Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA PASIEN DENGAN ANEMIA GRAVIS


DI RUANG ADENIUM RSUD dr. Soebandi JEMBER

Disusun Oleh:
SUGIATIK
14.401.14.073

AKADEMI KESEHATAN RUSTIDA


PRODI DIII KEPERAWATAN

JANUARI 2017

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Anemia adalah keadaan berkurangnya sel darah merah atau konsentrasi
hemoglobin (Hb) di bawah nilai normal sesuai usia dan jenis kelamin.
Anemia dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu usia, jenis kelamin, dan
populasi. Suatu anemia gravis dikatakan bila konsentrasi Hb 7 g/dL selama
3 bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis dapat dikarenakan kanker,
malaria, thalassemia mayor, defisiensi besi, leukemia, dan infeksi cacing.
Anemia gravis adalah anemia apabila konsentrasi Hb 7 g/dL selama 3
bulan berturut-turut atau lebih. Anemia gravis timbul akibat penghancuran sel
darah merah yang cepat dan hebat. Anemia gravis lebih sering dijumpai pada
penderita anak-anak. Anemia gravis dapat bersifat akut dan kronis. Anemia
kronis dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi (ADB), sickle cell
anemia (SCA), talasemia, spherocytosis, anemia aplastik dan leukemia.
Anemia gravis kronis juga dapat dijumpai pada infeksi kronis seperti
tuberkulosis (TBC) atau infeksi parasit yang lama, seperti malaria, cacing
dan lainnya. Anemia gravis sering memberikan gejala serebral seperti
tampak bingung, kesadaran menurun sampai koma, serta gejala-gejala
gangguan jantung-paru.
B. Etiologi
Penyebab tersering dari anemia adalah kekurangan zat gizi yang diperlukan
untuk sintesis eritrosit, antara lain besi, vitamin B12 dan asam folat.
Selebihnya merupakan akibat dari beragam kondisi seperti perdarahan,
kelainan genetik, penyakit kronik, keracunan obat, dan sebagainya.
C. Patofisiologi
1. Sickle cell anemia

Sckle cell anemia adalah gangguan hemolitik darah yang bersifat resesif
autosomal dan kronik dengan tekanan oksigen darah rendah sehingga
mengakibatkan eritrosit berbentuk bulan sabit (Miller, 1984 dalam Amri,
2006). Sickle cell anemia ditandai dengan adanya hemoglobin abnormal
yaitu hemoglobin S. Dalam tereduksi hemoglobin S mempunyai
kelarutan dan bentuk molekul yang khas yang menyebabkan perubahan
bentuk eritrosit seperti bulan sabit. Sel yang berubah bentuk ini juga
dengan cepat dihancurkan oleh sel-sel fagosit sehingga dalam jangka
panjang terjadilah anemia. (Rask, 2004).
2. Thalassemia Mayor
Thalassemia merupakan penyakit herediter yang disebabkan menurunnya
kecepatan sintesis rantai alfa atau beta pada hemoglobin. Hb
penderita dipertahankan antara 8 g/dl sampai 9,5 g/dl tidak melebihi
15 g/dl. Dengan kedaan ini akan memberikan supresi sumsum
tulang yang adekuat, menurunkan tingkat akumulasi besi, dan dapat
mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan penderita. (Modell &
Darlison, 2008)
Pada beta thalasemia mayor terdapat defisien parsial atau total
sintesis rantai betha molekul hemoglobin. Sebagai akibatnya terdapat
kompensasi berupa peningkatanan sintesis rantai alpha, sementara
produksi rantai gamma tetap aktif sehingga akan menghasilkan
pembentukan

hemoglobin yang

tidak

sempurna

(cacat).

Rantai

polipeptida yang tidak seimbang ini sangat tidak stabil dan ketika
terurai akan merusak sel darah merah (hemolisis) sehingga terjadi
anemia gravis. Untuk mengimbangi proses hemolisis, sumsum tulang
akan membentuk eritrosit dengan jumlah yang sangat berlimpah
kecuali jika fungsi sumsum tulang disupresi melalui terapi transfusi
(Hockenberry & Wilson, 2009).
3. Penderita Kanker
Terjadinya anemia pada penderita kanker (tumor ganas), dapat
disebabkan karena aktivitas sistem imun tubuh dan sistem inflamasi
yang ditandai dengan peningkatan beberapa petanda sistem imun
seperti interferon, Tumor Necrosis Factor (TNF) dan interleukin

yang semuanya disebut sitokin, dan dapat juga disebabkan oleh


kanker sendiri. (Gillespie, 2003)
4. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi terjadi bila jumlah zat besi yang diabsorpsi
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau terjadinya kehilangan
zat besi yang berlebihan dari tubuh. Hal ini bisa diakibatkan oleh
kurangnya pemasukan zat besi, berkurangnya sediaan zat dalam
makanan, meningkatnya kebutuhan akan zat besi atau kehilangan
darah yang kronis (Wijayanti, 2005).
Defisiensi zat besi terjadi jika
penggunaan elemen
Walaupun

tersebut

kecepatan

melampaui

kehilangan

kecepatan

atau

asimilasinya.

pada kebanyakan negara berkembang anemia akibat

kurangnya zat besi dalam diet dapat terjadi, tetapi ditemukan penyebab
paling sering kejadian anemia pada negara berkembang adalah akibat
kehilangan besi dari tubuh seringnya diakibatkan kehilangan darah
melalui saluran cerna atau saluran kemih. (McPhee, 2006).
5. Leukemia Leukemia adalah penyakit akibat terjadinya proliferasi sel
leukosit yang abnormal dan ganas serta sering disertai adanya
leukosit

jumlah

anemia

dan

keganasan

berlebihan yang

trombositopenia

hematologik

dapat

menyebabkan

(Hidayat, 2006).

akibat

proses

terjadinya

Leukemia

neoplastik yang

adalah
disertai

gangguan differensiasi (maturation arrest) pada berbagai tingkatan sel


induk hemopoetik sehingga terjadi ekspansif progresif dari kelompok
sel ganas tersebut dalam sumsum tulang. Pada leukemia terjadi
proliferasi dari salah satu sel yang memproduksi sel darah yang
ganas. Sel yang ganas tersebut menginfiltrasi sumsum tulang dengan
menyebabkan

kegagalan

fungsi

tulang

normal

dalam

proses

hematopoetik normal sehingga menimbulkan gejala anemia gravis.


(Bakti & Made, 2006)
6. Infeksi Cacing
Infeksi cacing tambang khususnya Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale adalah penyebab tersering anemia. Habitat cacing ini
berada dalam usus manusia. Selain mengisap darah, cacing tambang

juga menyebabkan perdarahan pada luka tempat bekas tempat isapan.


Infeksi oleh cacing tambang menyebabkan kehilangan darah secara
perlahan-lahan sehingga penderita mengalami anemia (Gandahasuda,
2000). Kehilangan zat besi secara patologis paling sering terjadi
akibat perdarahan
Perdarahan
penyebab

saluran

akibat cacing
tertinggi

cerna.
tambang

Prosesnya
dan

sering

Schistosoma

terjadinya perdarahan

saluran

tiba-tiba.
merupakan

cerna

dan

seterusnya mengakibatkan anemia defisiensi besi (Wijaya, 2007).


7. Anemia Aplastik
Anemia aplastik adalah suatu kegagalan anatomi dan fisiologi dari
sumsum tulang yang mengarah pada suatu penurunan nyata atau
tidak adanya unsur pembentuk darah dalam sumsum. Hal ini khas
dengan penurunan produksi eritrosit akibat pergantian dari unsur
produksi eritrosit dalam sumsum oleh jaringan lemak hiposeluler
(Young, 2006). Penurunan sel darah merah (hemoglobin) menyebabkan
penurunan jumlah oksigen yang dikirim ke jaringan, seningga
menimbulkan gejala-gejala anemia (Chan et al, 2008).
Patofisiologi dari anemia aplastik biasanya disebabkan oleh dua hal yaitu
kerusakan pada sel induk pluripoten yaitu sel yang mampu berproliferasi
dan berdiferensiasi menjadi sel-sel darah yang terletak di sumsum
tulang dan karena kerusakan pada microenvironment. Gangguan pada
sel

induk pluripoten ini menjadi penyebab utama terjadinya anemia

aplastik. Sel induk pluripoten

yang

mengalami

gangguan

gagal

membentuk atau berkembang menjadi sel-sel darah yang baru.


Umumnya hal ini dikarenakan kurangnya jumlah sel induk pluripoten
ataupun karena fungsinya yang menurun (Segel et al, 2011).
D. Manifestasi Klinis
Adaptasi utama terhadap anemia terjadi dalam sistem kardiovaskula (dengan
peningkatan volume sekuncup dan takikardi) dan pada kurva disosiasi O2
hemoglobin. Pada beberapa

penderita

anemia

terdapagejala atau tanda, sedangkan pasien lain

gravis, mungkin

tidak

yang menderita anemia

ringan mungkin mengalami kelemahan berat (Kasper, 2005).


1. Gejala

Jika pasien memang bergejala, biasanya gejalanya adalah nafas pendek,


khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit
kepala. Pada pasien berusia tua, mungkin ditemukan gejala gagal
jantung, angina pektoris, kaludikasio intermiten, atau kebingunagan
(konfusi). Gangguan penglihatan akibat pendarahan retina dapat
mempersulit anemia yang sangat berat, khususnya yang awitannya
cepat. (McPhee, 2006).
2. Tanda
Tanda-tanda dapat dibedakan menjadi tanda umum dan khusus.
Tanda umum meliputi kepucatan membran mukosa yang timbul
bila kadar hemoglobin kurang dari 9-10 g/dL. Sebaliknya, warna kulit
bukan tanda yang dapat diandalkan. Sirkulasi yang hiperdinamik dapat
menunjukkan takikardia, nadi kuat, kardiomegali, dan bising jantung
aliran

sistolik

khususnya

pada apeks. Gambaran gagal jantung

kongesti mungkin ditemukan, khususnya pada orang tua. Perdarahan


retina jarang ditemukan. Tanda spesifik dikaitkan dengan jenis
anemia tertentu, misalnya koilonikia dengan defisiensi besi, ikterus
dengan anemia hemolitik atau megaloblastik, ulkus tungkai dengan
anemia sel sabit dan anemia hemolitik lainnya, deformitas tulang
dengan talasemia mayor dan anemia hemolitik kongenital lain yang
berat (Lissaeur, 2007).
E. Pemeriksaan Penunjang
Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitian sel darah putih,
kadar Fe, pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin B12, hitung
trombosit, Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut
dan kronis serta sumber kehilangan darah kronis.
F. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis anemia gravis ditentukan berdasarkan penyakit
dasar yang menyebabkan anemia tersebut. Berikut beberapa pengobatan
anemia dengan berbagai indikasi.
1. Farmakologi
a. Erythropoetin-Stimulating Agents (ESAs)
b. Epoetin Alfa
c. Obat untuk Mengatasi Pendarahan
d. FRESH FROZEN PLASMA (FFP

e. CRYOPRECIPITATE
2. Garam Besi
a. Fereous Sulfate Carbonyl Iron
b. Iron Dextran Complex
c. rric Carboxymaltose
3. Transfusi
Transfusi harus dilakukan pada pasien yang secara aktif mengalami
pendarahan dan untuk pasien dengan anemia gravis. Transfusi adalah
paliatif dan tidak boleh digunakan sebagai pengganti untuk terapi
tertentu. Pada penyakit kronis yang berhubungan dengan anemia gravis,
erythropoietin dapat membantu dalam mencegah atau mengurangi
transfusi (Anand et al, 2004).
4. Transplantasi Sumsum Tulang dan Stem Sel
5. Kedua metode ini telah dipakai oleh pasien dengan leukimia,
lymphoma, Hodgkin disease, multiple myeloma, myelofibrosis dan
penyakit aplastik. Harapan hidup pada pasien ini meningkat, dan
kelainan hematologi membaik. Alogenik transplantasi sumsum tulang
berhasil memperbaiki ekspresi fenotipik dari penyakit sel sabit dan
talasemia dan meningkatkan harapan hidup pada pasien yang berhasil
transplantasi (Maakaron, 2013).
6. Terapi Nutrisi dan Pertimbangan Pola Makanan
a. Protein
Protein merupakan suatu zat makanan yang amat penting bagi
tubuh karena zat ini di samping berfungsi sebagai bahan bakar dalam
tubuh juga berfungsi sebagai zat pembangun dan pengatur. Asupan
protein yang adekuat sangat penting untuk mengatur integritas,
fungsi, dan kesehatan manusia dengan menyediakan asam amino
sebagai precursor molekul esensial yang merupakan komponen
dari semua sel dalam tubuh. Protein berperan penting dalam
transportasi zat besi di dalam tubuh. Oleh karena itu, kurangnya
asupan

protein

akan

mengakibatkan

transportasi

terhambat sehingga akan terjadi defisiensi besi.

zat

besi

Di samping itu

makanan yang tinggi protein terutama yang berasal dari hewani


banyak mengandung zat besi. (Gallagher ML, 2008)
b. Vitamin A

Suplementasi vitamin A dapat membantu mobilisasi zat besi dari


tempat penyimpanan

untuk

proses

eritropoesis

di

mana

disebutkan suplementasi vitamin A sebanyak 200.000 UI dan 60


mg ferrous sulfate selama 12 minggu dapat meningkatkan rata
rata

kadar

hemoglobin sebanyak

g/L

dan

menurunkan

prevalensi anemia dari 54% menjadi 38%. (Zimmermann MB


et.al, 2011). Vitamin A merupakan vitamin larut lemak yang dapat
membantu absorpsi dan mobilisasi zat besi untuk pembentukan
eritrosit. Rendahnya status vitamin A akan membuat simpanan
besi tidak dapat dimanfaatkan untuk proses eritropoesis. Selain itu,
Vitamin A dan -karoten akan membentuk suatu kompeks dengan
besi untuk membuat besi tetap larut dalam lumen usus sehingga
absorbsi besi dapat terbantu. Apabila asupan vitamin A diberikan
dalam jumlah cukup, akan terjadi penurunan derajat infeksi yang
selanjutnya akan membuat sintesis RBP dan transferin kembali
normal. Kondisi seperti ini mengakibatkan besi yang terjebak di
tempat penyimpanan dapat dimobilisasi untuk proses eritropoesis
(Subagio HW, 2008). Sumber vitamin A dalam makanan sebagian
besar dari sumber-sumber makanan nabati dan hewani, misalnya
sumber hewani diantaranya susu dan produk susu, telur serta ikan
dll, sumber makanan nebati seperti papaya, mangga, serta jeruk dan
sayuran seperti wortel. (Michael J et al, 2008).
c. Vitamin C
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa ada keterkaitan
antara asupan vitamin C dengan kejadian anemia di mana
korelasinya bersifat positif yang menunjukkan semakin tinggi asupan
vitamin C maka kadar hemoglobin akan semakin tinggi pula yang
berarti kejadian anemia semakin rendah. Hal ini membuktikan
bahwa vitamin C dapat meningkatkan absorpsi zat besi di dalam
tubuh. (Agus, 2004). Vitamin C dapat menghambat pembentukan
hemosiderin yang sukar dimobilisasi untuk membebaskan besi
jika

diperlukan.

Vitamin

C juga

memiliki

peran

dalam

pemindahan besi dari transferin di dalam plasma ke feritin hati.


(Gallagher, 2008).
Vitamin C yang dikonsumsi untuk dibutuhkan untuk membentuk
sel darah merah yang dapat mencegah kelelahan dan anemia
misalnya buah sitrus, jeruk, lemon, blackcurrant buah-buahan
lain dan sayuran hijau. (Marshall, 2004)
d. Zat Besi
Besi merupakan mikroelemen yang esensial bagi tubuh, sebagai
faktor utama pembentuk hemoglobin (Almatsier, 2006). Jumlah besi
yang disimpan dalam tubuh manusia adalah sekitar 4 g. Terdapat
empat bentuk zat besi dalam tubuh. Sebagian besar zat besi yaitu
kira-kira 2/3 dari total besi tubuh terikat dalam hemoglobin
yang

berfungsi

keperluan

khusus,

metabolisme

yaitu

ke

mengangkut oksigen

jaringan-jaringan

tubuh

untuk
(Provan,

2004). Zat besi (Fe) terdapat dalam bahan makanan hewani,


kacang-kacangan, dan sayuran berwarna hijau tua. Zat besi
terdapat dalam makanan dalam bentuk ferri hidroksida, ferriprotein dan kompleks heme-protein. Secara umumnya, daging
terutamanya

hati

adalah

sumber

zat

besi yang lebih baik

dibanding sayur-sayuran, telur dan lainnya (Mozzafari et al, 2009).


e. Asam Folat
Asam folat merupakan senyawa berwarna kuning, stabil dan larut
dalam air yang terdiri dari bagian-bagian pteridin, asam paraaminobenzoat dan asam glutamat (Wardhini & Rosmiati, 2003).
Sumber makanan asam folat banyak terdapat pada hewan, buahbuahan,

gandum,

dan

sayur-sayuran

terutama

sayur-sayuran

berwarna hijau. Asam folat bersama vitamin B 12 berfungsi


dalam

pembentukan DNA

inti

sel

dan

penting

dalam

pembentukan myelin yang berperan penting dalam maturasi inti


sel dalam sintesis DNA sel-sel eritroblast. Akibat dari sefisiensi
asam folat adalah gangguan sintesis DNA pada inti eritroblas
sehingga maturasi inti menjadi lebih lambat, akibatnya kromatin
lebih

longgar

dan

sel

menjadi

lebih

besar

(megaloblast)

(Underwood, 2003). Kebutuhan harian asam folat adalah 25-200


mcg (Matizih, 2007).
f. Vitamin B12
Vitamin B12 termasuk vitamin yang larut dalam air, merupakan
bagian terbesar dari vitamin B komplek, dengan berat molekul lebih
dari 1000. Bentuk umum dari vitamin B12 adalah cyanocobalamin
(CN-Cbl), keberadaannya

dalam

tubuh

sangat

sedikit

dan

jumlahnya tidak tentu. Selain cyanocobalamin di alam ada 2 bentuk


lain dari vitamin B12; yaitu hydroxycobalamin dan aquacobalamin,
dimana hydroxyl dan air masing-masing terikat pada cobal (Robert
& Brown, 2003). Di dalam tubuh vitamin B12 berperan sebagai
kofaktor untuk dua reaksi enzim. Pertama, vitamin B12 berperan
sebagai kofaktor untuk enzim L-methilmalonyl-CoA mutase. Enzim
L-methilmalonyl-CoA mutase membutuhkan adenosylcobalamin
untuk mengubah L-methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA.
Succinyl CoA diperlukan untuk sintesis hemoglobin yang merupakan
pigmen pada sel darah merah sebagai pembawa oksigen keseluruh
jaringan

tubuh.

Bila

terjadi

defisiensi vitamin B12, L-

methylmalonyl-CoA tidak dapat dirubah menjadi succinyl-CoA


sehingga terakumulasi dan akhirnya dipecah menjadi methylmalonic
acid oleh suatu enzim hydrolase (Gibson, 2005). Salah satu fungsi
utama vitamin B12 adalah dalam pembentukan sel-sel darah
merah. Vitamin B12 penting untuk sistesis DNA dengan cepat
selama pembelahan sel pada jaringan dimana pembelahan sel
berlangsung cepat, terutama jaringan sum-sum tulang yang
bertanggungjawab untuk pembentukan sel darah merah. Terjadi
defisiensi vitamin B12, pembentukan DNA berkurang dan sel-sel
darah merah tidak normal, disebut dengan kejadian megaloblas
yang akhirnya menjadi anemia (Carmel, 2006).
Vitamin B12 dibutuhkan dalam jumlah yang relatif kecil.
Kecukupan vitamin B12 pada anak dibawah usia 4 tahun < 1 g/hari,
pada usia 4 12 tahun sekitar 1 1,8 g/hari dan bagi usia 13

tahun sampai dewasa 2,4 g/hari. Sedangkan ibu hamil dan


menyusui memerlukan tambahan masing-masing 0,2 g/hari dan
0,4 g/hari. Vitamin B12 banyak ditemukan dalam pangan
hewani,

seperti

daging, susu, telur, ikan, kerang dan lain-lain

(Setiawan & Rahayuningsih, 2004).


7. Pembatasan Aktivitas
Aktivitas pasien dengan anemia berat

harus

dibatasi

sampai

sebagian anemia dapat disembuhkan. Transfusi sering dapat dihindari


dengan bed rest, terapi dapat dilakukan untuk pasien dengan anemia
yang dapat disembuhkan (misalnya anemia pernisiosa).
G. Komplikasi
1. Gangguan Perkembangan Fisik dan Mental
Pada anak-anak, anemia gravis akibat defisiensi

besi

dapat

berkomplikasi kepada gangguan dalam perkembangan fisik dan


mental. Ada bukti menyatakan bahwa anemia defisiensi besi dapat
menyebabkan gangguan pada perilaku dan fungsi intelektual anak
(Lissauer, 2007). Anemia gravis akibat defisiensi besi menyebabkan
gangguan perkembangan neurologik pada bayi dan menurunkan prestasi
belajar pada

anak

usia sekolah karena zat

besi telah

dibuktikan

berperan penting dalam fungsi otak dan penelitian pada hewan coba
menunjukkan

berlakunya

perubahan

perilaku

dan

fungsi

neurotransmitter pada hewan coba yang kekurangan zat besi. Dari


beberapa penelitian yang dilakukan di Chile, Indonesia, India dan
USA

didapatkan bahwa anemia defisiensi besi secara konklusifnya

mengganggu perkembangan psikomotor dan fungsi kognitif pada anak


usia sekolah. Anak-anak yang diberikan suplementasi besi merasa
kurang lelah dan kemampuan mereka untuk berkonsentrasi semasa
pembelajaran juga meningkat.Nilai IQ (Intelligent Quotient) pada
anak yang mengalami kurang zat besi ditemukan dengan jelas lebih
rendah berbanding anak yang tidak mengalami anemia defisiensi besi
(WHO, 2001). Terdapat 3 proses yang menjadi dasar penyebab
gangguan kognitif pada anemia defisiensi besi. Penyebab pertama ialah
gangguan pembentukan myelin. Mielinisasi memerlukan besi yang cukup

dan tidak dapat berlangsung baik bila oligodendrosit yaitu sel yang
memproduksi myelin mengalami kekurangan besi. Mielin ini penting
untuk kecepatan penghantaran rangsang. Penyebab yang kedua ialah
gangguan

metabolisme

neurotransmitter.

Hal

ini terjadi

karena

gangguan sintesa serotonin, norepinefrin, dan dopamin. Dopamin


mempunyai efek pada perhatian, penglihatan, daya ingatan, motivasi dan
kontrol motorik. Penyebab seterusnya ialah gangguan metabolisme
energi protein. Gangguan ini terjadi karena besi merupakan ko-faktor
pada ribonukleotida

reduktase

yang

penting

untuk

fungsi

dan

metabolisme lemak dan energi otak. Semakin dini usia dan lama saat
terjadi anemia dan semakin luas otak yang terkena, akan menyebabkan
gangguan fungsi kognitif semakin permanen dan sulit diperbaiki (Lubis,
2008).
2. Penyakit Kardiovaskular
Pada keadaan anemia
mengakibatkan kapasitas

dengan

kadar

hemoglobin

<

7g/dL

pengangkutan oksigen oleh sel darah

merah menurun. Suatu proses pengantaran oksigen ke organ ataupun


jaringan dipengaruhi

oleh

tiga

faktor

di

antaranya

faktor

hemodinamik yaitu cardiac output dan distribusinya, kemampuan


pengangkutan oksigen di darah yaitu konsentrasi hemoglobin, dan
oxygen extraction yaitu perbedaan saturasi oksigen antara darah arteri
dan vena (Dyer & Fifer, 2003). Pada keadaan anemia terjadi perubahan
nonhemodinamik
penurunan
diantaranya

dan hemodinamik

konsentrasi
yaitu

sebagai

hemoglobin. Mekanisme
peningkatan

kompensasi

dari

nonhemodinamik

produksi eritropoetin

untuk

merangsang eritropoesis dan meningkatkan oxygen extraction. Ketika


konsentrasi hemoglobin di bawah 10 g/dL, faktor nonhemodinamik
berperan dan terjadi peningkatan cardiac output serta aliran darah sebagai
kompensasi terhadap hipoksia jaringan. (Done & Foley, 2002).
3. Hipoksia Anemik
Tujuan dasar sistem kardiorespirasi adalah untuk mengirim oksigen
(dan substrat) ke sel-sel dan membuang karbon dioksida (dan hasil

metabolik lain) dari sel-sel. Pertahanan yang sesuai dari fungsi ini
tergantung pada sistem respirasi dan kardiovaskuler yang intak dan
suplai udara yang diinspirasi yang mengandung oksigen adekuat.
Perubahan teganagan oksigen dan karbon diaoksida serta perubahan
konsentrasi intraeritrosit dari komponen fosfat organik, terutama asam
2,3-bifosfogliserat, menyebabkan pergeseran kurva disosiasi oksigen.
Bila hasil hipoksi sebagai akibat gagal pernafasan, PaCO2 biasanya
meningkat dan kurva disosiasi bergeser kekanan. Dalam kondisi ini,
persentase saturasi hemoglobin dalam darah arteri pada kadar
penurunan tegangan oksigen alveolar (PaCO2) yang diberikan. (Baliwati,
2004). Setiap penurunan kadar hemoglobin akan disertai dengan
penurunan kemampuan darah dalam mengangkut oksigen. PaCO2
tetap normal, tetapi jumlah absolut oksigen yang diangkut perunit
volume darah akan berkurang. Ketika darah yang anemik melintas
lewat kapiler dan oksigen dalam jumlah yang normal dikeluarkan
dari dalam darah tersebut, maka PaCO2 di dalam darah vena akan
menurun dengan derajat penurunan yang lebih besar daripada yang
seharusnya terjadi dalam keadaan normal. (Almatsier, 2004).

BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Identitas
Anemia lebih sering ditemukan pada masa kehamilan karena selama
masa kehamilan keperluan zat-zat gizi bertambah dan adanya perubahanperubahan dalam darah dan sumsum tulang (Price et al, 1995 dalam
Wulansari, 2006).
2. Keluhan utama
biasanya gejalanya

adalah nafas pendek, khususnya

pada

saat

olahraga, kelemahan, letargi, palpitasi dan sakit kepala.


3. Riwayat penyakit sekarang
nafas pendek, khususnya pada saat olahraga, kelemahan, letargi,
palpitasi dan sakit kepala.
4. Riwayat penyakit dahulu
Pada penyakit anemia grafis, riwayat penyakit dahulu yang mendukung
dilakukan dengan mengkaji apakah sebelumnya anak pernah menderita
penyakit yang sama atau penyakit yang berhubungan dengan penyakit
yang sekarang dirasakan oleh anak. Riwayat minum obat, catat adanya
efek samping yang terjadi di masa lalu. Juga pengkajian adanya riwayat
alergi obat, dan tanyakan reaksi alergi apa yang timbul. Perlu dicermati
sering kali klien menghiraukan sesuatu alergi dengan efek samping obat.
5. Riwayat penyakit keluarga
Kemungkinan riwayat konsumsi obat-obatan sertagaya hidup keluarga.
6. Pola pemeliharaan kesehatan
a. Pola nutrisi
Nafsu makan berkurang, merasa tidak enak badan dan muntah.
b. Pola eliminasi
Kaji adanya nokturia dan penurunan berkemih, urine berwarna
gelap, penggunaan dan keadaan kateterisasi.
c. Pola aktivitas
Adanya penurunan aktivitas dan aktivitas sehari-harinya akibat
adanya lemah, letih dan adanya dispneu.
d. Istirahat tidur

Istirahat terganggu akibat dispneu dan sering terbangun pada malam


hari.
e. Persepsi sensori
Biasanya pasien terlihat kecemasan dan gelisah
7. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan tanda-tanda vital
a. Keadaan umum: mengalami kelemahan dan letih akibat dari proses
gejala yang muncul
b. Suhu tubuh: pada pasien dengan anemia gravis terjadi peningkatan
suhu tubuh
c. Nadi : denyut nadi cepat hingga sangat cepat (>100x/menit).
d. Pernafasan: Terjadi peningkatan respirasi (sesak) karena peningkatan
HB dan menyebabkan peningkatan O2.
e. Tekanan darah: penurunan tekanan darah (hipotensi) disebabkan
karena beban jantung menurun.
f. Pemeriksaan fisik head to toe
1) Pemeriksaan kulit
I: Warna kulit pucat, kasar, terjadi peningkatan suhu tubuh, kulit
kering
P: penurunan turgor kulit dan akral hangat
2) Pemeriksaan kepala dan wajah
Pada pasien dengan parotis akan mengalami nyeri kepala, dan
kelemahan, keadaan pucat dan tekanan vena jugularis menurun.
3) Leher
I: leher tidak simetris, tidak terjadi pembesaran kelenjar tiroid,
terdapat benjolan, pembengkakan.
P: terdapat nyeri tekan, ukuran abnormal.
4) Pemeriksaan mata
Bentuk mata cekung dikarenakan gangguan pola eliminasi dan
nutrisi
5) Pemeriksaan telinga
I: telinga terangkat keatas, adakah infeksi telinga (OMA, OMP)
karena berpengaruh pada kemungkinan infeksi parenteal.
6) Pemeriksaan hidung dan mulut
a) Pemeriksaan hidung
nampak adanya pernafasan cuping hidung.
b) Pemeriksaan mulut
Mukosa mulut dan lidah kering, sering mual dan muntah.
7) Pemeriksaan torak dan paru
I: kesimetrisan dan bentuk torax masih dalam batas normal,
pernapasan meningkat karena vasodilatasi pembuluh darah, pada

keadaan upnea berat terdapat pernapasan cuping hidung apabila


terdapat gangguan sirkulasi, suhu tubuh meningkat.
P: pemeriksaan taktil vokal fremitus dalam batas normal.
P: pemeriksaan suara dinding torak saat perkusi dalam batas
normal.
A: pemeriksaan auskultasi pada pasien diare masih dalam batas
normal.
8) Pemeriksaan jantung
I: Ictus cordis normalnya ICSV mid clavicula kiri selebar 1 cm,
untuk pasien gemuk sulit ditemukan tahanan perifer menurun
sehingga cardiac output meningkat.
P: normalnya tidak terdapat pulsasi
P: Ukuran dan bentuk jantung secara kasar pada kasus parotis
akut masih dalam batas normal (batas kiri tidak lebih dari 4-7
dan 10 cm ke arah kiri dari garis midsternal pada ruang
interkostalis ke 4,5 dan 8.
A: terjadi gangguan sirkulasi, auskulatasi bunyi jantung S1, S2,
murmur atau bunyi tambahan lainnya.
9) Pemeriksaan abdomen
I: Pada pasien anemia gravis perut dalam batas normal
A: Pada pasien terjadi peningkatan bising usus > 30 x/menit
apabila terjadi penurunan nafsu makan.
P: Pada pasien dapat mengalami distensi abdomen, terdapat
nyeri tekan pada bagian perut.
P: Hasil perkusi pada pasien timpani, apabila terjadi penurunan
nafsu makan akan terjadi hipertimpani.
10) Pemeriksaan muskuloskeletal
Pada anak terjadi kelemahan pada ekstremitas.
11) Pemeriksaan genetalia
Pada pasien pemeriksaan genetalia dalam batas normal
B. Diagnosa
1. Intoleransi Aktivitas b.d Ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, kelemahan umum
NOC:
klien mentoleransikan aktivitas yang

biasa

dilakukan

dan

ditunjukkan dengan daya tahan penghimatan energi, dan perawatan


diri,
kritria evaluasi:

a. mengedentivikasikan

aktivitas/situasi

yang

menimbulkan

kecemasan
b. mengungkap secara verbal pemahaman tentang kebutuhan
oksigen,pengubatan dan perawatan yang dapat meningkatkan
aktivitas
c. menampilkan aktivitas kehehidupan sehari hari(AKS)&beberapa
bantuan
NIC:
- Terapi Aktivitas
- Pengelolaan energi
Aktivitas keperawatan:
1. Kaji respon,sosial dan spritual terhadap aktivitas
2. Tentukan penyebab keletihan
3. pantau pola istirahat klien dan lamanya waktu tidur
4. Kaloborasikan dengan ahli okupasi,fisik atau rekreasi untuk
merencenakan

dan

memantau

aktivitas,sesuai

dengan

kebutuhan.
2. Ketidak seimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d factor
biologis (anemia)
Tujuan: Kebutuhan nutrisi bisa terpenuhi dengan
Kriteria hasil:
a. mampu mempertahankan bedan
b. mampu menjelaskan komponen diet bergizi adekut
c. mampu mengungkapkan tekad untuk mematuhi diet
d. mampu menoleransi diet yang dianjurkan
Intervensi:
a. monitor masukan makanan atau minuman dan hitung kalori
harian secara tepat.
R: mengetahui masukan kalori harian secara tepat.
b. kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan diet yang tepat.
R: penentuan jumlah kalori dan bahan makanan yang memenuhi
standart gizi.
c. sajikan makanan hangat dengan variasi yang menarik porsi kecil
tapi sering.

R: menambah nafsu makan klien.


3. Nyeri b/d peradangan pada kelenjar liur parotis.
Tujuan : Pasien dapat menangani rasa nyeri.
Intervensi:
a. Kaji tanda-tanda Vital
b. R : Memudahkan untuk tindakan selanjutnya
c. Anjurkan klien untuk Istirahat
d. R : Untuk Mengurangi Intensitas Nyeri
e. Ajarkan klien teknik Relaksasi
f. R : Untuk Mengurangi ketegangan otot-otot
g. Kolaborasi untuk pemberian Analgesik
h. R : Untuk Mengurangi rasa nyeri
4. Ansietas b/d rencana pembedahan dan perubahan status kesehatan.
Tujuan : Menurunkan Ansietas.
a. Kaji tingkat ansietas pasien serta mekanisme koping yang
digunakan
R : Upaya pemberian dukungan, mencakup pemberian privasi
bila diinginkan
b. Berikan informasi mengenai penyebab penyakitnya dan hasil
yang di harapkan.
c. Menginstruksikan pasien untuk latihan relaksasi.
R : Untuk meningkatkan kenyamanan pasien, perawat harus
mengutamakan relaksasi dan perilaku empati.

Anda mungkin juga menyukai