Anda di halaman 1dari 11

JAWABAN NO 4

B. Undang-Undang Dasar 1945


Undang-undang dasar ini diputuskan dan disahkan berlakunya oleh PPKI tanggal 18 Agustus
1945. Rancangan UUD 1945 ini dibuat oleh BPUPKI yang di pimpin oleh dr. Radjiman
Wedyodiningrat. UUD 1945 ini di diumumkan secara resmi dalam Berita Republik Indonesia
tanggal 15 Februari 1946 Tahun ke II No. 7.
Tata Cara perubahan UUD 1945 diatur dalam Pasal 37, yakni:
1. Untuk mengubah undang-undang dasar sekurang-kurangnya 2/3 dari pada jumlah
anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat harus hadir;
2. Putusan diambil dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 daripada jumlah anggota
yang hadir.
Dilihat dari ketentuan perubahan tersebut, maka secara teoritis, UUD 1945 termasuk UUD yang
rigid atau sulit diubah karena memerlukan persetujuan mayoritas mutlak (2/3 dari seluruh
anggota MPR). Sedangkan MPR sendiri adalah sebuah lembaga permusyawaratan yang
anggotanya terdiri dari seluruh anggota DPR, ditambah utusan daerah dan utusan golongan.
Dengan demikian untuk mengubah UUD 1945 memerlukan prosedur yang panjang oleh lembaga
yang anggotanya cukup banyak dan terdiri dari unsur-unsur yang beraneka ragam seperti
perwakilan politik (DPR), unsur kedaerahan dan unsur fungsional.
Kemudian jika dilihat dari jumlah pasal-pasalnya, UUD 1945 termasuk yang sedikit jumlahnya,
yakni hanya 37 pasal. Pasal-pasal UUD 1945 ini juga umum sifatnya sehingga dapat
meyesuaikan dengan dirinya dengan perkembangan zaman. Hal tersebut disadari oleh para
perumus UUD 1945 yang termuat dalam penjelasannya dengan kalimat:
UUD hanya terdiri dari 37 pasal. Pasal-pasal lain hanya memuat peralihan dan tambahan. Maka
rencana ini sangat singkat jika dibandingkan dengan Undang-Undang Dasar Philipina. Maka
telah cukup jikalau undang-undang dasar hanya memuat aturan-aturan pokok, hanya memuat
garis-garis besar sebagai instruksi kepada pemerintah pusat dan lain-lain penyelenggara negara
untuk menyelenggarakan kehidupan negara dan kesejahteraan sosial. Terutama bagi negara baru
dan negara muda, lebih baik hukum dasar yang tertulis itu hanya memuat aturan-aturan pokok,
sedang aturan-aturan yang menyelenggarakan aturan pokok itu diserahkan kepada undangundang yang lebih mudah cara membuat, merubah dan mencabut. Demikianlah sistem undangundang dasar.
Kita harus senantiasa ingat kepada dinamik kehidupan masyarakat dan negara Indonesia.
Masyarakat dan negara Indonesia tumbuh, zaman berubah, terutama zaman revolusi lahir batin
sekarang ini. Oleh karena itu, kita harus hidup secara dinamis, harus melihat gerak-gerik
kehidupan masyarakat dan negara Indonesia. Berhubung dengan itu, janganlah tergesa-gesa

memberi kristalisasi, memberi bentuk (Gestaltung) kepada pikiran-pikiran yang masih mudah
berubah.
Memang sifat aturan yang tertulis itu mengikat. Oleh karena itu, makin supel (elastic) sifat
aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem undang-undang dasar jangan
sampai ketinggalan zaman. Jangan sampai kita membikin undang-undang yang lekas
usang (verouderd). Yang sangat penting dalam pemerintahan dan dalam hal hidupnya negara
ialah semangat, semangat para penyelenggara negara, semangat para pemimpin pemerintahan.
Meskipun dibikin undang-undang dasar yang menurut kata-katanya bersifat kekeluargaan,
apabila semangat para penyelenggara negara, para pemimpin pemerintahan itu bersifat
perseorangan, undang-undang dasar tadi tentu tidak ada artinya dalam praktek. Sebaliknya,
meskipun undang-undang dasar itu tidak sempurna, akan tetapi jikalau semangat para
penyelenggara pemerintahan baik, undang-undang dasar itu tidak akan merintangi jalannya
negara. Jadi yang paling penting ialah semangat. Maka semangat itu hidup, atau dengan kata lain
perkataan dinamis. Berhubung dengan itu, hanya aturan-aturan pokok saja harus ditetapkan
dalam undang-undang dasar, sedangkan hal-hal yang perlu untuk menyelenggarakan aturanaturan pokok itu harus diserahkan kepada undang-undang.
Karena mudah menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman dan sedikit pasalnya, maka
dilihat dari teori yang kedua yaitu undang-undang dasar yang sedikit pasalnya, UUD 1945
termasuk supel dalam arti sulit dirubah atau tidak perlu banyak mengalami perubahan.
Dari ketentuan pada Aturan Tambahan UUD 1945 dapat disebutkan bahwa sifat dari UUD 1945
yang ditetapkan oleh PPKI hanya untuk sementara saja.[1]Sebagaimana yang berbunyi:
1. Dalam enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia
mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam undang-undang dasar
ini;
2. Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis ini
bersidang untuk menetapkan undang-undang dasar.[2]
Namun, setelah Perang Asia Timur Raya berakhir, MPR belum juga terbentuk sesuai dengan
keinginan Aturan Tambahan UUD 1945 tersebut. Hal ini disebabkan situasi dalam negeri yang
sedang perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda yang diboncengi pihak sekutu.
Sesudah perang selesai, NKRI berubah menjadi Republik Indonesia Serikat, dan Negara
Kesatuan Republik Indonesia sendiri menjadi salah satu bagian dari Republik Indonesia Serikat
(RIS) itu. Maka UUD 1945 hanya berlaku di wilayah yang dikuasai RI saja. Setelah RIS bubar,
digantikan oleh NKRI kembali, UUD 1945 sama sekali tidak berlaku lagi demikian juga
Konstitusi RIS, keduanya digantikan oleh Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun
1950.
Dalam praktek penyelenggaraan negara, terdapat perubahan yang berdasar pada situasi negara
yang tidak kondusif saat itu namun tidak merubah secara formal UUD 1945, maka melalui
Maklumat Wakil Presiden No. X Tanggal 16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah Tanggal
14 November 1945 yang memuat bahwa pertanggungjawaban Menteri-menteri bukan lagi

kepada Presiden tetapi kepada KNIP yang terkenal sebagai perubahan sistem kabinet presidensial
menjadi sistem kabinet parlementer. Dan kedudukan Presiden dengan sendirinya berubah dari
kepala negara dan kepala eksekutif menjadi hanya kepala negara saja. Lebih jelas isi Maklumat
tersebut adalah:
Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislatif dan menetapkan garis-garis besar haluan
Negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan
gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih diantara mereka yang
bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.[3]
Dari keputusan diatas, maka dapat disimpulkan:
1. Komite Nasional Indonesia Pusat ikut menetapkan garis-garis besar haluan Negara
bersama-sama dengan Presiden. (Terjadi perubahan praktek penyelenggaraan negara pada
Pasal 3 UUD 1945).
2. Komite Nasional Indonesia Pusat menetapkan bersama-sama Presiden Undang-undang
yang boleh mengenai segala macam urusan Pemerintahan. (Terjadi perubahan praktek
penyelenggaran negara pada Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD 1945).
3. Karena gentingnya keadaan maka dalam menjalankan tugas dan kewajiban sehari-hari
dari KNIP diatas, akan dijalankan oleh Badan Pekerja yang bertanggung jawab kepada
KNIP.
4. Badan Pekerja saat itu tidak boleh lagi ikut campur tangan dalam kebijaksanaan
Pemerintahan sehari-hari. Dimana pada masa sebelumnya Komite Nasional Indonesia
sering ikut menyelenggarakan Pemerintahan membantu Presiden.
Perubahan kedua dalam praktek penyelenggaraan Negara adalah keluarnya Maklumat
Pemerintah Tanggal 14 November 1945. Maklumat ini dimaksudkan untuk mengadakan
pembaharuan terhadap susuan kabinet yang sebelumnya dibawah pimpinan Presiden menjadi
susunan kabinet baru yang merupakan suatu Dewan yang diketuai oleh Perdana Menteri. Oleh
karena itu terjadi perubahan konstelasi dalam ketatanegaraan Republik Indonesia dari Sistem
Presidensial menjadi Parlementer.
Sistem ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945 tidak dikenal sistem pertanggungjawaban
Menteri, artinya pertanggungjawaban Menteri kepada Badan Perwakilan, tetapi dipergunakan
sistem pertanggungjawaban Presiden. Presiden bertanggungjawab kepada MPR. Menteri-menteri
sebagai pembantu Presiden bertanggungjawab kepada Presiden. Dikeluarkannya Maklumat
tersebut, maka sejak saat itu Menteri-menteri yang diketuai Perdana Menteri sebagai Kepala
Pemerintahan dan bertanggungjawab kepada Badan Perwakilan yang masih dipegang oleh KNIP.
Sedangkan fungsi Presiden hanya sebagai Kepala Negara saja. Jadi dikeluarkannya Maklumat ini
adalah menindaklanjuti perubahan praktek ketatanegaraan yang telah berubah dengan
ditetapkannya Maklumat Wakil Presiden sebelumnya.

C. Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) 1949


Dengan melihat adanya perlawanan yang kuat dari pihak Republik untuk mempertahankan
kemerdekaan dengan angkat senjata dan diplomasi, maka Belanda menyadari kemustahilan
mendirikan pemerintahan seperti zaman Hindia Belanda dahulu. Oleh karena itu diusahakanlah
jalan lain dengan rencana mendirikan sebuah Komite Indonesia Serikat dengan maksud untuk
mendirikan sebuah Negara yang berbentuk Federal, sedangkan Negara Republik Indonesia yang
telah berdiri secara de facto dimungkinkan untuk dimusnahkan atau setidak-tidaknya hanya akan
dijadikan daerah sesempi-sempitnya. Situasi politik dalam negeri semakin memanas sejak
Belanda melancarkan Agresi Militer hingga tahun 1948 yang melanggar Persetujuan Renville 17
Januari 1948 tentang pengakuan wilayah Republik Indonesia. Strategi Belanda ini tidak seperti
yang diharap-harapkan, tetapi sebaliknya. Akhirnya PBB merasa perlu ikut campur
menyelesaikan pertikaian ini. Maka diusahakanlah adanya suatu konferensi antara Negara
Republik Indonesia dan Nederland. Dalam konferensi ini disertakan pula negara-negara
bentukan Belanda Byeenkomst voor Federal Overleg (BFO). Diresmikanlah sebuah
Konferensi bernama Konferensi Meja Bundar 2 November 1949 antara pihak Republik
Indonesia, BFO dan Nederland serta Komisi PBB untuk Indonesia (UNCI) dengan hasil
didirikannya Negara Republik Indonesia Serikat, penyerahan kedaulatan kepada RIS dan
didirikannya Uni antara RIS dan Kerajaan Belanda. Sementara itu direncanakan sebuah UndangUndang Dasar oleh delegasi Republik Indonesia bersama-sama dengan delegas BFO yang
bernama Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi ini ditetapkan melalui Keputusan Presiden RIS No. 48 Tahun 1950, Tanggal 31
Januari 1950, namun dinyatakan berlaku pada saat pemulihan kedaulatan tanggal 27 Desember
1949. Konstitusi RIS ini merupakan kesepakatan Delegasi Republik Indonesia dengan Delegai
Daerah-Daerah Bagian dan disetujui oleh Pemerintah RI dan Pemerintah masing-masing Daerah
Bagian, KNI dan DPR dari masing-masing Daerah Bagian, pada tanggal 14 Desember 1949.
Dengan berdirinya Negara RIS, dengan konstitusinya, maka Republik Indonesia hanya berstatus
sebagai Negara Bagian saja dengan wilayah kekuasaan yaitu daerah yang disebut dalam
Persetujuan Renville dan UUD 1945 hanya berstatus sebagai Undang-Undang Dasar Negara
Bagian Republik Indonesia.
Konstitusi RIS ini dimaksudkan hanya berlaku sementara, karena menurut Pasal 186 Konstitusi
RIS ini ditentukan bahwa:
Konstituante[4] (Sidang Pembuat Konstitusi) bersama-sama dengan pemerintah selekaslekasnya menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat yang akan menggantikan Konstitusi
sementara ini.
Sifat kesementaraannya ini disebabkan karena Pembentuk Undang-Undang Dasar merasa dirinya
belum representatif untuk menetapkan sebuah Undang-Undang Dasar, selain daripada itu
disadari pula bahwa pembuatan undang-undang dasar ini dilakukan dengan tergesa-gesa untuk
sekedar memenuhi kebutuhan dibentuknya Negara Federal. Oleh karena itu dikemudian hari
akan dibentuk Konstituante yang bersama-sama Pemerintah untuk membuat Undang-Undang
Dasar yang baru, sempurna dan bersifat tetap.

Dalam penggantian UUD 1945 ke Konstitusi RIS 1949, Pembukaan (Mukadimah) juga
mengalami penggantian tetapi tetap memuat Pancasila dengan rumusan yang lebih singkat pada
Sila ke 2 sampai ke 5. Umumnya penggantian ini adalah penggantian undang-undang dasar.
Konstitusi RIS bukan ditetapkan MPR sebagaimana biasanya, tetapi ditetapkan melalui
Keputusan Presiden.
Kekuasaan berkedaulatan didalam negara RIS adalah Pemerintah bersama Dewan Perwakilan
Rakyat dan Senat (Pasal 1 ayat (2)). Badan pemegang kedaulatan juga merupakan badan
pembentuk undang-undang yakni Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat, tanpa ikut Senat.
Pemerintah yang dimaksud menurut Konstitusi RIS ialah Presiden dan Menteri-menterinya
(Pasal 68). Dalam penyelenggaraan pemerintahan, Presiden tidak dapat diganggu gugat, tetapi
tanggung jawab kebijakan pemerintah adalah ditangan Menteri-menteri, baik secara bersama
maupun untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri (Pasal 118).
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Konstitusi RIS dapat digolongkan kepada sistem
yang menganut pertanggungjawaban menteri atau parlementer. Artinya apabila kebijakan
menteri/para menteri ternyata tidak dapat dibenarkan oleh DPR, maka harus mengundurkan diri.
Namun pada sistem ini selama berlakunya Konstitusi RIS belum dapat dilaksanakan. Hal ini
disebabkan DPR yang ada belum didasarkan kepada pemilihan umum sesuai Pasal 111, tetapi
masih DPR yang ditunjuk atas dasar Pasal 109 dan Pasal 110 Konstitusi RIS. Sedangkan Pasal
122 Konstitusi RIS menentukan Dewan Perwakilan Rakyat yang ditunjuk menurut pasal 109
dan 110 tidak dapat memaksa Kabinet atau masing-masing Menteri meletakkan jabatannya.
Didalam Pasal 69 Konstitusi RIS ditentukan bahwa Presiden adalah kepala negara, dipilih oleh
orang-orang yang dikuasakan oleh pemerintah bagian. Untuk memenuhi amanat Pasal 69
tersebut, maka pada tanggal 16 Desember 1949 telah diadakan pemilihan Presiden untuk wilayah
Republik Indonesia Serikat untuk pertama kali dilakukan oleh wakil-wakil dari pemerintah
negara/daerah bagian. Dari hasil pemilihan suara bulat memilih Soekarno yang pada waktu itu
masih menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, untuk menjadi Presiden Republik
Indonesia Serikat.
Sedangkan untuk pertama kali Dewan Perwakilan Rakyat sebelum dibentuk berdasarkan
pemilihan umum yang diamanatkan Pasal 111, maka pembentukannya masih berdasarkan Pasal
109 dan 110 Konstitusi RIS. Pasal 109 menentukan:
1. Untuk Dewan Perwakilan Rakyat uang pertama, mengutus anggota-anggota dari daerahdaerah selebihnya yang tersebut dalam pasal 99, diatur dan diselenggarakan dengan
perundingan bersama-sama oleh daerah-daerah bagian yang tersebut dalam pasal 2,
kecuali Negara Republik Indonesia dengan memperhatikan asas-asas demokrasi dan
seboleh-bolehnya dengan perundingan dengan daerah-daerah yang tersebut dalam pasal 2
sub c, yang bukan daerah bagian.
2. Untuk pembagian jumlah-jumlah anggota yang akan diutus diantara daerah-daerah itu,
diambil sebagai dasar perbandingan jumlah jiwa rakyat daerah-daerah bagian tersebut.
Pasal 110 menentukan:

1. Bagaimana caranya anggota diutus ke Dewan Perwakilan Rakyat yang pertama, diatur
oleh daerah-daerah bagian.
2. Di mana pengutusan demikian tidak dapat terjadi dengan jalan pemilihan yang seumumumumnya, pengutusan itu dapat dilakukan dengan jalan penunjukan anggota-anggota
oleh perwakilan rakyat daerah-daerah bersangkutan, jika ada di situ perwakilan demikian.
Juga apabila, karena hal-hal yang sungguh, perlu diturut cara lain, yang diusahakan untuk
mencapai perwakilan yang sesempurna-sempurnanya, menurut kehendak rakyat.
Dalam pelaksanaanya, belumpun dilaksanakan pemilu untuk memilih anggota DPR, Konstitusi
RIS tidak berlaku lagi karena pada tanggal 17 Agustus 1950 disahkan Undang-Undang Dasar
Sementara Republik Indonesia. Oleh karena itu DPR adalah Dewan yang pertama dan terakhir
kali yang disusun berdasarkan Pasal 109 dan 110 Konstitusi RIS. Disamping DPR terdapat pula
Senat yang merupakan utusan-utusan yang mewakili daerah bagian. Anggota Senat ditunjuk oleh
pemerintah negara bagian yakni 2 orang dari tiap negara bagian (Pasal 80).
D. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Negara Republik Indonesia Serikat, yang berdiri pada tanggal 27 Desember 1949 ternyata
berumur pendek. Bentuk susunan federal yang bukan bentuk atas kehendak rakyat, akibatnya
muncul tuntutan-tuntutan untuk kembali kedalam bentuk negara kesatuan. Gelombang tuntutantuntutan ini semakin lama semakin kuat sehingga pada akhirnya satu persatu negara-negara
bagian menggabungkan diri kembali kepada Negara Republik Indonesia, hanya tinggal tiga
negara bagian saja yaitu Negara Indonesia Timur, Negara Sumatera Timur dan Negara Republik
Indonesia. Selain itu keadaan-keadaan di daerah sukar untuk dikontrol dan kewibawaan
Pemerintah Negara Federal semakin berkurang di daerah. Untuk mengatasi keadaan tersebut,
maka diadakan permusyawaratan yang diadakan antara Pemerintah Negara Reublik Indonesia
Serikat dan Pemerintah Negara Republik Indonesia yang mewakili Pemerintah Negara Indonesia
Timur dan Pemerintah Negara Sumatera Timur.
Dalam permusyawaratan ini dicapai keputusan bersama yaitu Persetujuan 19 Mei 1950 yang
menyetujui dalam waktu yang sesingkat-singkatnya untuk bersama-sama melaksanakan Negara
Kesatuan sebagai jelmaan daripada Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Proklamasi 17
Agustus 1945, dan untuk itu akan diperlakukan sebuah Undang-Undang Dasar Sementara dari
Kesatuan ini, yaitu dengan cara mengubah konstitusi Republik Indonesia Serikat sedemikian
rupa sehingga essensi UUD 1945 yaitu Pasal 27, 29 dan 33 ditambah dengan bagian-bagian yang
baik dari Konstitusi RIS termasuk didalamnya. Untuk melaksanakan persetujuan tersebut,
dibentuklah sebuah Panitia bersama antara kedua pemerintah. Panitia ini merencanakan sebuah
Undang-Undang Dasar Sementara Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Maka melalui sebuah Pernyataan Bersama tanggal 20 Juli 1950 disetujui rencana tersebut serta
selekas-lekasnya disampaikan oleh Pemerintah Republik Indonesia Serikat kepada Dewan
Perwakilan Rakyat dan Senat Republik Indonesia, dan oleh Pemerintah Republik Indonesia
kepada Bada Pekerja Komite Nasional Pusat untuk disahkan sehingga sebelum tanggal 17
Agustus 1950 Negara Kesatuan sudah dapat terbentuk. Rencana ini disetujui dan pada akhirnya

ditetapkannya Undang-Undang Federal No. 7 tahun 1950 yang menetapkan perubahan


Konstitusi Republik Indonesia Serikat menjadi Undang-Undang Dasar Sementara berdasarkan
pada Pasal 190, Pasal 127a dan 191 ayat (2) Konstitusi Republik Indonesia Serikat.
Perubahan-perubahan mendasar dalam pelaksanaan ketatanegaraan menurut ketetapan UUDS
1950 dapat dilihat dari uraian Piagam Persetujuan Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan
Pemerintah Republik Indonesia tanggal 19 Mei 1950:
a)

Penghapusan Senat;

b) DPRS terdiri dari atas gabungan DPR Republik Indonesia Serikat dan Badan Pekerja KNIP.
Tambahan anggota atas penunjukan Presiden dipertimbangkan lebih jauh oleh kedua pemerintah;
(untuk pertama kalinya, selanjutnya diatur dalam Pasal 56,57,58,59,60 dst.)
c)
DPRS bersama-sama dengan KNIP dinamakan Majelis Perubahan Undang-Undang Dasar,
mempunyai hak mengadakan perubahan-perubahan dalam undang-undang yang baru;
(selanjutnya diatur pada Pasal 91,92 dst)
d) Konstituante terdiri dari anggota-anggota yang dipilih dengan mengadakan pemilihan
umum berdasar atas satu orang anggota untuk tiap 300.000 penduduk, dengan memperhatikan
perwakilan yang pantas bagi golongan minoriteit; (Pasal 135 dst)
e)
f)

Presiden adalah Presiden Soekarno; (diatur selanjutnya pada Pasal 45)


Dewan Menteri harus bersifat kabinet parlementair; (Pasal 50,51,52 dst)

g) Tentang jabatan Wakil Presiden dalam negara kesatuan selama sebelum Konstituante
terbentuk, Pemerintah Republik Indonesia Serikat dan Pemerintah Republik Indonesia akan
mengadakan tukar pikiran lebih lanjut. (Pasal 45 dst)
h)

Dewan Pertimbangan Agung dihapuskan.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang termaktub dalam Undang-Undang Federal No. 7 tersebut,


maka mulai dari itu bergantilah bentuk susunan Negara Serikat menjadi bentuk susunan Negara
Kesatuan. Pergantian bentuk susunan tersebut dilakukan dengan jalan mengubah dan
menyempurnakan Konstitusi RIS menjadi Undang-Undang Dasar Sementara yang berlaku sejak
17 Agustus 1950.
Sama halnya dengan undang-undang dasar sebelumnya, UUDS adalah juga dimaksudkan
bersifat sementara. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 134:
Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersama-sama Pemerintah selekaslekasnya menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan
Undang-Undang Dasar ini.

Sama seperti pendahulunya, perumus UUDS ini pun merasa dirinya belum lagi representatif
untuk menetapkan sebuah Undang-Undang Dasar yang tetap, selain itu pembuatan UUDS ini
dilakukan sekedar memenuhi kebutuhan akan perubahan bentuk susunan federal kedalam bentuk
susunan kesatuan dan dilakukan tergesa-gesa. Itulah sebabnya dikemudian hari akan dibentuk
sebuah yang representatif melalui hasil Pemilu yakni, Badan Konstituante yang bersama-sama
Pemerintah membuat Undang-Undang Dasar yang tetap dan sempurna. Konstituante hasil
Pemilu tahun 1955 dilantik Presiden Soekarno pada tanggal 10 November 1956, namun setelah
bekerja dua setengah tahun lamanya, badan ini tidak pernah berhasil menentukan sebuah
Undang-Undang Dasar. Oleh karena itu kebuntuan ini ditindaklanjuti melalui Dekrit Presiden 5
Juli 1959 yang membubarkan Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945.
Meskipun Konstitusi RIS dan UUDS keduanya menganut sistem Parlementer, sebenarnya UUDS
dalam merumuskan sistemnya lebih sempurna daripada Konstitusi RIS.
E. Undang-Undang Dasar 1945 setelah perubahan
Setelah badan Konstituante ini bersidang kira-kira dua setengah tahun lamanya, namun belum
pula menghasilkan sebuah Undang-Undang Dasar. Perbedaan pendapat terlalu tajam di dalam
Konstituante. Sementara itu suasana Demokrasi Liberal saat itu memuculkan pertentangan
pendapat antara parpol-parpol juga ada di dalam Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan
Perwakilan lainnya hingga Badan Pemerintahan. Bahkan lebih-lebih pertentangan ini meluas
didalam badan-badan swasta hingga masyarakat luas.
Untuk mengatasi keadaan ini, timbul ide untuk melaksanakan Demokrasi Terpimpin, suatu
demokrasi yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Untuk menjalankan ide ini tidak
mungkin lagi mempertahankan UUDS sebab sistemnya mempergunakan asas Demokrasi
Liberal.
Menindaklanjuti situasi dalam negeri yang semakin memperlihatkan potensi yang berbahaya,
maka Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang Republik Indonesia mengeluarkan Dekrit
Tanggal 5 Juli 1959 yang intinya: membubarkan Konstituante, menetapkan UUD 1945 berlaku
lagi dan tidak berlakunya UUDS, dan Pembentuka MPRS yang terdiri dari seluruh anggota DPR,
DPD dan pembentukan DPA sementara.
Presiden sejak itu tidak lagi hanya berfungsi sebagai Kepala Negara, tetapi juga berfungsi
sebagai Kelapa Pemerintahan (Eksekutif). Presiden adalah penyelenggara Pemerintahan Negara
yang tertinggi dibawah MPR. Sistem Kabinet Parlementer yang sebelumnya ditinggalkan dan
diganti kembali menurut UUD 1945. Kabinet terdiri dari Menteri-Menteri sebagai pembantu
Presiden dan bertanggungjawab kepada Presiden, dan Presiden bertanggungjawab kepada MPR.
DPR yang sudah ada hasil Pemilu berdasarkan UU No. 7 tahun 1953, untuk sementara masih
diberi wewenang menjalankan tugasnya menurut UUD 1945 melalui Penetapan Presiden No. 1
tahun 1959. Karena tidak sesuai dengan jalannya Demokrasi Terpimpin dan Manifesto Politik
Republik Indonesia, maka DPR yang baru keanggotaannya ditunjuk oleh Presiden mewakili tiap
golongan politik yang kemudian di sebut DPR GR. Pembentukan MPR diatur dalam Penetapan
Presiden No. 2 tahun 1959 yang menentukan MPR terdiri dari anggota DPR ditambah utusanutusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan yang jumlahnya ditetapkan oleh Presiden.

Dewan Pertimbangan Agung kembali dibentuk dengan Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959,
DPA Sementara keanggotaannya diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, jumlah anggota
ditetapkan oleh Presiden, anggota DPA Sementara diangkat berdasarkan golongan politik, karya,
cendikiawan, dan tokoh nasional.
Perubahan (Amandemen) UUD 1945 dilakukan oleh MPR Periode 1999 2004 dalam 4 tahap:
Perubahan Pertama tanggal 19 Oktober 1999, Perubahan Kedua tanggal 18 Agustus 2000,
Perubahan Ketiga 9 November 2001 dan Perubahan Keempat tanggal 10 Agustus 2002.
Perubahan ini berdasar pada ketentuan UUD 1945 yang berlaku sesuai Pasal 37 UUD 1945.
Pada perubahan pertama, MPR masih menyebutkan mengubah pasal-pasal UUD 1945 dan pada
perubahan kedua dan ketiga disebutkan mengubah/menambah pasal-pasal UUD 1945. Pada
perubahan keempat MPR bukan sekedar mengubah dan menambah pasal-pasal UUD 1945, tetapi
sudah menetapkan UUD. Dasar pemikiran yang melatarbelakangi dilakukannya perubahan UUD
1945 diantaranya adalah[5]:
1. Mencakup tuntutan Reformasi 1998:
1. Amandemen UUD 1945;
2. Penghapusan Dwi Fungsi ABRI;
3. Penegakan Supremasi Hukum, penghormatan HAM, dan pemberantasan KKN;
4. Desentralisasi dan hubungan yang adil antara Pusat dan Daerah atau Otonomi
Daerah;
5. Mewujudkan kebebasan Pers;
6. Mewujudkan kehidupan demokrasi.
7. Struktur ketatanegaraan menurut UUD 1945, bertumpu pada kewenangan atau
kekuasaan tertinggi di tangan MPR yang sepenuhnya melaksanakan kedaulatan
rakyat, dengan akibat tidak terjadinya checks and balancesantar lembaga-lembaga
kenegaraan.
8. UUD 1945 menganut sistem executive heavy yang berarti kewenangan atau
kekuasaan dominan berada di tangan Presiden (eksekutif) dalam menjalankan
pemerintahan atau chief exevutive yang dilengkapi dengan berbagai hak
konstitusional yang lazim disebut hak prerogatif, antara lain memberi grasi,
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi serta wewenang legislatif sebagai penyebab tidak
berfungsinya prinsip checks and balances dan mendorong lahirnya wewenang
yang otoriter.

9. UUD 1945 didalamnya terdapat pasal-pasal yang terlalu luwes yang dapat
menimbulkan multi-tafsir.
10. Presiden diberi wewenang terlalu banyak oleh UUD 1945 untuk mengatur hal-hal
penting dengan undang-undang. UUD 1945 menetapkan Presiden juga sebagai
pemegang wewenang legislatif, sehingga Presiden dapat merumuskan hal-hal
penting sesuai dengan kehendaknya dalam undang-undang. Hal ini menyebabkan
pengaturan mengenai MPR, DPR, BPK, MA, HAM dan Pemerintahan Daerah
disusun oleh wewenang Presiden dalam bentuk pengajuan rancangan undangundang ke DPR.
11. Semangat penyelenggara negara yang dirumuskan di dalam UUD 1945 belum
cukup didukung ketentuan konstitusi yang memuat aturan dasar tentang
kehidupan yang demokratis, supremasi hukum, perberdayaan rakyat,
penghormatan HAM dan otonomi daerah;
12. UUD 1945 bersifat ambivalen atau mendua, menganut sistem Presidensiil, akan
tetapi Presidensiilnya tidak nyata, sebab Presiden harus bertanggung jawab pula
kepada MPR yang berarti menganut sistem Kabinet Parlementer, jadi
Presidensiilnya semu atau quasi Presidensiil.
Arti dari mengubah UUD 1945 ini adalah untuk menjadikan UUD lain dari semula, mengurangi
atau menambah sesuatu yang sudah diatur dalam UUD yang tercantum dalam UUD karena
faktor-faktor tertentu dilaksanakan berbeda.
Pada perubahan pertama berlaku mulai 19 Oktober 1999 meliputi sembilan pasal, yakni: (1)
Pasal 5, tentang hak Presiden untuk mengajukan rancangan UU; (2) Pasal 7, tentang masa
jabatan Presiden dan Wakil Presiden; (3) Pasal 9, tentang ketentuan sumpah atau janji jabatan
Presiden/Wakil Presiden; (4) Pasal 13, tentang pengangkatan duta untuk negara lain dan
penerimaan penempatan duta untuk negara Indonesia; (5) Pasal 14, tentang hak Presiden untuk
memberi grasi, rehabilitasi, amnesti dan abolisi; (6) Pasal 15, tentang hak Presiden untuk
memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain tandan kehormatan; (7) Pasal 17, tentang MenteriMenteri pembantu Presiden; (8) Pasal 20, tentang kekuasaan legislasi DPR; dan (9) Pasal 21,
mengenai hak anggota DPR untuk mengajukan usul rancangan UU.
Pada perubahan kedua berlaku mulai 18 Agustus 2000 meliputi 25 Pasal dan 5 Bab yang
mencakup hal-hal:
1. Tentang Pemerintahan Daerah, 3 Pasal;
2. Tentang Dewan Perwakilan Rakyat, 5 Pasal;
3. Tentang Wilayah Negara, 1 Pasal;
4. Tentang Warga Negara dan Penduduk, 2 Pasal;

5. Tentang HAM, 10 Pasal;


6. Tentang Pertahanan dan Keamanan Negara, 1 Pasal;
7. Tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, 5 Pasal.
Pada perubahan ketiga berlaku mulai 9 November 2001, meliputi 23 Pasal dan 3 Bab, mencakup
kedaulatan, tata negara hukum, wewenang MPR, Presiden dan Wakil Presiden, DPR, Pemilu,
APBN, BPK, Kekuasaan Kehakiman, Komisi Yudisial, dan Mahkamah Konstitusi. Pada
perubahan keempat berlaku mulai 10 Agustus 2002 mencakup:
1. UUD 1945 sejak ditetapkan pada tanggal 18 Agustus hingga saat ini, telah mengalami
banyak perubahan, baik oleh praktek ketatanegaraan RI sebanyak empat kali, maupun
oleh MPR sebanyak empat kali;
2. Setelah perubahan keempat atas UUD 1945 oleh MPR, maka;
1. UUD 1945 tidak lagi bersifat sementara, walaupun hanya mempunya nilai
sejarah, sebab meskipun UUD 1945 bersifat tetap, pasal-pasalnya masih dapat
diadakan perubahan berdasarkan Pasal 37 UUD 1945;
2. UUD 1945 terdiri dai Pembukaan dan Pasal-Pasal. Penjelasan UUD 1945
ditiadakan, alasannya untuk menghindari kesulitan dalam menentukan status
penjelasan dari sisi sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan;
3. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia, tidak dapat
dilakukan perubahan;
4. MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu.
Menurut Pasal 37 UUD 1945, usul perubahan pasal-pasal UUD harus diajukan oleh sekurangkurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR dan dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 dari julmlah
anggota MPR. Putusan untuk mengubah UUD harus disetujui sekurang-kurangnya 50% dari
seluruh anggota MPR.
Oleh karena itu, walaupun telah dilakukan perubahan-perubahan terhadap UUD 1945, tetap perlu
diadakan perubahan lanjutan yang mendasar, menyeluruh, sistematis dan bertahap. Dengan
demikian Undang-Undang Dasar ini akan menjadi Undang-Undang Dasar yang cukup modern
dan religius, memuat landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat,
penghormatan HAM dan supremasi hukum, sehingga tidak ada lagi peluang bagi
penyelenggaraan negara yang sentralistik, otoriter dan KKN.

Anda mungkin juga menyukai