Anda di halaman 1dari 30

MAKALAH

PENATALAKSANAAN KEPERAWATAN PADA KETOASIDOSIS DIABETIKA


HONK DAN KRISIS TIROID
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Keperawatan Gawat Darurat Anestesi

Disusun Oleh:
Kelompok III
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.

Alfika Dewi W
Amila Hanifa
Andri Susilowati
Eka Sulistyowati
Eva Fakhrunnisa
Imsakul Fatimah
Nia Handayani
Pitra Danan P
Wanti Nurin Salasa

NIM. P07120213001
NIM. P07120213004
NIM. P07120213005
NIM. P07120213015
NIM. P07120213017
NIM. P07120213021
NIM. P07120213027
NIM. P07120213030
NIM. P07120213037

DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLTEKKES KEMENKES YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga makalah Keperawatan Gawat
Darurat Anestesi yang berjudul Penatalaksanaan Keperawatan Pada Ketoasidosis
Diabetika, HONK Dan Krisis Tiroid ini dapat terselesaikan tanpa halangan yang
berarti.
Makalah Keperawatan Gawat Darurat Anestesi tentang Penatalaksanaan
Keperawatan Pada Ketoasidosis Diabetika, HONK Dan Krisis Tiroid ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Gawat Darurat Amestesi
semester VII

D-IV Keperawatan Poltekkes Kemenkes Yogyakarta tahun

2016/2017.
Dengan disusunnya makalah Keperawatan Gawat Darurat Anestesi tentang
Penatalaksanaan Keperawatan Pada Ketoasidosis Diabetika, HONK Dan Krisis
Tiroid ini pembaca diharapkan dapat mengetahui tentang penatalaksanaan
keperawatan pada ketoasidosis diabetika, HONK dan krisis tiroid serta dapat
menggunakan makalah ini sebagai salah satu media pembelajaran untuk mata
kuliah Keperawatan Gawat Darurat Anestesi selanjutnya.
Kami sadar, sebagai pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, penulisan
makalah tentang Penatalaksanaan Keperawatan Pada Ketoasidosis Diabetika,
HONK Dan Krisis Tiroid ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan adanya kritik dan saran yang bersifat positif, guna penulisan
makalah yang lebih baik lagi di masa yang akan datang.

Yogyakarta, 13 Oktober 2016

Penyusun

DAFTAR ISI

Halaman Judul
Kata Pengantar ..........................................................................................................
2
Daftar Isi ....................................................................................................................
3
Bab I: Pendahuluan
A. Latar
Belakang
........................................................................................................................
4
B. Rumusan
Masalah
........................................................................................................................
5
C. Tujuan
........................................................................................................................
5
Bab II: Pembahasan
A. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetika, HONK dan Krisis Tiroid...................6
B. Penatalaksanaan pada Ketoasidosis Diabetika HONC dan Krisis Tiroid
........................................................................................................................
13
C. Rencana Asuhan Keperawatan pada Ketoasidosis Diabetika HONC dan
Krisis
Tiroid
........................................................................................................................
24
Bab III: Penutup
A. Kesimpulan
........................................................................................................................
30
B. Saran
........................................................................................................................
31
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Diabetes Mellitus adalah keadaan hiperglikemi kronik yang disertai
berbagai kelainan metabolik akibat gangguan hormonal yang menimbulkan
berbagai komplikasi kronik pada mata, ginjal, saraf dan pembuluh darah, disertai
lesi pada membran basalis dengan mikroskop elektron. Diabetes yang tidak
disadari dan tidak diobati dengan tepat atau diputus akan memicu timbulnya
penyakit berbahaya dan memicu terjadinya komplikasi. Komplikasi yang
diakibatkan kadar gula yang terus menerus tinggi dan merupakan penyulit dalam
perjalanan penyakit diabetes mellitus salah satunya adalah Keto Asidosis Diabetik
dan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik Hiperglikemia.
Ketoasidosis diabetik adalah kondisi medis darurat yang dapat mengancam
jiwa bila tidak ditangani secara tepat. Ketoasidosis diabetik dikarenakan oleh
penurunan kadar insulin efektif di sirkulasi yang terkait dengan peningkatan
sejumlah hormon seperti glukagon, katekolamin, kortisol, dan growth hormone.
Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan penyebab utama morbiditas dan
mortalitas pada anak dengan diabetes mellitus tipe 1 (IDDM). Mortalitas terutama
berhubungan dengan edema serebri yang terjadi sekitar 57% 87% dari seluruh
kematian akibat KAD.

Koma Hiperosmolar Hiperglikemik NonKetotik ialah suatu sindrom yang


ditandai dengan hiperglikemia berat, hiperosmolar, dehidrasi berat tanpa
ketoasidosis, disertai penurunan kesadaran (Mansjoer, 2000).
Angka kematian HHNK 40-50%, lebih tinggi daripada diabetik
ketoasidosis. Karena pasien HHNK kebanyakan usianya tua dan seringkali
mempunyai penyakit lain. Mengingat masih sedikitnya pemahaman mahasiswa
mengenai ketoasidosis diabetik dan Hiperglikemia Hiperosmolar Non Ketotik
Hiperglikemia. Maka, perlu adanya pembahasan mengenai penatalaksanaan yang
perlu dilakukan.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana patofisiologi ketoasidosis diabetika HONC dan krisis tiroid?
2. Bagaimana penatalaksanaan pada ketoasidosis diabetika HONC dan krisis
tiroid?
3. Bagaimana rencana asuhan keperawatan pada ketoasidosis diabetika HONC
dan krisis tiroid?
C. Tujuan
1. Mampu memahami patofisiologi ketoasidosis diabetika HONC dan krisis
tiroid.
2. Mampu memahami penatalaksanaan pada ketoasidosis diabetika HONC dan
krisis tiroid.
3. Mampu memahami rencana asuhan keperawatan pada ketoasidosis diabetika
HONC dan krisis tiroid.

BAB II
ISI
A. Patofisiologi Ketoasidosis Diabetika, HONK dan Krisis Tiroid
1. Ketoasidosis Diabetika
Pathway :

Diabetes ketoasidosis disebabakan oleh tidak adanya insulin atau


tidak cukupnya jumlah insulin yang nyata, keadaan ini mengakibatkan
gangguan pada metabolisme karbohidrat, protein dan lemak. Ada tiga
gambaran klinis yang penting pada diabetes ketoasidosis yaitu
dehidrasi, kehilangan elektrolit dan asidosis.
Apabila jumlah insulin berkurang, jumlah glukosa yang memasuki
sel akan berkurang pula. Disamping itu produksi glukosa oleh hati
6

menjadi tidak terkendali. Kedua faktor ini akan mengakibatkan


hipergikemia yang meningkatkan glukosuria. Dalam upaya untuk
menghilangkan glukosa yang berlebihan dari dalam tubuh, ginjal akan
mengekresikan glukosa bersama-sama air dan elektrolit (seperti
natrium, dan kalium). Diurisis osmotik yang ditandai oleh urinasi
berlebihan (poliuri) ini kan menyebabkan dehidrasi dan kehilangan
elekrolit. Penderita ketoasidosis yang berat dapat kehilangan kira
kira 6,5 liter air dan sampai 400 hingga 500 mEg natrium, kalium serta
klorida selam periode waktu 24 jam. Hal ini akan menimbulkan uremia
pra renal dan dapat menimbulkan syok hipovolemik.
Muntah-muntah

juga

biasanya

sering

terjadi

dan

akan

mempercepat kehilangan air dan elektrolit. Sehingga, perkembangan


KAD adalah merupakan rangkaian dari siklus interlocking vicious
yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan
metabolisme karbohidrat dan lipid normal.
Akibat defisiensi insulin yang lain adalah pemecahan lemak
(lipolisis) menjadi asam asam lemak bebas dan gliserol. Asam lemak
bebas akan diubah menjadi benda keton oleh hati. Pada ketoasidosis
diabetik terjadi produksi benda keton yang berlebihan sebagai akibat
dari kekurangan insulin yang secara normal akan mencegah timbulnya
keadaan tersebut. Benda keton bersifat asam, dan bila bertumpuk
dalam sirkulasi darah, benda keton akan menimbulkan asidosis
metabolik. Zat ini akan meracuni tubuh bila terlalu banyak hingga
tubuh berusaha mengeluarkan melalui urine dan pernapasan, akibatnya
bau urine dan napas penderita berbau aseton atau bau buah-buahan.
Keadaan asidosis ini apabila tidak segera diobati akan terjadi koma
yang disebut koma diabetik (Brunner, 2002).
2. Patofisiologi HONK
HONK merupakan komplikasi akut dari diabetes melitus.
Resistensi insulin menjadi penyebab utama. Glukosa tidak bisa

dimasukan ke dalam sel karena terjadi resistensi insulin, sehinggaa


terjadi hiperglikemi. Analoginya sel selalu dalam keadaan lapar
sehingga akan terjadi proses glukoneogenesis. Jumlah insulin yang
normal cukup untuk mencegah terjadiya proses ketogenesis dalam hati
sehingga tidak didapatkan badan keton namun tidak dapat mencegah
hiperglikemia. Badan keton bersifat asam, hal ini yang membedakan
HONK dengan KAD. Pada KAD ditemukan badan keton sehingga pH
darah pada umumnya asam (<7,3) sedangkan pada HONK tidak
ditemukan badan keton sehingga pH darah pada umumnya basa(>7,3).
Hasil dari pemecahan protein didapatkan banyak Nitrogen karena
rumus senyawa dari protein sendiri adalah CHON, dari pemecahan
lemak didapatkan bahan buangan urea, jadi akan didapatka BUN
(Blood urea Nitrogen) yang tinggi. Keadaan hiperglikemi membuat
tekanan osmolar darah meningkat (hiperosmolar).
Keadaan hiperosmolar ini membuat aliran darah menjadi lambat
sehingga suplai oksigen ke jaringan menjadi terhambat dan berkurang.
Tubuh melakukan konpensasi dengan cara takikardi. Selain itu
keadaaan hiperosmolar juga merangsang pengeluaran hormon ADH
dengan tujuan untuk meretensi urin dan Na agar tidak banyak cairan
yang keluar Namun pada pasien HONK terjadi diuresis osmotik
(peningkatan tekanan osmotik urin) sehingga darah semakin
hiperosmolar, hal diikuti dengan kehilangan banyak elektrolit seperti
K+, Na+, clorida, dsb khususnya K+. Ion K+ dibutuhkan untuk
menetralkan asam lambung yang asam agar tidak kelebihan asam
lambung. Namun + banyak dikeluarkan sehingga tidak ada yang
menetralkan asam lambung, pasien menjadi mual bahkan bisa sampai
muntah. Keadaan ini tidak diimbangi dengan masukan cairan oral.
Sehingga pasien menjadi hipovolemia (volume cairaan darah semakin
menurun) yang akhirnya menjadi hipotensi dan akhirnya bisa
menimbulkan koma (Soewondo, 2009).

3. Patofisiologi Krisis Tiroid


Pathway:
G3 organik kelenjar tiroid

G3 Fungsi Hipotalamus /hipofisis

Produksi TSH meningkat

Produksi hormone
tiroid meningkat

Metabolisme tubuh
meningkat

Produksi kalor
meningkat

Peningkatan suhu
tubuh

Peningkata
n aktv SSP

Kebutuhan cairan
meningkat

Perub
konduksi
listrik
jantung

Peningkatan
rangsangan
SSP
Peningkatan
aktivitas SSP

Proses
glikogenesis
meningkat

Aktifitas GI
meningkat

Proses
pembakaran
lemak meningkat

Nafsu
makan
meningkat

Disfungsi
Beban kerja
Defisit
Penurunan berat
SSP
Pada orang
sehat,
thyrotropinjantung
naik hipotalamus menghasilkan badan
volume
cairan
releasing hormone (TRH) yang merangsang kelenjar pituitari anterior

Aritmia,
untuk menyekresikan
takikardi

Agitasi,
kejang,
thyroid-stimulating
koma

hormone (TSH) dan hormon

inilah yang memicu kelenjar tiroid melepaskan hormon tiroid.


Penurunan
Tepatnya, kelenjar
ini menghasilkan prohormone thyroxine (T4) yang
curah jantung

mengalami deiodinasi terutama oleh hati dan ginjal menjadi bentuk


aktifnya, yaitu triiodothyronine (T3). T4 dan T3 terdapat dalam 2

bentuk: 1) bentuk yang bebas tidak terikat dan aktif secara biologik;
dan 2) bentuk yang terikat pada thyroid-binding globulin (TBG).
Kadar T4 dan T3 yang bebas tidak terikat sangat berkorelasi dengan
gambaran klinis pasien. Bentuk bebas ini mengatur kadar hormon
tiroid ketika keduanya beredar di sirkulasi darah yang menyuplai
kelenjar pituitari anterior.
Dari sudut pandang penyakit Graves, patofisiologi terjadinya
tirotoksikosis ini melibatkan autoimunitas oleh limfosit B dan T yang
diarahkan pada 4 antigen dari kelenjar tiroid: TBG, tiroid peroksidase,
simporter natrium-iodida, dan reseptor TSH. Reseptor TSH inilah
yang merupakan autoantigen utama pada patofisiologi penyakit ini.
Kelenjar tiroid dirangsang terus-menerus oleh autoantibodi terhadap
reseptor TSH dan berikutnya sekresi TSH ditekan karena peningkatan
produksi hormon tiroid. Autoantibodi tersebut paling banyak
ditemukan dari subkelas imunoglobulin (Ig)-G1. Antibodi ini
menyebabkan pelepasan hormon tiroid dan TBG yang diperantarai
oleh 3,5-cyclic adenosine monophosphate (cyclic AMP). Selain itu,
antibodi ini juga merangsang uptake iodium, sintesis protein, dan
pertumbuhan kelenjar tiroid.
Krisis tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam
merespon hormon tiroid yang menyebabkan hipermetabolisme berat
yang melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling
berat dari tirotoksikosis. Gambaran klinis berkaitan dengan pengaruh
hormon tiroid yang semakin menguat seiring meningkatnya pelepasan
hormon

tiroid

(dengan/tanpa

peningkatan

sintesisnya)

atau

meningkatnya intake hormon tiroid oleh sel-sel tubuh. Pada derajat


tertentu, respon sel terhadap hormon ini sudah terlalu tinggi untuk
bertahannya nyawa pasien dan menyebabkan kematian. Diduga bahwa
hormon tiroid dapat meningkatkan kepadatan reseptor beta, cyclic
adenosine monophosphate, dan penurunan kepadatan reseptor alfa.

10

Kadar plasma dan kecepatan ekskresi urin epinefrin maupun


norepinefrin normal pada pasien tirotoksikosis.
Patogenesis kriris tiroid pada dasarnya belum diketahui secara
pasti. Namun,dapat dipastikan bahwa kadar hormon tiroid yang
beredar dalam darah menjadi jauh lebih tinggi.
Menurut Hudak & Galo (2010) terdapat tiga mekanisme fisiologis
yang dapat meningkatkan krisis tiroid:
a. Pelepasan seketika hormon tiroid dalam jumlah yang besar
Pelepasan tiba-tiba hormon tiroid dalam jumlah besar diduga
menyebabkan manifestasi hipermetabolik yang terjadi selama
krisis tiroid. Pelepasan tiba-tiba hormon tiroid ini dapat
disebabkan pemberian yodium radioaktif, pembedahan tiroid, atau
dosis berlebihan pemberian hormon tiroid.
b. Hiperaktivitas adrenergik
Hiperaktivitas adrenergik dapat dipandang sebagai kemungkinan
penghubung pada krisis tiroid. Hal ini dapat dilihat dari
pemberian penghambat beta adrenergic memberikan respon yang
dramatis pada pasien dengan krisis tiroid.
Hormon tiroid dan katekolamin saling mempengaruhi satu sama
lain. Namun, masih belum pasti apakah efek hipersekresi hormon
tiroid

atau

peningkatan

kadar

katekolami

menyebabkan

peningkatan sensitivitas dan fungsi organ efektor, Interaksi tiroid


katekolamin menyebabkan peningkatan kecepatan reaksi kimia,
meningkatkan konsumsi nutrient dan oksigen, meningkatkan
produksi panas, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
dan status katabolik.
c. Lipolisis dan pembentukan asam lemak yang berlebihan
Dengan lipolisis yang berlebihan terjadi peningkatan jumlah asam
lemak bebas. Okisdasi dan asam lemak bebas ini menyebabkan
meningkatnya kebutuhan oksigen, kalori, dan hipertermi dengan

11

menghasilkan produksi panas yang berlimpah yang sulit untuk


dihilangkan melalui proses vasodilatasi.
Sedangakan menurut Urden (2010), proses patofisiologis pada
krisis tiroid dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pada hipertiroidisme hormon tiroid yang berlebih menyebabkan
peningkatan aktiivitas metabolik dan merangsang reseptor adrenegic, yang akan menyebabkan peningkatan respon SNS.
Terdapat hiperaktivitas dari jaringan syaraf, jaringan cardiac, jaringan
otot polos, dan produksi panas yang berlebih.
Peningkatan hormon tiroid juga akan menyebabkan pemakaian
oksigen seluler di hampir seluruh proses metabolik sel di dalam tubuh.
Metabolisme yang berlebih akan menghasilkan panas , dan suhu tubuh
dapat mencapai 41 C atau (106.8F). Respon dari cardiac adalah
dengan cara meningkatkan CO dan memompa darah lebih banyak
untuk

mengirimkan

karbondioksida.

oksigen

Sehingga

akan

secara

cepat

mengakibatkan

dan

membawa

takikardi

dan

hipertensi. Pada akhirnya, permintaan oksigen dalam keadaan


hipermetabolik yang begitu besar mengakibatkan jantung tidak dapat
berkompensasi secara adekuat.
Peningkatan aktivitas metabolik yang terjadi menyebabkan
peningkatan kebutuhan oksigen dan sumber energi. Hal ini berpotensi
terjadinya asidosis metabolik. Peningkatan peristaltik usus akan
menyebabkan terjadinya diare, mual, dan muntah. Gejala ini akan
menyebabkan terjadinya dehidrasi dan malnutrisi serta kehilangan BB
pada pasien (Urder,2010).
Kontraksi dan relaksasi otot dapat meningkat secara cepat.
Keadaan ini disebut juga dengan hiperrefleksia hipertiroidisme.
Kelemahan otot terjadi disebabkan oleh katabolisme protein yang
berlebihan.

12

Hiperaktivitas
kardiovaskuler

dan

adrenergic
respon

akan

sistem

menyebabkan
syaraf

terhadap

respon
kondisi

hipermetabolik. Atrial fibrilasi atau atrial flutter dilaporkan terjadi


8.3% pada pasien dengan keadaan hipertiroidisme (Frost L et al, 2004:
Urden et al, 2010). Edema pulmoner dan gagal jantung akut juga
dapat terjadi pada krisis tiroid. Selain itu, peningkatan -adrenegic
juga akan menyebabkan keadaan labilitas emosional, tremor, agitasi,
bahkan delirium.
B. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum, HONK dan Krisis Tiroid
1. Penatalaksanaan Ketoasidosis Diabetikum
Prinsip-prinsip pengelolaan KAD ialah :
a. Penggantian cairan dan garam yang hilang
b. Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoeogenesis sel hati
dengan pemberian insulin
c. Mengatasi stres sebagai pencetus KAD
d. Mengembalikan keadaan fisiologi normal

dan menyadari

pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan.


Pengobatan KAD tidak terlalu rumit ada 6 hal yang perlu
diberikan : 5 diantaranya adalah cairan, garam, insulin, kalium dan
glukosa. Sedangkan yang terakhir terapi sangat menentukan adalah
asuhan keperawatan. Di sini diperlukan kecermatan dalam evaluasi
sampai keadaan KAD teratasi dan stabil (Sudoyo W. Aru, dkk, 2006)
a. Cairan
Untuk mengatasi dehidrasi digunakan larutan garam
fisiologis. Dehidrasi dan hiperosmolaritas (bila ada) perlu diobati
secepatnya dengan cairan. Pilihan antara NaCl 0,9% atau NaCl
0,45% tergantung dari ada tidaknya hipotensi dan tinggi
rendahnya kadar natrium. Pada umumnya dibutuhkan 1-2 liter
dalam jam pertama. Kemungkinan diperlukan juga pemasangan
CVP. Rehidrasi tahap selanjutnya sesuai dengan kebutuhan,
sehingga jumlah cairan yang diberikan dalam 15 jam sekitar 5
liter. Pedoman untuk menilai hidrasi adalah turgor jaringan,
13

tekanan darah, keluaran urin dan pemantauan keseimbangan


cairan.
Tujuannya ialah untuk memperbaiki perfusi jaringan dan
menurunkan hormone kontraregulator insulin. Bila kadar glukosa
kurang dari 200 mg% maka perlu diberikan larutan yang
mengandung glukosa (dekstrosa 5%/ 10%).
b. Insulin
Terapi insulin harus segera dimulai sesaat setelah diagnosis
KAD dan rehidrasi yang memadai. Pemberian insulin akan,
menurunkan hormone glucagon sehingga dapat menekan produksi
benda keton di hati, pelepasan asam lemak bebas dari jaringan
lemak,

pelepasan

asam

amino

dari

jaringan

otot,

dan

meningkatkan utilisasi glukosa oleh jaringan. Tujuan pemberian


insulin ini bukan hanya untuk mencapai kadar glukosa normal
tetapi untuk mengatasi keadaan ketonemia.
Insulin baru diberikan pada jam kedua. 180 mU/kgBB
diberikan sebagai bolus intravena, disusul dengan drip insulin 90
mU/jam/kgBB dalam NaCl 0,9%. Bila kadar glukosa darah turun
hingga kurang dari 200 mg% kecepatan drip insulin dikurangi
himgga 45 mU/jam/kgBB. Bila glukosa darah stabil sekitar 200300 mg% selama 12 jam dilakukan drip insulin 1-2 U per jam di
samping dilakukan sliding scale setiap 6 jam. Setelah sliding scale
tiap 6 jam dapat diperhitungkan kebutuhan insulin sehari bila
penderita sudah makan, yaitu 3 kali sehari sebelum makan secara
subkutan.

JENIS

INSULIN

PREPARAT

Actrapid

AWITA

PUNCAK

LAMA

KERJA

KERJA

KERJA

(JAM)

(JAM)

24

58

(JAM)
Human 0,5 1

14

KERJA

40/Humulin

PENDEK

Actrapid Human 100


12

4 12

8 24

Pzi

6 20

18 36

Mixtard

0,5 - 1

2 4 Dan 8 - 24

Monotard Human 100


INSULIN

Insulatard

KERJA

Nph

MENENGA
H

INSULIN
KERJA

6 - 12

PANJANG
INSULIN
CAMPURA
N
Cara pemakaian insulin :
- Insulin kerja cepat/pendek: diberikan 15-30 menit sebelum
makan.
- Insulin analog: diberikan sesaat sebelum makan.
- Insulin kerja menengah: 1-2 kali sehari, 15-30 menit sebelum
makan. (Bakta, 1999)
c. Kalium
Walaupun terjadi penurunan kadar kalium tubuh total,
hiperkalemia ringan sedang dapat terjadi pada pasien krisis
hiperglikemik. Terapi insulin, koreksi asidosis dan ekspansi
volume menurunkan konsentrasi kalium serum. Untuk mencegah
hipokalemia, penggantian kalium dimulai apabila kadar kalium
serum telah di bawah 5,5 mEq/L, dengan mengasumsikan

15

terdapat keluaran urin adekuat. Biasanya 20-30 mEq/L kalium


(2/3 KCl dan 1/3 KPO4) untuk setiap liter cairan infus mencukupi
untuk mempertahankan kadar kalium serum antara 4-5 mEq/L.
Pada keadaan tertentu, pasien KAD dapat datang dengan
hipokalemia signifikan. Pada kasus-kasus ini, penggantian kalium
harus dimulai bersamaan dengan terapi cairan dan pemberian
insulin ditunda sampai kadar kalium mencapai lebih dari 3,3
mEq/L dalam rangka mencegah terjadinya aritmia atau henti
jantung dan kelemahan otot pernapasan. (Sumantri, 2009)
d. Glukosa
Setelah rehidrasi awal 2 jam pertama, biasanya kadar glukosa
darah akan turun. Selanjutnya dengan pemberian insulin
diharapkan terjadi penurunan kadar glukosa sekitar 60 mg%/ jam.
Bila kadar glukosa mencapai kurang dari 200 mg% maka dapat
dimulai infuse yang mengandung glukosa. Perlu ditekankan
tujuan terapi KAD bukan untuk menormalkan kadar glukosa tapi
untuk menekan ketogenesis.
e. Bikarbonat
Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang
berat. Hal ini disebabkan karena dapat :
1)

pH intraseluler akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat

2)

menimbulkan efek negative pada disosiasi oksigen di


jaringan

3)

hipertonis dan kelebihan natrium

4)

meningkatkan insiden hipokalemia

5)

gangguan fungsi cerebral

6)

terjadi alkaliemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keto


Saat ini bikarbonat diberikan bila pH kurang dari 7,1 namun

walaupun demikian komplikasi asidosos laktat dan hiperkalemia

16

yang

mengancam

tetap

merupakan

indikasi

pemberian

bikarbonat.
Disamping hal tersebut diatas pengobatan umum tak kalah
penting yaitu :
1) antibiotik yang adekuat
2) oksigen bila tekanan O2 kurang dari 80 mmHg
3) heparin bila ada DIC atau bila hiperosmolar (lebih dari 380
mOsm/liter)
Hal-hal yang harus dipantau selama pengobatan adalah :
1) Kadar glukosa darah tiap jam dengan alat glukometer.
2) Kadar elektrolit setiap 6 jam selama 24 jam, selanjutnya
tergantung keadaan.
3) Analisa gas darah; bila pH < 7 waktu masuk, periksa setiap 6
jam sampai pH > 7,1, selanjutnya setiap hari sampai stabil.
4) Pengukuran tekanan darah, frekuensi nadi, frekuensi napas,
dan temperatur setiap jam.
5) Keadaan hidrasi, balans cairan.
6) Waspada terhadap kemungkinan DIC.
2. Penatalaksanaan HONC
a. Pengobatan utama adalah rehidrasi dengan mengunkan cairan
NACL bisa diberikan cairan isotonik atau hipotonik normal
diguyur 1000 ml/jam sampai

keadaan

cairan

intravaskular

dan perfusi jaringan mulai membaik, baru diperhitungkan


kekurangan dan diberikan dalam 12-48 jam. Pemberian cairan
isotonil harus mendapatkan pertimbangan untuk pasien dengan
kegagalan jantung, penyakit ginjal atau hipernatremia. Gklukosa
5% diberikan pada waktu kadar glukosa dalam sekitar 200-250
mg%.
b. Insulin
Pada saat ini para ahli menganggap bahwa pasien
hipersemolar hiperglikemik non ketotik sensitif terhadap insulin
dan diketahui pula bahwa pengobatan dengan insulin dosis
rendah pada ketoasidosis diabetik sangat bermanfaat. Karena itu

17

pelaksanaan pengobatan dapat menggunakan skema mirip


proprotokol ketoasidosis diabetik
c. Kalium
Kalium darah harus dipantau dengan baik. Bila terdapat tanda
fungsi ginjal membaik, perhitungan kekurangan kalium harus
segera diberikan
d. Hindari infeksi sekunder
Hati-hati dengan suntikan, permasalahan infus set, kateter
3. Penatalaksanaan Krisis Tiroid
Penatalaksanaan krisis tiroid mempunyai 4 tujuan yaitu
menangani factor pencetus, mengontrol pelepasan hormone tiroid
yang berlebihan, menghambat pelepasan hormone tiroid, dan melawan
efek perifer hormone tiroid. Tindakan tersebut antara lain : pemberian
obat anti tiroid, terapi oksigen, penatalaksanaan shock, periksa AGD,
pengobatan sesuai tanda dan gejala (penurunan panas, terapi cairan,
selimut dingin) dan managemen stress.
Intervensi keperawatan berfokus pada hipermetabolisme, yang
dapat menyebabkan dekompensasi system organ, keseimbangan cairan
dan elektrolit, dan memburuknya system neurologist. Dalam tindakan
ini termasuk penurunan stimulasi eksternal yang tidak perlu,
penurunan konsumsi oksigen secara keseluruhan dengan mengatur
tingkat aktivitas klien. Setelah peroide krisis, intervensi diarahkan
pada penyuluhan pasien dan pencegahan memburuknya penyakit.
Penatalaksanaan krisis tiroid menurut Djokomoeljanto R (2010) yaitu:
a. Koreksi kadar elektrolit dan glukosa
Penatalaksaan pertama yang hendaknya dilakukan terhadap pasien
krisis tiroid dengan keadaan sopor atau koma adalah mengoreksi elektrolit
seperti pemberian

NaCl intravena(infuse) dan glukosa. Hal tersebut

dilakukan karena pada

pendetrita krisis thyroid, tubuh mengalami

hypermetabolisme akibat dari hormon thyroid yang memiliki efek


kalorigenik atau beban panas sehingga menyebabkan pasien mengalami
banyak pengeluaran elektrolit cairan tubuh. Selain itu, keadaan

18

hypermetabolisme seringkali menghabiskan banyak energi tubuh sehingga


dibutuhkan lebih banyak glukosa untuk pembentukan ATP selanjutnya.
b. Obat antitiroid
Penatalaksanaan medis dari krisis tirod terdiri dari suatu
rangkaian pengobatan yang bertujuan utuk mengehentikan
sintesis hormon yang baru di kelenjar tiroid, menghambat
pelepasan hormon yang disimpan di kelenjar tiroid, dan
menghambat efek hormon thyroid di jaringan perifer dengan cara
pencegahan konversi T4 menjadi T3; mengendalikan simptomp
adrenergik

yang

berhubungan

dengan

tirotoksikosis,

dan

mengontrol dekompensasi sistemik dengan terapi supportif.


Urutan terapi pada krisis tiroid sangat penting sehubungan
dengan

penggunaan

thionamide

dan

terapi

yodium.pada

kebanyakan pasien, menghambat sintesis hormon thyroid yang


baru dengan thionamide harus dilakukan terlebih dahulu sebelum
terapi

iodine

dilakukan,

untuk

mencegah

stimulasi

pembentukan/sintesis hormon thyroid yang baru hal ini dapat


muncul jika iodine diberikan terlebih dahulu. Namun, waktu
penundaan pemberian agen antititorid dan pemberian yodium
merupakan kontroversi dan hanya dapat diberikan dalam waktu
30-60 menit.
Obat antitiorid; dalam hal ini thionamide, telah digunakan
untuk pengobatan tirotoksikosis sejak penggunaan klasifikasi obat
ini tahun 1943. Dua spesifik kelas obat antitiroid adalah tiourasil
(PTU) dan imidazol (methimazole, karbimazole). Dalam kelenjar
thyroid,tionamide

menghalangi

proses

coupling

oleh

tiroperoksidase. Tionamid juga mempunyai efek menghambat


fungsi dan pertumbuhan sel folikular tiroid. Diluar dari kelenjar
tiroid, PTU, tetapi bukan metimazol, menghambat konversi T4
menjadi T3. Tionamid juga mempunyai oeran klinuis yang
penting untuk menekan antibodi reseptor antitirotropin dan
menurunkan molekul-molekul imunologis seperti ICAM-1 dan

19

IL-2. Obat antitiroid juga menginduksi apoptosis dari limfosit


intratiroidal dan menurunkan ekspresi HLA-DR II
Methimazole memiliki waktu paruh yang lebih panjang dari
PTU, sehingga frekuensi pemberiannya lebih sedikit. Obat-obatan
lain juga dapat dipertimbangkan dalam pengobatan krisis
tiroid.PTU mempunyai efek tambhan yang menguntungkan yaitu
menghambat konversi T4 menjadi T3. Durasi aksi methimazole
lebih panjang, sehingga dapat diberikan dengan frekuensi lebih
sedikit,

dibandingkan

dengan

pemberian

3-4x

PTU.

Sebaiknya,pemberian dosis PTU pada apsien krisis tiroid adalah


800-1200 mg/hari yang terbagi atas 200-300mg setiap 6 jam.
Dosis untuk methimazole adalah 80-100 mg/hari terbagi atas
dosis 20-25 mg setiap 6 jam sekali ( sekali stabil, frekuensi dari
dosis dapat diturunkan menjadi 1-2x sehari). Pemberian kedua
obat ini secara intravena diberikan kepada pasien koma atau yang
mengalami gangguan kesadaran. Biasanya diberikan secara oral
pada pasien sadar atau dapat juga per rektal.
Efek samping yang dijumpai dari obat antitiroid termasuk
abnormalitas

pengecapan, pruritus,urtikatria, demam dan

arthalgia. Efek samping yang lebih jarang dan lebih serius adalah
agranulositosis, hepatotoksisitas, dan vaskulitis. Oleh sebab itu
PTU lebih disarankan bagi wanita hamil dan pasien lanjut usia
karena pada pemberian methimazole, faktor resiko efek samping
agranulosistosis meningkat dua kali lipat daripada pasien lainnya.
Daoat

dipertimbangkan

pemberian

granulocyte

colony-

stimulating factor (G-CSF) untuk pengobatan agranulositosis


yang timbul oleh obat antitiroid
c. Terapi iodine
Dalam settingan pengobatan krisis tiroid, terapi iodin
melengkapi

efek

dari

terapi

tionamid.

Terapi

tionamid

menurunkan sintesis dan produksi hormon yang baru; terapi


iodine menghambat pelepasan horom yang disimpan, dan

20

menurunkan transportasi iodida dan oksidadi di sel folikular.


Penurunan ini, dikarenakan peningkatan dosis iodida organik
yang

dikenal

memberikan

efek

Wolff-Chaikoff

atau

menghambat proteolisis thyroglobulin. Kenaikan kecil dari iodida


yang tersedia, menyebabkan peningkatan pembentukan hormon
tiroid, namun,

jumlah besar iodida eksogen menghambat

pembentukan hormon. Pada konsentrasi lebih dati 1 mol/L,


proses iodinasi dihambat. Walaupun efek pemberian ini dapat
berguna, kelenjar tiroid akhirnya akan escape setelah administrasi
iodida paling tidak dalam 48 jam, hal ini dikarenakan kelenjar
tiroid akhirnya akan lolos dati penghambatan ini. Proses terjadi
oleh karena sistem transportasi iodida menyesuaikan diri dengan
konsentrasi iodida yang lebih tinggi melalui modulasi aktivitas
simporter natrium-Iodida(Escape Effect). Walaupun iodida aktif
menurunkan akdar hormon tiroid dengan cepat, biasanya dalam
waktu 7-14 hari efeek ini akan hilang dan akan kembali ke
keadaan

hipertiroid

dalam

2-3

minggu,

jika

tidak

ada

pengobatanlain yang diberikan. Oleh karen itu, penggunan iodida


untuk mengobati tirotoksikosis masih terbatas, dan oleh sebab itu
hanya digunakan pada tirotoksiskosis berat/ krisis tiroid dengan
kombinasi dengan terapi tionamid.
Formula oral dari iodine onorganik termasuk larutan Lugol
dan saturated solution of potassium iodide. Dosis untuk sediaan
ini adalah 0,2 sampai dengan 3 gram per hari, dengan 4-8 tetes
larutan lugol (20 drops/ml,8 mg iodine/tetes) setiap 6-8 jam dan 5
tetes saturated solution of potassium iodide ( 20 tetes/ml, 38
mgiodide/tetes) setiap 6 jam. Pemberian agen kontras teriodinasi
peroral, asam iopanic, dan sodium ipodate, mempunyai efek
multipel pada hormon tiroid di perifer dan didalam kelenjar tiroid.
Agen kontras teriodinasi ini kompetitif menghambat enzim 5
monodeiodimnase tipe 1 dan 2 di hati, otal, dan tiroid,

21

menghambat konversi T4 menjadi T3, sehingga menurunkan


kadar T3 sangat cepat. Agen ini

juga dijumpai menghambat

ikatan T3 dan T4 pada reseptor seluler. Pada krisis tiroid, sodium


ipodate (3087mg iodine/500 mg kapsul) diberikan 1 sampai 3
gram/hari. Biasanya, asam iopanic diberikan dengan dosis 1 gram
setiap 8 jam untuk 24 jam pertama dan diikuti dengan 500 mg dua
kali sehari. Namun agen antitiroid ini sudah tidak dipasarkan lagi
d. Beta Blocker
Mengontrol manifestasi kardiovaskular dari tirotoksikosis,
merupakan bagian
perubahan

penting dari manajemen krisis tiroid,

manifestasi

kardiovaskular

pada

tirotoksiskosis

muncul dikarenakan efek hormon tiroid yang berbeda pada jantng


dan vaskularisasi sistemik. Hormon tiroid menurunkan resistensi
vaskular sistemik melalui aksi vasodilator langsung di oto polos
dan pelepasan nitrit oksida oleh endotel lain. Efek dari hormon
tiroid terhadap jantung sebagian besar disebabkan oleh efek
genomik dari T3 yang berikatan dengan reseptor nukleus spesifik.
Hal ini berperan besar dalam memodulasi struktur jantung dan
kontraktilitas. Spesifiknya, T3 mengaktivasi transkripsi rantai
berat miosin alfa (MHC-alfa), dan menekan transkripsi dari rantai
berat miosin beta (MHC-beta). Protein miofibril yang merupakan
komposisi dari filamen tebal miosit jantung. T3 juga meregulasi
produksi protein retikulum sarkoplasma, calcium activated
ATPase, dan fosfolamban. Selain itu, T3 juga mempunyai efek
nongenomik, dengan mempengaruhi status sodium, potassium,
dan kanal kalsium.
Penghambat beta, penting untuk mengontrol aksi perifer dari
hormon tiroid. Penggunaan antagonis reseptor beta-adrenergik
dalam penatalaksanaan krisis tiroid pertama kali dilaporkan
adalah dengan menggunakan obat-obatan pronetalol. Tidak lama
kemudian, propanolol menjadi obat beta blocker yang

paling

sering digunakan. Pada krisisbtiroid propanolol digunakan dalam

22

dosis 60-80 mg setiap 4 jam, atau 80-120 mg setaip 4 jam. Onset


aksi setelah pemberian oral membutuhkan waktu 1 jam. Untuk
efek lebih cepat, propanolol dapat diberikan parenteral, dengan
bolus 0,5 sampai 1 mg dalam 10 menit diikuti dengan 1-3 mg
dalam waktu 10 menit. Esmolol juga dapat diberikam parenteral
dengan dosis 50-100 g/kg/menit. Dosis propanolol memerlukan
dosis yang relatif lebih besar oleh karena metabolisme obat lebih
cepat, dan dikarenakan reseptor jantung beta-adrenergik lebih
banyak. Pemberian beta-blocker intravena harus dilakukan
dengan monitoring yang tepat. Propam]nolol dengan dosis
besar(>160 mg/hari) dapat menurunkan kadar T3 sebanyak 30%.
Efek ini, dimediasi oleh inhibisi 5 monoideiodenase. Oleh karena
propnolol memiliki waktu paruh yang pendek, dosis lebih besar
dengan frekuensi lebih sering diperlukan. Atenolol juga dapat
digunakan pada tirotoksikpsis, dengan rentang dosis 50-200
mg/hari, namun mungkin membutuhkan dua kali sehari untuk
mencapai kontrol yang adekuat. Agen oral laimh yang dapat
digunakan antara lain metaprolol 100-200 mg/hari dan nadolol
40-80 mg/hari. Kontraindikasi relatif

penggunaan antagonis

reseptor antagonis termasuk riwayat gagal jantung yang berat dan


dijumoai penyempitan jalan nafas.
Salah satu komplikasi kardiovaskular dari tirotoksikosis
adalah atrial fibrilasi, yang muncul pada 10-35% kasus.
Konsensus mengatakan bahwa pada pasien tiroktoksikosis yang
mengalami atrial fibrilasi, terapi antitrombotik dilakukan jika
dijumpai faktor resiko tromboemboli pada krisis tiroid. Oleh
karena itu, warfarin atau aspirin mungkin dapat digunakan
e. Glukokortikoid
Glukortikoid termasuk dalam hal ini deksametason dan
hidrokortison juga telah digunakan untuk mengobati krisis tiroid,
oleh karena obat ini mempunyai efek menghambat konversi T4
menjadi T3. Oleh karena itu, glukokortikoid efektif mengurangi

23

kadar T3 sebagai terapi adjuvantivus. Dan juga glukokortikoid,


digunakan pada krisis tiroid, untuk mengobati kemungkinan
adrenal insufisiensi relatif. Ada beberapa studi menemukan kadar
setu, kortisol yang rendah pada pasien dengan krisis tiroid. Pada
pasien dengan tirotoksikosis, pengobatan dengan glukokortikoid
merupakan standar pengobatan oleh karena kejadian insufisiensi
relatif, atau kemungkinan misdiagnosis penyakit addison atau
insufisisensi renal. Dosis glukokortikoid pada krisis tiroid dapat
menggunakan hidrokortison 100 mg intravna setiap 8 jam, dengan
penurunan dosis sejalan dengan perbaikan gejala klinis krisis
tiroid.
C. Perencanaan Keperawatan Ketoasidosis Diabetikum, HONK dan Krisis
Tiroid
1. Perencanaan Keperawatan Ketoasidosis
a. Defisit Volume Cairan berhubungan dengan Kehilangan volume
cairan secara aktif, Kegagalan mekanisme pengaturan
Kriteria Hasil :
1) Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ
urine normal, HT normal
2) Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3) Tidak ada tanda tanda dehidrasi, Elastisitas turgor kulit baik,
membran mukosa lembab, tidak ada rasa haus yang berlebihan
Intervensi:
1) Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2) Monitor status hidrasi ( kelembaban membran mukosa, nadi
adekuat, tekanan darah ortostatik ), jika diperlukan
3) Monitor vital sign
4) Monitor masukan makanan / cairan dan hitung intake kalori
5)
6)
7)
8)
9)
10)
11)

harian
Kolaborasikan pemberian cairan IV
Monitor status nutrisi
Berikan cairan IV pada suhu ruangan
Dorong masukan oral
Berikan penggantian nesogatrik sesuai output
Dorong keluarga untuk membantu pasien makan
Tawarkan snack ( jus buah, buah segar )

24

12) Kolaborasi dokter jika tanda cairan berlebih muncul meburuk


13) Atur kemungkinan tranfusi
14) Persiapan untuk tranfusi
b. Pola Nafas tidak efektif
Kriteria hasil:
1) Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara nafas yang bersih,
tidak ada sianosis dan dyspneu (mampu mengeluarkan sputum,
mampu bernafas dengan mudah, tidak ada pursed lips)
2) Menunjukkan jalan nafas yang paten (klien tidak merasa tercekik,
irama nafas, frekuensi pernafasan dalam rentang normal, tidak
ada suara nafas abnormal)
3) Tanda Tanda vital dalam rentang normal (tekanan darah, nadi,
pernafasan)
Intervensi:
1) Buka jalan nafas, guanakan teknik chin lift atau jaw thrust bila
perlu
2) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
3) Identifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
4) Pasang mayo bila perlu
5) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
6) Keluarkan sekret dengan batuk atau suction
7) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
8) Berikan bronkodilator bila perlu
9) Berikan pelembab udara Kassa basah NaCl Lembab
10) Atur intake untuk cairan mengoptimalkan keseimbangan.
11) Monitor respirasi dan status O2
12) Berikan terapi oksigen
13) Monitor tanda-tanda vital
c. Risiko infeksi dengan faktor risiko Tidak adekuat pertahanan primer
atau sekunder (penurunan Hb, Leukopenia, penekanan respon
inflamasi).
Kriteria hasil:
1) Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2) Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3) Jumlah leukosit dalam batas normal
4) Menunjukkan perilaku hidup sehat
Intervensi:
1) Kontrol infeksi
2) Pertahankan teknik isolasi
3) Batasi pengunjung bila perlu

25

4) Instruksikan pada pengunjung untuk mencuci tangan saat


berkunjung dan setelah berkunjung meninggalkan pasien
5) Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan lokal
6) Hitung granulosit, WBC
7) Monitor kerentanan terhadap infeksi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan pemasukan atau mencerna makanan atau
mengabsorpsi zat-zat gizi berhubungan dengan faktor biologis,
psikologis atau ekonomi
Kriteria hasil:
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3) Mampumengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4) Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5) Menunjukkan peningkatan fungsi pengecapan dari menelan
6) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
Intervensi:
1) Kaji adanya alergi makanan
2) Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan
nutrisi yang dibutuhkan pasien.
3) Berikan substansi gula
4) Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk
mencegah konstipasi
5) Berikan makanan yang terpilih ( sudah dikonsultasikan dengan
6)
7)
8)
9)

ahli gizi)
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi yang

dibutuhkan
10) BB pasien dalam batas normal
11) Monitor adanya penurunan berat badan
12) Monitor tipe dan jumlah aktivitas yang biasa dilakukan
e. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan kognitif,
interpretasi terhadap informasi yang salah, kurangnya keinginan untuk
mencari informasi, tidak mengetahui sumber-sumber informasi.
Kriteria hasil:
1) Pasien dan keluarga menyatakan pemahaman tentang penyakit,
kondisi, prognosis dan program pengobatan
26

2) Pasien dan keluarga mampu melaksanakan prosedur yang


dijelaskan secara benar
3) Pasien dan keluarga mampu menjelaskan kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim kesehatan lainnya.
Intervensi:
1) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan pasien tentang
proses penyakit yang spesifik
2) Jelaskan patofisiologi dari penyakit dan bagaimana hal ini
berhubungan dengan anatomi dan fisiologi, dengan cara yang
tepat.
3) Gambarkan tanda dan gejala yang biasa muncul pada penyakit,
dengan cara yang tepat
4) Gambarkan proses penyakit, dengan cara yang tepat
5) Identifikasi kemungkinan penyebab, dengna cara yang tepat
6) Sediakan informasi pada pasien tentang kondisi, dengan cara
yang tepat
7) Diskusikan perubahan gaya hidup yang mungkin diperlukan
untuk mencegah komplikasi di masa yang akan datang dan atau
proses pengontrolan penyakit
8) Diskusikan pilihan terapi atau penanganan
9) Dukung pasien untuk mengeksplorasi atau mendapatkan second
opinion dengan cara yang tepat atau diindikasikan
10) Instruksikan pasien mengenai tanda dan gejala untuk melaporkan
pada pemberi perawatan kesehatan, dengan cara yang tepat

27

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keto Asidosis Diabetikum (KAD) merupakan salah satu kompliasi
akut DM akibat defisiensi hormone insulin yang tidak dikenal dan bila
tidak mendapat pengobatan segera akan menyebabakan kematian. Etiologi
dari KAD adalah Insulin tidak diberikan dengan dosis yang kurang,
keadaan sakit atau infeksi pada DM, manifestasi pertama pada penyakit
diabetes yang tidak terdiagnosis dan tidak diobati. Ada tiga gambaran
kliniks yang penting pada diabetes ketoasidosis yaitu dehidrasi, kehilangan
elektrolit dan asidosis. Dehidrasi disebabkan mekanisme ginjal dimana
tubuh terjadi hiperglikemia, sehingga ginjal mensekresikan dengan
natrium dan air yang disebut poliuri. Kehilangan elektrolit merupakan
kompensasi dari defisiensi insulin. Sedangkan asidosis adalah peningkatan
pH dan diiringi oleh penumpukan benda keton dalan tubuh. Keadaan
ketoasidosis merupakan keadan yang memerlukan banyak pengontrolan

28

dan pemantauan insulin dan cairan elektrolit, karena bila kekurangan atau
malah terjadi kelebihan akan mengakibatkan komplikasi yang sulit untuk
ditanggulangi. HONK merupakan komplikasi akut dari diabetes melitus.
Resistensi insulin menjadi penyebab utama. Glukosa tidak bisa dimasukan
ke dalam sel karena terjadi resistensi insulin, sehinggaa terjadi
hiperglikemi. Pada KAD ditemukan badan keton sehingga pH darah pada
umumnya asam (<7,3) sedangkan pada HONK tidak ditemukan badan
keton sehingga pH darah pada umumnya basa(>7,3). Hasil dari pemecahan
protein didapatkan banyak Nitrogen karena rumus senyawa dari protein
sendiri adalah CHON, dari pemecahan lemak didapatkan bahan buangan
urea, jadi akan didapatka BUN (Blood urea Nitrogen) yang tinggi. Krisis
tiroid timbul saat terjadi dekompensasi sel-sel tubuh dalam merespon
hormon

tiroid

yang

menyebabkan

hipermetabolisme

berat

yang

melibatkan banyak sistem organ dan merupakan bentuk paling berat dari
tirotoksikosis.
B. Saran
Bila menemukan klien yang DM tetapi belum terjadi KAD berikan
informasi tentang KAD dan pencegahan terhadap KAD. Bila menemukan
klien dengan KAD, sebaiknya selalu kontrol pemberian insulin dan cairan
elektrolit sehingga meminimalkan terjadinya komplikasi yang tidak
diinginkan.

29

DAFTAR PUSTAKA
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8,
Volume 2. Jakarta : EGC
Djokomoeljanto R. 2010. Kelenjar Tiroid, Hipotiroidisme, dan Hipertiroidisme.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Interna Publishing
Hudak, M.C & Gall, B, M. 2010. Keperawatan Kritis Edisi 6. Jakarta : EGC
Soewondo, Pradana. 2009. Koma Hiperosmolar Hiperglikemik Non Ketotik.
Dalam : Aru W. Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V.
Jakarta : Interna Publishing
Sudoyo W. Aru, dkk. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Jakarta:
FKUI
Sumantri, Stevent M.D. 2009. Pendekatan Diagnostik dan Tatalaksana
Ketoasidosis Diabetikum. Internal Medicine Departement

30

Anda mungkin juga menyukai