Anda di halaman 1dari 12

Tuli Sensorineural Pada Anak-Anak

Muhammad Naqib Syahmi Bin Said Jaafar


102013494
Fakultas Kedokteran UKRIDA
Jl. Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
muhammad.2013fk494@civitas.ukrida.ac.id

Abstrak
Pendengaran merupakan salah satu indera pada manusia yang berhubungan erat dengan
kemampuan berbicara sehingga dengan ada kelainan pendengaran pada bayi atau anak yang
terjadi sejak lahir akan menyebabkan gangguan kemampuan berbicara dan berbahasa dan
lebih luas lagi akan berdampak pada kemampuan kognitif, sosial dan akademik. Tuli
kongenital ialah tuli yang terjadi sebelum persalinan atau pada saat persalinan disebabkan
oleh kelainan secara genetik, non genetik.
Kata kunci: pendengaran, bayi, anak, tuli kongenital
Abstract
Hearing is one of the human senses are closely linked to the ability to speak so with no
auditory disorders in infants or children that have occurred since birth will cause speech and
language and more broadly will have an impact on cognitive, social and academic.
Congenital deafness was deafness that occurs before birth or during birth caused by genetic
abnormalities, non-genetic.
Keywords: hearing, infant, child, congenital hearing loss
Pendahuluan
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir. Untuk
mengukur ada tidaknya tuli kita menggunakan satuan decibel hearing loss (dB HL). Pada
pendengaran normal kita dapat mendeteksi suara pada 0-20 db. Tuli kongenital merupakan
ketulian yang terjadi pada seorang bayi disebabkan faktor-faktor yang mempengaruhi
kehamilan maupun pada saat lahir. Ketulian ini dapat berupa tuli sebagian (hearing impaired)
1

atau tuli total (deaf). Tuli sebagian adalah keadaan fungsi pendengaran berkurang namun
masih dapat dimanfaatkan untuk berkomunikasi dengan atau tanpa bantuan alat dengar,
sedangkan tuli total adalah keadaan fungsi pendengaran yang sedemikian terganggunya
sehingga tidak dapat berkomunikasi sekalipun mendapat perkerasan bunyi (amplifikasi). Pada
makalah ini akan dibahas mengenai tuli kongenital yaitu congenital hearing loss.
Anamnesis
Antara informasi yang diperlukan untuk mengevaluasi masalah/gangguan pendengaran:

Apakah terdapat gangguan selama kehamilan dan sesudah kelahiran?


Apakah ibu pernah terinfeksi toksoplasmosis, rubella, cytomegalovirus, dll sewaktu

kehamilan? Jika ada, pada trimester ke berapa?


Apakah ibu pernah makan obat-obatan ototoksik atau teratogenik

kehamilan?
Riwayat merokok atau minum alkohol dari ibu?
Apakah anak dapat menoleh sekiranya ada suara di sekitarnya?
Apakah sebelum ini pernah diuji respons terhadap suara?
Apakah anak terkejut jika ada suara keras?

sewaktu

Bayi tuli kongenital biasanya mulai mengoceh normalnya sekitar usia 6 bulan, namun
berkomunikasi dengan gerakan badan. Bayi ini mungkin memiliki sifat pemarah atau masalah
perilaku lainnya.1
Pemeriksaan Neonatus
Penilaian skor APGAR2:
Tampilan
2: seluruh tubuh berwarna merah muda
1: badan berwarna merah muda tapi ekstremitas berwarna biru
0: seluruh tubuh berwarna biru atau pucat
Denyut nadi
2: > 200/menit
1: <100/menit
0: tidak ada
2

Raut wajah
2: batuk, bersin, atau menangis keras
1: menyeringai atau sedikit menangis
0: tidak menangis
Gerakan
2: gerakan aktif
1: beberapa gerakan
0: lumpuh dan tidak bergerak
Pernapasan
2: menangis keras
1: tangisan yang perlahan, ireguler
0: tidak menangis
Skor total adalah jumlah kelima penilaian tersebut. Hasilnya dapat berkisar dari 0 (terburuk)
hingga 10 (terbaik).
Pemeriksaan Pendengaran
Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini mungkin. Walaupun derajat ketulian
yang dialami seorang anak hanya bersifat ringan, namun dalam perkembangan selanjutnya
akan mempengaruhi kemampuan berbicara dan berbahasa. Untuk menegakkan diagnosis
sedini mungkin maka diperlukan skrining pendengaran pada anak. Skrining pendengaran
pada bayi baru lahir (Newborn Hearing Screening)3 dibedakan menjadi:
1.

Universal Newborn Hearing Screening (UNHS) : dilakukan pada semua bayi baru lahir,

sebelum meninggalkan rumah sakit.


2.

Targeted Newborn Hearing Screening : dilakukan khusus pada bayi yang mempunyai

faktor resiko terhadap ketulian.

Menurut ketentuan dari American Joint Committee of Infant Hearing tahun 2000, gold
standart untuk skrining pendengaran bayi adalah Automated Otoacoustic Emissions (AOAE)
3

dan Automated Auditory Brainstem Response (AABR). Program skrining ini telah dijalankan
pada tahun 2001 dan telah diterapkan seutuhnya di Inggris.1
Otoacoustic Emissions (OAE)
OAE merupakan respon akustik nada rendah terhadap stimulus bunyi dari luar yang tiba di
sel-sel rambut luar koklea. OAE bermanfaat untuk mengetahui apakah koklea berfungsi
normal, berdasarkan prinsip elektrofisiologik yang objektif, cepat, mudah, otomatis, noninvasif, dengan sensitivitas mendekati 100%. Kerusakan yang terjadi pada sel-sel rambut luar
koklea, misalnya akibat infeksi virus, obat ototoksik, kurangnya aliran darah yang menuju
koklea menyebabkan sel-sel rambut luar koklea tidak dapat memproduksi OEA. Pemeriksaan
ini dapat dilakukan untuk bayi yang baru berusia 2 hari. Selain juga untuk orang dewasa.
Pada bayi, pemeriksaan ini dapat dilakukan saat beristirahat/tidur. Tesnya tergolong singkat
dan tidak sakit, namun memberi hasil akurat. Hasilnya dapat dikategorikan menjadi dua,
yakni pass dan refer. Pass berarti tidak ada masalah, sedangkan refer artinya ada gangguan
pendengaran hingga harus dilakukan pemeriksaan berikut.

Automated Auditory Brainstem Response (AABR) atau Brain Evoked Response

Audiometry

(BERA)

Tes BERA dapat menggambarkan reaksi yang terjadi sepanjang jaras-jaras pendengaran,
dapat dideteksi berdasarkan waktu yang dibutuhkan dimulai pada saat pemberian impuls
sampai menimbulkan reaksi dalam bentuk gelombang. Pemeriksaan BERA mempunyai nilai
objektifitas yang tinggi, penggunaannya mudah, tidak invasif, dan dapat dipakai untuk
pemeriksaan anak yang tidak kooperatif, yang tidak bisa diperiksa secara konvensional.5
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah :
Timpanometri.
Timpanometri merupakan sejenis audiometri, yang mengukur impedansi (tahanan terhadap
tekanan) pada telinga tengah. Timpanometri digunakan untuk membantu menentukan
penyebab dari tuli konduktif. Prosedur ini tidak memerlukan partisipasi aktif dari penderita
dan biasanya digunakan pada anak-anak. Timpanometer terdiri dari sebuah mikrofon dan
sebuah sumber suara yang terus menerus menghasilkan suara dan dipasang di saluran telinga.
Dengan alat ini bisa diketahui berapa banyak suara yang melalui telinga tengah dan berapa
banyak suara yang dipantulkan kembali sebagai perubahan tekanan di saluran telinga.6

Auditory Brainstem Response (ABR)

Cara pemeriksaannya hampir sama dengan OAE. Bayi mulai usia 1 bulan sudah dapat
4

dilakukan tes ini, Automated ABR yang berfungsi sebagai screening, juga dengan 2 kategori,
yakni pass dan refer. Hanya saja alat ini cuma mampu mendeteksi ambang suara hingga 40
dB. Sedangkan guna mengetahui lebih jauh gangguan pendengaran yang diderita, lazimnya
dilakukan pemeriksaan lanjutan, dengan BERA (Brainstem Evoked Response Audiometry).

Play Audiometry

Pemeriksaan yang juga berfungsi mengetahui ambang dengar anak ini dapat dilakukan pada
anak usia 2,5 - 4 tahun. Caranya dengan menggunakan audiometer yang menghasilkan bunyi
dengan frekuensi dan intensitas berbeda. Bila anak mendengar bunyi itu berarti sebagai
pertanda anak mulai bermain misalnya harus memasukkan benda ke kotak di hadapannya.
Diagnosa Kerja
Diagnosa yang dipilih adalah tuli kongenital.
Etiologi
Genetik:
Gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik dapat memiliki etiologi yang
berbeda-beda dan diperkirakan sekitar 1% dari seluruh gen manusia terlibat dalam proses
pendengaran. Secara garis besar gangguan pendengaran yang berdasarkan kelainan genetik
terbagi menjadi non-syndromic hearing loss (NSHL) dan syndromic hearing loss (SHL). 4
Perubahan genetik yang terjadi dapat berupa mutasi pada gen tunggal (single gene) atau
disebut monogenic form atau merupakan kombinasi mutasi pada gen yang berbeda dan faktor
lingkungan (multifactorial form). Sekitar 50% kasus merupakan kelainan pendengaran bentuk
monogenik; sedangkan faktor perinatal dan infeksi selama usia bayi atau trauma bertanggung
jawab untuk sisanya.
a.

Non-syndromic hearing loss (NSHL)

NSHL merupakan gangguan pendengaran tersendiri yang tidak memiliki kaitan dengan
kelainan fisik lainnya. NSHL mengenai sekitar 1 dalam 4000 orang. NSHL lebih sering
merupakan kelainan pendengaran sensorineural. NSHL terjadi pada 80% tuli genetik.
Kelainan genetik pada penderita NSHL memiliki 4 dasar kelainan, yaitu:
Autosomal resesif
Gangguan pendengaran kongenital yang bersifat autosomal resesif terjadi pada 75% dari
seluruh tuli kongenital, dan berkaitan dengan mutasi Connexin 26, yaitu hilangnya suatu
nukleotida (guanine). Connexin 26 merupakan protein protein yang terekspresikan pada
5

koklea, berperan dalam proses perputaran ion K+ dalam koklea.


Autosomal dominan

X-linked

Kelainan mitokondria

b.

Syndromic hearing loss (SHL)

Kelainan bentuk fisik yang khas mungkin dapat berhubungan dengan gangguan pendengaran
yang bersifat sindromik (SHL). Terdapat lebih dari 100 sindrom, kebanyakan berhubungan
dengan tuli sensorineural, diantaranya adalah:

Alport syndrome

Kelainan ini mengenai sekitar 1 dari 200.000 orang. Memiliki karakteristik gangguan ginjal
progresif dan gangguan pendengaran sensorineural. Lebih sering mengenai laki-laki
dibanding wanita. Gangguan pendengaran biasanya bersifat bilateral dan simetris, dengan
ketulian saraf progresif dan mengenai frekuensi tinggi.

Pendred syndrome

Pendred syndrome memiliki gejala khas yang dikenal dengan trias gangguan pendengaran
kongenital, goiter multinodul, dan penurunan patologis dari hasil tes perklorat. Gangguan
pendengaran biasanya terjadi bilateral.

Waardenburg syndrome

Waardenburg syndrome mengenai sekitar 2 dari 100.000 kelahiran dan diperkirakan sebesar
2% dari seluruh masalah gangguan pendengaran kongenital di Amerika. Kelainan klinis yang
tampak adalah kelainan pada tulang temporal termasuk atropi organ korti dan stria vaskular,
dengan penurunan jumlah sel saraf pada ganglion spiralis. Gambaran klinis dari Waadenburg
syndrome adalah kelainan lokasi dari kantus medial dan punkta lakrimalis, hyperplasia high
nasal root, gambaran albinisme melingkar pada rambut bagian depan, ketulian saraf unilateral
atau bilateral yang bersifat ringan sampai berat.

Usher syndrome - sensorineural deafness

Usher syndrome mengenai sekitar 3 dalam 100.000 kelahiran hidup. Kelainan bersifat
progresif yang sering ditemukan adalah kebutaan karena terjadinya retinitis pigmentosa, juga
tuli saraf sedang sampai berat. Kelainan histopatologi yang ditemukan adalah adanya
degenerasi epitel sensoris koklea. Tidak ditemukannya cochlear microphonic
mengindikasikan adanya gangguan pendengaran.

Non- Genetik:

Obat teratogenik, seperti gentamisin dan thalidomide.

Infeksi, seperti Toxoplasmosis, Other (HIV, syphilis), Rubella, Cytomegalovirus, Herpes.2

Epidemiologi
Genetik sensorineural hearing loss ( SNHL ) tampaknya terjadi dua kali lebih sering di
negara-negara maju seperti di negara-negara berkembang . Tuli mempengaruhi hingga 30 %
dari masyarakat internasional , dan perkiraan menunjukkan bahwa 70 juta orang tuli. 5 Selain
keturunan dan ras , dibandingkan pendengaran nonsyndromic seluruh populasi sangat
bervariasi dan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor , kemungkinan belum teridentifikasi ,
termasuk pergeseran populasi, dan status kesehatan. Memperkirakan prevalensi gangguan
pendengaran turun-temurun pada populasi di seluruh dunia sangat sulit karena akses ke
perawatan kesehatan , kondisi kesehatan yang buruk , dan rendahnya tingkat kesadaran
gangguan pendengaran diperparah oleh frekuensi yang lebih tinggi dari komplikasi faktor
risiko seperti tekanan neonatal , prematuritas , demam tinggi , otitis media , meningitis , obat
ototoksik , dan penyakit seperti rubella.
Patofisiologi
Rubella (German measles) merupakan suatu penyakit virus yang umum pada anak dan
dewasa muda, yang ditandai oleh suatu masa prodromal yang pendek, pembesaran kelenjar
getah bening servikal, suboksipital dan postaurikular, disertai erupsi yang berlangsung 2-3
hari. Pada anak yang lebih besar dan orang dewasa sekali-kali terdapat infeksi berat disertai
kelainan sendi dan purpura. Kelainan prenatal akibat rubela pada kehamilan muda dilaporkan
pertama kali oleh Gregg di Australia pada tahun 194. 6 Rubela pada kehamilan muda dapat
mengakibatkan abortus, bayi lahir mati, dan menimbulkan kelainan kongenital yang berat
pada janin. Sindrom rubela kongenital merupakan penyakit yang sangat menular, mengenai
banyak organ dalam tubuh dengan gejala klinis yang luas. Hingga saat ini penyakit rubela
masih merupakan masalah dan terus diusahakan eliminasinya.
Rubella menjadi penting karena penyakit ini dapat menimbulkan kecacatan pada janin.
Sindroma rubella congenital (Congenital Rubella Syndrome, CRS) terjadi pada 90% bayi
yang dilahirkan oleh wanita yang terinfeksi rubella selama trimester pertama kehamilan;
risiko kecacatan congenital ini menurun hingga kira-kira 10-20% pada minggu ke-16 dan
lebih jarang terjadi bila ibu terkena infeksi pada usia kehamilan 20 minggu.
7

Infeksi janin pada usia lebih muda mempunyai risiko kematian di dalam rahim, abortus
spontan dan kecacatan congenital dari sistem organ tubuh utama. Cacat yang terjadi bisa satu
atau kombinasi dari jenis kecacatan berikut seperti tuli, katarak, mikroftalmia, glaucoma
congenital, mikrosefali, meningoensefalitis, keterbelakangan mental, patent ductus arteriosus,
defek septum atrium atau ventrikel jantung, purpura, hepatosplenomegali, icterus dan
penyakit tulang radiolusen. Penyakit CRS yang sedang dan berat biasanya sudah dapat
diketahui ketika bayi baru lahir; sedangkan kasus ringan yang mengganggu organ jantung
atau tuli sebagian, bisa saja tidak terdeteksi beberapa bulan bahkan hingga beberapa tahun
setelah bayi baru lahir. Diabetes mellitus dengan ketergantungan insulin diketahui sebagai
manifestasi lambat dari CRS. Malformasi congenital dan bahkan kematian janin bisa terjadi
pada ibu yang menderita rubella tanpa gejala.3
Penularan terjadi melalui droplet, dari nasofaring atau rute pernafasan. Selanjutnya virus
rubela memasuki aliran darah. Namun terjadinya erupsi di kulit belum diketahui
patogenesisnya. Viremia mencapai puncaknya tepat sebelum timbul erupsi di kulit. Di
nasofaring virus tetap ada sampai 6 hari setelah timbulnya erupsi dan kadang-kadang lebih
lama. Selain dari darah dan sekret nasofaring, virus rubela telah diisolasi dari kelenjar getah
bening, urin, cairan serebrospinal, ASI, cairan sinovial dan paru. Penularan dapat terjadi
biasanya dari 7 hari sebelum hingga 5 hari sesudah timbulnya erupsi. Daya tular tertinggi
terjadi pada akhir masa inkubasi, kemudian menurun dengan cepat, dan berlangsung hingga
menghilangnya erupsi. Periode inkubasi rata-rata 18 hari (12-23 hari). Virus sesudah masuk
melalui saluran pernafasan akan menyebabkan peradangan pada mukosa saluran pernafasan
untuk kemudian menyebar keseluruh tubuh. dari saluran pernafasan inilah virus akan
menyebrang ke sekelilingnya. Rubella baik yang bersifat klinis maupun sub klinis akan
bersifat sangat menular terhadap sekelilingnya. Pada infeksi rubella yang diperoleh post natal
virus rubella akan dieksresikan dari faring selama fase prodromal yang berlanjut sampai satu
minggu sesudah muncul gejala klinis. pada rubella yang kongenal saluran pernafasan dan
urin akan tetap mengeksresikan virus sampai usia 2 tahun. hal ini perlu diperhatikan dalam
perawatan bayi dirumah sakit dan dirumah untuk mencegah terjadinya penularan. Sesudah
sembuh tubuh akan membentuk kekebalan baik berupa antibody maupun kekebalan seluler
yang akan mencegah terjadinya infeksi ulangan. Infeksi rubella berbahaya bila terjadi pada
wanita hamil muda, karena dapat menyebabkan kelainan pada bayinya. Jika infeksi terjadi
pada bulan pertama kehamilan, maka resiko terjadinya kelaianan adalah 50%, sedanggkan
jika infeksi terjadi trimester pertama maka resikonya menjadi 25% (menurut America
8

College Obstrician and gynecologist, 1981). Rubella dapat menimbulkan abortus, anomaly
congenital dan infeksi pada neonatus (Konjungtivitis, ensefalitis, vesikulutis, kutis, ikterus
dan konvulsi). Rubella dapat meningkatkan angka kematian perinatal dan sering
menyebabkan cacat bawaan pada janin. sering dijumpai apabila infeksi dijumpai pada
kehamilan trimester I (30 50%). Anggota tubuh anak yang bisa menderita karena rubella :
a. Mata (katarak, glaucoma, mikroftalmia)
b. Jantung (duktus arteriosus persisten, stenosis fulmonalis, septum terbuka)
c. Alat pendengaran (tuli)
d. Susunan syaraf pusat (meningoesefalitis, kebodohan)
Dapat pula terjadi hambatan pertumbuhan intra uterin. kelainan hematologgik (termasuk
trombositopenia dan anemia), hepotosplenomegalia dan ikterus, pneumonitis interfisialis
kronika difusa dan kelainan kromosom. Selain itu bayi dengan rubella bawaan selama
beberapa bulan merupakan sumber infeksi bagi anak-anak dan orang dewasa lain.4

Gambar 1. Kelainan kongenital dikarenakan infeksi Rubella.7


Manifestasi klinis
Bayi dan anak dengan gangguan pendengaran sering memberikan gejala berupa
keterlambatan bicara (speech delayed).2 Gagal atau tidak berkembangnya kemampuan
berbicara dan berbahasa merupakan tanda yang menunjukkan adanya gangguan pendengaran
dan perlu dievaluasi. Adapun beberapa gejala atau tanda lain pada anak yang mengalami
gangguan pendengaran antara lain :

Tidak ada respon pada bunyi yang keras pada bayi umur 3-4 bulan atau bayi tidak dapat
mengetahui asal dari sumber bunyi

Bayi hanya melihat ketika dia melihat ibu atau orang lain yang berhadapan dengannya,

sedangkan dia tidak akan melihat apabila tidak berhadapan dengannya atau meskipun dengan
memanggil namanya

Pada bayi umur 15 bulan yang mengalami keterlambatan berbicara, tidak akan dapat

mengucapkan kata-kata mama

Bayi atau anak tidak selalu respon ketika dipanggil

Anak-anak dapat mendengar beberapa bunyi tetapi bunyi yang lainnya tidak.
Faktor resiko
Faktor resiko yang dapat meningkatkan kecurigaan tuli kongenital diantaranya:

Riwayat keluarga dengan tuli kongenital

Adanya infeksi prenatal : infeksi TORCH3

Lahir prematur dan berat badan lahir rendah

Persalinan yang sulit dan fetal distress pada saat kelahiran

Ikterus (menyebabkan tuli retrokoklear)

Mengkonsumsi obat-obat ototoksik

Adanya infeksi lainnya, seperti meningitis bakterialis1


Penatalaksanaan
1. Alat bantu dengar eksternal
Alat ini akan meningkatkan volume suara yang mendekati telinga. Alat ini diletakkan di
belakang telinga atau di dalamnya. Alat bantu dengar yang diletakkan tepat di dalam meatus
akutikus eksternus diperuntukkan bagi pasien dengan tuli derajat ringan dan sedang.

2. Alat bantu dengar digital


Alat bantu dengar digital sering dapat memperbaiki kualitas dari suara. Alat yang tersedia
untuk NSHL selalu memiliki komponen digital di dalamnya.8

10

3. Alat bantu dengar implant


o

Implant koklear

Ini merupakan alat yang ditanam secara operasi dirancang untuk merubah suara menjadi
sinyal listrik.8 Pada gangguan pendengaran sensorineural dapat dilakukan implantasi koklea
untuk memperbaiki pendengaran sehingga akan meningkatkan kemampuan berkomunikasi
pasien tuli saraf berat atau total. Pencangkokan koklea (implan koklea) dilakukan pada
penderita tuli berat yang tidak dapat mendengar meskipun telah menggunakan alat bantu
dengar. Alat ini dicangkokkan di bawah kulit di belakang telinga dan terdiri dari 4 bagian:
-

Sebuah mikrofon untuk menangkap suara dari sekitar

Sebuah prosesor percakapan yang berfungsi memilih dan mengubah suara yang

tertangkap oleh mikrofon


-

Sebuah transmiter dan stimulator/penerima yang berfungsi menerima sinyal dari prosesor

percakapan dan merubahnya menjadi gelombang listrik


-

Elektroda, berfungsi mengumpulkan gelombang dari stimulator dan mengirimnya ke otak.

Suatu implan tidak mengembalikan ataupun menciptakan fungsi pendengaran yang normal,
tetapi bisa memberikan pemahaman auditoris kepada penderita tuli dan membantu mereka
dalam memahami percakapan. Implan koklea sangat berbeda dengan alat bantu dengar. Alat
bantu dengar berfungsi memperkeras suara. Implan koklea menggantikan fungsi dari bagian
telinga dalam yang mengalami kerusakan.
Komplikasi
Anak dengan tuli unilateral mengalami kesulitan dalam menentukan lokasi sumber suara dan
mendengar di tempat yang sangat terlalu ribut, dimana sang anak akan kesulitan dalam
kegiatan sekolah. Diantara anak tersebut, diantaranya angka kegagalan sekolah, mengelamun,
kesusahan dalam konsentrasi, susah berkonsentrasi dan peningkatan masalah perilakumasalah
perilaku meningkat. Anak dengan tuli bilateral mengalami keterbatasan dalam menerima dan
mengekspresikan kemampuan berbicara, kemampuan membaca, dan kemampuan berhitung.
Penderita tuli akan mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan, sedikit kesempatan dalam
mencari penghasilan, dikucilkan, batasan berbahasa yang akan berakibat pembatasan grup
sosial dan pengurangan kualitas hidup.
Prognosis
Terdapat bukti kuat bahwa skrining mendapat manfaat yang lebih besar dibandingkan bila
kasus terlambat ditemukan secara dini dan segera dilakukan intervensinya dibandingkan bila
11

kasus terlambat ditemukan dan baru disadari kemudian. Pengobatan secara dini harus
menunjukkan manfaat yang lebih besar dan dapat mengubah prognosis penyakit. Makanya
mencegah itu lebih baik dari mengobati.
Kesimpulan
Tuli kongenital merupakan gangguan pendengaran yang timbul pada saat lahir dan
merupakan salah satu masalah pada anak yang akan berdampak pada perkembangan bicara,
sosial, kognitif dan akademik. Pada prinsipnya tuli kongenital harus diketahui sedini
mungkin. Jadi, kenalilah gangguan pendengaran pada anak anda sedini mungkin, agar tidak
sampai terjadi komplikasi-komplikasi yang tidak diharapkan.

Daftar Pusaka
1. Meyer C, Witte J, Hilman A, Hennceke K, Schunk K, Maul K et al. Neonatal
Screening for Hearing Disorder in Infant at risk: Incidence, Risk Factors, and
Follow-up. Pediatrics 1999; 104 (4): 900 4.
2. Casey, B. M.; McIntire, D. D.; Leveno, K. J. "The continuing value of the Apgar score
for the assessment of newborn infants". N Engl J Med. 2001; 344(7): 46771.
3. Korres S, Nikolopoulos TP, Komkotou V, et al. Newborn hearing screening:
effectiveness, importance of high risk factors, and characteristics of infants in the
neonatal intensive care unit and well-baby nursery. Otol Neurotol. Nov 2005;
25(6):1186-90.
4. Yoshinaga-Itano C, Gravel JS, The Evidence for Universal Newborn Hearing
Screening. Am J Audiol 2001; 10 (2): 62 4.
5. Suwento R, Kadir A, Djelantik B, Zizlavsky S, Hendarmin H. Final Report: WHOSEA Study ON Infrastructure And Health Services For The Prevention and Control Of
Deafness: Indonesian Chapter. Colombo, Dec 17 20, 2002.
6. Eisen MD, Ryugo DK. Hearing molecules: contributions from genetic deafness. Cell
Mol Life Sci. March 2007;64(5):566-80.
7. Diunduh dari http://nursingcrib.com/communicable-diseases/measles/ pada 22 Maret
2016.
8. Stein L, Clark S, Kraus N. The hearing-impaired infant: patterns of identification and

habilitation. Ear Hear. Sept-Oct 2000;21(3):437-51.

12

Anda mungkin juga menyukai