Anda di halaman 1dari 3

Resume: Konsep dan Sejarah Sistem Pertanian Berkelanjutan (SPB) dan Pertanian

Terpadu/Integrated Farming Sistem (IFS)


Sistem pertanian merupakan pengaturan dalam usaha tani yang dilakukan sesuai
lingkungan biologis fisik dan sosial ekonomi. Sistem pertanian berkelanjutan adalah suatu
sistem pertanian dengan memanfaatkan sumber daya dalam proses produksi pertanian yang
dapat meningkatkan dan mempertahankan serta menjaga lingkungan dan sumber daya
dengan memperhatikan aspek ekologi, ekonomi, sosial budaya, adil, manusiawi dan luwes
(Sudirja, R., 2008). Sedangkan sistem pertanian terpadu (IFS) merupakan sistem pertanian
yang dirancang dengan memadukan beberapa atau semua komponen pertanian seperti
tanaman, hewan dan ikan serta lingkungan yang bertujuan untuk menghasilkan produk
pertanian yang optimal dengan penggunaan input luar rendah.
Tujuan sistem pertanian terpadu adalah untuk meningkatkan pendapatan dan
kesempatan kerja, mendorong kemandirian, meningkatkan kualitas kehidupan dan
melestarikan sumber daya alam dengan memperhatikan pengelolaan tanah

dan air,

penggunaan dan daur ulang bahan organik dan pengefisiensi penggunaan lahan tanpa
menimbulkan kerusakan bagi sumber daya alam dan pencemaran terhadap lingkungan.
Keuntungan dari sistem ini adalah terdapat intensifikasi penggunaan lahan, peningkatan nilai
guna limbah pertanian dan menjaga lingkungan.
Sistem pertanian berkelanjutan lahir dikarenakan terdapat dampak dari revolusi hijau.
Revolusi hijau pertama kali dicetuskan oleh Willian S. Gaud. Pada tahun 1940an seorang
pemuliaan tanaman asal Amerika Serikat, yaitu Norman Borlaug, sebagai pelopor revolusi
hijau dari penelitiannya yang dapat meningkatkan hasil produk pertanian terutama pada
tanaman padi dan gandum. Varietas yang dihasilkan disebut high yielding variety (HYV).
Padi HVY pertama kali dilepas oleh IRRI (International Rice Research Institute) di Filipina
sedangkan gandum HYV pertama kali dilepas oleh CIMMYT (Centro International de
Majeramiento de Maizy Trigo).
Di Indonesia, pada tahun 1950-1959, Indonesia mengalami kekurangan pangan yang
cukup parah. Hal ini menyebabkan Presiden Soekarno mendirikan Institut Pertanian di Bogor
untuk memajukan pertanian Indonesia. Tahun 1959-1961, pemerintah mengeluarkan rencana
tiga tahun produksi padi dengan membentuk Komando Operasi Gerakan Makmur (KOGM)
dan melibatkan Fakultas Pertanian UGM dan UI dalam melakukan penyuluhan.
Tahun 1963, penerapan revolusi hijau di Indonesia dalam bentuk action research
dimulai dengan nama Pilot Proyek Panca Usaha Lengkap yang dilaksanakan di Kabupaten
Karawang oleh Lembaga Koordinasi Pengabdian Masyarakat. Program tersebut berhasil,

kemudian pelaksanaannya diperluas ke daerah lain, sehingga namanya diganti menjadi


Demonstrasi Massal (Demas). Program tersebut diperluas menjadi BIMAS (Bimbingan
Massal), BIMAS Gotong Royong, BIMAS Nasional yang disempurnakan, INMAS
(Intensifikasi Massal), INSUS (Intensifikasi Khusus), dan SUPRA INSUS. Tahun 1984,
revolusi hijau membawa Indonesia mencapai swasembada beras.
Pada produksi tanaman, Indonesia mengenalkan Panca Usaha Tani yang
menggunakan varietas padi HYV yang dibentuk dengan menggunakan salah satu tetua adalah
padi peta. Padi yang dihasilkan memiliki kekurangan, yaitu tidak tahan terhadap serangan
hama wereng dan virus tungro, hanya dapat berproduksi tinggi pada generasi pertama dan
memerlukan input pupuk yang tinggi. Dari kekurangan tersebut, petani menjadi bergantung
pada input luar. Penggunaan varietas HYV, juga menyebabkan terjadi perubahan sistem sosial
dan budaya, dikarenakan padi tersebut harus dipanen oleh laki-laki dengan cara
menggunakan sabit sehingga mengurangi peran wanita dalam usaha tani. Selain itu,
perubahan ekologis juga terjadi. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk, pestisida dan air
irigasi yang berlebihan sehingga menyebabkan pencemaran lingkungan, mengganggu
kesehatan petani dan konsumen.
Program BIMAS di Indonesia pada revolusi hijau berhasil dalam mengatasi
kekurangan pangan dengan meningkatkan produksi padi tetapi dapat menimbulkan dampak
negatif seperti kerusakan tanah dan berkembangnya hama yang resisten terhadap pestisida.
Untuk mengatasi tersebut, sejalan dengan perkembangan bioteknologi, para ahli melakukan
rekayasa genetik dengan memodifikasi gen sehingga memiliki sifat-sifat unggul yang
diharapkan. Tanaman hasil rekayasa genetik ini disebut tanaman transgenik atau tanaman
GMO (genetically modified organism) atau pangan hasil rekayasa genetika (PRG).
Penggunaan berlebihan dan penyalahgunaan pupuk kimia dan pestisida anorganik,
menyebabkan pencemaran lingkungan dan merusak kesehatan manusia. Hal ini menyebabkan
terbentuknya revolusi hijau lestari. Revolusi hijau lestari merupakan arus balik dari revolusi
hijau dengan input luar yang tinggi menjadi pertanian dengan input rendah atau LEISA (Low
external input sustainable agriculture). Revolusi hijau lestari dapat disebut segabai evergreen
revolution sedangkan di Indonesia dikenal sebagai second green revolution. Pada tahun 1990,
Swaminathan memperkenalkan revolusi hijau lestari dengan menekankan pada kebutuhan
untuk meningkatkan produktivitas secara kekal tanpa merusak lingkungan. Revolusi hijau
lestari ini berbasis pengendalian hama terpadu, pengelolaan sumber daya terpadu dan
budidaya dengan menggunakan varietas yang paling efisien. Revolusi ini membuat
perubahan paradigma dalam penggunaan teknologi yang berakar pada prinsip-prinsip

ekologi, ekonomi, gender dan keadilan sosial, penciptaan lapangan kerja, dan konservasi
energi.
Penerapan revolusi hijau lestari atau second green revolution di Indonesia dimulai
sejak tahun 2004 dengan penekanan pada produksi padi. Varietas yang dikembangkan yaitu
varietas unggul baru (VUB) dalam pengelolaan LATO (lahan, air, tanah dan organisme
pengganggu tanaman). Selain itu, pada revolusi ini, pemerintah juga mengupayakan
peningkatan kesejahteraan petani, masalah gizi atau kesehatan, air bersih, lingkungan dan
pembangunan perdesaan. Berikut perbandingan strategi revolusi hijau generasi pertama dan
strategi revolusi hijau lestari;
Revolusi Hijau

Revolusi Hijau Lestari


Anjuran teknologi bersifat spesifik agroekosistem

Anjuran teknologi bersifat umum

dan lokasi (paket teknologi berbeda antar sentra

Perhatian difokuskan ke lahan sawah irigasi

produksi)
Perhatian lebih besar difokuskan ke lahan tadah

(kalau perlu lahan tadah hujan dikonversi

hujan, lahan kering, lahan rawa, dengan tetap

menjadi lahan irigasi)

memperhatikan potensi sawah irigasi


Kearifan lokal dan teknologi lokal diperhatikan dan

Kearifan lokal dan teknologi lokal diabaikan


Pemupukan organik diabaikan
Monokultur padi menjadi dasar dari

diintegrasikan dengan teknologi modern/tinggi


Pemupukan organik sebanding dengan anorganik
Diversifikasi komoditas menjadi dasar intensifikasi

intensifikasi (penanaman palawija setelah

usaha tani (komoditas ditata secara sinergis, agar

padi memotong siklus hama/penyakit padi)

usaha tani optimal)


Sistem penyuluhan bersifat delivery dan acquisition

Sistem penyuluhan bersifat delivery

dengan pendekatan partisipatif

Sumber:
Sudirja, R., 2008. Pembangunan pertanian berkelanjutan berbasis sistem pertanian organik.
http://pustaka.unpad.ac.id/ (diakses tanggal 1 September 2015)
Yuwariah, Y., dkk. 2015. Modul Sistem Pertanian Berkelanjutan II. Program studi
Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran. Bandung

Anda mungkin juga menyukai