerut dan berbentuk tidak teratur dan banyak nodul
(Price & Wilson, 2005).
3. Sirosis biliaris
Penyebab tersering sirosis biliaris adalah obstruksi biliaris pascahepatik.
Statis empedu menyebabkan penumpukan empedu di dalam massa hati
dan kerusakan sel-sel hati. Terbentuk lembar-lembar fibrosa di tepi
lobulus, hati membesar, keras, bergranula halus dan berwarna kehijauan.
Ikterus selalu menjadi bagian awal dan utama dari sindrom ini. Terdapat
dua jenis sirosis biliaris: primer (statis cairan empedu pada duktus
intrahepatikum dan gangguan autoimun) dan sekunder (obstruksi duktus
empedu di ulu hati) (Price & Wilson, 2005).
Secara klinis sirosis hati juga dibagi menjadi:

1.

Sirosis hati kompensata, yang berarti belum adanya gejala klinis


yang nyata
Sirosis hati dekompensata yang ditandai gejala-gejala dan tanda

2.

klinik yang jelas. Sirosis hati kompensata merupakan kelanjutan dari


proses hepatitis kronik dan pada satu tingkat tidak terlihat
perbedaanya secara klinis, hanya dapat dibedakan melalui biopsi hati.
D. Manifestasi Klinis Serosis Hepatis
Menurut Smeltzer (2001) manifestasi klinis dari sirosis hepatis antara lain:
1. Pembesaran Hati
Pada awal perjalanan sirosis hati, hati cenderung membesar
dan sel-selnya dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan
memiliki tepi tajam yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri
abdomen dapat terjadi sebagai akibat dari pembesaran hati yang
cepat dan baru saja terjadi sehingga mengakibatkan regangan pada
selubung fibrosa hati (kapsula Glissoni). Pada perjalanan penyakit
yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan parut
menyebabkan pengerutan jaringan hati. Apabila dapat dipalpasi,
permukaan hati akan teraba berbenjol-benjol (noduler).
2. Obstruksi Portal dan Asites
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi
hati yang kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal.
Semua darah dari organ-organ digestif praktis akan berkumpul dalam
vena porta dan dibawa ke hati. Karena hati yang sirotik tidak
memungkinkan perlintasan darah yang bebas, maka aliran darah
tersebut akan kembali ke dalam limpa dan traktus gastrointestinal
dengan konsekuensi bahwa organ-organ ini menjadi tempat kongesti
pasif yang kronis; dengan kata lain, kedua organ tersebut akan
dipenuhi oleh darah dan dengan demikian tidak dapat bekerja dengan
baik. Pasien dengan keadaan semacam ini cenderung menderita
dyspepsia kronis dan konstipasi atau diare. Berat badan pasien secara
berangsur-angsur mengalami penurunan.

Cairan yang kaya protein dan menumpuk dirongga peritoneal


akan menyebabkan asites. Hal ini ditunjukkan melalui perfusi akan
adanya shifting dullness atau gelombang cairan. Splenomegali juga
terjadi. Jaring-jaring telangiektasis, atau dilatasi arteri superfisial
menyebabkan jaring berwarna biru kemerahan, yang sering dapat
dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan keseluruhan tubuh.
3. Varises Gastrointestinal
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan
fibrotik juga mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral
dalam sistem gastrointestinal dan pemintasan (shunting) darah dari
pembuluh portal ke dalam pembuluh darah dengan tekanan yang
lebih

rendah.

Sebagai

akibatnya,

penderita

sirosis

sering

memperlihatkan distensi pembuluh darah abdomen yang mencolok


serta terlihat pada inspeksi abdomen (kaput medusae), dan distensi
pembuluh darah diseluruh traktus gastrointestinal. Esofagus,
lambung dan rektum bagian bawah merupakan daerah yang sering
mengalami pembentukan pembuluh darah kolateral. Distensi
pembuluh darah ini akan membentuk varises atau hemoroid
tergantung pada lokasinya.
Karena fungsinya bukan untuk menanggung volume darah dan
tekanan yang tinggi akibat sirosis, maka pembuluh darah ini dapat
mengalami ruptur dan menimbulkan perdarahan. Karena itu,
pengkajian harus mencakup observasi untuk mengetahui perdarahan
yang nyata dan tersembunyi dari traktus gastrointestinal. Kurang
lebih 25% pasien akan mengalami hematemesis ringan; sisanya akan
mengalami hemoragi masif dari ruptur varises pada lambung dan
esofagus.
4. Edema
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh
gagal hati yang kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun
sehingga menjadi predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi
aldosteron yang berlebihan akan menyebabkan retensi natrium serta
air dan ekskresi kalium.

5. Defisiensi Vitamin dan Anemia


Karena pembentukan, penggunaan dan penyimpanan vitamin
tertentu yang tidak memadai (terutama vitamin A, C dan K), maka
tanda-tanda defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai, khususnya
sebagai fenomena hemoragik yang berkaitan dengan defisiensi
vitamin K. Gastritis kronis dan gangguan fungsi gastrointestinal
bersama-sama asupan diet yang tidak adekuat dan gangguan fungsi
hati turut menimbulkan anemia yang sering menyertai sirosis
hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan pasien yang
buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang mengganggu
kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
6. Kemunduran Mental
Manifestasi klinis lainnya adalah kemunduran fungsi mental
dengan ensefalopati dan koma hepatik yang membakat. Karena itu,
pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada sirosis hepatis dan
mencakup perilaku umum pasien, kemampuan kognitif, orientasi
terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.

E. Pathway Serosis Hepatis


Alkoholisme

Gizi Buruk

Cholelitiasis

Kelainan metabolisme DM

Perlemakan hati

Kegagalan hasilkan
lipotropik

Bendungan empedu

Glukoneogenesis

Desak lobus hepar


Peningkatan kerja hepar

Peningkatan asam lemak bebas

Peningkatan kerja hepar


Peningkatan kerja hepar
Kerusakan sel hepar

(Price, 2005)

Hepar nekrosis
Disfungsi hepar
Serosis Hepar

Gangguan metabolisme/
Absorbsi/ sintesa

Metabolisme tubuh
terganggu

Gg metabolisme protein
Gg absorbsi
Sintesa albumin menurun

Gang metabolisme lemak Nutrisi tubuh tidak


& karbohidrat
terpenuhi
Sintesa energi kurang

Gg metabolisme
empedu

Globulin turun
Absorbsi vit K

Tekanan osmotik menurun

Fibrinogen dan
protombin turun

Peningkatan cairan peritonium

Penurunan energi

Metabolisme
bilirubin terganggu
Resiko perdarahan

Asites

Keletihan, kelemahan
Intoleransi aktivitas
Ketidakseimbangan nutrisi:
kurang dari kebutuhan
tubuh

Penekanan lambung

Penekanan diafragma

Lambung terasa penuh

Penurunan ekspansi paru

Mual muntah
Intake tidak adekuat

Pola nafas
tidak efektif

Hati fibrosis
Aliran darah vena
portal terganggu

Penumpukan garam Peningkatan tek


empedu
vena portal
Pruritus

Gangguan integritas
kulit

Liver vailure
Fungsi sel
Kufler turun

Penurunan kemam
puan metabolisme
amoniak jadi ureum

Pertahanan

Peningkatan amoniak
dalam darah

tubuh menurun

Peningkatan tek hidrostatis

Kemunduran mental,

Perpindahan cairan ke ektraseluler


Kelebihan
volume
cairan

Resiko infeksi

delirium, bingung
Resiko perubahan proses
pikir

F. Patofisiologi Serosis Hepatis


Adanya faktor etiologi menyebabkan peradangan dan nekrosis
meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps lobulus hati dan ini memacu
timbulnya jaringan parut disertai tyerbentuknya septa fibrosa difus dan
nodul sel hati. Septa bisa dibentuk dan sel retikulum penyangga kolaps dan
berubah menjadi jaringan parut. Jaringan parut ini dapat menghubungkan
daerah portal yang satu dengan yang lain atau portal dengan sentral.
Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai
ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran daerah portal dan menimbulkan hipertensi portal.
Mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan
resistensi terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu, biasanya terjadi
peningkatan aliran arteria splangnikus. Kombinasi kedua factor ini yaitu
menurunnya aliran keluar melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran
masuk bersama-sama yang menghasilkan beban berlebihan pada system
portal. Pembebasan system portal ini merangsang timbulnya aliran
kolateral guna menghindari obstruksi hepatic (variseses) (Sujono, 2002).
Hipertensi portal ini mengakibatkan penurunan volume
intravascular sehingga perfusi ginjal pun mneurun. Hal ini meningkatkan
aktivitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron
berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium.
Dengan peningkatan aldosteron maka terjadi retensi natrium yang pada
akhirnya menyebabkan retensi cairan lama-lama menyebabkan asites dan
juga edema (Sujono, 2002).
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan
penyakit hati menahun yang ditandai dengan pembentukan jaringan ikat
disertai nodul dimana terjadi pembengkakan hati. Patofisiologi sirosis
hepatis sendiri dimulai dengan proses peradangan, lalu nekrosis hati yang
meluas yang akhirnya menyebabkan pembentukan jaringan ikat yang
disertai nodul (Sujono, 2002).
G. Penatalaksanaan Serosis Hepatis

Untuk sirosis dengan gejala, pengobatan memerlukan pendekatan


holistik yang memerlukan penanganan multi disipliner.
1.
Pembatasan aktifitas fisik tergantung pada penyakit dan
toleransi fisik penderita. Pada stadium kompensata dan penderita
dengan keluhan/gejala ringan dianjurkan cukup istirahat dan
menghindari aktifitas fisik berat.
2.
Pengobatan berdasarkan etiologi.
3.
Dietetik
Protein diberikan 1,5-2,5 gram/hari.

Jika

terdapat

ensepalopati protein harus dikurangi (1 gram/kgBB/hari) serta


diberikan diet yang mengandung asam amino rantai cabang karena
dapat meningkatkan penggunaan dan penyimpanan protein tubuh.
Dari penelitian diketahui bahwa pemberian asam amino rantai
cabang akan meningkatkan kadar albumin secara bermakna serta
meningkatkan angka survival rate.( Nasar, 1999)
Kalori dianjurkan untuk memberikan masukan kalori 150%
dari kecukupan gizi yang dianjurkan (RDA).(Hidayat, 1999)
Lemak diberikan 30%-40% dari jumlah kalori. Dianjurkan
pemberian dalam bentuk rantai sedang karena absorbsi-nya tidak
memerlukan asam empedu.
Vitamin, terutama vitamin yang larut dalam lemak
diberikan 2 kali kebutuhan RDA.( Hidayat, 1999)
Natrium dan cairan tidak perlu dikurangi kecuali ada asites.
Makanan sebaiknya diberikan dalam jumlah yang sedikit
tapi sering.(11,12)
4.
Menghindari obat-obat yang mem- pengaruhi hati seperti
sulfonamide,

eritromisin,

asetami-nofen,

obat

anti

kejang

trimetadion, difenilhidantoin dan lain-lain.


5.
Medika-mentosa
Terapi medika mentosa pada sirosis tak hanya simptomatik atau
memperbaiki fungsi hati tetapi juga bertujuan untuk menghambat
proses fibrosis, mencegah hipertensi porta dan meningkatkan
harapan hidup tetapi sampai saat ini belum ada obat yang yang
dapat memenuhi seluruh tujuan tersebut.(Nasar, 1999)

Asam ursodeoksilat merupakan asam empedu tersier yang

mempunyai

sifat

hidrofilik

serta

tidak

hepatotoksik

bila

dibandingkan dengan asam empedu primer dan sekunder. Bekerja


sebagai kompentitif binding terhadap asam empedu toksik. Sebagai
hepato- proktektor dan bile flow inducer. Dosis 10-30 mg/kg/hari.
Penelitian

Pupon

mendapatkan

dengan

pemberian

asam

ursodeoksikolat 13-15 mg/kgBB /hari pada sirosis bilier ternyata


dapat memperbaiki gejala klinis, uji fungsi hati dan prognosisnya.
Kolestiramin bekerja dengan mengikat asam empedu di
usus halus sehingga terbentuk ikatan komplek yang tak dapat
diabsorbsi ke dalam darah sehingga sirkulasinya dalam darah dapat
dikurangi. Obat ini juga berperanan sebagai anti pruritus. Dosis 1
gram/kgBB/hari di bagi dalam 6 dosis atau sesuai jadwal
pemberian susu.
Colchicines 1 mg/hari selama 5 hari setiap minggu
memperlihatkan adanya perbaikan harapan hidup dibandingkan
kelompok placebo. Namun penelitian ini tidak cukup kuat untuk
mereko-mendasikan penggunaan colchicines jangka panjang pada
pasien sirosis karena tingginya angka drop out pada percobaan
tersebut.
Kortikosteroid merupakan anti imflamasi menghambat
sintesis kolagen maupun pro-kolagenase. Penggunaan prednisone
sebagai terapi pada hepatitis virus B kronik masih diperdebatkan.
Penelitian propsektif pada anak Italia dengan hepatitis kronik aktif
yang disebabkan hepatitis B virus menunjukan tidak adanya
keuntungan dari pemberian pred-nisolon.
D-penicillamine. Pemberian penicil- linamine selama 1-7
tahun (rata-rata 3,5 tahun) pada pasien dengan Indian Chil hood
cirrhosis ternyata memberikan perbaikan klinik, biokimia dan
histology. Namun penelitian Boderheimer, mendapatkan bahwa
pemberian penicillinamine 250 mg dan 750 mg pada pasien sirosis
bilier primer ternyata tak memberikan keuntungan klinis. Juga

peningkatan dosis hanya memberatkan efek sam-ping obat,


sedangkan penyakitnya tetap progresif.
Cyclosporine; pemberian cyclosporine A pada pasien sirosis
bilier primer sebanyak 3 mg/kgbb/hari akan menurunkan mortalitas
serta memper-panjang lama dibutuhkannya transplatasi hati sampai
50% disampingkan kelompok placebo.
Obat yang menurunkan tekanan vena portal, vasopressin,
somatostatin, propanolol dan nitrogliserin.
Anti virus pemberiannya bertujuan untuk menghentikan
replikasi virus dalam sel hati.

H. Komplikasi Serosis Hepatis


Komplikasi sirosis hepatis menurut Tarigan (2001) adalah:
1. Hipertensi portal
2. Coma/ ensefalopaty hepatikum
3. Hepatoma
4. Asites
5. Peritonitis bakterial spontan
6. Kegagalan hati (hepatoselular)
7. Sindrom hepatorenal
I. Pemeriksaan Penunjang Serosis Hepatis
1. Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na
dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
2. Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin
yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman.
3. Darah

Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,


hemoglobin (Hb)/ hematokrit (Ht) menurun karena terdapat
perdarahan.
4. Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada
sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang
normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang dengan
sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar normal
albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan globulin
yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut elektroforesis
protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin adalah 2:1
atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk salah satu
tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati secara dini.
5. Pemeriksaan Penunjang Lain
a) Radiologi
Pemeriksaan radiologi
pemeriksaan

yang

fototoraks,

sering

dimanfaatkan

splenoportografi,

ialah,:

Percutaneus

Transhepatic Porthography (PTP)


b) Ultrasonografi (USG)
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan
sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati
tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati
tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c) Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis
hati akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol
berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran
fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan
pembesaran limpa.

J.

Asuhan Keperawatan
Pengkajian pada pasien sirosis hepatis menurut Doenges (2000) sebagai
berikut:
1. Demografi
a. Usia : diatas 30 tahun
b. Laki-laki beresiko lebih besar daripada perempuan
c. Pekerjaan : riwayat terpapar toksin
2. Riwayat Kesehatan
a. Riwayat hepatitis kronis
b. Penyakit gangguan metabolisme : DM
c. Obstruksi kronis ductus coleducus
d. Gagal jantung kongestif berat dan kronis
e. Penyakit autoimun
f. Riwayat malnutrisi kronis terutama KEP
3. Pola Fungsional
a. Aktivitas/ istirahat
Gejala : Kelemahan, kelelahan.
Tanda : Letargi, penurunan massa otot/ tonus.
b. Sirkulasi
Gejala : Riwayat Gagal Jantung Kongestif (GJK) kronis,
perikarditis, penyakit jantung rematik, kanker (malfungsi hati
menimbulkan gagal hati), disritmia, bunyi jantung ekstra, DVJ;
vena abdomen distensi.
c. Eliminasi
Gejala : Flatus.
Tanda : Distensi abdomen (hepatomegali, splenomegali, asites),
penurunan/ tak adanya bising usus, feses warna tanah liat, melena,
urine gelap, pekat.
d. Makanan/ cairan
Gejala : Anoreksia, tidak toleran terhadap makanan/ tak dapat
mencerna, mual/ muntah.

Tanda : Penurunan berat badan/ peningkatan (cairan), kulit kering,


turgor buruk, ikterik : angioma spider, napas berbau/ fetor
hepatikus, perdarahan gusi.
e. Neurosensori
Gejala : Orang terdekat dapat melaporkan perubahan kepribadian,
penurunan mental.
Tanda : Perubahan mental, bingung halusinasi, koma, bicara
lambat/ tak jelas.
f. Nyeri/ kenyamanan
Gejala : Nyeri tekan abdomen/ nyeri kuadran kanan atas.
Tanda : Perilaku berhati-hati/ distraksi, fokus pada diri sendiri.
g. Pernapasan
Gejala : Dispnea.
Tanda : Takipnea, pernapasan dangkal, bunyi napas tambahan,
ekspansi paru terbatas (asites), hipoksia.
h. Keamanan
Gejala : Pruritus.
Tanda : Demam (lebih umum pada sirosis alkohlik), ikterik,
ekimosis, petekie.
4. Pemeriksaan Fisik
a. Tampak lemah
b. Peningkatan suhu, peningkatan tekanan darah (bila ada kelebihan
cairan)
c. Sclera ikterik, konjungtiva anemis
d. Distensi vena jugularis dileher
e. Dada :
1) Ginekomastia (pembesaran payudara pada laki-laki)
2) Penurunan ekspansi paru
3) Penggunaan otot-otot asesoris pernapasan
4) Disritmia, gallop
5) Suara abnormal paru (rales)

f. Abdomen :
1) Perut membuncit, peningkatan lingkar abdomen
2) Penurunan bunyi usus
3) Ascites/ tegang pada perut kanan atas, hati teraba keras
4) Nyeri tekan ulu hati
g. Urogenital :
Atropi testis
h. Hemoroid (pelebaran vena sekitar rektum)
i. Integumen :
Ikterus, palmar eritema, spider naevi, alopesia, ekimosis
j. Ekstremitas :
Edema, penurunan kekuatan otot
5. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Menurut Smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1) Darah lengkap
Hb/ Ht dan SDM mungkin menurun karena perdarahan.
Kerusakan SDM dan anemia terlihat dengan hipersplenisme
dan defisiensi besi. Leukopenia mungkin ada sebagai akibat
hiperplenisme.
2) Kenaikan kadar SGOT, SGPT
3) Albumin serum menurun
4) Pemeriksaan kadar elektrolit : hipokalemia
5) Pemanjangan masa protombin
6) Glukosa serum : hipoglikemi
7) Fibrinogen menurun
8) BUN meningkat
b. Pemeriksaan diagnostik
Menurut smeltzer & Bare (2001) yaitu:
1) Radiologi

Dapat dilihat adanya varises esofagus untuk konfirmasi


hipertensi portal.
2) Esofagoskopi
Dapat menunjukkan adanya varises esofagus.
3) USG
4) Angiografi
Untuk mengukur tekanan vena porta.
5) Biopsi hati
Mendeteksi infiltrat lemak, fibrosis, kerusakan jaringan hati.
6) Partografi transhepatik perkutaneus
Memperlihatkan sirkulasi sistem vena portal.
Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat ditemukan pada klien sirosis hepatis
menurut Doenges (2000) antara lain:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi
paru, asites.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan intake
inadekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam
empedu pada kulit.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan
amonia dalam darah.

Intervensi dan Rasional

Menurut Doenges (2000) pada klien sirosis hepatis ditemukan diagnosa


keperawatan dengan intervensi dan rasional sebagai berikut:
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
asites.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
pola nafas menjadi efektif.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan pengurangan gejala sesak nafas
b. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang normal anak (16-20 x/
menit) tanpa terdengarnya suara pernapasan tambahan.
c. Memperlihatkan pengembangan toraks yang penuh tanpa gejala
pernapasan dangkal.
d. Tidak mengalami gejala sianosis.
Intervensi :
1) Awasi frekuensi, kedalaman dan upaya pernapasan.
Rasional : Pernapasan dangkal cepat/ dispnea mungkin ada
hubungan dengan akumulasi cairan dalam abdomen.
2) Pertahankan kepala tempat tidur tinggi, posisi miring.
Rasional : Memudahkan pernapasan dengan menurunkan tekanan
pada diafragma.
3) Ubah posisi dengan sering, dorong latihan nafas dalam, dan batuk.
Rasional : Membantu ekspansi paru dan memobilisasi sekret.
4) Berikan tambahan oksigen sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan konsentrasi oksigen.
2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake inadekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
kebutuhan nutrisi tubuh terpenuhi.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan peningkatan berat badan secara progresif.
b. Tidak mengalami tanda malnutrisi lebih lanjut.
Intervensi :
1) Ukur masukan diet harian dengan jumlah kalori.
Rasional : Memberikan informasi tentang kebutuhan pemasukan.
2) Berikan makan sedikit tapi sering.
Rasional : Buruknya toleransi terhadap makanan banyak mungkin
berhubungan dengan peningkatan tekanan intraabdomen/ asites.
3) Berikan perawatan mulut sering dan sebelum makan.
Rasional : Klien cenderung mengalami luka dan perdarahan gusi
dan rasa tidak enak pada mulut dimana menambah anoreksia.

4) Timbang berat badan sesuai indikasi.


Rasional : Mungkin sulit untuk menggunakan berat badan sebagai
indikator langsung status nutrisi karena ada gambaran edema/
asites.
5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh glukosa serum, albumin,
total protein dan amonia.
Rasional : Glukosa menurun karena gangguan glukogenesis,
penurunan simpanan glikogen, atau masukan tidak adekuat.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan ascites, edema.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
terjadi balance cairan.
Kriteria hasil :
a. Menunjukkan volume cairan stabil dengan keseimbangan
pemasukan dan pengeluaran.
b. Berat badan stabil.
c. Tanda vital dalam rentang normal dan tidak ada edema.
Intervensi :
1) Ukur masukan dan haluaran, catat keseimbangan positif.
Rasional : Menunjukkan status volume sirkulasi.
2) Auskultasi paru, catat penurunan/ tidak adanya bunyi napas dan
terjadinya bunyi tambahan.
Rasional : Peningkatan kongesti pulmonal dapat mengakibatkan
konsolidasi, gangguan pertukaran gas, dan komplikasi.
3) Dorong untuk tirah baring bila ada asites.
Rasional : Dapat meningkatkan posisi rekumben untuk diuresis.
4) Awasi TD dan CVP.
Rasional : Peningkatan TD biasanya berhubungan dengan
kelebihan volume cairan.
5) Awasi albumin serum dan elektrolit.
Rasional : Penurunan albumin serum mempengaruhi tekanan
osmotik koloid plasma, mengakibatkan edema.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan selama 3x24 jam klien toleran
terhadap aktivitas.
Kriteria hasil :
a. Melaporkan peningkatan kekuatan dan kesehatan klien.
b. Merencanakan aktivitas untuk memberikan kesempatan istirahat
yang cukup.

c. Meningkatkan

aktivitas

dan

latihan

bersamaan

dengan

bertambahnya kekuatan.
Intervensi :
1) Tawarkan diet tinggi kalori, tinggi protein (TKTP).
Rasional : Memberikan kalori bagi tenaga dan protein bagi proses
penyembuhan.
2) Berikan suplemen vitamin (A, B kompleks, C dan K)
Rasional : Memberikan nutrien tambahan.
3) Motivasi klien untuk melakukan latihan yang diselingi istirahat.
Rasional : Menghemat tenaga klien sambil mendorong klien
untuk melakukan latihan dalam batas toleransi klien.
4) Motivasi dan bantu klien untuk melakukan latihan dengan periode
waktu yang ditingkatkan secara bertahap.
Rasional : Memperbaiki perasaan sehat secara umum dan percaya
diri.
5. Gangguan intregitas kulit berhubungan dengan akumulasi garam
empedu pada kulit.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
integritas kulit terjaga.
Kriteria hasil :
a. Memperlihatkan turgor kulit yang normal pada ekstremitas dan
tubuh.
b. Tidak memperlihatkan luka pada tubuh.
c. Memperlihatkan jaringan yang normal tanpa gejala eritema,
perubahan warna atau peningkatan suhu didaerah tonjolan tulang.
Intervensi :
1) Batasi natrium sesuai indikasi
Rasional : Meminimalkan pembentukan edema.
2) Berikan perhatian dan perawatan yang cermat pada kulit.
Rasional : Jaringan dan kulit yang edematous mengganggu suplai
nutrien dan sangat rentan terhadap tekanan serta trauma.
3) Balik dan ubah posisi klien dengan sering.
Rasional : Meminimalkan tekanan yang lama dan meningkatkan
mobilisasi edema.
4) Lakukan latihan gerak secara pasif, tinggikan ekstremitas
edematous.
Rasional : Meningkatkan mobilisasi edema.
5) Letakkan bantalan busa yang kecil dibawah tumit, dan tonjolan
tulang lain.

Rasional : Melindungi tonjolan tulang dan meminimalkan trauma


jika dilakukan dengan benar.
6. Resiko perdarahan berhubungan dengan gangguan metabolisme
protein.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
tidak terjadi perdarahan.
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan homeostasis dengan tanpa perdarahan.
b. Menunjukkan perilaku penurunan resiko perdarahan.
Intervensi :
1) Kaji adanya tanda-tanda dan gejala perdarahan gastrointestinal.
Rasional : Traktus GI paling bisa untuk sumber perdarahan
sehubungan dengan mukosa yang mudah rusak dan gangguan
dalam homeostasis karena sirosis.
2) Observasi adanya ptekie, ekimosis, perdarahan dari satu atau lebih
sumber.
Rasional : Adanya gangguan faktor pembekuan.
3) Awasi nadi, TD, dan CVP bila ada.
Rasional : Peningkatan nadi dengan penurunan TD dan CVP dapat
menunjukkan kehilangan volume darah sirkulasi, memerlukan
evaluasi lanjut.
4) Awasi Hb/ Ht dan faktor pembekuan.
Rasional : Indikator anemia, perdarahan aktif.
5) Catat perubahan mental/ tingkat kesadaran.
Rasional : Perubahan dapat menunjukkan penurunan perfusi
jaringan serebral sekunder terhadap hipovolemia, hipoksemia.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan pertahanan tubuh.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
tidak terjadi infeksi.
Kriteria hasil :
a. Tanda-tanda vital dalam batas normal.
b. Menunjukkan teknik melakukan perubahan pola hidup untuk
menghindari infeksi ulang.
Intervensi :
1) Kaji tanda vital dengan sering.
Rasional : Tanda adanya syok septik.
2) Lakukan teknik isolasi untuk infeksi, terutama cuci tangan efektif.
Rasional : Mencegah transmisi penyakit virus ke orang lain.

3) Awasi/ batasi pengunjung sesuai indikasi.


Rasional : Klien terpajan terhadap proses infeksi potensial resiko
komplikasi sekunder.
4) Berikan obat sesuai indikasi : antibiotik.
Rasional : Pengobatan untuk mencegah/ membatasi infeksi
sekunder.
8. Resiko perubahan proses pikir berhubungan dengan peningkatan
amonia dalam darah.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam
tidak terjadi perubahan proses pikir.
Kriteria hasil :
a. Mempertahankan tingkat mental/ orientasi kenyataan.
b. Menunjukkan perilaku/ pola hidup untuk mencegah/
meminimalkan perubahan mental.
Intervensi :
1) Observasi perubahan perilaku dan mental.
Rasional : Karena merupakan fluktuasi alami dari koma hepatik.
2) Konsul pada orang terdekat tentang perilaku umum dan mental
klien.
Rasional : Memberikan dasar untuk perbandingan dengan status
saat ini.
3) Pertahankan tirah baring, bantu aktivitas perawatan diri.
4) Rasional : Mencegah kelelahan, meningkatkan penyembuhan,
menurunkan kebutuhan metabolik hati.
5) Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh : amonia, elektrolit, pH,
BUN, glukosa dan darah lengkap.
Rasional : Peningkatan kadar amonia, hipokalemia, alkalosis
metabolik, hipoglikemia, anemia, dan infeksi dapat mencetuskan
terjadinya koma hepatik.

DAFTAR PUSTAKA
Corwin, E. J. 2001. Patofisiologi. Jakarta: EGC

Doengoes, M.E. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3.
Jakarta : Jakarta
Hidayat B. 1999. Metabolisme nutrient pada kelainan hati. Dalam: Firmansyah A,
Bisanto J, Nasar SS, et al, penyunting. Dari kehidupan intra uterin sampai
transplatasi organ. Naskah lengkap PKB IKA XLII. Jakarta: FKUI.
Mansjoer, Arif, dkk .2001. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media
Aesculapius
Nasar SS, Soepardi S, Aryono H. 1999. Dukungan nutrisi pada penyakit hati
kronis. Dalam : Firmansyah A, Bisanto J, Nasar SS, et al, penyunting.
Dari kehidupan intra uterin sampai transplatasi organ. Naskah lengkap
PKB IKA XLII. Jakarta: FKUI.
Sujono, Hadi. 2002.Gastroenterologi, Ed7. Bandung: Alumni
Smeltzer, S. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2 Edisi 8. Jakarta :
EGC. 2001.
Price and Wilson. 2005. Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6. Vol.2.
Jakarta : EGC.
Tarigan, P. 2001. Buku Ajar Penyakit Dalam jilid 1 Ed. 3 Sirosis Hati. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI

Anda mungkin juga menyukai