Anda di halaman 1dari 35

Tugas

RETINOPATI DIABETIK

Oleh:
Anita Rachman
G99131016

Pembimbing :
Dr. Senyum Indrakila dr., Sp.M

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2014

TINJAUAN PUSTAKA

Diabetes Melitus
Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang ditandai dengan
timbulnya hiperglikemia akibat gangguan sekresi insulin, dan atau peningkatan
resistensi insulin seluler terhadap insulin. Hiperglikemia kronik dan gangguan
metabolik DM lainnya akan menyebabkan kerusakan jaringan dan organ, seperti
mata, ginjal, syaraf, dan sistem vaskular (Cavallerano, 2009).
Klasifikasi Diabetes Melitus
Klasifikasi DM menurut World Health Organization (WHO) tahun 2008
dan Departement of Health and Human Service USA (2007) terbagi dalam 3
bagian yaitu Diabetes tipe 1, Diabetes tipe 2, dan Diabetes Gestational. Namun,
menurut American Diabetes Association (2009), klasifikasi DM terbagi 4 bagian
dengan tambahan PraDiabetes.
a. Diabetes tipe 1
DM tipe 1 merupakan bentuk DM yang sangat lazim terjadi pada anak
remaja tetapi kadangkandang juga terjadi pada orang dewasa, khususnya yang
nonobesitas dan mereka yang berusia lanjut ketika hiperglikemia tampak pertama
kali. Keadaan tersebut merupakan suatu gangguan katabolisme yang disebabkan
hampir tidak terdapat insulin dalam sirkulasi darah, glukagon plasma meningkat
dan selsel pankreas gagal merespons semua stimulus insulinogenik. Oleh
karena itu diperlukan pemberian insulin eksogen untuk memperbaiki katabolisme,
menurunkan hiperglukagonemia dan peningkatan kadar glukosa darah (Karam,
2002).
Gejala penderita DM tipe 1 termasuk peningkatan ekskresi urin (poliuria),
rasa haus (polidipsia), lapar, berat badan turun, pandangan terganggu, lelah, dan
gejala ini dapat terjadi sewaktuwaktu (tibatiba) (WHO, 2008).

b. Diabetes tipe 2
DM tipe 2 merupakan bentuk DM yang lebih ringan, terutama terjadi pada
orang dewasa. Sirkulasi insulin endogen sering dalam keadaan kurang dari normal
atau secara relatif tidak mencukupi. Obesitas pada umumnya penyebab gangguan
kerja insulin, merupakan faktor risiko yang biasa terjadi pada DM tipe ini dan
sebagian besar pasien dengan DM tipe 2 bertubuh gemuk. Selain terjadinya
penurunan kepekaan jaringan terhadap insulin, juga terjadi defisiensi respons sel
pankreas terhadap glukosa (Karam, 2002). Gejala DM tipe 2 mirip dengan tipe 1,
hanya dengan gejala yang samar. Gejala bisa diketahui setelah beberapa tahun,
kadangkadang komplikasi dapat terjadi. Tipe DM ini umumnya terjadi pada
orang dewasa dan anakanak yang obesitas.
c. Diabetes Gestational
DM ini terjadi akibat kenaikan kadar gula darah pada kehamilan (WHO,
2008). Wanita hamil yang belum pernah mengalami DM sebelumnya namun
memiliki kadar gula yang tinggi ketika hamil dikatakan menderita DM
gestational. DM gestational biasanya terdeteksi pertama kali pada usia kehamilan
trimester II atau III (setelah usia kehamilan 3 atau 6 bulan) dan umumnya hilang
dengan sendirinya setelah melahirkan. Diabetes gestational terjadi pada 35%
wanita hamil
Epidemiologi
Tingkat prevalensi DM tipe 2 cukup tinggi, diperkirakan sekitar 16 juta
kasus DM di Amerika Serikat dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus
baru. DM merupakan penyebab kematian di Amerika Serikat dan merupakan
penyebab utama kebutaan pada orang dewasa akibat retinopati diabetik. Pada usia
yang sama, penderita DM paling sedikit 2,5 kali lebih sering terkena serangan
jantung dibandingkan mereka yang tidak menderita DM. Tujuh puluh lima persen
penderita DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskular. Serangan jantung,
gagal jantung, gagal ginjal, stroke, dan gangren adalah komplikasi utama. (Price
dan Wilson, 2006).

Diagnosis
Kriteria diagnosis DM yang telah direvisi menurut ADA (American diabetes
association) adalah :
a. Nilai A1c > 6,5%, diagnosis DM harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan
ulangan, kecuali gejala klinis dan nilai kadar gula darah > 200 mg/dl.
b. Ditemukan gejala hiperglikemia dan kadar gula darah sewaktu > 200 mg/dl.
Gejala klasik hiperglikemia adalah poliuria, polidipsia, dan penurunan berat
badan tanpa sebab yang jelas, atau
c. Kadar gula darah puasa > 126 mg/dl. Puasa berarti pasien tidak menerima
asupan kalori 8 jam terakhir sebelum pemeriksaan, atau
d. Kadar gula darah 2 jam setelah makan > 200 mg/dl setelah tes toleransi
glukosa menggunakan glukosa 75 gram (Cavallerano, 2009).
Komplikasi
Komplikasi DM terbagi dua yaitu komplikasi metabolik akut dan
komplikasi vaskular jangka panjang. Komplikasi metabolik akut disebabkan
perubahan yang relatif akut dari konsentrasi glukosa plasma. Komplikasi
metabolik yang paling serius pada DM tipe 1 adalah ketoasidosis diabetik (DKA).
Komplikasi akut yang lain adalah hiperglikemia hiperosmolar koma nonketotik
(HHNK), dan hipoglikemia.
Komplikasi vaskular jangka panjang DM melibatkan pembuluh darah
kecil (mikroangiopati) dan pembuluh darah sedang dan besar (makroangiopati).
Mikroangiopati merupakan lesi spesifik DM yang menyerang kapiler dan arteriol
retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal (nefropati diabetik) dan saraf perifer
(neuropati diabetik), dan otot serta kulit. Makroangiopati diabetik mempunyai
gambaran histopatologis berupa aterosklerosis (Price dan Wilson, 2006).

Retinopati Diabetik
Retinopati Diabetik (RD) merupakan penyulit penyakit Diabetes mellitus
yang paling ditakuti. Karena insidennya yang cukup tinggi dan prognosa yang
kurang baik bagi penglihatan. Meskipun dapat dihindari dengan mengontrol kadar
gula darah yang baik dan deteksi dini jika ada kelainan pada mata. Efek
perubahan persarafan di retina dan kerusakan aksi insulin di retina dalam
patogenesis awal retinopati dan mekanisme kebutaan.
Diabetik

retinopati

merupakan

penyebab

kebutaan

paling sering

ditemukan pada usia dewasa antara 20 sampai 74 tahun. Pasien diabetes memiliki
resiko 25 kali lebih mudah mengalami kebutaan dibanding nondiabetes. Risiko
mengalami retinopati pada pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya
diabetes. Pada waktu diagnosis diabetes tipe 1 ditegakkan, retinopati diabetic
hanya ditemukan pada kurang dari 5% pasien. Setelah 10 tahun, prevalensi
meningkat menjadi 40-50% dan sesudah 20 tahun lebih dari 90% pasien sudah
menderita retinopati diabetic.

Gambar I.1: Epidemiologi Diabetes Retinopati di Dunia


Pada diabetes tipe 2 ketika diagnosis ditegakkan, sekitar 25% sudah
menderita retinopati diabetic nonproliferatif (background retinopathy). Setelah 20
tahun, prevalensi retinopati diabetic meningkat menjadi lebih dari 60% dalam
berbagai dereajt. Di Amerika utara, 3.6% pasien diabetes tipe 1 dan 1.6% pasien

diabetes tipe 2 mengalami kebutaan total. Di Inggris, sekitar 1000 pasien diabetes
tercatat mengalami kebutaan sebagian atau total setiap tahun.
Pada Negara berkembang, setidaknya 12% kasus kebutaan disebabkan
oleh diabetes. Resiko ini jarang ditemukan pada anak dibawah umur 10 tahun, dan
meningkat setelah pubertas. Hal ini terjadi 20 tahun setelah menderrita diabetes.
Asosiasi diabetes Amerika menyarankan pemeriksaan setahun sekali
(mulai dalam 3 hingga 5 tahun setelah didiagnosis menderita diabetes tipe 1 dan
segera setelah didiagnosis menderita diabetes tipe2) dengan alasan sebagai berikut

Seseorang yang mengidap retinopathy DM tanpa disadari karena penyakit


ini tidak selalu menyebabkan gejala-gejala hingga kerusakan retina makin

parah.
Pengobatan akan lebih efektif jika dilakukan sebelum gejala-gejala dan

komplikasi retinopathy DM berkembang.


Dengan pemeriksaan mata yang teratur, seorang dokter mata dapat
mengetahui dan mengobati sebelum tanda-tanda retinopati berlanjut.
Sayangnya banyak penderita diabetes yang tidak memeriksakan matanya

setahun sekali untuk mengetahui apakah telah mengalami retinopati (atau penyakit
mata lainnya yang disebabkan diabetes). Akibatnya , mereka tidak mengetahui
bahwa mereka telah mengidap retinopati sampai akhirnya kehilangan penglihatan
yang signifikan.

DEFINISI
Diabetic retinopati (DR) adalah suatu mikroangiopati progresif yang
ditandai oleh kerusakan dan subatan pembuluh darah halus yang meliputi arteriol
prekapiler retina, kapiler-kapiler dan vena-vena.

Gambar II.1 Normal Retina dibanding Retinopati Diabetic


EPIDEMIOLOGI
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 2004 melaporkan, 4,8 persen
penduduk di seluruh dunia menjadi buta akibat retinopathy DM. Dalam urutan
penyebab kebutaan secara global, retinopathy DM menempati urutan ke-4 setelah
katarak, glaukoma, dan degenerasi makula (AMD= age-related macular
degeneration).
Diestimasi bahwa jumlah penderita diabetes di seluruh dunia akan
meningkat dari 117 juta pada tahun 2000 menjadi 366 juta tahun 2030. Di Asia
diramalkan diabetes akan menjadi epidemi, disebabkan pola makan masyarakat
Asia yang tinggi karbohidrat dan lemak disertai kurangnya berolahraga.
Akibatnya, kebutaan akibat retinopathy DM juga diperkirakan meningkat secara
dramatis.

Data Poliklinik Mata RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM) yang tidak


dipublikasikan menunjukkan bahwa retinopathy DM merupakan kasus terbanyak
yang dilayani di Klinik Vitreo-Retina. Dari seluruh kunjungan pasien Poliklinik
Mata RSCM, jumlah kunjungan pasien dengan retinopati diabetik meningkat dari
2,4 persen tahun 2005 menjadi 3,9 persen tahun 2006.
Angka kejadian retinopathy DM diabetik dipengaruhi tipe diabetes melitus
(DM) dan durasi penyakit. Pada DM tipe I (insuln dependent atau juvenile DM ),
yang disebabkan oleh kerusakan sel beta pada pankreas, umumnya pasien berusia
muda (kurang dari 30 tahun), retinopati diabetik ditemukan pada 13 persen kasus
yang sudah menderita DM selama kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 90
persen setelah DM diderita lebih dari 10 tahun.
Pada DM tipe 2 (non-insulin dependent DM), yang disebabkan oleh
resistennya berbagai organ tubuh terhadap insulin (biasanya menimpa usia 30
tahun atau lebih), retinopati diabetik ditemukan pada 24-40 persen pasien
penderita DM kurang dari 5 tahun, yang meningkat hingga 53-84 persen setelah
menderita DM selama 15-20 tahun.
ETIOPATOGENESIS
Penyebab pasti DR belum diketahui. Tetapi diyakini bahwa lamanya
terpapar terhadap keadaan hiperglikemia dapat menyebabkan perubahan fisiologis
dan biokimia yang akhirnya menyebabkan kerusakan endotel pembuluh darah.
Hal ini didukung oleh hasil pengamatan bahwa tidak terjadi retinopati pada orang
muda dengan diabetes tipe 1 paling sedikit 3-5 tahun setelah awitan penyakit ini.
Hasil serupa telah diperleh pada diabetes tipe 2, tetapi pada pasien ini onset dan
lama penyakit lebih sulit ditentukan secara tepat.
Perubahan abnormalitas sebagian besar anatomis, hematologi dan
biokimia telah dihubugkan dengan prevalensi dan beratnya retinopati antara lain:

Perubahan anatomis
o Capilaropathy
Degenerasi dan hilangnya sel-sel perisit
Proliferasi sel endotel
8

Penebalam membrane basalis


o Sumbatan microvaskuuler
Arteriovenous shunts
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA)
Neovaskularisasi
Angiogenic growth factor yang menyebabkan pembentukan
pembuluh darah baru pada retina dan discus opticus (pada

proliferative DR) atau pada iris (rubeosis iridis)


Perubahan hematologi:
o Peningkatan sifat agregasi trombosit dan peningkatan agregasi
eritrosit yang meningkatkan abnormalitas serum dan viskositas
darah.
o Abnormalitas lipid serum
o Fibrinolisis yang tidak sempurna
o Abnormalitas dari sekresi growth hormone

Perubahan biokimia
o Jalur poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama akan menyebabkan produksi
berlebihan serta akumulasi dari poliol, yaitu senyawa gula dan
alcohol, dalam jaringan termasuk dilensa dan saraf optic. Salah
satu sifat dari senyawa poliol adalah tidak dapat melewati
membrane basalis sehingga akan tertimbun dalam jumlah banyak
didalam sel. Senyawa poliol menyebabkan penigkatan tekanan
osmotic sel dan menimbulkan gangguan morfologi maupun
fungsional sel.
o Glikasi nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan DNA yang terjadi
selama hiperglikemi dapat menghambat aktivitas enzim dan
keutuhan DNA. Protein yang teroglikosilasi membentuk radikal
bebas dan akan menyebabkan perubahan fungsi sel.
o Protein kinase C
Protein kinase C (PKC) diketahu memiliki pengaruh terhadap
pemeabilitas vascular, kontraktilitas, sintesi membrana basalis dan

proliferasi sel vascular. Dalam kondisi hiperglikemia aktivitas PKC


di retina dan sel endotel meningkat akibat peningkatan sintesi de
novo dari diasilgliserol, suatu regulator PKC yang berasal dari
glukosa.

10

Faktor lain yang terkait dengan diabetes mellitus yang dapat mempengaruhi
prognosis dari DR seperti;

Arteriosklerosis dan hipertensi


Hipoglikemia atau trauma yang dapat menimbulkan perdarahan mendadak
Hiperlipoproteinemi,
mempengaruhi
arteriosklerosis,
sehingga

mempercapat perjalanan penyakit


Kehamilan pada penderita diabetes juvenile yang tergantung pada insulin
dapat menimbulkan perdarahan dan proliferasi.
Frank RN mengemukakan beberapa hipotesis mengenai mekanisme
pathogenesis DR:

Tabel 1: Hipotesis mengenai mekanisme pathogenesis DR


Mekanisme
Aldose reduktas

Cara Kerja
Meningkatkan

Inflamasi

menyebabkan kerusakan sel


inhibitor
Meningkatkan perlekatan leukosit Aspirin
pada

endotel

produksi

kapiler,

Terapi
sorbitol, Aldose

reduktase

hipoksia,

11

Protein Kinase C

kebocoran, edema macula


Mengaktifkan VEGF, diaktifkan oleh Inhibitor

ROS

DAG pada hiperglikemia


PKC -isoform
Menyebabkan kerusakan enzim dan Antioksidan

terhadap

komponen sel yang penting untuk


survival
Mengaktifkan enzim yang merusak
Aminoguanidin
Meningkatkan
produksi
radikal Aminoguanidin

AGE
NOS

bebas, menghambat ekspresi gen,


menyebabkan
Apoptosis

hambatan

dalam

metabolisme sel
sel Penurunan aliran darah ke retina,

perisit dan sel meingkatkan hipoksia


endotel
VEGF

Meningkatkan

hipoksia

menimbulkan

kebocoran,

retina, Fotokoagulasi

pan

edema retinal

PEDF

macula, neovaskularisasi
Menghambat vaskularisasi, menurun

GH dan IGF-1

pada hiperglikemia
Merangsang neovaskularisasi

Hipofisektomi,
receptor

GH-

blocker,

octreotide
Growth hormone
Growth hormone diduga berperan penting pada progresifitas diabetic
retinopathy. Kejadian retinopathy DM ternyata sangat rendah pada wanita dengan
perdarahan post partum akibat nekrosis pituitari. Penemuan ini memicu
dilakukannya ablatio kelenjar pituitari sebagai tindakan pencegahan dan
pengobatan pada retinopathy DM pada tahun 1950. Teknik pengobatan tersebut
sudah dilarang karena ternyata menimbulkan komplikasi sistemik dan seiring
ditemukannya teknik pengobatan laser.
Platelets dan blood viscosity

12

Berbagai kelainan hematologi pada DM seperti peningkatan agregasi


eritrosit, penurunan deformability eritrosit, meningkatnya agregasi trombosit dan
adhesi memicu gangguan sirkulasi, defek endotel dan oklusi kapiler fokal yang
menyebabkan iskemia retina yang pada akhirnya berkembang menjadi
retinopathy DM.
Aldose reductase dan vasoproliferative factors
DM menyebabkan abnormalitas dari metabolisme glukosa akibat aktivitas
atau produksi insulin yang menurun. Meningkatnya kadar glukosa darah
mempunyai dampak pada perubahan anatomis dan fungsional dari kapiler retina.
Pada DM terjadi persistensi kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan
glukosa yang berlebih dalam aldose reductase pathway terbentuk di jaringan,
yang mengubah gula menjadi alkohol (glukosa menjadi sorbitol, galaktosa
menjadi dulcitol). Perisit intramural pada kapiler retina terkena pengaruh dari
peningkatan kadar gula darah oleh karena kadar aldosteron reduktse yang tinggi
memicu hilangnya fungsi utama dari perisit dalam hal autoregulasi kapiler retina.
Hilangnya fungsi dari perisit menyebabkan kelemahan dinding kapiler sehingga
terbentuk kantung pada dinding kapiler (saccular outpouching of capillary walls)
yang dikenal sebagai mikroaneurisma. Mikroaneurisma merupakan tanda paling
awal untuk deteksi retinopathy DM.

Gambar II.2 Fundus pada Background Retinopathy DM dengan gambaran


multipel mikroaneurisma (Bhavsar, 2009)

13

Ruptur mikroaneurisma menyebabkan perdarahan retina yang dapat terjadi


superfisial (flame-shaped hemorrhages) atau pada lapisan retina yang lebih dalam
(blot and dot hemorrhages).

Gambar II.3 Background diabetic retinopathy: blot hemorrhages (kepala


panah), mikroaneurisma (panah pendek) dan hard exudates (panah panjang)
(Bhavsar, 2009)
Peningkatan permeabilitas yang terjadi menyebabkan kebocoran cairan
dan material protein yang secara klinis tampak sebagai penebalan retina dan
eksudat. Apabila pembengkakan dan eksudasi mencakup makula maka terjadi
penurunan visus. Edema makula adalah penyebab tersering penurunan visus pada
pasien dengan nonproliferative diabetic retinopathy (NPDR). Gejala tersebut tidak
hanya ditemukan pada pasien denan NPDR namun juga dapat terjadi pada pasien
proliferative diabetic retinopathy (PDR).
Seiring dengan progesifitas penyakitnya dapat terjadi oklusi dari kapiler
retina yang dapat menyebabkan hipoksia. Infark pada nerve fiber layer dapat
menyebabkan terbentukanya cotton-wool spots (CWS) yang berhubungan dengan
stasis pada axoplasmic flow. Keadaan hipoksia retina lebih lanjut menyebabkan
terjadinya mekanisme kompensasi pada mata untuk menjaga suplai oksigen yang
cukup ke jaringan. Kelainan diameter vena seperti venous beading, loops, dan
dilation menandakan proses peningkatan hipoksia dan hampir selalu tampak pada
perbatasan dengan area non perfusi.
Intraretinal microvascular abnormalities (IRMA) menandakan adanya
proses pertumbuhan pembuluh darah baru atau remodelling dari pembuluh darah

14

sebelumnya melalui proliferasi endotel pada jaringan retina yang berperan sebagai
pintas (shunt) melalui daerah non perfusi. Keadaan iskemia retina lebih lanjut
memicu produksi dari faktor vasoproliferatif seperti vascular endothelial growth
factor (VEGF) yang memicu pembentukan pembuluh darah baru. Matriks
ekstraselular pertama-tama dihancurkan dahulu dengan protease dan pembuluh
darah baru kemudian dibentuk melalui penetrasi venula retina pada internal
limiting membrane dan dari jaringan kapiler antara permukaan dalam retina dan
bagian posterior hyaloid (the posterior hyaloid face).

Gambar II.4 Neovaskularisasi pada Permukaan Retina (Bhavsar, 2009)


Neovaskularisasi sering ditemukan pada perbatasan area perfusi dan non
perfusi dan juga pada papila nervi opticus. Neovaskularisasi tumbuh menembus
permukaan retina dan ke dalam hyaloid posterior (the scaffold of the posterior
hyaloid face). Pembuluh darah baru tersebut jarang menimbulkan gangguan
visual. Pembuluh darah tersebut rapuh dan bersifat sangat permeabel sehingga
gampang pecah oleh traksi vitreus yang menyebabkan perdarahan ke dalam
vitreus dan ruang pre retina. Neovaskularisasi ini berhubungan dengan
pembentukan jaringan fibroglial. Densitas dari neovaskular meningkat begitu pula
dengan jaringan fibrotik namun pada tahapan yang lebih lanjut pembuluh darah
ini mengalami regresi dan meninggalkan jaringan fibrotik avaskuler yang melekat
pada retina dan hyaloid posterior. Pada saat terjadi kontraksi vitreus makan terjadi
traksi pada retina melalui jaringan fibroglial yang dapat menyebabkan edema
retina, heterotropia retina dan tractional retinal detachments serta retinal tear
formation (Bhavsar, 2009).
15

PATOFISIOLOGI
Retina, atau disebut juga tunica nervosa bulbi adalah lapisan terdalam dari
bola mata. Merupakan lapisan yang tipis, halus, bening dan tembus pandang.
Menurut fungsinya retina dibagi menjadi:

Pars optica retinae, merupakan bagian retina yag mempunyai sel khusus

penerima rangsang cahaya


Pars coeca retinae, merupakan bagian dari retina yang tidak mempunyai
sel khusus. Termasuk disini yaitu:
o Pars ciliaris retinae
o Pars iridis retinae

Batas antara pars optica dan pars coeca adalah ora serata.
Retina dibagi menjadi 10 lapisan, tetapi hanya 3 lapisan neuron retina
yang menerima, mengintegrasikan dan meneruskan signal visual ke otak sebagai
impuls, yaitu sel fotoreseptor (sel kerucut dan batang), sel bipolar, dan sel
ganglion.

Epithelium pigmentalis atau stratum pigmenti retinae


Stratum coni at bacilli
Membrana limitans externa
Stratum granularis externa
Stratum plexiformis externa
Stratum granularis interna
Stratum plexiformis interna
Stratum ganglionaris
Stratum N.optici
Membrana limitans interna
Kesehatan dan aktivitas metabolisme retina sangat tergantung pada

jaringan kapiler retina. Kapiler retina membentuk jaringan yang menyebar


keseluruh permukaan retina kecuali pada fovea. Kelainan dasar dari berbagai
bentuk DR terletak pada kapiler retina tersebut.
16

Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan dari luael. Sel perisit dan sel
endotel dihubungkan oleh pori yang terdapat pada membrane sel yang terletak
diantara keduanya. Dalam keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan
sel endotel kapiler retina adalah 1:1, sedangkan pada kapiler perifer yang lain
perbandingan tersebut mencapai 20:1.
Sel perisit berfungsi untuk mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membantu mempertahankan fungsi barier dan transportasi kapiler
serta mengendalikan proliferasi endotel. Membrane basalis berfungsi sebagai
barier dengan mempertahankan permeabilitas kapiler agar tidak terjadi kebocoran.
Sel endotel saling berikatan erat satu sama lain dan bersama-sama dengan matriks
ekstrasel membentuk barier yang bersifat selektif terhadap beberapa jenis protein
dan molekul kecil termasuk bahan kontras fluorosensi yang digunakan untuk
diagnosis penyakit kapiler retina.
Perubahan histopatologis kapiler retina pada DR dimulai dari penebalan
membrane basalis, hilangnya perist dan proliferasi endotel dimana pada keadaan
lanjut perbandingan antara sel endotel dan sel perisit dapat mencapai 10:1.
Patofisiologi DR melibatkan 5 proses dasar yang terjadi di tingkat kapiler:

Pembentukan microaneurisma
Peningkatan permeabilitas pembuluh darah
Penyumbatan pembuluh darah
Proliferasi pembuluh darah baru (neovasularisasi) dan jaringan fibrosa di

retina
Kontraksi dan jaringan fibrosis kapiler dan jaringan vitreus.
Penyumbatan dan hilangnya perfusi (nonperfusion) menyebabkan iskemia

retina, sedangkan kebocoran dapat terjadi karena peningkatan permeabilitas


kapiler itu sendiri.
Kebutaan akibat DR dapat terjadi melalui beberapa mekanisme berikut

Edema macula atau nonperfusi kapiler


Pembentukan pembuluh darah baru pada DR proliferative dan kontraksi

jaringan fibrosis yang menyebabkan ablation retina (retinal detachment)


Pembuluh darah batu yang terbentuk menimbulkan perdarahan preretina
dan vitreus

17

Pembentukan pembuluh darah baru dapat menimbulkan glaucoma


Mula-mula didapatkan kelainan pada kapiler vena, dimana dindingnya

menebal dan mempunyai afinitas yang besar terhadap fluoresein. Keadaan ini
menebal, untuk waktu yang lama tanpa mengganggu penglihatan. Dengan
melemahnya dinding kapiler, maka akan mudah terbentuk mikroaneurisma. Mulamula keadaan ini terlihat pada daerah kapiler vena sekitar macula, yang tampak
sebagai titik-titik merah (dots) pada oftalmoskopi. Adanya 1-2 mikroaneurisma
sudah cukup untuk mendiagnosis DR. Pada keadaan lanjut mikroaneurisma
didapatkan sama banyak pada kapiler retina maupun arteri. Mikroaneurisma
tersebut menimbulkan kebocoran, yang tempak sebagai edema, eksudat,
perdarahan (dots/ blots).
Adanya edema dapat mengancap ketajaman penglihatan jika terdapat pada
daerah macula. Edema yang ringan dapat diabsorbsi, tetapi yang hebat dan lama
dapat menimbulkan degenerasi kistoid. Bila degenerasi kistoid ini ditemukan pada
makula (cystoid macular edema). Kebutaan yang terjadi adalah ireversibel.
Perdarahan selain akibat kebocoran juga disebabkan oleh karena pecahnya
mikroaneurisma. Kebocoran akibat mikroaneurisma dapat disertai dengan
bocornya lipoprotein, yang tampak sebagai eksudat keras (hard exudates),
menyerupai lilin putih kekuning-kuningan berkelompok seperti lingkaran atau
cincin disekitar macula.
Akibat dari perubahan isi dan dinding pembuluh darah, dapat
menimbulkan peyumbatan yang dimulai dikapiler, ke arteriol, dan pembuluh
darah besar. Akibat dari penyumbatan dapat tumbul hipoksia di ikuti dengan
adanya iskemi kecil, dan timbulnya kolateral. Hipoksia mempercepat timbulnya
kebocoran, neovasularisasi,dan mikroaneurisma yang baru. Akibat hipoksia,
timbul eksudat lunak yang disebut cotton wool spots/ patch yang merupakan
bercak necrosis.
Pembuluh darah vena melebar dengan lumen dan diameter yang tidak
teratur. Disini juga terjadi kebocoran dan penyumbatan, sehingga dapat ditemukan
perdarahan disepanjang pembuluh darah vena. Gangguan aliran darah vena juga
merangsang timbulnya pembuluh darah baru yang dapat timbul dari pembuluh
18

darah yang ada di papil atau lengkung pembuluh darah, tetapi selanjutnya dapat
timbul dimana saja. Bentuknya dapat berupa gulungan atau berupa rete mirabile.
Letaknya intraretina, menjalar menjadi preretina, intravitreal. Neovaskularisasi
preretina dapat diikuti oleh proliferasi sel glia. Dapat juga timbul arterio-venous
shunts yang abnormal akibat pengurangan aliran darah arteri karena obstruksi
arteriol.
Neovaskularisasi disertai dengan tingkat kebocoran yang tinggi, kemudian
diikuti dengan jaringan proliferasi. Bila jaringan fibrovaskuler ini mengkerut
dapat menimbulkan perdarahan dan juga tarikan pada retina sehingga dapat
menyebabkan ablasi retina tipe tarikan, dengan atau tanpa robekan. Hal ini dapat
menimbulkan penurunan ketajaman penglihatan sampai kebutaan.
Perdarahan yang timbul dalam badan kaca dapat menyebabkan glaucoma
hemoragikum,

yang

sangat

sakit

dan

cepat

menimbulkan

kebutaan.

Neovaskularisasi dapat timbul pada iris yang disebut dengan rubeosis iridis, yang
dapat menimbulkan glaucoma sudut terbuka akibat tertutupnya sudut iris oleh
pembuluh darah baru atau dapat juga karena pecahnya rubeoisis iridis.

KLASIFIKASI

19

Berkaitan dengan prognosis dan pengobatan, DR dibagi menjadi (menurut Early


Treatment Diabetic Retinopathy Study):

Gambar II.5 Stadium Retinopati Diabetik


1. Retinopati

Diabetik Non Proliferatif, atau dikenal juga dengan

Background Diabetic retinopathy. Ditandai dengan: mikroaneurisma,


perdarahan retina, eksudat, IRMA, dan kelainan vena
a. Minimal: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma,
perdarahan intraretina yang kecil atau eksudat keras
b. Ringan-sedang: terdapat 1 tanda berupa dilatasi vena derajat
ringan, perdarahan, eksudat keras, cotton wool spots, IRMA
c. Berat: terdapat 1 tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma
pada 4 kuadran retina, dilatasi vena pada 2 quadran atau IRMA
pada 1 quadran
d. Sangat berat: ditamukan 2 tanda pada derajat berat.
2. Retinopati Diabetik Proliferatif. Ditandai dengan neovaskularisasi.
a. Ringan (tanpa resiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya
neovaskular pada discus (NVD) yang mencakup < dari daerah
diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus, atau

20

neovaskularisasi dimana saja diretina (NVE) tanpa disertai


perdarahan preretina atau vitreus.
b. Berat (resiko tinggi): apabila ditemukan 3 atau 4 dari faktor resiko
sebagai berikut
i. Ditemukan NVE
ii. Ditemukan NVD
iii. Pembuluh darah baru yang tergolong sedang atau berat
yang mencakup > daerah diskus
iv. Perdarahan vitreus
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada discus opticus atau
setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai perdarahan,
merupakan 2 gambaran yang paling seing ditemukan pada
retinopati proliferative resiko tinggi.

Airlie House Convention membagi DR menjadi 3:


1. Stadium nonproliferatif
2. Stadium preproliferatif
3. Stadium proliferatif
Pembagian stadium menurut Daniel Vaughan dkk:

Stadium I
Mikroaneurisma yang merupakan tanda khas, tampak sebagai perdarahan
bulat kecil didaerah papil dan macula
o Vena sedikit melebar
o Histologis didapatkan mikroaneurisma dikapiler bagian vena
didaerah nuclear luar

Stadium II
o Vena melebar
o Eksudat kecil-kecil, tampak seperti lilin, tersebar atau terkumpul
seperti bunga (circinair/ rosette) yang secara histologist terletak

didaerah lapisan plexiform luar


Stadium III
21

Stadium II dan cotton wool patches, sebagai akibat iskemia pada arteriol
terminal. Diduga bahwa cotton wool patches terdapat bila disertai

retinopati hipertensif atau arteriosklerose.


Stadium IV
Vena-vena melebar, cyanosis, tampak sebagai sosis, disertai dengan
sheathing pembuluh darah. Perdarahan nyata besar dan kecil, terdapat pada

semua lapisan retina, dapat juga preretina.


Stadium V
Perdarahan besar diretina dan preretina dan juga didalam badan kaca yang
kemudian diikuti dengan retinitis proliferans, akibat timbulnya jaringan
fibrotic yang disebtai dengan neovaskularisasi. Retinitis proliferans ini
melekat pada retina yang bila mengkerut dapat menimbulkan ablasi retina
dan dapat mengakibatkan terjadinya kebutaan total.

Klasifikasi menurut FKUI

Derajat I: terdapat mikroaneurisma dengan atau tanpa fatty exudates pada

fundus okuli
Derajat II: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak dengan

atau tanpa fatty exudates pada fundus okuli


Derajat III: terdapat mikroaneurisma, perdarahan bintik dan bercak,

neovaskularisasi, proliferasi pada fundus okuli.


Jika gambaran fundus dikedua mata tidak sama, maka penderita tergolong
pada derajat berat.

GEJALA KLINIS
Gejala subjekif yang dapat ditemui berupa:

Kesulitan membaca
Penglihatan kabur
Penglihatan tiba-tiba menurun pada satu mata
Melihat lingkaran cahaya
Melihat bintik gelap dan kelap-kelip

22

Gejala objektif yang dapat ditemukan pada retina:

Mikroaneurisma, merupakan penonjololan dinding kapiler terutama daerah


vena dengan bentuk berupa bintik merah kecil yang terletak dekat

pembuluh darah terutama polus posterior


Perdarahan dapat dalam bentuk titik, daris dan becak yang biasanya
terletak dekat mikroaneurisma di polus posterior.
o Retinal nerve fiber layer haemorrhage (flame shapped). Terletak
superficial, searah dengan nerve fiber.
o Intraretinal haemorrhages. Dot-blot haemorrhage terletak pada end

artery, dilapisan tengah dan compact.


Dilatasi pembuluh darah dengan lumen yang ireguler dan berkelok-kelok
Hard exudates yang merupakam infiltrasi lipid kedalam retina.
Gamabarannya kekuning-kuningan, pada permulaan eksudat pungtata,
membesar kemudian bergabung. Eksudat ini dapat muncul dan hilang

dalam beberapa minggu.


Soft exudates (cotton wool patches). Pada pemeriksaan oftalmoskopi akan
terlihat becak kuning bersifat difus dan berwarna putih. Biasanya terletak

dibagian tepi daerah nonirigasi dan dihubungkan dengan iskemia retina.


Neovaskularisasi. Terletak pada permukaan jaringan. Tampak sebagai
pembuluh yang berkelok-kelok, dalam, berkelompok, dan ireguler. Mulamula terletak pada jaringan retina, kemudian berkembang kearah
preretinal, ke badan kaca. Jika pecah dapat menimbulkan perdarahan

retian, perdarahan subhialoid (preretinal) maupun perdarahan badan kaca.


Edema retina dengan tanda hilangnya gambaran retina terutama daerah
macula sehingga sangat mengganngu tajam pengelihatan.

PEMERIKSAAN KLINIS
Anamnesis
Pada tahap awal retinopathy DM tidak didapatkan keluhan. Pada tahap
lanjut dari perjalanan penyakit ini, pasien dapat mengeluhkan penurunan tajam
penglihatan serta pandangan yang kabur.

23

Pemeriksaan oftalmologi
Temuan pemeriksaan oftalmologi pada retinopathy DM dapat dibagi menurut
Diabetic Retinopathy Severity Scale :

Tidak tampak adanya tanda-tanda retinopathy

Nonproliferative retinopathy

Gambar II.6 Moderate nonproliferative diabetic retinopathy dengan


mikroaneurisma dan cotton-wool spots (Ehlers, Shah, 2008)

Gambar II.7 Proliferative Diabetic Retinopathy dengan neovaskularisasi


dan scattered microaneurysm (Ehlers, Shah, 2008)

24

Gambar II.8

Proliferative Diabetic Retinopathy dengan

neovaskularisasi pada diskus optikus (Ehlers, Shah, 2008)

Diabetic maculopathy dan Diabetic macular edema (DME)


Diabetic maculopathy tampak sebagai penebalan retina fokal atau
difus yang diakibatkan oleh rusaknya inner bloodretinal barrier pada
endotel kapiler retina yang memicu terjadinya kebocoran plasma ke
sekeliling retina. Hal tersebut lebih sering ditemukan pada DM tipe II dan
memmerlukan terapi. Diabetic maculopathy dapat diakibatkan iskemia
yang ditandai dengan edema makula, perdarahan yang dalam dan eksudasi.
FFA menunjukkan hilangnya kapiler retina dan bertambah luasnya daerah
avaskular pada fovea (Eva, Whitcher, 2007).
Dapat terjadi pada tiap tahapan dari retinopathy DM (Ehlers, Shah, 2008).
Edema makula yang signifikan secara klinis (Clinically significant
macular edema (CSME)) ditetapkan apabila teradapat satu dari beberapa
kriteria berikut :
o Penebalan retina dalam jarak 500 m (satu per tiga ukuran disc) dari
fovea centralis.
o Hard exudates pada jarak 500 m dari fovea centralis apabila
berhubungan dengan penebalan retina.
o Penebalan retina lebih besar dari ukuran disc dan bagian dari
penebalan itu mencakup area disc pada fovea centralis (Ehlers, Shah,
2008).

25

Gambar II.9 Nonproliferative Diabetic Retinopathy dengan edema


macula signifikan (Ehlers, Shah, 2008)

Gambar II.10

Gambaran edema makula (Ehlers, Shah, 2008)

DIFERENSIAL DIAGNOSIS

Branch Retinal Vein Occlusion


Central Retinal Vein Occlusion
Macular drussen: Bilateral, titik kekuningan focal yang dapat di salah
artikan sebagai hard exudate. Namun pada kelainan ini, titik-titik tersebut

tidak membentuk sebagai rosette.


Hypertensive retinopathy: terdapat tanda khas yang berupa oedema retinal
bilateral, terdapat eksudat keras dan flame shapped haemorrages dan dapat
bersamaan dengan adanya BDR (background diabetic retinopathy).

26

Namun hard exudates membentuk macular star dan tidak membentuk

cincin.
Retinal artery macroaneurysm: terdapat oedem retina, hard exudates, dan

haemorrhages, namun biasanya unilateral dan perubahan lebih terlokalisir.


Ocular Ischemic Syndrome (Bhavsar, 2009, Kanski, 2007)

PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
Glukosa puasa dan Hemoglobin A1c (HbA1c) merupakan tes laboratorium
yang sangat penting yang dilakukan untuk membantu mendiagnosis diabetes.
Kadar HbA1c juga penting pada follow-up jangka panjang perawatan pasien
dengan

diabetes

dan

retinopati

diabetik.

Mengontrol

diabetes

dan

mempertahankan level HbA1c pada range 6-7% merupakan sasaran pada


manajemen optimal diabetes dan retinopati diabetik. Jika kadar normal
dipertahankan, maka progresi dari retinopati diabetik bisa berkurang secara
signifikan.
Pencitraan
Angiografi fluoresensi fundus (Fundus Fluorescein Angiography (FFA))
merupakan pemeriksaan tambahan yang tidak terhingga nilainya dalam diagnosis
dan manajemen retinopathy DM :
o

Mikroaneurisma akan tampak sebagai hiperfluoresensi pinpoint yang tidak


membesar tetapi agak memudar pada fase akhir tes.
o

Perdarahan

berupa

noda

dan

titik

bisa

dibedakan

dari

mikroaneurisma karena mereka tampak hipofluoresen.


o

Area yang tidak mendapat perfusi tampak sebagai daerah gelap


homogen yang dikelilingi pembuluh darah yang mengalami oklusi.

27

IRMA (Intra Retinal Microvascular Abnormality) tampak sebagai


pembuluh darah yang tidak bocor, biasanya ditemukan pada batas
luar retina yang tidak mendapat perfusi.

Gambar II.11

Gambaran FFA pada Retinopathy DM

(www.kenteyesurgery.co.uk/a-z-of-eyes-view.php?/diabeticretinopathy)
Tes lainnya
Tes yang lain meliputi optical coherence tomography (OCT), yang
menggunakan cahaya untuk menghasilkan bayangan cross-sectional dari
retina. Uji ini digunakan untuk menentukan ketebalan retina dan ada atau
tidaknya pembengkakan di dalam retina akibat tarikan vitreomakular. Tes
ini juga digunakan untuk diagnosis dan penatalaksanaan edema makular
diabetik atau edema makular yang signifikan secara klinis.

Gambar II.12 Optical Coherence Tomography Menunjukaan Abnormalitas


Ketebalan Retina (revophth.com)
28

PENATALAKSANAAN
Perawatan Medis

Pengendalian glukosa: pengendalian glukosa secara intensif pada pasien


dengan DM tergantung insulin (IDDM) menurunkan insidensi dan
progresi retinopathy DM. Walaupun tidak ada uji klinis yang sama untuk
pasien dengan DM tidak tergantung insulin (NIDDM), sangat logis untuk
mengasumsikan bahwa prinsip yang sama bisa diterapkan. Faktanya, ADA
menyarankan bahwa semua diabetes (NIDDM dan IDDM) harus
mempertahankan level hemoglobin terglikosilasi kurang dari 7% untuk
mencegah atau paling tidak meminimalkan kompilkasi jangka panjang dari
DM termasuk retinopathy DM.

The Early Treatment for Diabetic Retinopathy Study

(ETDRS)

menemukan bahwa 650 mg aspirin setiap harinya tidak memberikan


keuntungan dalam pencegahan progresi retinopati diabetik. Sebagai
tambahan, aspirin tidak diobservasi dalam mempengaruhi insidensi
perdarahan vitreus pada pada pasien yang memerlukannya untuk penyakit
kardiovaskular atau kondisi yang lain.

Terapi Bedah
Diperkenalkannya fotokoagulasi laser pada tahun 1960an dan awal 1970an
menyediakan modalitas terapi noninvasif yang memiliki tingkat komplikasi yang
relatif rendah dan derajat kesuksesan yang signifikan. Metodenya adalah dengan
mengarahkan energi cahaya dengan fokus tinggi untuk menghasilkan respon
koagulasi pada jaringan target. Pada nonproliferative diabetic retinopathy

29

(NPDR), terapi laser diindikasikan pada terapi CSME. Strategi untuk mengobati
edema macular tergantung dari tipe dan luasnya kebocoran pembuluh darah.

Jika edema adalah akibat dari kebocoran mikroaneurisma spesifik,


pembuluh darah yang bocor diterapi secara langsung dengan fotokoagulasi
laser fokal.

Pada kasus dimana fokus kebocoran tidak spesifik, pola grid dari laser
diterapkan.

Terapi lainnya yang potensial untuk diabetic macular edema (DME)


meliputi intravitreal triamcinolone acetonide (Kenalog) dan bevacizumab
(Avastin). Kedua medikasi ini bisa menyebabkan penurunan atau resolusi
macular edema.
Fokus pengobatan bagi pasien retinopathy DM non proliferative tanpa

edema makula adalah pengobatan terhadap hiperglikemia dan penyakit sistemik


lainnya. Terapi laser argon fokal terhadap titik-titik kebocoran retina pada pasien
yang secara klinis menunjukkan edema bermakna dapat memperkecil resiko
penurunan penglihatan dan meningkatkan fungsi penglihatan. Sedangkan mata
dengan edema makula diabetik yang secara klinis tidak bermakna maka biasanya
hanya dipantau secara ketat tanpa terapi laser.
Untuk proliferative retinopathy DM biasanya diindikasikan pengobatan
dengan fotokoagulasi panretina laser argon, yang secara bermakna menurunkan
kemungkinan perdarahan masif korpus vitreum dan pelepasan retina dengan cara
menimbulkan regresi dan sebagian kasus dapat menghilangkan pembuluhpembuluh baru tersebut. Kemungkinan fotokoagulasi panretina laser argon ini
bekerja dengan mengurangi stimulus angiogenik dari retina yang mengalami
iskemik. Tekniknya berupa pembentukan luka-luka bakar laser dalam jumlah
sampai ribuan yang tersebar berjarak teratur di seluruh retina, tidak mengenai
bagian sentral yang dibatasi oeh diskus dan pembuluh vaskular temporal utama.
Di samping itu peran bedah vitreoretina untuk proliferative retinopathy
DM masih tetap berkembang, sebagai cara untuk mempertahankan atau
memulihkan penglihatan yang baik.

30

Gambar II.13

Laser Fotokoagulasi (emedicine.medscape.com)

Diet
Diet makan yang sehat dengan makanan yang seimbang penting untuk
semua orang dan terutama untuk pasien diabetes. Diet seimbang bisa membantu
mencapai pengontrolan berat badan yang lebih baik dan juga pengontrolan
diabetes.
31

Aktivitas
Mempertahankan gaya hidup sehat dengan olah raga yang teratur penting
untuk semua individu, terutama individu dengan diabetes. Olah raga bisa
membantu dengan menjaga berat badan dan dengan absorpsi glukosa perifer. Hal
ini dapat membantu meningkatkan kontrol terhadap diabetes, dan dapat
menurunkan komplikasi dari diabetes dan retinopathy DM.

Medikamentosa
Beberapa obat-obatan yang belum resmi digunakan untuk terapi retinopati
diabetik. Obat-obatan ini dimasukkan ke dalam mata melalui injeksi intravitreus.
Intravitreal triamcinolone digunakan dalam terapi edema makular diabetik.
Uji klinis dari Diabetic Retinopathy Clinical Research Network
(DRCR.net) menunjukkan bahwa, walaupun terjadi penurunan pada edema
makular setelah triamcinolone intravitreal tetapi efek ini tidak secepat yang
dicapai dengan terapi laser fokal. Sebagai tambahan, triamcinolone intravitreal
bisa memiliki beberapa efek samping, seperti respon steroid dengan peningkatan
tekanan intraocular dan katarak.
Obat-obatan lain yang digunakan pada praktek klinis dan uji klinis
meliputi bevacizumab intravitreal (Avastin) dan ranibizumab (Lucentis). Obatobatan ini merupakan fragmen antibodi dan antibodi VEGF. Mereka bisa
membantu mengurangi edema makular diabetic dan juga neovaskularisasi diskus
atau retina. Kombinasi dari beberapa obat-obatan ini dengan terapi laser fokal
sedang diinvestigasi dalam uji klinis.
PERJALANAN KLINIS DAN PROGNOSIS

Pasien DRNP minimal dengan hanya ditandai mikroaneurisma yang jarang


memiliki prognosis baik sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang
setiap 1 tahun.
32

Pasien yang tergolong DRNP sedang tanpa disertai oedema macula perlu
dilakukan pemeriksaan ulang setiap 6-12 bulan karena sering bersifat

progresif.
Pasien DRNP derajat ringan sampai sedang dengan disertai edema macula
yang secara klinik tidak signifikan perlu dilakukan pemeriksaan ulang
setiap 4-6 bulan karena dapat berkembang menjadi clinically significant

macular edema (CSME).


Untuk pasien DRNP dengan CSME harus dilakukan fotokoagulasi.
Dengan terapi fotokoagulasi, resiko kebutaan untuk grup pasien ini dapat

berkurang 50%.
Pasien DRNP berat beresiko tinggi untuk menjadi DRP. Separuh dari
pasien DRNP berat akan berkembang menjadi DRP dalam 1 tahun adalah
75% dimana 45% diantaranya tergolong DRP resiko tinggi. Oleh sebab itu
pasien DRNP sangat berat perlu dilakukan pemeriksaan ulangan tiap 3-4

bulan.
Pasien dengan DRP resiko tinggi harus segera diterapi fotokoagulasi.

Teknik yang dilakukan adalah scatter photocoagulation


Pasien DRP resiko tinggi yang disertai CSME terapi mula-mula
menggunakan metode focal atau panretinal (scatter). Oleh karena metode
fotokoagulasi metode panretina dapat menimbulkan eksaserbasi dari
edema macula, maka untuk terapi dengan metode ini harus dibagi menjadi
2 tahap.

Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi prognosis:

Faktor prognostik yang menguntungkan


o

Eksudat yang sirkuler.

Kebocoran yang jelas/berbatas tegas.

Perfusi sekitar fovea yang baik.

Faktor prognostik yang tidak menguntungkan


o

Edema yang difus / kebocoran yang multiple.

Deposisi lipid pada fovea.

Iskemia macular.

33

Edema macular kistoid.

Visus preoperatif kurang dari 20/200.

Hipertensi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Bhavsar AR., Drouilhet JH. Background Retinopathy Diabetic.
Downloaded from: www.e-medicine.com. 2009.
2. Bhavsar AR., Drouilhet JH. Proliferative Retinopathy Diabetic. emedicine. 2009.
3. Crick RP., Khaw PT. A Text Book of Clinical Ophtalmology.3rd edition.
Singapore: World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd. 2003.
4. Ehlers JP., Shah CP. Wills Eye Manual, The: Office and Emergency Room
Diagnosis and Treatment of Eye Disease. 5th Edition. New York:
Lippincott Williams & Wilkins.2008.
5. Eva PR., Whitcher JP. Vaughan & Asbury's General Ophthalmology.17th
Edition. New York: The McGraw-Hill Companies.2008.
6. Ilyas S, 006. Ilmu Penyakit Mata. Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta
7. James B dkk, 2006. Oftalmologi, lecture Notes. Edisi ke-9. Erlangga:
Jakarta
8. Lubis, Rodiah Rahmawati, 2008. Diabetik Retinopati. Universitas
Sumatera Utara: Medan
34

9. Pandeaki K. 2007. Retinopati Diabetik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit


Dalam. Edisi IV Jilid III. Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta
10. Price and Wilson. 2006 .Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus.
Patofisiologi Volume 2. EGC: Jakarta
11. Riodan-Eva P. In: Vaughan DG, Asbury T, Riodan-Eva P, editors.
Oftalmologi umum: anatomi dan embriologi mata. 14th ed. Jakarta.
Penerbit Widya Merdeka; 1996.

35

Anda mungkin juga menyukai