Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling
sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada
mereka yang menurun sistem imunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi
jalan napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi

ini memiliki proporsi

yang sama antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis
kronik atau
tonsilitis

percobaan

multipel

penggunaan

antibiotik

oral

untuk

akut merupakan predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses

peritonsil. Di Amerika insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per


100.000 orang per tahun, dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun.1
.

Abses

leher dalam terbentuk dalam ruang potensial diantara fasia

leher dalam sebagai akibat dari penjalaran infeksi dari berbagai sumber,
seperti

gigi, mulut, tenggorok, sinus paranasal, telinga tengah dan leher

tergantung ruang mana yang terlibat. Gejala dan tanda klinik dapat berupa
nyeri dan pembengkakan. Abses peritonsil (Quinsy) merupakan salah satu dari
Abses leher dalam dimana selain itu abses leher dalam dapat juga abses
retrofaring, abses parafaring, abses submandibula dan angina ludovici (Ludwig
Angina) . 2
.

Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada

bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsil. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.1

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Tonsil adalah massa yang terdiri dari jaringan limfoid dan ditunjang oleh
jaringan ikat dengan kriptus di dalamnya Terdapat tiga macam tonsil yaitu tonsil
faringeal (adenoid), tonsil palatina, dan tonsil lingual yang ketiga- tiganya
membentuk
yang

lingkaran

disebut

cincin
5

Waldeyer.

Gambar 1. Anatomi Tonsil6

2.1.1 Tonsil Palatina


Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di dalam
fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior (otot
palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus).

Tonsil berbentuk oval

dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus yang
meluas ke dalam jaringan tonsil.

Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa

tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar. Tonsil
terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh: 3

Lateral

: Muskulus konstriktor faring superior

Anterior

: Muskulus palatoglosus

Posterior

: Muskulus palatofaringeus

Superior

: Palatum mole

Inferior

: Tonsil lingual

Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga


melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam
stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli merupakan
bagian

penting

mekanisme pertahanan
yang

tersebar

seluruh

tubuh

di
tubuh

sepanjang

jalur

pembuluh

limfatik.

Noduli sering saling


menyatu dan umumnya
memperlihatkan

pusat

germinal.3

Gambar 2. Tonsilla Palatina6


2.1.2 Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah
otot palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral
atau dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan

dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke IX
yaitu nervus glosofaringeal.7

2.1.3 Pendarahan
Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna,
yaitu
1. Arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteritonsilaris
dan arteri palatina asenden
2. Arteri maksilaris interna dengan cabangnya arteri palatina desenden
3. Arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis dorsal
4. Arteri faringeal asenden
Kutub bawah tonsil bagian anterior diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal
dan bagian posterior oleh arteri palatina asenden, diantara kedua daerah tersebut
diperdarahi oleh

arteri tonsilaris.

Kutub atas tonsil diperdarahi oleh

arteri

faringeal asenden

dan arteri palatina

desenden.

vena

Vena-

dari

tonsil

membentuk

pleksus

bergabung dengan

pleksus dari faring.

Aliran

melalui

vena

balik
di

sekitar

lidah dan pleksus

yang
pleksus

kapsul tonsil, vena


faringeal.7

Gambar 3. Vaskularisasi Tonsil

2.1.4 Aliran Getah Bening


Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.7
2.1.5 Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX
(nervus glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.8

2.1.6 Imunologi Tonsil


Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit.
Limfosit B membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar.
limfosit T pada tonsil adalah

40%

Sedangkan

dan 3% lagi adalah sel plasma yang

matang.Limfosit B berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA,


IgM, IgD), komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area

yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel

limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ limfatik
sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit yang sudah
disensitisasi.

Tonsil mempunyai dua fungsi utama yaitu 1) menangkap dan

mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ utama produksi


antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen spesifik.9
5

2.2 Abses Peritonsilar


2.2.1 Definisi
Abses peritonsil adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada
bagian kepala dan leher. Gabungan dari bakteri aerobic dan anaerobic di daerah
peritonsilar. Tempat yang bisa berpotensi terjadinya abses adalah adalah didaerah
pillar tonsil anteroposterior, fossa piriform inferior, dan palatum superior.1
Abses Peritonsil (PTA) merupakan kumpulan/timbunan (accumulation)
pus (nanah) yang terlokalisir/terbatas (localized) pada jaringan peritonsillar yang
terbentuk sebagai hasil dari suppurative tonsillitis. 3
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di
spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.
kontriktor

superior,

biasanya

unilateral

dan

didahului

oleh

infekrsi

tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya.2


2.2.2 Epidemiologi
Abses peritonsil dapat terjadi pada umur 10-60 tahun, namun paling sering
terjadi pada umur 20-40 tahun. Pada anak-anak jarang terjadi kecuali pada mereka
yang menurun sistem immunnya, tapi infeksi bisa menyebabkan obstruksi jalan
napas yang signifikan pada anak-anak. Infeksi ini memiliki proporsi yang sama
antara laki-laki dan perempuan. Bukti menunjukkan bahwa tonsilitis kronik atau
percobaan multipel penggunaan antibiotik oral untuk tonsilitis akut merupakan
predisposisi pada orang untuk berkembangnya abses peritonsiler. Di Amerika
insiden tersebut kadang-kadang berkisar 30 kasus per 100.000 orang per tahun,
dipertimbangkan hampir 45.000 kasus setiap tahun. 1

2.2.3 Etiologi
Proses ini terjadi sebagai komplikasi tonsilitis akut atau infeksi yang
bersumber dari kelenjar mukus Weber di kutub atas tonsil. Biasanya kuman
penyebab sama dengan penyebab tonsilitis, dapat ditemukan kuman aerob dan
anaerob.3
Organisme aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler
adalah

Streptococcus

pyogenes

(Group

Beta-hemolitik

streptoccus),

Staphylococcus aureus, dan Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme


anaerob yang berperan adalah Fusobacterium. Prevotella, Porphyromonas,
Fusobacterium,dan Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler
diduga disebabkan karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.4

2.2.4 Patogenesis
Patofisiologi PTA belum diketahui sepenuhnya. Namun, teori yang paling
banyak diterima adalah kemajuan (progression) episode tonsillitis eksudatif
pertama menjadi peritonsillitis dan kemudian terjadi pembentukan abses yang
sebenarnya (frank abscess formation).10
Daerah superior dan lateral fosa tonsilaris merupakan jaringan ikat
longgar, oleh karena itu infiltrasi supurasi ke ruang potensial peritonsil tersering
menempati daerah ini, sehingga tampak palatum mole membengkak. Abses
peritonsil juga dapat terbentuk di bagian inferior, namun jarang. Pada stadium
permulaan, (stadium infiltrat), selain pembengkakan tampak

juga permukaan

yang hiperemis. Bila proses berlanjut, daerah tersebut lebih lunak dan berwarna
kekuning-kuningan. Tonsil terdorong ke tengah, depan, dan bawah, uvula bengkak
7

dan terdorong ke sisi kontra lateral. Bila proses terus berlanjut, peradangan
jaringan di sekitarnya akan menyebabkan iritasi pada m.pterigoid interna,
sehingga timbul trismus. Abses dapat pecah spontan, sehingga dapat terjadi
aspirasi ke paru. Selain itu, PTA terbukti dapat timbul de novo tanpa ada riwayat
tonsillitis kronis atau berulang (recurrent) sebelumnya. PTA dapat juga merupakan
suatu gambaran (presentation) dari infeksi virus Epstein-Barr.9,10

Gambar 4: Abses Peritonsial di bagian kiri


2.2.5 Gejala klinis
Selain gejala dan tanda tonsilitis akut, terdapat juga odinofagia (nyeri
menelan) yang hebat, biasanya pada sisi yang sama juga dan nyeri telinga
(otalgia), muntah (regurgitasi), mulut berbau (foetor ex ore), banyak ludah
(hipersalivasi), suara sengau (rinolalia), dan kadang-kadang sukar membuka
mulut (trismus), serta pembengkakan kelenjar submandibula dengan nyeri tekan.
Bila ada nyeri di leher (neck pain) dan atau terbatasnya gerakan leher (limitation
in neck mobility), maka ini dikarenakan lymphadenopathy dan peradangan otot
tengkuk (cervical muscle inflammation).2,8
8

2.2.6 Diagnosis
Prosedur diagnosis dengan melakukan Aspirasi jarum (needle aspiration).
Tempat aspirasi dibius / dianestesi menggunakan lidocain dengan epinephrine dan
jarum

besar

(berukuran

1618)

yang

biasa

menempel

pada

syringe

berukuran10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas,


dan material dapat dikirim untuk dibiakkan.

Gambar 5: Aspirasi jarum pada abses perotinsilar


.
Pada penderita PTA perlu dilakukan pemeriksaan:11
1.Hitung darah lengkap (complete blood count), pengukuran kadar elektrolit
(electrolyte level measurement), dan kultur darah (blood cultures).
2.Tes

Monospot

(antibodi

heterophile)

perlu

dilakukan

pada

pasien

dengantonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,


penderita memerlukan evaluasi / penilaian hepatosplenomegali. Liver function
tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegali.

3.Throat culture atau throat swab and culture: diperlukan untuk identifikasi
organisme yang infeksius. Hasilnya dapat digunakan untuk pemilihan antibiotik
yang tepat dan efektif, untuk mencegah timbulnya resistensi antibiotik.
4.Plain radiographs: pandangan jaringan lunak lateral (Lateral soft tissue views)
dari nasopharynx dan oropharynx dapat membantu dokter dalam menyingkirkan
diagnosis abses retropharyngeal.
5.Computerized tomography (CT scan): biasanya tampak kumpulan cairan
hypodense di apex tonsil yang terinfeksi (the affected tonsil), dengan peripheral
rim enhancement.
6.Ultrasound, contohnya: intraoral ultrasonografi.9,11
2.2.7 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi ialah:
1. Abses pecah spontan, mengakibatkan perdarahan aspirasi paru, atau
piema.
2. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring, sehingga terjadi abses
parafaring.

Kemudian

dapat

terjadi

penjalaran

ke

mediastinum

menimbulkan mediastinitis.
3. Bila terjadi penjalaran ke daerah intracranial, dapat mengakibatkan
thrombus sinus kavernosus, meningitis, dan abses otak. Sejumlah
komplikasi klinis lainnya dapat terjadi jika diagnosis PTA diabaikan.
Beratnya komplikasi tergantung dari kecepatan progression penyakit.
Untuk itulah diperlukan penanganan dan intervensi sejak dini.3,9
2.2.8 Diagnosis Banding
Abses retrofaring: Penyakit ini terjadi terutama pada bayi atau anak-anak kecil
yang berusia di bawah dua tahun, Pada anak yang lebih tua atau dewasa penyakii

10

ini hampir selalu terjadi sekunder akibat dari penyebaran abses spatium
parafaringeunl atau gangguan traumatik dari batas dinding faring posterior oleh
trauma yang berasal dari benda asing atau selama penggunaan alat-alat atau
intubasi. Penyakit sebaiknya dicurigai jika pada bayi atau anak yang masih kecil
terdapat demam yang tidak dapat dijelaskan setelah infeksi pernapasan napas bagian atas dan terdapat gejala- gejala hilangnya nafsu makan, perubahan dalam
bicara, dan kesulitan menelan. Stridor terjadi jika abses menjadi semakin besar
atau ederna meluas ke bawah mengenai laring. Pada dewasa terdapat gejala
disfagia, nyeri menelan, dan gejala,-gejala yang memberi kesan adanya obstruksi
jalan napas. Pada orang dewasa, jika abses semakin besar terdapat nyeri dan
pembengkakan pada leher, spatium para faringeu m biasanya terkena secara
bersamaan.2,3

Abses parafaring yaitu peradangan yang disertai pembentukan pus pada ruang
parafaring. Ruang parafaring dapat mengalami infeksi secara langsung akibat
tusukan saat tonsilektomi, limfogen dan hematogen. Gejala dan tanda yang utama
ialah trismus, indurasi atau pembengkakan di sekitar angulus submandibula,
demam tinggi dan pembengkakan diniding lateral faring, sehingga menonjol ke
arah medial. 2,3

Abses submandibula adalah suatu peradangan yang disertai pembentukan pus


pada daerah submandibula. Keadaan ini merupakan salah satu infeksi pada leher
bagian dalam (deep neck infection). Pada umumnya sumber infeksi pada ruang
submandibula berasal dari proses infeksi dari gigi, dasar mulut, faring, kelenjar
limfe submandibula. Mungkin juga kelanjutan infeksi dari ruang leher dalam lain.
Terdapat demam dan nyeri leher disertai pembengkakan di bawah mandibula dan
tau di bawah lidah. Pasien juga biasanya akan mengeluhkan air liur yang banyak,
trismus akibat keterlibatan muskulus pterigoideus, disfagia dan sesak nafas akibat
sumbatan jalan nafas oleh lidah yang terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya pembengkakan di daerah

11

submandibula, fluktuatif, dan nyeri tekan. Pada insisi didapatkan material yang
bernanah atau purulent (merupakan tanda khas). Angulus mandibula dapat diraba.
Lidah terangkat ke atas dan terdorong ke belakang.2,3
2.2.8 Terapi
Beberapa macam terapi yang selama ini dikenal adalah :
a) Pemberian antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
b) Pungsi dan aspirasi disertai antibioik parenteral.
b) Insisi dan mengeluarkan nanah disertai pemberian antibiotika secara
parenteral atau peroral.
c) Segera tonsilektomi disertai pemberian antibiotika parenteral
d) Pemberian steroid
Pada stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat
simtomatik. Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada
leher. Antibiotik yang diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau
ampisilin / amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,
metronidazol 3-4 x 250-500 mg.3,7
Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi pada daerah abses, kemudian
diinsisi untuk mengeluarkan nanah. Tempat insisi ialah di daerah yang paling
menonjol dan lunak, atau pada pertengahan garis yang menghubungkan dasar
uvula dengan geraham atas terakhir. Intraoral incision dan drainase dilakukan
dengan mengiris mukosa overlying abses, biasanya diletakkan di lipatan
supratonsillar. Drainase atau aspirate yang sukses menyebabkan perbaikan segera
gejala-gejala pasien. Bila terdapat trismus, maka untuk mengatasi nyeri, diberikan
analgesia lokal di ganglion sfenopalatum. Kemudian pasien dianjurkan untuk
operasi tonsilektomi a chaud. Bila tonsilektomi dilakukan 3-4 hari setelah
drainase abses disebut tonsilektomi atiede, dan bila tonsilektomi 4-6 minggu
sesudah drainase abses disebut tonsilektomi a froid. Pada umumnya

12

tonsilektomi dilakukan sesudah infeksi tenang, yaitu 2-3 minggu sesudah drainase
abses.3,12
Stringer telah melakukan terapi APT secara pungsi maupun insisi; pada
kedua kelompok perlakuan tersebut gejala obyektip sudah berkurang mendekati
minimal pada hari ke-2, sedangkan kesembuhan total dicapai pada hari ke-10.
Herson yang melakukan pungsi pada 41 penderita APT, mendapatkan hasil 90%
sembuh sempurna dengan waktu ke- sembuhan rata-rata 2,6 hari. Terhadap 10%
penderita yang gagal dengan terapi pungsi, terapi diganti dengan cara
konvensional yaitu insisi dan pelebaran luka insisi di hari-hari berikutnya, sampai
penderita dinyatakan sembuh. Pada penelitian ini dari 19 penderita APT yang
menjalani terapi pungsi tidak ada satupun yang mengalami kegagalan sehingga
memerlukan tindakan insisi.5,7
Tonsilektomi merupakan indikasi absolut pada orang yang menderita abses
peritonsilaris berulang atau abses yang meluas pada ruang jaringan sekitarnya.
Abses peritonsil mempunyai kecenderungan besar untuk kambuh. Sampai saat ini
belum ada kesepakatan kapan tonsilektomi dilakukan pada abses peritonsil.
Sebagian penulis menganjurkan tonsilektomi 68 minggu kemudian mengingat
kemungkinan

terjadi

perdarahan

atau

sepsis,

sedangkan

sebagian

lagi

menganjurkan segera tonsilektomi,.5,7


Penggunaan steroids masih kontroversial. Penelitian terbaru yang dilakukan
Ozbek tahun 2004 mengungkapkan bahwa penambahan dosis tunggal intravenous
dexamethasone pada antibiotik parenteral telah terbukti secara signifikan
mengurangi waktu opname di rumah sakit ( hours hospitalized ), nyeri
tenggorokan (throat pain), demam, dan trismus dibandingkan dengan kelompok
yang hanya diberi antibiotik parenteral.7
Lamkin pada penelitiannya pada 98 pasien abses peritonsiler yang
menjalani

rawat

jalan

melaporkan

sukses

mengobati

95,9%

dan

merekomendasikan pengobatan abses peritonsiler dengan pemberian steroid yang


terdiri dari 3 regimen yaitu: Dexamethasone 20 mg IV dan Metilprednisolon 80120 mg IM, Hidrasi dengan Dextrose 5% 1-2 liter, Antibiotik dengan Cefazolin 2

13

mg IV saat pasien datang dan Cephlexin 500 mg oral 4 kali sehari untuk 10 hari di
rumah.10,12

Gambar 6: Algoritma penanganan abses peritonsilar

14

2.2.9 Prognosis
Abses peritonsiler hampir selalu berulang bila tidak diikuti dengan
tonsilektomi., maka ditunda sampai 6 minggu berikutnya. Pada saat tersebut
peradangan telah mereda, biasanya terdapat jaringan fibrosa dan granulasi pada
saat operasi.2,10

15

BAB III
KESIMPULAN
Abses peritonsil merupakan infeksi akut atau abses yang berlokasi di
spatium peritonsiler, yaitu daerah yang terdapat di antara tonsil dengan m.
kontriktor

superior,

biasanya

unilateral

dan

didahului

oleh

infekrsi

tonsilopharingitis akut 5-7 hari sebelumnya. Abses peritonsil dapat terjadi pada
umur 10-60 tahun, namun paling sering terjadi pada umur 20-40 tahun. Organisme
aerob yang paling sering menyebabkan abses peritonsiler adalah Streptococcus
pyogenes (Group A Beta-hemolitik streptoccus), Staphylococcus aureus, dan
Haemophilus influenzae. Sedangkan organisme anaerob yang berperan adalah
Fusobacterium.

Prevotella,

Porphyromonas,

Fusobacterium,dan

Peptostreptococcus spp. Untuk kebanyakan abses peritonsiler diduga disebabkan


karena kombinasi antara organisme aerobik dan anaerobic.
Gejala yang dikeluhkan pasien antara lain panas sub febris, disfagia dan
odinofagia yang menyolok dan spontan, hot potato voice, mengunyah terasa
sakit karena m. masseter menekan tonsil yang meradang, nyeri telinga (otalgia)
ipsilateral, foetor ex orae, perubahan suara karena hipersalivasi dan banyak ludah
yang menumpuk di faring, rinolalia aperta karena udem palatum molle (udem
dapat terjadi karena infeksi menjalar ke radix lingua dan epiglotis = udem
perifokalis), trismus (terbatasnya kemampuan untuk membuka rongga mulut)
yang bervariasi, tergantung derajat keparahan dan progresivitas penyakit, trismus
menandakan adanya inflamasi dinding lateral faring dan m. Pterigoid interna,
sehingga menimbulkan spasme muskulus tersebut. Akibat limfadenopati dan
inflamasi otot, pasien sering mengeluhkan nyeri leher dan terbatasnya gerakan
leher (torticolis). Pada pemeriksaan fisik, didapatkan tonsilitis akut dengan
asimetri faring sampai dehidrasi dan sepsis. Didapatkan pembesaran dan nyeri
tekan pada kelenjar regional. Pada pemeriksaan kavum oral terdapat eritema,
asimetri palatum mole, eksudasi tonsil, dan pergeseran uvula kontralateral. Pada
stadium infiltrasi, diberikan antibiotika dosis tinggi dan obat simtomatik.
Juga perlu kumur-kumur dengan air hangat dan kompres dingin pada leher.

16

Antibiotik

yang

diberikan ialah penisilin 600.000-1.200.000 unit atau

ampisilin/amoksisilin 3-4 x 250-500 mg atau sefalosporin 3-4 x 250-500 mg,


metronidazol 3-4 x 250-500 mg2. Bila telah terbentuk abses, dilakukan pungsi
pada daerah abses, kemudian diinsisi untuk mengeluarkan nanah.

17

DAFTAR PUSTAKA
1. Tan AJ. 2010. Peritonsillar abscess in emergency medicine. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/764188-overview. diakses pada tanggal 20
Februari 2016
2.Adams, G.L. 1997. Penyakit-Penyakit Nasofaring Dan Orofaring . Dalam:Boies,
Buku Ajar Penyakit THT, hal.333. EGC, Jakarta.
3.Fachruddin, darnila. 2006. Abses Leher Dalam. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan, Telinga-Hidung-Tenggorokan, hal. 185. Balai Penerbit FKUI,Jakarta.
4.Soepardi,E.A,

Iskandar,

H.N,

Abses

Peritonsiler,

Buku

Ajar

Ilmu

KesehatanTelinga, Hidung dan Tenggorokan, Jakarta: FKUl, 2000; 185-89.


5. Efiaty AS, Nurbaiti I, Jenny B, Ratna DR. Buku Ajar Ilmu Kesehatan: Telinga,
Hidung, Tenggorok, Kepala, dan Leher. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
2007.
6. Staff. Atlas of Human Anatomy. Available at: http://www.anatomyatlases.org .
Accessed on September 23th, 2012.
7. Jonas T, Johnson, Clark A. Bailey otolaryngology. Philadelphia: Lippincott
Williams&. WJ.lkins,. 2014.
8. Wiatrak, B.J., Woolley, A.L. Pharyngitis and Adenotonsillar Disease dalam
Cummings Otolaryngology Head & Neck Surgery. 4th Edition. Elsevier Mosby
Inc.; 2005.
9. Maxine, A, Stehen, J. Current Medical Diagnosis and Treatment. San
Francisco: University of California. 2015.
10. James, B. Ballengers Manual of Otorhinolaryngology Head and Neck
Surgery. Hamilton. 2002.
11. Soebroto, S Rukmini. 1993., Perbandingan Pungsi vs. Insisi pada Terapi Abses
Peritonsil di UPF THT RSUD Dr. Soetomo
12. Anil, K. Otolaryngology head and neck surgery. New York: The McGraw-Hill
Companies. 2012.

18

13. Leigh J Sowerby, Zafar Hussain and Murad Husein.The epidemiology,


antibiotic resistance and post-discharge course of peritonsillar abscesses in
London, Ontario. Journal of Otolaryngology Head and Neck Surgery 2013.

19

Anda mungkin juga menyukai