Anda di halaman 1dari 17

1

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latarbelakang
Di Indonesia, Belanda menghadapi kenyataan bahwa sebagian besar penduduk
yang dijajahnya di kepulauan Nusantara ini adalah beragama Islam. Belanda sangat
khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam fanatik. Dan karena
sebab itulah, Belanda sangat takut untuk mencampuri agama Islam secara langsung.
Melihat kondisi tersebut kolonial Belanda sampai pada kesimpulan, bahwa kolonial
Belanda tidak akan bertahan lama, apabila agama Islam dibiarkan tumbuh dan
berkembang. Sebab Islam adalah agama yang membenci segala bentuk penindasan
dan penjajahan.
Untuk menghadapi masalah tersebut pemerintah kolonial Belanda sangat
berterima kasih kepada Christian Snouck Hurgronje (1889) yang secara sungguhsungguh mendalami Islam. Salah satu nasehatnya kepada pemerintah Belanda ialah
Pengaruh Islam tidak mungkin dihambat tetapi perlu dibatasi pengaruhnya.
Berikan umat Islam kebebasan melaksanakan ibadah agama mereka, tetapi
pendidikan harus diawasi, tak terkecuali pendidikan Islam.
Sebenarnya Belanda dengan berbagai usaha mencoba mendepolitisasikan Umat
Islam Indonesia. Dalam menghadapi pesantren, Belanda melawannya dengan
mendirikan berbagai lembaga pendidikan. Belanda menyadari bahwa sekolah
merupakan instrumen penting dalam mensosialisasikan politik. Itulah sebabnya
untuk menguasai sekolah-sekolah Islam dikeluarkanlah Ordonansi Guru.1Untuk
itulah, pada pembahasan makalah kali ini, penulis akan mencoba memaparkan
mengenai kebijakan pendidikan islam masa penjajahan belanda.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda?
2. Apa saja ciri khas pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda?
3. Bagaimana kebijakan pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda?
BAB II
PEMBAHASAN
1 Ahmad Mansur Suryanegara, Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islam di Indonesia, Bandung,
Mizan, 1998, hlm. 252.

2.1 Pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda


Seperti yang telah diketahui bersama, bahwa kedatangan Belanda ke Indonesia
tidak hanya untuk menjajah, melainkan juga adanya tujuan untuk menyebarkan agama
Kristen. Oleh karena itu, sejak awal penentang utama penjajahan Belanda adalah
mayoritas kaum pribumi yang beragama Islam2. Kehadiran Belanda tidak hanya
mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia, tetapi juga menekan politik dan kehidupan
keagamaan rakyat. Segala aktivitas umat Islam yang berkaitan dengan kehidupan
keagamaan ditekan. Belanda terus menerapkan langkah-langkah yang membatasi gerak
pengamalan agama Islam. Termasuk juga terhadap pendidikan Islam sendiri. Politik
pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas Islam didasari oleh rasa
ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa kolonialismenya3.
Pemerintahan kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah modern
menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sedikit banyak
memengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Sedangkan diketahui
bahwa pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di Indonesia
sebelum adanya kolonial Belanda. Yang sangat berbeda dalam sistem dan
pengelolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.
Hal ini dapat terlihat dari terpecahnya dunia pendidikan di Indonesia pada abad
20 M menjadi dua golongan. Pertama, pendidikan yang diberikan oleh sekolah barat
yang sekuler yang tidak mengenal ajaran agama. Kedua, pendidikan yang diberikan
oleh pondok pesantren yang hanya mengenal ajaran agama saja. Dengan kata lain
menurut Wirjosukarto yang dikutip oleh Muhaemin, pada periode tersebut terdapat dua
corak pendidikan, yaitu corak lama yang berpusat pondok pesantren dan corak baru dari
perguruan sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Pendidikan yang
dikelola Belanda khususnya berpusat pada pengetahuan dan keterampilan duniawi yaitu
pendidikan umum, sedangkan pada lembaga pendidikan Islam lebih menekankan pada
aspek keagamaan.

2 Fatah Syukur, Sejarah Pendidikan Islam, Semarang , Pustaka Rizki Putra, 2012, hlm. 135.
3 Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta , Raja Grafindo, 1999, hlm. 54.

Pada sekolah Belanda hanya dari kalangan tertentu yang bisa mengikutinya,
sedangkan untuk kalangan bawah tidak bisa mendapatkan pendidikan, sehingga ada
sebagian di antara rakyat Indonesia yang masih tidak bisa baca tulis, karena tidak bisa
mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan4.
Sementara pada kalangan pesantren pada waktu itu, dari segi sistemnya masih
bersifat nonklasikal, metodenya berpusat kepada wetonan, sorogan, hafalan yang
disampaikan kepada pengajian-pengajian kitab klasik, materinya semata-mata ilmu
agama saja5. Kemudian muncul kesadaran dari pendidikan Islam dan ulama-ulama
bahwa sistem pendidikan tradisional dan langgar tidak lagi sesuai dengan iklim pada
masa itu. Maka dirasakanlah akan pentingnya memberikan pendidikan secara teratur di
madrasah atau sekolah secara teratur.
Hal ini merupakan jalan untuk maju dan berpartisipasi di madrasah-madrasah
Islam dengan terus mengadakan pembaruan dengan memasukkan ilmu-ilmu
pengetahuan Barat ke dalam kurikulum, maka muncullah tokoh-tokoh pembaruan di
Indonesia yang mendirikan sekolah Islam di mana-mana. Dengan demikian dapat
ditegaskan bahwa disamping kedua corak pendidikan sebelumnya, juga terdapat corak
pendidikan yang ketiga yang merupakan gabungan dari corak lama dan corak baru yang
muncul bersamaan dengan lahirnya madrasah-madrasah yang berkelas yang muncul
sejak tahun 1909 yang di pelopori oleh para pembaru di Indonesia.6
Adapun madrasah-madrasah yang didirikan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Madrasah Adabiyah School, menurut penelitian Mahmud Yunus, bahwa pendidikan
Islam yang mula-mula berkelas dan memakai bangku, meja, dan papan tulis ialah
sekolah Madrasah Adabiyah di Padang. Sekolah ini didirikan oleh H. Abdullah pada
tahun 1907 di Padang Panjang. Sebagai sekolah yang merupakan bentuk adaptasi atau
4 Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2011, hlm. 298-299.

5 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009, hlm. 31.
6 Samsul Nizar, Op.Cit., hlm. 299-300.

penyesuaian dari sistem pendidikan surau ke sistem Barat maka perhatian pendidikan
agama di sekolah adabiyah sangat kecil. Pendidikan umum lebih ditekankan daripada
pendidikan agama, sebab pendidikan umum lebih laku di Padang.
2. Madrasah Diniyyah School, tokoh lain dalam pembaruan pendidikan Islam di
Minangkabau adalah Zainuddin Labia El Yunisi 1890-1924. Mendirikan madrasah
diniyah school tahun 1915. Pembaruan yang dilakukan oleh Zainuddin Labai El Yunisi
adalah dengan menggunakan sistem klasikal dan memberikan pengetahuan umum
disamping pengetahuan agama.
3. Madrasah Muhammadiyah, tokoh selanjutnya adalah KH. Ahmad Dahlan 1868-1923,
yang mendirikan organisasi Muhammadiyah bersama dengan teman-temannya di kota
Yogyakarta tahun 1912, yang bertujuan mengajarkan pengajaran Rasulullah kepada
penduduk bumiputra dan memajukan agama Islam. Tiga hal yang terpenting dalam
madrasah ini adalah: kegiatan tablig yaitu pengajaran agama pada kelompok orang
dewasa dalam satu kursus yang teratur, mendirikan sekolah swasta menurut model
pendidikan gubernemen dengan ditambah beberapa jam pelajaran agama perminggu,
untuk membentuk kader organisasi dan guru-guru agama, didirikan pondok
Muhammadiyah.
4. Sumatera Thawalib, sementara itu surau pertama yang memakai sistem kelas dalam
proses belajar dan mengajar adalah Sumatera Thawalib Padang Panjang yang dipimpin
oleh Syeikh Abdul Karim Amrullah tahun 1921. Awalnya pengajaran nya hanya terpaku
pada ajaran agama saja, namum berkat dorongan membaca dan berdiskusi, dilakukan
perubahan dengan penyelenggaraan pendidikan kelas. Dengan demikian, dapat
dipahami bahwa adanya pengajaran yang seratus persen murni pelajaran agama pada
Thawalib, namun Thawalib telah menampilkan dirinya sebagai institusi pendidikan
agama modern dengan menggunakan referensi atau literatur yang tidak ketinggalan
dibanding literature yang digunakan oleh pendidikan Islam yang lain.
5. Madrasah Salafiyah, terdapat pula madrasah lain yang berperan dalam pembaruan
Islam di Jawa, yaitu Pondok Pesantren Tebuireng di Jombang Jawa Timur, yang
didirikan oleh KH. Hasyim Asyari, yang telah memperkenalkan pola pendidikan
madrasah yang pengajarannya lebih menitikberatkan pada ilmu-ilmu agama dan bahasa

Arab dengan sistem sorogan dan bandongan. Madrasah-madrasah yang didirikan


hampir memiliki kemiripan dengan madrasah-madrasah yang didirikan oleh organisasi
Muhammadiyah, karena lebih mengutamakan pendidikan sosial, tablig, kemanusiaan
bahkan politik, dibawah naungan organisasi Islam Nahdlatul Ulama.7
Pada periode tersebut sistem pendidikan madrasah juga sudah dikenal hampir
seluruh wilayah Indonesia, baik yang didirikan dengan usaha pribadi atau organisasiorganisasi Islam, mulai dari tingkat rendah, menengah, sampai tinggi. Pendidikan
madrasah menjelang berakhirnya penjajahan Belanda sudah mempunyai aneka bentuk,
jenjang dan tingkatan serta ketidakseragaman kurikulum. Walaupun demikian
pemerintahan Belanda berusaha semaksimal mungkin menghalangi pendidikan
madrasah karena di anggap mengkhawatirkan mereka dan mencerdaskan kehidupan
bangsa Indonesia serta mengembangkan ajaran-ajaran Islam yang pada gilirannya
sangat mengancam posisi Pemerintahan Belanda.
Dan pada akhirnya apa yang mereka khawatirkan menjadi kenyataan,
sebagaimana yang kita saksikan saat ini, dengan keberadaan madrasah-madrasah yang
mengembangkan berbagai ilmu keagamaan dan ilmu umum secara bersamaan, dengan
pendidikan pesantren terpadu atau modern yaitu madrasah dan sekolah umum.8
2.1 Ciri khas pendidikan Islam pada zaman penjajahan Belanda
Pada awal abad ke-20 Indonesia telah dimasuki oleh ide-ide pembaruan
pemikiran Islam, sekaligus ide-ide itu juga memasuki dunia pendidikan. Salah satu yang
terlihat dari pembaruan pendidikan itu adalah munculnya upaya-upaya pembaruan
dalam bidang materi, metode. Bidang materi tidak hanya semata-mata berorientasi
kepada mata pelajaran agama, tetapi disamping mata pelajaran agama dimasukkan pula
mata pelajaran umum. Metode pengajaran telah lebih bervariasi, tidak lagi semata-mata
metode membaca kitab dalam bentuk sorogan atau wetonan, hafalan sekaligus pola
pembaruan juga berkaitan dengan mengubah sistem nonklasikal menjadi klasikal.

7 Samsul Nizar, Ibid., hlm. 300-303.


8 Samsul Nizar, Ibid., hlm. 305-306.

Sejalan dengan itu pemantapan administrasi pendidikan pun secara bertahap mulai
dilaksanakan.
Dampak dari munculnya ide-ide pembaruan dalam bidang pendidikan,
memunculkan lembaga-lembaga pendidikan Islam yang tidak lagi berorientasi pilah
antara ilmu agama dan umum, tetapi setidaknya walaupun belum seimbang, sudah
memunculkan pemikiran untuk menganggap penting kedua ilmu tersebut. Misalnya,
dikalangan sekolah-sekolah agama yang diwakili oleh madrasah terutama madrasah
yang muncul di Sumatera Barat telah memasukkan ilmu-ilmu umum ke dalam
kurikulumnya. Fenomena inilah yang berlangsung pada awal abad ke-20 dan ini
menjadi dasar bagi pengembangan penyatuan kedua ilmu ini untuk seterusnya.
Bila diklasifikasikan bentuk, jenis, dan ciri khas lembaga pendidikan Islam pada
masa penjajahan Belanda pada awal dan pertengahan abad ke-20 adalah:
1. Lembaga pendidikan pesantren yang masih berpegang secara utuh kepada
budaya dan tradisi pesantren, yakni mengajarkan kitab-kitab klasik semata-mata.
2. Lembaga pendidikan sekolah-sekolah Islam, di lembaga ini di samping
mengajarkan ilmu-ilmu umum sebagai materi pokoknya, juga mengajarkan
ilmu-ilmu agama.
3. Lembaga pendidikan madrasah, lembaga ini adalah mencoba mengadopsi
system pesantren dan sekolah, dengan menampilkan sistem baru. Ada unsurunsur yang diambil dari pesantren dan ada pula unsur-unsur yang diambil dari
sekolah.9
4. Dikotomis, dalam hal ini yang dimaksudkan adalah pertentangan antara
pendidikan Belanda (HIS, MULO, AMS, dan lain-lain), dengan pendidikan
Islam (Pesantren, dayah, surau). Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu
yang dikembangkan. Di sekolah-sekolah Belanda dikembangkan ilmu-ilmu
umum (ilmu-ilmu sekuler). Pemerintah penjajah Belanda tidak mengajarkan
pendidikan agama sama sekali di sekolah-sekolah yang mereka asuh. Pemerintah
Hindia Belanda mempunyai sikap netral terhadap pendidikan agama di sekolahsekolah umum, ini dinyatakan dalam Pasal 179 ayat 2 I.S (Indishe

9 Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm. 35-36.

Staatsregeling) dan dalam berbagai ordonansi. Singkatnya dinyatakan sebagai


berikut:
1) Pengajaran umum adalah netral, artinya bahwa pengajaran itu diberikan dengan
menghormati keyakinan agama masing-masing.
2) Pengajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam sekolah.
3) Upaya-upaya untuk memasukan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum
telah beberapa kali diusulkan lewat Volksraad, tetapi tetap ditolak oleh
pemerintah Belanda. Dan hal ini berlangsung sampai akhir pemerintahan
Belanda di Indonesia. Sedangkan di lembaga pendidikan Islam dalam hal ini di
pesantren, pendidikan yang diberikan adalah pendidikan keagamaan yang
bersumber dari kitab-kitab klasik. Dengan demikian suasana pendidikan
dikotomis itu amat kentara di zaman penjajahan Belanda.
5. Diskriminatif, pemerintah Belanda memberikan perlakuan diskriminatif
terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Diantara pelaksanaan diskriminatif
diberlakukan ordonansi guru pada tahun 1905. Ordonansi itu adalah mewajibkan
setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih dahulu
sebelum melaksanakan tugas sebagai guru agama. Ordonansi ini dirasakan oleh
para guru agama sangat berat, terlebih-lebih bagi guru agama yang belum
memiliki administrasi sekolah. Selain itu dampak negatif yang dihasilkan dari
ordonansi ini adalah dapat digunakan untuk menekan Islam yang dikuatkan
dengan alasan stabilitas keamanan. Perkembangan berikutnya adalah pada tahun
1905 tersebut akhirnya dicabut, karena dianggap tidak relevan lagi, dan diganti
dengan ordonansi tahun 1925, yang isinya hanya mewajibkan guru-guru agama
untuk memberitahu bukan meminta izin.10
2.3 Kebijakan-kebijakan pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda
Penaklukan bangsa Barat atas dunia Timur dimulai dengan jalan perdagangan,
kemudian dengan kekuatan militer. Selama zaman penjajahan Barat itu berjalanlah
proses westernisasi Indonesia. Kedatangan bangsa Barat memang telah membawa
kemajuan teknologi. Tetapi tujuannya adalah untuk meningkatkan hasil penjajahannya,
bukan kemakmuran bangsa yang dijajah. Begitu pula dibidang pendidikan. Mereka
memperkenalkan sistem dan metode baru tetapi sekedar untuk menghasilkan tenaga
10 Haidar Putra Daulay, Ibid., hlm. 15-16.

yang dapat membantu kepentingan mereka dengan upah yang murah dibandingkan
dengan jika mereka harus mendatangkan tenaga dari Barat. Disamping itu sebagai
bangsa penjajah pada umumnya mereka menganut pikiran Machiavelli yang
menyatakan antara lain; pertama, Agama sangat diperlukan bagi pemerintah penjajah.
Kedua, Agama tersebut dipakai untuk menjinakkan dan menaklukan rakyat. Ketiga,
Setiap aliran agama yang dianggap palsu oleh pemeluk agama yang bersangkutan harus
dibawa untuk memecah belah dan agar mereka berbuat untuk mencari bantuan kepada
pemerintah. Keempat, Janji dengan rakyat tidak perlu ditepati jika merugikan. Kelima,
Tujuan dapat menhalalkan segala cara.11
Kebijaksanaan Belanda dalam mengatur jalannya pendidikan dimaksudkan untuk
kepentingan mereka sendiri terutama untuk kepentingan Kristen. Hal ini dapat dilihat
ketika Van Den Boss menjadi gubernur jenderal di Jakarta pada tahun 1983 dengan
mengeluarkan kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai
sekolah pemerintah. Sedangkan departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan
dijadikan satu, sementara di setiap daerah karasidenan didirikan satu sekolah agama
Kristen.
Inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi penduduk
pribumi adalah ketika Van Den Capellen menjabat sebagai gubernur jenderal yang
isinya adalah: Dianggap penting untuk secepatnya mengadakan peraturan pemerintah
yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi penduduk pribumi
agar mereka dapat dengan mudah untuk dapat mentaati undang-undang dan hukum
Negara yang diterapkan Belanda.
Dengan demikian jelas terlihat, meskipun Belanda mendirikan lembaga pendidikan
untuk kalangan pribumi tetapi semua adalah demi kepentingan mereka semata.
Pendidikan agama Islam yang berada di pondok pesantren, masjid dan mushalla atau
yang lainnya dianggap tidak membantu pemerintahan Belanda. Politik yang dijalankan
pemerintahan Belanda terhadap rakyat Indonesia yang mayoritas beragama Islam
sebenarnya didasari oleh adanya rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya yaitu Kristen

11 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 2011, hlm. 146-147.

dan kolonilisme sehingga dengan begitu mereka menerapkan peraturan dan kebijakan
seperti :
1. Pada tahun 1882 pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang bertugas
mengawasi beragama dan pendidikan Islam yang mereka sebut Resterraden. Dari
nasihat badan inilah, maka pada tahun 1905 pemerintah Belanda mengeluarkan
peraturan baru yang isinya bahwa orang yang memberikan pengajaran atau pengajian
agama Islam harus terlebih dahulu meminta izin kepada pemerintah Belanda.
2. Tahun 1925 keluar lagi peraturan yang lebih ketat terhadap pendidikan agama Islam
yaitu bahwa tidak semua orang kiai boleh memberikan pelajaran mengaji terkecuali
telah mendapat semacam rekomendasi dari pemerintah Belanda.
3. Pada tahun 1932 keluar lagi peraturan yang isinya berupa wewenang untuk
memberantas dan menutup madrasah dan sekolah yang tidak ada izin, atau memberikan
pelajaran yang tidak disukai oleh pemerintah Belanda yang disebut Ordonansi Sekolah
Luar Wilde School Ordonantie.
Selain hal tersebut, dalam buku Aqib Suminto yang dikutip oleh Hasbullah,
pemerintah Belanda juga menempuh usaha yang mematikan kegiatan-kegiatan orang
Islam, seperti dengan mempelajari ikhwal pribumi dan agama Islam yang merupakan
ilmu khusus yang diperdalam di negeri Belanda. Berusaha mencari celah kelemahan
Islam untuk menghadapi umat Islam Indonesia, dengan mengutus Prof. Dr, Christian
Snouck Hurgronje sarjana sastra sempat belajar tentang Islam di Universitas Laiden dan
Strasbourg, kemudian melanjutkan studinya ke Mekkah selama enam bulan, dan
namanya dig anti Abdul Gaffar. Ia berhasil mempelajari Islam langsung dari ulama di
Mekkah dan mempelajari umat Islam Indonesia. Sekembalinya dari Mekkah ia
ditugaskan membantu menyelesaikan pemberontakan santri Aceh, dengan memimpin
kantor Van Inlandsch en Arabische Zaken. Atas sarannya dalam E. Gobee dan C.
Andriaanse yang dikuti oleh Abudin Nata, dikeluarkan kebijaksanaan terhadap Islam di
Indonesia berupa:
1. Agar Belanda netral terhadap agama yakni tidak campur tangan dan tidak
memihak kepada salah satu agama yang ada, tetapi tampaknya hal tersebut
hanyalah teori belaka, sebab faktanya tidak demikian. Menurut Prof. Snouck

10

Hurgronje, fanatisme Islam akan luntur sedikit demi sedikit melalui proses
2.

pendidikan secara evolusi.


Pemerintah Belanda diharapkan dapat membendung masuknya Pan Islamisme
yang sedang berkembang di Timur Tengah, dengan jalan menghalangi
masuknya buku-buku atau brosur lain kewilayah Indonesia dan mengawasi
kontak langsung dan tidak langsung tokoh-tokoh Islam Indonesia dengan tokoh
luar.12

Jika kita melihat peraturan-peraturan pemerintah Belanda yang demikian ketat dan
keras mengenai pengawasan tekanan dan pemberantasan aktivitas madrasah dan pondok
pesantren di Indonesia, maka seolah-olah dalam tempo yang tidak lama pendidikan
Islam akan menjadi lumpuh atau porak poranda. Akan tetapi apa yang dapat disaksikan
dalam sejarah adalah keadaan yang sebaliknya. Masyarakat Islam di Indonesia pada
zaman itu laksana air hujan atau air bah yang sulit dibendung. Di bendung disini dan
meluap disana.
Tetapi sekalipun demikian umat Islam yang mendapatkan pendidikan Barat masih
tetap memiliki kepribadian nasionalnya. Mereka bergabung dengan para ulama untuk
berjuang menuntut Indonesia Merdeka. GAPI yang didirikan dua tahun kemudian
(1939), di dalamnya PSII ikut sebagai pimpinan utamanya. Dalam Majelis Rakyat
Indonesia (1941), Umat Islam (MIAI) tidak pernah absen.13
Data sejarah ini benar-benar dapat menguatkan betapa gagalnya usaha pemerintah
Belanda dalam mendepolitisasikan Umat Islam. Usaha untuk menjadikan Islam hanya
sebagai minus politik tidak pernah berhasil, sekalipun dibarengi dengan usaha
memisahkan Islam dari asimilasi dengan Cina dan kerjasama dengan golongan Priyayi.
Apalagi dengan golongan terakhir ini, pemerintah Belanda tentunya sejalan dengan
pendapat Thomas Stamford Raffles. Mencegah adanya kerjasama antara penguasa
pribumi dengan ulama. Sampai akhir pemerintahanya, Belanda masih menyaksikan
umat Islam aktif dalam pergerakan nasional.14

12 Samsul Nizar, Loc.Cit., hlm. 307-308.


13 Ibid.

11

Jiwa Islam tetap terpelihara dengan baik. Para ulama dan kiai bersikap non
cooperative dengan Belanda. Mereka menyingkir dari tempat yang dekat dengan
Belanda. Mereka mengharamkan kebudayaan yang dibawa oleh Belanda dengan
berpegang pada hadits Nabi Muhammad SAW yang artimya: Barangsiapa yang
menyerupai suatu golongan maka ia termasuk golongan tersebut(Riwayat Abu Dwaud
dan Imam Hibban). Mereka tetap berpegang kepada ayat al-Quran Surat Al-Maidah ayat
51 yang artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah orang Yahudi dan Nasrani
engkau angkat sebagai pemimpinmu.15
2.4 Sistem Persekolahan Pada Zaman Pemerintahan Hindia-Belanda
Dua dekade pertama setelah tahun 1900 pendidikan dasar mengalami kemajuan yang
luar biasa pesatnya. Karena demikian peesatnya seolah-olah pendidikan selama tiga
abad sebelumnya tidak berarti. Pemerintah berusaha menciptakan suatu sistem yang
umum bagi sekian banyak penduduk berdasarkan golongan yang beraneka ragam
coraknya. Secara umum sistem pendidikan khususnya sistem persekolahan didasarkan
kepada golongan penduduk menurut keturunan atau lapisan (kelas) sosial yang ada dan
menurut golongan kebangsaan yang berlaku waktu itu.16
1. Pendidikan Rendah (Lager Onderwijs)
Pada hakikatnya pendidikan dasar

untuk

tingkatan

sekolah

dasar

mempergunakan sistem politik yaitu :


a. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa Belanda
1) Sekolah Rendah Eropa; yaitu ELS (Europese Lagere School), yaitu
sekolah rendah untuk anak-anak keturunan Eropa atau anak-anak turunan
Timur asing atau bumiputera dari tokoh-tokoh terkemuka. Lamanya
sekolah tujuh tahun dan yang pertama didirikan tahun 1818.17

14 Ahmad Mansur Suryanegara, Loc.Cit ., hlm. 253.


15 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Loc.Cit., hlm.150.
16 H. Afiffudin, M. Sobry, dan Enung K. Rukiati, Sejarah Pendidikan, Bandung , Insan
Mandiri, 2007, hlm. 78-79.
17 Ibid. hlm. 79.

12

2) Sekolah Cina Belanda, yaitu HCS (Hollands Chinese School), suatu


sekolah rendah untuk anak-anak keturunan timur asing, khususnya
keturunan Cina. Pertama didirikan pada tahun 1908 lama sekolah tujuh
tahun.18
3) Sekolah Bumi Putera Belanda HIS (Hollands Inlandse School), yaitu
sekolah rendah untuk golongan penduduk Indonesia asli. Pada umumnya
disediakan

untuk

anak-anak

golongan

bangsawan

tokoh-tokoh

terkemuka atau pegawai negeri. Lama sekolah tujuh tahun dan pertama
kali didirikan pada tahun 1914.19
b. Sekolah Rendah dengan bahasa pengantar bahasa daerah
1) Sekolah Bumi Putra Kelas II (Tweede Klasse). Sekolah ini disediakan
untuk golongan bumi putra. Lama sekolah lima tahun, pertama didirikan
1892.
2) Sekolah Desa (Volksschool). Disediakan bagi anak, anak golongan bumi
putra. Lamanya tiga tahun yang pertama kali didirikan pada tahun 1907.
3) Sekolah Lanjutan (Vorvolgschool). Lamanya dua tahun merupakan
kelanjutan dari sekolah desa, juga diperuntukkan bagi anak-anak
golongan bumi putra. Untuk pertama kali didirikan pada tahun 1914.
c. Sekolah Peralihan (Schakelschool)
Merupakan sekolah peralihan dari sekolah desa (tiga tahun) ke sekolah
dasar dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Selama lima tahun dan
diperuntukkan bagi anak-anak golongan bumi putra.
Di samping sekolah dasar tersebut di atas masih terdapat sekolah khusus
untuk orang Ambon seperti Ambonsche Burgerschool yang pada tahun
1922 dijadikan HIS. Untuk anak dari golongan bangsawan disediakan
sekolah dasar khusus yang disebut Sekolah Raja (Hoofdensschool).
Sekolah ini mula-mula didirikan di Tondano pada tahun 1865 dan 1872,
tetapi kemudian diintegrasikan ke ELS atau HIS. 20
2. Pendidikan Lanjutan = Pendidikan Menengah
18 Ibid. hlm. 80.
19Ibid.
20 Ibid. hlm. 81.

13

a. MULO (Meer Uit gebreid Lager School), sekolah tersebut adalah


kelanjutan dari sekolah dasar yang berbahasa pengantar bahasa Belanda.
Lama belajarnya tiga sampai empat tahun. Yang pertama didirikan pada
tahun 1914 dan diperuntukkan bagi golongan bumi putra dan timur
asing. Sejak zaman Jepang hingga sekarang bernama SMP. Sebenarnya
sejak tahun 1903 telah didirikan kursus Mulo untuk anak-anak Belanda,
lamanya dua tahun.21
b. AMS (Algemene Middlebare School) adalah sekolah menengah umum
kelanjutan dari MULO yang berbahasa Belanda dan diperuntukkan bagi
golongan bumi putra dan timur asing. Lama belajarnya tiga tahun dan
pertama kali didirikan pada tahun 1915. AMS ini terdiri dari dua jurusan
yaitu bagian A (pengetahuan kebudayaan) dan bagian B (pengetahuan
Alam). Pada zaman Jepang disebut Sekolah Menengah Tinggi, dan sejak
kemerdekaan disebut SMA.
c. HBS (Hoobere Burger School) atau Sekolah Warga Negara Tinggi adalah
sekolah menengah kelanjutan dari ELS yang disediakan untuk golongan
Eropa, bangsawan golongan bumi putra, atau tokoh-tokoh terkemuka.
Menggunakan bahasa Belanda dan berorientasi ke Eropa Barat,
khususnya Belanda. Lama sekolahnya tiga tahun dan lima tahun.
Pertama kali didirikan pada tahun 1860.
Pendidikan Keguruan (Kweekschool). Lembaga pendidikan keguruan ini
adalah lembaga yang tertua dan sudah ada sejak permulaan abad ke-19. Sekolah
Guru Negeri yang pertama didirikan pada tahun 1852 di Surakarta. Sebelum itu
pemerintah telah menyelenggarakan kursus-kursus guru yang diberi nama
Normal Cursus yang dipersiapkan untuk menghasilkan guru-guru sekolah desa.
Pada abad ke-20 terdapat tiga macam pendidikan guru22, yaitu :
a. Normalschool, sekolah guru dengan masa pendidikan empat tahun dan
menerima lulusan sekolah dasar lima tahun, berbahasa pengantar bahasa
daerah.
21 Ibid. hlm. 82.
22 Ibid. hlm. 85-86.

14

b. Kweekschool, sekolah guru empat tahun yang menerima lulusan


berbahasa pengantar Belanda.
c. Hollandsch Inlandsche Kweekschool, sekolah guru enam tahun
berbahasa pengantar Belanda dan bertujuan menghasilkan guru HIS
HCS. Di samping itu ada juga kursus-kursus.23
2.5 Ciri Umum Politik Pendidikan Belanda
Prof. Dr. S. Nasution mengemukakan enam ciri umum politik pendidikan Belanda, yaitu
: (1) Dualisme, (2) Gradualisme, (3) prinsip Korkondasi, (4) kontrol sentral yang kuat,
(5) tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis, dan (6) pendidikan pegawai
sebagai tujuan utama sekolah.24 Pertama, Dualisme dalam pendidikan dengan adanya
sekolah untuk anak Belanda dan untuk yang tak berada, sekolah yang memberi
kesempatan melanjutkan.
Kedua,

Gradualisme

dengan

mengusahakan

pendidikan

rendah

yang

sesederhana mungkin bagi anak Indonesia dan memperlambat lahirnya sekolah untuk
anak Indonesia. Ketiga, Prinsip Konkordansi yang memaksa semua sekolah berorientasi
barat mengikuti model sekolah di Nederland dan menghalangi penyesuaiannya dengan
keadaan di Indonesia. Setidaknya sekolah menjadi agen kebudayaan barat. Keempat,
Kontrol sentral yang ketat, yang menciptakan birokrasi yang ketat yang hanya
memungkinkan perubahan kurikulum dengan persetujuan para pembesar di Indonesia
maupun di negeri Belanda. Hal ini mengakibatkan lambannya perubahan pendidikan di
Indonesia di bawah pemerintahan Belanda. Pemilik sekolah dan inspektur dapat
dipandang sebagai agen kekuasaan kolonial yang menyebarkan kekuasaan itu sampai
pelosok yang sekecil-kecilnya.
Kelima,

tidak

adanya

perencanaan

pendidikan

yang

sistematis

yang

menyebabkan pemerintah mengadakan percobaan dengan berbagai macam sekolah


menurut zaman. Perkembangan pendidikan merupakan rangkaian kompromi antara
usaha pemerintah untuk memberikan pendidikan minimal bagi pribumi dan tuntutan
yang terus menerus dari pihak Indonesia untuk memperoleh pendidikan yang sama
23 Ibid. hlm. 86.
24 Ibid. hlm. 88

15

dengan orang Belanda. Keenam,Pendidikan pegawai sebagai tujuan utama sekolah.


Penyelenggaraan dan penerimaan murid didasarkan atas kebutuhan pemerintah akan
tenaga kerja yang berpendidikan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Pendidikan islam sudah berkembang pada zaman Belanda. Akan tetapi Belanda
sangat membatasi gerak pengalaman beragama Islam. Termasuk juga terhadap
pendidikan Islam sendiri. Politik pemerintah Belanda terhadap rakyat Indonesia yang
mayoritas Islam didasari oleh rasa ketakutan, rasa panggilan agamanya dan rasa
kolonialismenya. Pemerintah kolonial Belanda memperkenalkan sekolah-sekolah
modern menurut sistem persekolahan yang berkembang di dunia barat, sedikit banyak
mempengaruhi sistem pendidikan di Indonesia, yaitu pesantren. Padahal di ketahui
bahwa pesantren merupakan merupakan satu-satunya lembaga pendidikan formal di
Indonesia sebelum adanya kolonial Belanda, justru sangat berbeda dalam sistem dan
pengelolaannya dengan sekolah yang diperkenalkan oleh Belanda.
Ada dua cirri pendidikan islam yang paling menonjol pada masa Belanda, yang
pertama adalah dikotomis. Yaitu adanya pertentangan anatara pendidikan Belanda dan
pendidikan pesantren. Pertentangan ini dapat dilihat dari sudut ilmu yang
dikembangkan. Di sekolah-sekolah Belanda dikembangkan ilmu-ilmu umum, dan tidak
mengajrkan ilmu agama sama sekali. Sementara pada pendidikan pesantren, pendidikan
yang diberikan adalah pendidikan keagamaan yang bersumber dari kitab-kitab
klasik.dan yang kedua adalah Diskriminatif, pemerintah Belanda memberikan perlakuan
diskriminatif terhadap pendidikan Islam di Indonesia. Diantara pelaksanaan
diskriminatif adalah diberlakukannya ordonansi guru pada tahun 1905. Ordonansi itu
adalah mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin
terlebih dahulu sebelum melaksanakn tugas sebagai guru agama.
Sementara kebijakan-kebijakan pendidikan pada masa penjajahan Belanda pada
dasarnya bersifat weternisasi dan kristenisasi. Tujuan pendidikan pada masa itu hanya

16

untuk melahirkan pegawai-pegawai yang diharapkan membantu pemerintahan Belanda.


Akan tetapi perkembangan pendidikan Islam pada masa ini berkembang dengan pesat,
karena masih banyak para ulama yang sama sekali tidak mau dipengaruhi oleh Belanda,
bahkan tak jarang yang menjauhi. Pendidikan Islam mencoba memadukan antara
pendidikan modern Belanda dengan pendidikan tradisional sehingga melahirkan
madrasah-madarasah berkelas yang tidak hanya memberikan pengetahuan agama saja
akan tetapi juga memberikan pengetahuan umum.

DAFTAR PUSTAKA
Afiffudin, H., dkk. 2007. Sejarah Pendidikan. Bandung : Insan Mandiri.
Hasbullah. 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo.

17

Mansur Suryanegara, Ahmad. 1998. Menemukan Sejarah : Wacana Pergerakan Islamdi


Indonesia. Bandung: Mizan.
Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media
Group.
Putra Daulay, Haidar. 2009. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di
Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Syukur, Fatah. 2012. Sejarah Pendidikan Islam. Semarang: Pustaka Rizki Putra.
Zuhairini dkk. 2010. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai