Anda di halaman 1dari 34

Kamis, 06 Juni 2013

ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA KEPALA


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Trauma kepala merupakan suatu kegawatan yang paling sering dijumpai di
unit gawat darurat suatu rumah sakit.No head injury is so serious that it
should be despaired of, nor so trivial as to be lightly ignored, menurut
Hippocrates bahwa tidak ada cedera kepala yang perlu dikhawatirkan serius
yang bisa kita putus harapan dan tidak ada juga keluhan yang dapat kita
abaikan. Setiap tahun di Amerika Serikat mencatat 1,7 juta kasus trauma
kepala, 52.000 pasien meninggal dan selebihnya dirawat inap. Trauma kepala
juga merupakan penyebab kematian ketiga dari semua jenis trauma yang
dikaitkan dengan kematian (CDC, 2010). Menurut penelitian yang dilakukan
olehNational Trauma Project di Islamic Republic of Iran bahwa diantara
semua jenis trauma tertinggi yang dilaporkan yaitu sebanyak 78,7% trauma
kepala dan kematian paling banyak juga disebabkan oleh trauma kepala
(Karbakhsh, Zandi, Rouzrokh, Zarei, 2009).
Rata-rata rawat inap pada lelaki dan wanita akibat terjatuh dengan diagnosa
trauma kepala sebanyak 146,3 per100.000 dan 158,3 per100.000 (Thomas,
2006). Angka kematian trauma kepala akibat terjatuh lebih tinggi pada laki-laki
dibanding perempuan yaitu sebanyak 26,9 per100.000 dan 1,8 per100.000.
Bagi lansia pada usia 65 tahun ke atas, kematian akibat trauma kepala
mencatat 16.000 kematian dari 1,8 juta lansia di Amerika yang mangalami
trauma kepala akibat terjatuh (CDC, 2005). Menurut Kraus (1993), dalam
penelitiannya ditemukan bahwa anak remaja hingga dewasa muda
mengalami cedera kepala akibat terlibat dalam kecelakaan lalu lintas dan
akibat kekerasan sedangkan orang yang lebih tua cenderung mengalami
trauma kepala disebabkan oleh terjatuh.
Penyebab utama trauma kepala adalah kecelakaan lalu lintas, kekerasan dan
terjatuh (Langlois, Rutland-Brown, Thomas, 2006). Pejalan kaki yang
mengalami tabrakan kendaraan bermotor merupakan penyebab trauma
kepala terhadap pasien anak-anak bila dibandingkan dengan pasien dewasa
(Adeolu, Malomo, Shokunbi, Komolafe dan Abio, 2005). Estimasi sebanyak

1,9 juta hingga 2,3 juta orang menerima perawatan kecederaan yang tidak
fatal akibat kekerasan (Rosenberg, Fenley, 1991).
Menurut Akbar (2000), insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998
terdiri dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan
sebanyak 60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (1114
kasus) dan trauma kepala berat sebanyak 12,4% (505 kasus). Kematian
akibat trauma kepala mencatatkan sebanyak 11% berjumlah 448 .Bila dilihat
prevalensi penderita trauma kepala cukup besar dan meningkat dari tahun ke
tahun, hal ini menjadi perhatian khusus bagi tenaga kesehatan, khususnya
perawat . Supaya lebih meningkatkan pengetahuan tentang trauma kepala ,
sehingga bisa memberikan pelayanan yang lebih baik dan maksimal
dibidangnya.
1.2 Rumusan Masalah

Apa pengertian dari trauma kepala?

Apa saja klasifikasi dari trauma kepala?

Apa saja etiologi dari trauma kepala?

Bagaimana patofisiologi dari trauma kepala?

Apa saja manifestasi klinis dari trauma kepala?

Komplikasi apa yg dapat terjadi akibat trauma kepala?

Pemeriksaan punujang apa yang dilakukan pada pasien trauma kepala?

Penatalaksanaan apa yang dilakuka n pada pasien trauma kepala?


1.3. Tujuan
1.3.1. Tujuan Instruksional Umum
Mahasiswa keperawatan diharapkan mampu untuk mengerti dan memahami
asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami Trauma Kepala dengan
menggunakan pendekatan proses keperawatan
1.3.2. Tujuan Instruksional Khusus
Diharapkan pada akhir penulisan ini mahasiswa mengetahui gambaran
penderita yang mengalami trauma kepala dengan rumusan seperti berikut:

a. Anatomi dan fisiologi kepala

b. Pengertian trauma kepala


c. Etiologi trauma kepala
d. Klasifikasi trauma kepala
e. Patofisiologi trauma kepala
f. Manifestasi klinik trauma kepala
g. Penatalaksanaan trauma kepala
h. Pembuatan dan penerapan asuhan keperawaratan trauma kepala

BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi Kepala
A. Kulit Kepala
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau
kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose

conective

tissue atau

jaringan

penunjang

longgar

danpericranium
B. Tulang tengkorak
Tulang kepala terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii . Tulang tengkorak
terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital .
Kalvaria khususnya diregio temporal adalah tipis, namun disini dilapisi oleh
otot temporalis. Basis cranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai
bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi.
Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus

frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian
bawah batang otak dan serebelum .
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan
yaitu :
1. Dura mater
Dura mater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan
endosteal dan lapisan meningeal. Dura mater merupakan selaput yang keras,
terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari
kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka
terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara dura
mater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada
cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak
menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins,
dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan
hebat .
Arteri-arteri meningea terletak antara dura mater dan permukaan dalam dari
kranium

(ruang

epidural). Adanya

fraktur

dari

tulang

kepala

dapat

menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan


epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media
yang terletak pada fosa temporalis (fosa media) .
2. Selaput Arakhnoid
Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang .
Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater
sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh
ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium
subarakhnoid yang

terisi

olehliquor

serebrospinalis .

Perdarahan

sub

arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala .


3. Pia mater
Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri . Pia mater adarah
membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan

masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf
otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam
substansi otak juga diliputi oleh pia mater .
D. Otak
Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa
sekitar 14 kg). Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; Proensefalon (otak
depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan
rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan
serebellum .
Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus . Lobus frontal berkaitan
dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal
berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal
mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggungjawab dalam
proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi
retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula
oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggungjawab
dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan .
E. Cairan serebrospinalis
Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan
kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel
lateral

melalui

foramen

monro

menuju

ventrikel

III,

akuaduktus

dari sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi
vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior.
Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga
mengganggu

penyerapan

CSS

dan menyebabkan

kenaikan takanan

intrakranial . Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS


sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari..
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang supratentorial
(terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media) dan ruang infratentorial
(berisi fosa kranii posterior).
G. Perdarahan Otak

Otak disuplai oleh dua arteri carotis interna dan dua arteri vertebralis.
Keempat arteri ini beranastomosis pada permukaan inferior otak dan
membentuk circulus Willisi. Vena-vena otak tidak mempunyai jaringan otot
didalam dindingnya yang sangat tipis dan tidak mempunyai katup. Vena
tersebut keluar dari otak dan bermuara ke dalam sinus venosus cranialis..

Fisiologi Kepala
Tekanan intrakranial (TIK) dipengaruhi oleh volume darah intrakranial, cairan
secebrospinal dan parenkim otak. Dalam keadaan normal TIK orang dewasa
dalam posisi terlentang sama dengan tekanan CSS yang diperoleh dari
lumbal pungsi yaitu 4 10 mmHg . Kenaikan TIK dapat menurunkan perfusi
otak dan menyebabkan atau memperberat iskemia. Prognosis yang buruk
terjadi pada penderita dengan TIK lebih dari 20 mmHg, terutama bila menetap
.
Pada saat cedera, segera terjadi massa seperti gumpalan darah dapat terus
bertambah sementara TIK masih dalam keadaan normal. Saat pengaliran
CSS dan darah intravaskuler mencapai titik dekompensasi maka TIK secara
cepat akan meningkat. Sebuah konsep sederhana dapat menerangkan
tentang dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial
harus selalu konstan, konsep ini dikenal dengan Doktrin Monro-Kellie .Otak
memperoleh suplai darah yang besar yaitu sekitar 800ml/min atau 16% dari
cardiac output, untuk menyuplai oksigen dan glukosa yang cukup . Aliran
darah otak (ADO) normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55 ml
per 100 gram jaringan otak per menit. Pada anak, ADO bisa lebih besar
tergantung pada usainya . ADO dapat menurun 50% dalam 6-12 jam pertama
sejak cedera pada keadaan cedera otak berat dan koma. ADO akan
meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada penderita yang tetap koma
ADO tetap di bawah normal sampai beberapa hari atau minggu setelah
cedera. Mempertahankan tekanan perfusi otak/TPO (MAP-TIK) pada level 6070 mmHg sangat rirekomendasikan untuk meningkatkan ADO .
2.2. Definisi

Cedera kepala adalah kekerasan pada kepala yang dapat menyebabkan


kerusakan yang kompleks di kulit kepala, tulang tempurung kepala, selaput
otak, dan jaringan otak itu sendiri. Menurut Brain Injury Assosiation of America
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital
ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan/benturan fisik dari luar,
yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan
kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Menurut David A Olson dalam
artikelnya cedera kepala didefenisikan sebagai beberapa perubahan pada
mental dan fungsi fisik yang disebabkan oleh suatu benturan keras pada
kepala.
2.3. Klasifikasi
Cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek. Secara praktis dikenal
3 deskripsi klasifikasi yaitu berdasarkan mekanisme, berat dan morfologi .
Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas;
1. Cedera kepala tumpul; biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas,
jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan
deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial
dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak .
2. Cedera tembus; disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi;
1. Fraktur tengkorak; Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar
tengkorak . Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari
satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur
tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan
perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk
memperbaiki tulang tengkorak .
2. Lesi intrakranial; dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural,
perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan
terjadi secara bersamaan .
Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkan menjadi :
Secara umum untuk mendeskripsikan beratnya penderita cedera kepala
digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini dilakukan terhadap

respon motorik (1-6), respon verbal (1-5) dan buka mata (1-4), dengan interval
GCS 3-15. Berdasarkan beratnya cedera kepala dikelompokkam menjadi :
1. Nilai GCS sama atau kurang dari 8 didefenisikan sebagai cedera kepala
berat.
2. Cedera kepala sedang memiliki nilai GCS 9-13 dan,
3. Cedera kepala ringan dengan nilai GCS 14-15.
Gambar Acute Subdural Hematoma
2.4. Patofisiologi
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa dapat
terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan
gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan
bakar metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan
menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh
kebutuhan glukosa tubuh, sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai
70 % akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan
terjadi penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan
menyebabkan asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml / menit /
100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan
disritmia, fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol
akan berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada
pembuluh darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.

Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja
pada orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera
kepala pada coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi
yang terkena sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan
dengan daerah benturan. Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada
keadaan .;
1. Rear end Impact
keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak pertama
kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala
pada awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak
bagian depan.
2. Backward/forward motion of head
Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga
pergerakan otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak
menabrak tulang tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah
yang secara mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang
antara otak dan tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung
udara. Pada saat otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya
bertekanan rendah menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara
tersebut. Terbentuknya dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat
berbahaya bagi pembuluh darah otak karena terjadi penekanan, sehingga
daerah yang memperoleh suplai darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi
kematian sel-sel otak. Begitu juga bila terjadi pergerakan kepala ke depan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2
1. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera
ini umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani
proses penyembuhan yang optimal
2.Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan
lebih merupakan fenomena metabolik.Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan

cedera

kepala

skunder

dapat

mempengaruhi

tingkat

kesembuhan/keluaran penderita.Penyebab cedera kepala skunder antara lain;


penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan
hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan
infeksi)
Aspek patologis
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural
(perdarahan yang
terjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan subdural
(perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma
subdural

(penimbunan

cairan

antara

dura

mater

dan

arakhnoidea),

perdarahan subarakhnoidal cederatik (perdarahan yangterjadi di dalam


ruangan antara arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa
darah yang mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri),
edema otak (tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak),
kongesti otak (pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan
ventrikel yang menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia
dan hematoma serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada
cedera otak .
Cidera Kepala

Cidera

otak

primer

Cidera

otak

sekunder

Kontosio

Laserasi

Kerusakan sel otak


Sembuh

Respon biologik

Gangguan aliran darah otak

TIK meningkat :

Edema

Hematom

#Metabolisme anaerobik
#Hipoximia
Respon biologik

Trauma Kepala

Gangguan auto regulasi


TIK meningkat

Aliran darah otak menurun

Edema otak

Gangguan

etabolisme

O2 menurun.

CO2 meningkat.
Asamlaktatmeningkat
Metabolik anaerobik

2.5. Mekanisme Klinis


Gejala :
1. Jika klien sadar ----- sakit kepala hebat.
2. Muntah proyektil.
3. Papil edema.
4. Kesadaran makin menurun.
5. Perubahan tipe kesadaran.
6. Tekanan darah menurun, bradikardia.
7. An isokor.
8. Suhu tubuh yang sulit dikendalikan.
Tipe / macam Trauma kepala antara lain :
1. Trauma kepala terbuka.
Kerusakan otak dapat terjadi bila tulang tengkorak masuk kedalam jaringan
otak dan melukai :

Merobek duramater -----LCS merembes.

Saraf otak

Jaringan otak.
Gejala fraktur basis :

Battle sign.

Hemotympanum.

Periorbital echymosis.

Rhinorrhoe.

Orthorrhoe.

Brill hematom.

2. Trauma kepala tertutup


a) Komosio
Cidera kepala ringan
Disfungsi neurologis sementara dan dapat pulih kembali.
Hilang kesadaran sementara , kurang dari 10 - 20 menit.
Tanpa kerusakan otak permanen.
Muncul gejala nyeri kepala, pusing, muntah.
Disorientasi sementara.
Tidak ada gejala sisa.
MRS kurang 48 jam ---- kontrol 24 jam I , observasi tanda-tanda vital.
Tidak ada terapi khusus.
Istirahat mutlak ---- setelah keluhan hilang coba mobilisasi bertahap, duduk --berdiri -- pulang.
Setelah pulang ---- kontrol, aktivitas sesuai, istirahat cukup, diet cukup.
b) Kontosio.

Ada memar otak.

Perdarahan kecil lokal/difus ---- gangguan lokal --- perdarahan.


Gejala :

Gangguan kesadaran lebih lama.


Kelainan neurologik positip, reflek patologik positip, lumpuh, konvulsi.
Gejala TIK meningkat.
Amnesia retrograd lebih nyata.
c) Hematom epidural.
Perdarahan anatara tulang tengkorak dan duramater.
Lokasi tersering temporal dan frontal.

Sumber : pecahnya pembuluh darah meningen dan sinus venosus.


Katagori talk and die.
Gejala : (manifestasi adanya proses desak ruang).
Penurunan kesadaran ringan saat kejadian ----- periode Lucid (beberapa
menit - beberapa jam) ---- penurunan kesadaran hebat --- koma, deserebrasi,
dekortisasi, pupil an isokor, nyeri kepala hebat, reflek patologik positip.
d) Hematom subdural.

Perdarahan antara duramater dan arachnoid.


Biasanya pecah vena --- akut, sub akut, kronis.

Akut :
Gejala 24 - 48 jam.
Sering berhubungan dnegan cidera otak & medulla oblongata.
PTIK meningkat.
Sakit kepala, kantuk, reflek melambat, bingung, reflek pupil lambat.

Sub Akut :
Berkembang 7 - 10 hari, kontosio agak berat, adanya gejala
TIK meningkat --- kesadaran menurun.

Kronis :
Ringan , 2 minggu - 3 - 4 bulan.
Perdarahan kecil-kecil terkumpul pelan dan meluas.
Gejala sakit kepala, letargi, kacau mental, kejang, disfagia.

e) Hematom intrakranial.
Perdarahan intraserebral 25 cc atau lebih.
Selalu diikuti oleh kontosio.
Penyebab : Fraktur depresi, penetrasi peluru, gerakan akselerasi - deselerasi
mendadak.
Herniasi merupakan ancaman nyata, adanya bekuan darah, edema lokal.
Pengaruh Trauma Kepala :

Sistem pernapasan

Sistem kardiovaskuler.

Sistem Metabolisme.

Sistem Pernapasan :
TIK meningkat
Hipoksemia,

hiperkapnia

Meningkatkan

rangsang simpatis

Peningkatan hambatan difusi O2 - Co2.

Edema paru

Meningkatkan tahanan vask. sistemik

dan tek darah

Meningkatkan tek, hidrostatik


Kebocoran cairan kapiler
Sistem pembuluh darah pulmonal tek.
rendah.
Karena adanya kompresi langsung pada batang otak ---- gejala pernapasan
abnormal :

Chyne stokes.

Hiperventilasi.

Apneu.
Sistem Kardivaskuler :

Trauma kepala --- perubahan fungsi jantung : kontraksi, edema paru, tek.
Vaskuler.

Perubahan saraf otonom pada fungsi ventrikel :

Disritmia.
Fibrilasi.
Takikardia.

Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis --- terjadi penurunan


kontraktilitas ventrikel. ---- curah jantung menurun --- menigkatkan tahanan
ventrikel kiri --- edema paru.
Sistem Metabolisme :

Trauma kepala --- cenderung terjadi retensi Na, air, dan hilangnya sejumlah
nitrogen.

Dalam keadaan stress fisiologis.

Trauma

ADH dilepas

Retensi Na dan air

Out put urine menurun

Konsentrasi elektrolit meningkat

Normal kembali setelah 1 - 2 hari.

Pada keadaan lain :


Fraktur Tengkorak

Kerusakan hipofisis
Atau hipotalamus

Penurunan ADH

Diabetes Mellitus

Ginjal
Ekskresi air

Dehidrasi Hilang nitrogen meningkat--- respon metabolik

terhadap trauma.

Trauma

Tubuh perlu energi untuk perbaikan

Nutrisi berkurang
Penghancuran protein otot sebagai sumber nitrogen
utama.

Pengaruh Pada G.I Tract. :


3 hari pasca trauma --- respon tubuh merangsang hipotalamus dan stimulus
vagal.
Lambung hiperacidi
Hipotalamus ------ hipofisis anterior

Adrenal
Steroid

Peningkatan sekresi asam lambung

Hiperacidi
Trauma

Stress

Perdarahan lambung

Katekolamin meningkat.
2.6. Komplikasi
Koma. Penderita tidak sadar dan tidak memberikan respon disebut coma.
Pada situasi ini, secara khas berlangsung hanya beberapa hari atau minggu,
setelah masa ini penderita akan terbangun, sedangkan beberapa kasus lainya
memasuki vegetative state atau mati penderita pada masa vegetative

statesering membuka matanya dan mengerakkannya, menjerit atau menjukan


respon reflek. Walaupun demikian penderita masih tidak sadar dan tidak
menyadari lingkungan sekitarnya. Penderita pada masa vegetative state lebih
dari satu tahun jarang sembuh .
Seizure. Pederita yang mengalami cedera kepala akan mengalami sekurangkurangnya sekali seizure pada masa minggu pertama setelah cedera.
Meskipun demikian, keadaan ini berkembang menjadi epilepsy
Infeksi. Faktur tengkorak atau luka terbuka dapat merobekan membran
(meningen) sehingga kuman dapat masuk. Infeksi meningen ini biasanya
berbahaya karena keadaan ini memiliki potensial untuk menyebar ke sistem
saraf yang lain .
Kerusakan

saraf. Cedera

pada

basis

tengkorak

dapat

menyebabkan

kerusakan pada nervus facialis. Sehingga terjadi paralysis dari otot-otot


facialis atau kerusakan dari saraf untuk pergerakan bola mata yang
menyebabkan terjadinya penglihatan ganda .
1. Hilangnya kemampuan kognitif. Berfikir, akal sehat, penyelesaian masalah,
proses informasi dan memori merupakan kemampuan kognitif. Banyak
penderita dengan cedera kepala berat mengalami masalah kesadaran .
2. Penyakit Alzheimer dan Parkinson. Pada kasus cedera kapala resiko
perkembangan terjadinya penyakit alzheimer tinggi dan sedikit terjadi
parkinson. Resiko akan semakin tinggi tergantung frekuensi dan keparahan
cedera
2.7. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis pada pasien cedera kepala secara umum meliputi
anamnesis,

pemeriksaan

fisik

umum,

pemeriksaan

neurologis

dan

pemeriksaan radiologi, pemeriksaan tanda-tanda vital juga dilakukan yaitu


kesadaran, nadi, tekanan darah, frekuensi dan jenis pernafasan serta suhu
badan Pengukuran tingkat keparahan pada pasien cedera kepala harus
dilakukan yaitu dengan Glasgow Coma Scale (GCS) yang pertama kali
dikenalkan oleh Teasdale dan Jennett pada tahun 1974 yang digunakan
sebagai standar internasional

Tabel 2.1 Glasgow Coma Scale


Glasgow Coma Scale

Nilai

Responmembukamata (E)
Buka mata spontan

Buka mata bila dipanggil/rangsangan suara

Buka mata bila dirangsang nyeri

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon verbal (V)


Komunikasi verbal baik, jawaban tepat

Bingung, disorientasi waktu, tempat, dan orang

Kata-kata tidak teratur

Suara tidak jelas

Tak ada reaksi dengan rangsangan apapun

Respon motorik (M)


Mengikuti perintah

Dengan rangsangan nyeri, dapat mengetahui tempat rangsangan

Dengan rangsangan nyeri, menarik anggota badan

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi fleksi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, timbul reaksi ekstensi abnormal

Dengan rangsangan nyeri, tidak ada reaksi

Nilai GCS = ( E+V+M), nilai terbaik = 15 dan nilai terburuk = 3


Pada pemerikasaan neurologis respon pupil, pergerakan mata, pergerakan
wajah, respon sensorik dan pemeriksaan terhadap nervus cranial perlu
dilakukan. Pupil pada penderita cedera kepala didak berdilatasi pada keadaan
akut, jadi jika terjadi perubahan dari pupil dapat dijadikan sebagai tanda awal
terjadinya herniasi. Kekuatan dan simetris dari letak anggota gerak ekstrimitas
dapat dijadikan dasar untuk mencari tanda gangguan otak dan medula
spinalis. Respon sensorik dapat dijadikan dasar menentukan tingkat
kesadaran dengan memberikan rangsangan pada kulit penderita CT scan
merupakan study diagnosis pilihan dalam evaluasi penderita cedera kepala
CT scan idealnya dilakukan pada semua cedera otak dengan kehilangan

kesadaran lebih dari 5 menit, amnesia, sakit kepala hebat, GCS<15>. CT


scan dapat memperlihatkan tanda terjadinya fraktur, perdarahan pada otak
(hemoragi), gumpalan darah (hematom), luka memar pada jaringan otak
(kontusio), dan udem pada jaringan otak .Selain itu juga dapat digunakan foto
rongen sinar X, MRI, angiografi dan sken tomografik terkomputerisasi. Pada
pasien cedera kepala berat, penundaan transportasi penderita karena
menunggu CT scan sangat berbahaya karena diagnosis serta terapi yang
cepat sangat penting..
2.8. Data statistik
Pengukuran keluaran penderita cedera kepala
Berdasarkan pengukuran GCS di Amerika mayoritas (75-80%) penderita
cedera kepala adalah cedera kepala ringan, cedera kepala sedang dan berat
yang masing-masingnya antara 10% dan 20% . Sebagian besar penderita
dengan cedera otak ringan pulih sempurna, tapi terkadang ada gejala sisa
yang sangat ringan. Perburukan yang tidak terduga pada penderita cedera
kepala ringan lebih kurang 3% yang mengakibatkan disfungsi neurologis yang
berat kecuali bila perubahan kesadaran dapat dideteksi lebih awal. Sekitar 1020% dari penderita cedera kepala sedang mengalami perburukan dan jatuh
dalam koma. Pada penderita dengan cedera kepala berat sering diperburuk
dengan cedera skunder. Hipoksia yang disertai dengan hipotensi pada
penderita cedera kepala berat akan menyebabkan mortalitas mencapai 75% .
Kecacatan akibat cedera kepala tergantung dari tingkat beratnya cedera,
lokasi cedera, umur dan kesehatan penderita. Beberapa kejadian kecacatan
tersering yaitu masalah kesadaran (fikiran, ingatan dan akal sehat), proses
sensorik

(melihat,

mendengar,

meraba,

mengecap

dan

menghidu),

berkomunikasi (ekspresi dan pemahaman) dan tingkah laku atau kesehatan


mental (depresi, gelisah/cemas, perubahan kepribadian, agresif/menyerang,
dan keadaan sosial yang tidak normal) .
Menentukan keluaran dan prognosis dari cedera kepala sangat sulit .
Terlambatnya penanganan awal/resusitasi, pengangkutan/transport yang tidak
adekuat, dikirim ke rumah sakit yang tidak adekuat, terlambatnya dilakukan
tindakan bedah dan adanya cedera multiple yang lain merupakan faktor-faktor

yang memperburuk prognosis penderita cedera kepala . Untuk keluaran


penderita, pengukuran standar yang biasa digunakan adalah Glasgow
Outcome Scale (GOS) yang dikemukakan oleh Jennett dan Bond (1975)..
2.9. Penatalaksanaan
2.9.1. Tindakan dan terapi
Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili
tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala
sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga
dapat

membantu

penyembuhan

sel-sel

otak

yang

sakit

Untuk

penatalaksanaan penderita cedera kepala, Adveanced Cedera Life Support


(2004) telah menepatkan standar yang disesuaikan dengan tingkat keparahan
cedera yaitu ringan, sedang dan berat .
Penatalaksanaan penderita cerdera kepala meliputi survei primer dan survei
sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan
antara lain : A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E
(exposure/environmental

control)

yang

kemudian

dilanjutkan

dengan

resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala


berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak skunder
dan menjaga homeostasis otak .
Kelancaran jalan napas (airway) merupakan hal pertama yang harus
diperhatikan.Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan
besar dalam keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada
penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda asing,
muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha
untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis
(cervicalspinecontrol), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi
yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin
lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui
hidung.

Bila

ada

sumbatan

maka

dapat

dihilangkan

dengan

cara

membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi
jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan
napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut

akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan


dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat
atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang
adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal
Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat
kesadaran dan denyut nadi (circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan
adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta
temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang
teratur, penuh, dan lambat biasanya menunjukkan status sirkulasi yang relatif
normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik
sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi
ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk
memperkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka
tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat
teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi
hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50
mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan
pada luka
Setelah survei primer, hal selanjutnya yang dilakukan yaitu resusitasi. Cairan
resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%, sebaiknya
dengan duajalur intra vena. Pemberian cairan jangan ragu-ragu, karena
cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak
dibandingkan keadaan udem otak akibat pemberian cairan yang berlebihan.
Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head
down (kepala lebih rendah dari leher) karena dapat menyebabkan bendungan
vena di kepala dan menaikkan tekanan intracranial
Pada penderita cedera kepala berat cedera otak sekunder sangat
menentukan keluaran penderita. Survei sekunder dapat dilakukan apabila
keadaan penderita sudah stabil yang berupa pemeriksaan keseluruhan fisik
penderita. Pemeriksaan neurologis pada penderita cedera kepala meliputi
respos buka mata, respon motorik, respon verbal, refleks cahaya pupil,
gerakan bola mata (doll's eye phonomenome, refleks okulosefalik), test kalori
dengan suhu dingin (refleks okulo vestibuler) dan refleks kornea

Tidak semua pederita cedera kepala harus dirawat di rumah sakit. Indikasi
perawatan di rumah sakit antara lain; fasilitas CT scan tidak ada, hasil CT
scan abnormal, semua cedera tembus, riwayat hilangnya kesadaran,
kesadaran menurun, sakit kepala sedang-berat, intoksikasi alkohol/obatobatan, kebocoran liquor (rhinorea-otorea), cedera penyerta yang bermakna,
GCS<15>..
Terapi medikamentosa pada penderita cedera kepala dilakukan untuk
memberikan suasana yang optimal untuk kesembuhan. Hal-hal yang
dilakukan dalam terapi ini dapat berupa pemberian cairan intravena,
hiperventilasi,

pemberian

manitol,

steroid,

furosemid,

barbitirat

dan

antikonvulsan .
Indikasi pembedahan pada penderita cedera kepala bila hematom intrakranial
>30 ml, midline shift >5 mm, fraktur tengkorak terbuka, dan fraktur tengkorak
depres dengan kedalaman >1 cm
2.9.2. Rencana pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi anak yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya

kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan


perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi

dari pemberian obat.


4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip

lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.


5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-

hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas


bermain, dan latihan ROM bila anak mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan

intrakranial.
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1. PENGKAJIAN
Pengumpulan data klien baik subyektif atau obyektif pada gangguan sistem
persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada bentuk,
lokasi, jenis injuri dan adanya komplikasi pada organ vital lainnya. Data yang
perlu didapati adalah sebagai berikut :
1. Identitas klien dan keluarga (penanggung jawab)
nama, umur, jenis kelamin, agama, suku bangsa, status perkawinan, alamat,
golongan darah, pengahasilan, hubungan klien dengan penanggung jawab.
2. Riwayat kesehatan :
Tingkat kesadaran/GCS (< 15), konvulsi, muntah, dispnea / takipnea, sakit
kepala, wajah simetris / tidak, lemah, luka di kepala, paralise, akumulasi
sekret pada saluran napas, adanya liquor dari hidung dan telinga dan kejang
Riwayat penyakit dahulu haruslah diketahui baik yang berhubungan dengan
sistem persarafan maupun penyakit sistem sistemik lainnya. demikian pula
riwayat penyakit keluarga terutama yang mempunyai penyakit menular.
Riwayat kesehatan tersebut dapat dikaji dari klien atau keluarga sebagai data
subyektif. Data-data ini sangat berarti karena dapat mempengaruhi prognosa
klien.
3. Pemeriksaan Fisik
Aspek neurologis yang dikaji adalah tingkat kesadaran, biasanya GCS < 15,
disorientasi orang, tempat dan waktu. Adanya refleks babinski yang positif,
perubahan nilai tanda-tanda vital kaku kuduk, hemiparese.
Nervus cranialis dapat terganggu bila cedera kepala meluas sampai batang
otak karena udema otak atau perdarahan otak juga mengkaji nervus I, II, III, V,
VII, IX, XII.
4. Penatalaksanaan Medis Pada Trauma Kepala :
Obat-obatan :

Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis


sesuai dengan berat ringanya trauma.

Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi.

Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau


glukosa 40 % atau gliserol 10 %.

Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi
anaerob diberikan metronidasol.

Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18
jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan
makanan lunak.

Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami


penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit
maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan. Dextosa 5 % 8
jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga.
Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui
nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure
nitrogennya.

Pembedahan.

5. Pemeriksaan Penujang

CT-Scan (dengan atau tanpa kontras) : mengidentifikasi luasnya lesi,


perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan :
Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam
setelah injuri.

MRI : Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

Cerebral Angiography: Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti :


perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.

Serial EEG: Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

X-Ray: Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur


garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

BAER: Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

PET: Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

CSF, Lumbal Punksi :Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan


subarachnoid.

ABGs:

Mendeteksi

keberadaan

ventilasi

atau

masalah pernapasan

(oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrkranial

Screen Toxicologi: Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan


penurunan kesadaran.
Penatalaksanaan
Konservatif:

Bedrest total

Pemberian obat-obatan

Observasi tanda-tanda vital (GCS dan tingkat kesadaran)

Prioritas Perawatan:
1. Maksimalkan perfusi / fungsi otak
2. Mencegah komplikasi
3. Pengaturan fungsi secara optimal / mengembalikan ke fungsi normal
4. Mendukung proses pemulihan koping klien / keluarga
5. Pemberian

informasi

tentang

proses

penyakit,

prognosis,

rencana

pengobatan, dan rehabilitasi.


Tujuan:
1. Fungsi otak membaik : defisit neurologis berkurang/tetap
2. Komplikasi tidak terjadi
3. Kebutuhan sehari-hari dapat dipenuhi sendiri atau dibantu orang lain
4. Keluarga dapat menerima kenyataan dan berpartisipasi dalam perawatan
5. Proses penyakit, prognosis, program pengobatan dapat dimengerti oleh
keluarga sebagai sumber informasi.
3.2. DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan yang biasanya muncul adalah:
1. Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas di
otak.
2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan
sputum.

3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan odem otak


4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos coma)
5. Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
6 Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,
tidak

adekuatnya sirkulasi perifer.

3.3. INTERVENSI
1.Tidak efektifnya pola napas sehubungan dengan depresi pada pusat napas
di otak.
~Tujuan :
Mempertahankan pola napas yang efektif melalui ventilator.
~Kriteria evaluasi :
Penggunaan otot bantu napas tidak ada, sianosis tidak ada atau tandatanda hipoksia tidak ada dan gas darah dalam batas-batas normal.
~Rencana tindakan :

Hitung pernapasan pasien dalam satu menit. pernapasan yang cepat dari
pasien dapat menimbulkan alkalosis respiratori dan pernapasan lambat
meningkatkan tekanan Pa Co2 dan menyebabkan asidosis respiratorik.

Cek pemasangan tube, untuk memberikan ventilasi yang adekuat dalam


pemberian tidal volume.

Observasi ratio inspirasi dan ekspirasi pada fase ekspirasi biasanya 2 x lebih
panjang dari inspirasi, tapi dapat lebih panjang sebagai kompensasi
terperangkapnya udara terhadap gangguan pertukaran gas.

Perhatikan

kelembaban dan suhu

mengeringkan

sekresi

cairan

pasien

paru

keadaan

sehingga

dehidrasi

menjadi

kental

dapat
dan

meningkatkan resiko infeksi.

Cek selang ventilator setiap waktu (15 menit), adanya obstruksi dapat
menimbulkan tidak adekuatnya pengaliran volume dan menimbulkan
penyebaran udara yang tidak adekuat.

Siapkan ambu bag tetap berada di dekat pasien, membantu membarikan


ventilasi yang adekuat bila ada gangguan pada ventilator.

2. Tidak efektifnya kebersihan jalan napas sehubungan dengan penumpukan


sputum.
~Tujuan :
Mempertahankan jalan napas dan mencegah aspirasi
~Kriteria Evaluasi :
Suara napas bersih, tidak terdapat suara sekret pada selang dan bunyi
alarm karena peninggian suara mesin, sianosis tidak ada.
~Rencana tindakan :
1. Kaji dengan ketat (tiap 15 menit) kelancaran jalan napas. Obstruksi dapat
disebabkan pengumpulan sputum, perdarahan, bronchospasme atau masalah
terhadap tube.
2. Evaluasi pergerakan dada dan auskultasi dada (tiap 1 jam ). Pergerakan yang
simetris dan suara napas yang bersih indikasi pemasangan tube yang tepat
dan tidak adanya penumpukan sputum.
3. Lakukan pengisapan lendir dengan waktu kurang dari 15 detik bila sputum
banyak. Pengisapan lendir tidak selalu rutin dan waktu harus dibatasi untuk
mencegah hipoksia.
4. Lakukan fisioterapi dada setiap 2 jam. Meningkatkan ventilasi untuk semua
bagian paru dan memberikan kelancaran aliran serta pelepasan sputum.
3. Gangguan perfusi jaringan otak sehubungan dengan Odem otak
~Tujuan :
Mempertahankan dan memperbaiki tingkat kesadaran fungsi motorik.
~Kriteria hasil :
Tanda-tanda vital stabil, tidak ada peningkatan intrakranial.
~Rencana tindakan :
A. Monitor dan catat status neurologis dengan menggunakan metode GCS.
Refleks membuka mata menentukan pemulihan tingkat kesadaran.
Respon motorik menentukan kemampuan berespon terhadap stimulus
eksternal dan indikasi keadaan kesadaran yang baik.
Reaksi pupil digerakan oleh saraf kranial oculus motorius dan untuk
menentukan refleks batang otak.

Pergerakan mata membantu menentukan area cedera dan tanda awal


peningkatan tekanan intracranial adalah terganggunya abduksi mata.
1) Monitor tanda-tanda vital tiap 30 menit.
Peningkatan sistolik dan penurunan diastolik serta penurunan tingkat
kesadaran dan tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial. Adanya
pernapasan

yang

irreguler

indikasi

terhadap

adanya

peningkatan

metabolisme sebagai reaksi terhadap infeksi. Untuk mengetahui tanda-tanda


keadaan syok akibat perdarahan.
3) Pertahankan posisi kepala yang sejajar dan tidak menekan.
Perubahan kepala pada satu sisi dapat menimbulkan penekanan pada vena
jugularis , menghambat aliran darah otak, untuk itu dapat meningkatkan
tekanan intrakranial.
4) Hindari batuk yang berlebihan, muntah, mengedan, pertahankan pengukuran
urin dan

hindari konstipasi yang berkepanjangan. Dapat mencetuskan

respon otomatik peningkatan intracranial


5) Observasi kejang dan lindungi pasien dari cedera akibat kejang.
Kejang terjadi akibat iritasi otak, hipoksia, dan kejang dapat meningkatkan
tekanan intrakrania.
B. Berikan oksigen sesuai dengan kondisi pasien.
Dapat menurunkan hipoksia otak.
C. Berikan obat-obatan yang diindikasikan dengan tepat dan benar
(kolaborasi).
Membantu menurunkan tekanan intrakranial secara biologi / kimia seperti
osmotik diuritik untuk menarik air dari sel-sel otak sehingga dapat
menurunkan

udem

otak,

steroid

(dexametason)

untuk

menurunkan

inflamasi, menurunkan edema jaringan. Obat anti kejang untuk menurunkan


kejang, analgetik untuk menurunkan rasa nyeri efek negatif dari peningkatan
tekanan intrakranial. Antipiretik untuk menurunkan panas yang dapat
meningkatkan pemakaian oksigen otak.
4. Keterbatasan aktifitas sehubungan dengan penurunan kesadaran (soporos
- coma )
~Tujuan :

Kebutuhan dasar pasien dapat terpenuhi secara adekuat.


~Kriteria hasil :
Kebersihan terjaga, kebersihan lingkungan terjaga, nutrisi terpenuhi
sesuai dengan kebutuhan, oksigen adekuat.
~Rencana Tindakan :
1) Berikan penjelasan tiap kali melakukan tindakan pada pasien.
Penjelasan dapat mengurangi kecemasan dan meningkatkan kerja sama
yang dilakukan pada pasien dengan kesadaran penuh atau menurun.
2) Beri bantuan untuk memenuhi kebersihan diri.
Kebersihan perorangan, eliminasi, berpakaian, mandi, membersihkan mata
dan kuku, mulut, telinga, merupakan kebutuhan dasar akan kenyamanan
yang harus dijaga oleh perawat untuk meningkatkan rasa nyaman, mencegah
infeksi dan keindahan.
3) Berikan bantuan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan.
Makanan dan minuman merupakan kebutuhan sehari-hari yang harus
dipenuhi untuk menjaga kelangsungan perolehan energi. Diberikan sesuai
dengan kebutuhan pasien baik jumlah, kalori, dan waktu.
4) Jelaskan pada keluarga tindakan yang dapat dilakukan untuk menjaga
lingkungan yang aman dan bersih.
Keikutsertaan keluarga diperlukan untuk menjaga hubungan klien - keluarga.
Penjelasan perlu agar keluarga dapat memahami peraturan yang ada di
ruangan.
5) Berikan bantuan untuk memenuhi kebersihan dan keamanan lingkungan.
Lingkungan yang bersih dapat mencegah infeksi dan kecelakaan.
5.Kecemasan keluarga sehubungan keadaan yang kritis pada pasien.
~Tujuan :
Kecemasan keluarga dapat berkurang
~Kriteri evaluasi :
Ekspresi wajah tidak menunjang adanya kecemasan
Keluarga mengerti cara berhubungan dengan pasien
Pengetahuan keluarga mengenai keadaan, pengobatan dan tindakan
meningkat.

~Rencana tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya.
Untuk membina hubungan terpiutik perawat - keluarga.
Dengarkan dengan aktif dan empati, keluarga akan merasa diperhatikan.
2. Beri penjelasan tentang semua prosedur dan tindakan yang akan dilakukan
pada pasien.
Penjelasan akan mengurangi kecemasan akibat ketidak tahuan.
3. Berikan kesempatan pada keluarga untuk bertemu dengan klien.
Mempertahankan hubungan pasien dan keluarga.
4. Berikan dorongan spiritual untuk keluarga.
Semangat keagamaan dapat mengurangi rasa cemas dan meningkatkan
keimanan dan ketabahan dalam menghadapi krisis.

6.Resiko tinggi gangguan integritas kulit sehubungan dengan immobilisasi,


tidak adekuatnya sirkulasi perifer.
~Tujuan :
Gangguan integritas kulit tidak terjadi
~Rencana tindakan :
1. Kaji fungsi motorik dan sensorik pasien dan sirkulasi perifer untuk
menetapkan kemungkinan terjadinya lecet pada kulit.
2. Kaji kulit pasien setiap 8 jam : palpasi pada daerah yang tertekan.
3. Berikan posisi dalam sikap anatomi dan gunakan tempat kaki untuk daerah
yang menonjol.
4. Ganti posisi pasien setiap 2 jam
5. Pertahankan kebersihan dan kekeringan pasien : keadaan lembab akan
memudahkan terjadinya kerusakan kulit.
6. Massage dengan lembut di atas daerah yang menonjol setiap 2 jam sekali.
7. Pertahankan alat-alat tenun tetap bersih dan tegang.
8. Kaji daerah kulit yang lecet untuk adanya eritema, keluar cairan setiap 8 jam.
9. Berikan perawatan kulit pada daerah yang rusak / lecet setiap 4 - 8 jam
dengan menggunakan H2O2.

BAB IV
PENUTUP

4.1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Tengkorak sebagai pelindung jaringan otak mempunyai daya elastisistas
untuk membatasi trauma kepala bila terbentur benda tumpul
2. Adanya fenomena yang meningkat setiap tahunnya untuk angka kejadian
trauma kepala.
Trauma kepala terdiri dari trauma kulit kepala, tulang kranial dan otak.
Klasifikasi cedera kepala meliputi trauma kepala tertutup dan trauma kepala
terbuka yang diakibatkan oleh mekanisme cedera yaitu cedera percepatan
(aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera kepala primer pada trauma kepala menyebabkan edema serebral,
laserasi atau hemorragi. Sedangkan cedera kepala sekunder pada trauma
kepala menyebabkan berkurangnya kemampuan autoregulasi pang pada
akhirnya menyebabkan terjadinya hiperemia (peningkatan volume darah dan
PTIK). Selain itu juga dapat menyebabkan terjadinya cedera fokal serta
cedera otak menyebar yang berkaitan dengan kerusakan otak menyeluruh.
Komplikasi dari trauma kepala adalah hemorragi, infeksi, odema dan herniasi.
Penatalaksanaan pada pasien dengan trauma kepala adalah dilakukan
observasi dalam 24 jam, tirah baring, jika pasien muntah harus dipuasakan
terlebih dahulu dan kolaborasi untuk pemberian program terapi serta tindakan
pembedahan.
4.2. Saran
1. Untuk mahasiswa diharapkan supaya lebih bekerja sama dalam
pembuatan makalah asuhan keperawatan Trauma Kapitis.

2. Mahasiswa diharapkan supaya lebih aktip meningkatkan ilmu pengetahuan


dan

keterampilan

dalam

bidang

keperawatan

khususnya

Asuhan

Keperawatan Trauma Kapitis.


3. Untuk dosen supaya lebih banyak lagi memberikan pengetahuan tentang
Gawat Darurat .
DAFTAR KEPUSTAKAAN
1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Cedera kepala. Dalam:
Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia,
penerjemah. Edisi 7. Komisi trauma IKABI, 2004; 168-193.
2. Bedong MA. Cedera Jaringan Otak : Pengenalan dan Kemungkinan
Penetalaksanaannya.

Mei

2001

[31

Agustus

2007];.

Diunduh

dari: http://www.tempo.ci.id/medica/arsip/052001/sek-1.htm
3.Coskey,Mc, et all.2007.Diagnosa Keperawatan NOC-NIC St-Louis . sumber :

4. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology. 11th ed. Elsevier
Saunders, 2006; 685-97.
5..Hartanto, Hurawati.2009. Kamus Saku Mosby. Jakarta. EGC

6. Mc Khann GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital Care of the HeadInjuried Patient. Dalam : Textbooks of Neurotrauma. Mc Graw Hill. 103-112
7. Rappaport WA, Brannan S. Head injury. Dalam: Surgery. Mosby Elsevier,
2005; 216-18.
8. Singh J. Head Trauma. 25 September 2006 [20 September 2007]; Topic
929: [11 screens]. Diunduh dari:http://www.emedicine.com/ped/topic929.htm
9.Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L,
Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah.
Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC, 2006;
740-59.
10. Stein SC. Classification of the Head Injury. Dalam: Textbook of
Neurotrauma. Mc. Graw-Hill. 31-38.
11.Santosa, Budi. 2005-2006. Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medikal.

12.Rahariyani, Loetfia Dwi. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Trauma kepala,Jakarta:


EGC

13. Whittle IR, Myles L. Neurosurgery. Dalam: Prnciples and Practice of


Surgery. 4th ed. Elsevier Churchill Livingstone, 2007; 551-61.
14.Wijanarka A, Dwiphrahasto. Implementasi Clinical Governance: Pengembangan Indikator
Klinik Cedera Kepala di Instalasi Gawat Darurat. Desember 2005 [4 September 2007];
volume 8; [8 screens].

Diposkan oleh narera hehe di 01.56


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke
Pinterest
Label: askep

Anda mungkin juga menyukai