Anda di halaman 1dari 38

1

I.

REKAM MEDIS
A. Anamnesis Umum
1. Identifikasi
Nama

: Ny. Fra

Umur

: 36 tahun

Alamat

: Belitang OKU Sumatera Selatan

Suku Bangsa

: Sumatera

Agama

: Islam

Pendidikan

: SLTA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

Kontrol ke Poli

: 21 Mei 2009, Pukul 09.00 WIB

Medical record

: 27.68.11

2. Riwayat perkawinan
Kawin 1 kali, lamanya 1 tahun
3. Riwayat reproduksi
Penderita menars pada usia 12 tahun, dengan siklus haid teratur, 28 hari, lama haid
lebih kurang 5 hari. Hari pertama haid terakhir 13 September 2008. Taksiran
Persalinan 20 Juni 2009.
4. Riwayat kehamilan/melahirkan
G1P0A0 : 1. Hamil ini
5. Riwayat penyakit dahulu : disangkal
6. Riwayat gizi atau sosial ekonomi : Sedang
B. Anamnesis Khusus
Keluhan utama

: Hamil cukup bulan dengan tersangka HIV

Riwayat perjalanan panyakit :


Penderita datang ke Poliklinik Obstetri RS Moh. Hoesin Palembang dengan surat
pengantar SpOG agar melahirkan di rumah sakit akibat penyakit yang kemungkinan
dideritanya dari suaminya yang mengidap HIV. Penyakit suaminya ini diketahui sejak
bulan Februari 2008 dari hasil pemeriksaan laboratorium. Tetapi saat itu CD4-nya masih
di atas 800/ml. Pada tanggal 5 Mei 2009, os dirawat di rumah sakit swasta karena
penyakit batuk-batuk dan sesak nafas. Sewaktu perawatan terakhir ini, suami os
diperiksa lagi kadar CD4-nya, dan hasilnya hanya 147/ml. Pemeriksaan antibodi HIV
pun dilakukan terhadap dirinya pada tanggal 5 Mei 2009 dan hasilnya negatif. Saat ini

2
Os. mengaku hamil cukup bulan, gerakan anak masih dirasakan. Riwayat perut mules
yang menjalar ke pinggang yang makin lama makin sering dan kuat (-), riwayat keluar
darah lendir (-), riwayat keluar air-air (-). Riwayat demam tinggi (-), riwayat sakit
kepala yang disertai nyeri sendi dan otot (-), riwayat mual muntah dan diare (-).
Riwayat darah tinggi juga tidak ada.
C. Pemeriksaan Fisik
1.

Status Presens
Keadaan umum

: sedang

Nadi

: 80 x/m

Kesadaran

:compos mentis

Pernafasan

: 20 x/m

Tipe badan

: atletikus

Suhu

: 36,60 C

Berat badan

: 53 Kg

Edema pretibial : -/-

Tinggi badan

: 150 cm

Reflek fisiologi : normal/normal

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Reflek patologi : - / -

2. Status obstetrik
Pemeriksaan luar :
Tinggi fundus uteri 3 jari bawah processus xyphoideus (30 cm), memanjang,
punggung kiri, presentasi kepala, penurunan 4/5, his (-), denyut jantung janin 140
X/mnt, taksiran berat janin 2900 g.
Pemeriksaan dalam :
Porsio lunak, posisi posterior, pendataran 0%, pembukaan kuncup, ketuban belum
bisa dinilai, terbawah kepala, penurunan H I, penunjuk belum bisa dinilai.
3. Diagnosis Kerja :
G1P0A0 hamil aterm dengan tersangka HIV belum inpartu, janin tunggal hidup
presentasi kepala.
4. Tatalaksana :
- Rencana Terminasi perabdominam
- Persiapan operasi ( izin, alat, obat, darah)
- Konsul PDL dan Anastesi
- Voluntary Counseling and Test
- Laboratorium Darah Rutin, Kimia Darah & Urin Rutin, CD-4, Viral Load
- Rencana terapi ART duviral 1 x 1 tablet jika HIV positif.
5. Laboratorium ( tgl 20-05-2009 ) :
Darah rutin

: Hb 12,9 g/dl, Ht 39 vol%, Eritrosit 4,3 juta, Leukosit 9600/l,

Trombosit 302.000/l, LED 18 mm/jam, Hitung Jenis 0/1/1/60/30/8, Gol. Darah A


Rh (+), CT 11 menit, BT 2 menit, MCV 91 fl, MCH 30 pg, MCHC 33 %,
Retikulosit. 1,1 %.
Urin Rutin

: Warna kuning, Keruh, pH 6.0, BJ 1.020, Glukosa (-),Protein (-),

Billirubin (-), Urobillinogen (+), Darah (-), Nitrit (-), Keton (-), Eritrosit 0-1/LPB,
Lekosit 3-4/LPB, Sel epitel (+), Silinder (-), Kristal ().
Kimia darah

: BSS 84 mg/dl , SGOT 27 U/l, SGPT 19 U/l, Billirubin total 0.8

mg/dl, Billirubin direk 0.1 mg/dl, Billirubin Indirek 0.7 mg/dl, Protein Total 6.2
g/dl, Albumin 3.0 mg/dl, Globulin 3.2 g/dl, Ureum 27 mg/dl, Creatinine 1.4 mg/dl,
Asam Urat 4,5 mg/dl, Natrium 138 mmol/l, Kalium 4.1 mmol/l, Clorida 108
mmol/l.
Anti HIV

: Standard Diagnostic negative, Immuno Comb II negative,


Determine Abbot negative.

CD4

: CD4 Abs 826 /ml , CD4% 36 %

CD4 suami

: CD4 Abs 155/ml, CD4 11% (25-05-2008)

Anti HIV suami : Standard Diagnostic Reaktif, Immuno Comb II Reaktif,


Determine Abbot Reaktif.
6. Konsultasi (22 Mei 2009)
Hasil konsul Penyakit Dalam:
Kesan : Saat ini cor dan pulmo fungsional kompensata
Hasil konsul Anastesi :
Kesan : Setuju dijadwalkan operasi
Saran : Konsul ulang H-1

II. PERMASALAHAN
1. Apakah penderita ini menderita HIV dan bagaimana kemungkinan penularannya?
2. Bagaimanakah asuhan antenatal dan persalinan pada wanita hamil dengan HIV ?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita postpartum dengan HIV ?
4. Bagaimanakah penatalaksanaan bayi yang lahir dari penderita HIV ?
5. Apakah ASI dapat diberikan oleh penderita HIV ?
6. Apakah penderita boleh hamil lagi?
7. Alat kontrasepsi yang terbaik untuk penderita HIV ?
III. ANALISA KASUS
1. Apakah penderita ini menderita HIV dan bagaimana penularannya?
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Seseorang yang terinfeksi
virus HIV atau menderita AIDS sering disebut dengan ODHA, singkatan dari orang
yang hidup dengan HIV/AIDS. Penderita infeksi HIV dinyatakan sebagai penderita
AIDS ketika menunjukkan gejala atau penyakit tertentu yang merupakan akibat
penurunan daya tahan tubuh yang disebabkan virus HIV (Indikator sesuai dengan
definisi AIDS dari Centers for Disease Control tahun 1993) atau tes darah menunjukkan
jumlah CD4 < 200/ml. 1, 2, 3
Virus HIV ditemukan oleh Barr-Sinoussi, Montagnier, dan kawan-kawan pada
Institut Pasteur tahun 1983 yang menyebabkan limfadenopati sehingga disebut LAV

(Lymphadenopathy Associated Virus). Tahun 1984, Popovic, Gallo dan kawan-kawan


menggambarkan adanya perkembangan sel yang tetap berlangsung dan produktif
setelah diinfeksi oleh virus yang disebut HTLV-III, suatu virus yang sama dengan LAV.
Pada tahun 1986, Komisi Taksonomi Internasional memberikan nama baru Human
Immunodeficiency Virus (HIV).1
Virus HIV merupakan retrovirus yang termasuk golongan virus RNA (virus yang
menggunakan RNA sebagai molekul pembawa informasi genetik). Disebut retrovirus
karena memiliki enzim reverse transcriptase. Enzim ini memungkinkan virus
mengubah informasi genetiknya yang berada dalam RNA ke dalam bentuk DNA yang
kemudian diintegrasikan ke dalam informasi genetik sel limfosit yang diserang. Dengan
demikian, HIV dapat memanfaatkan mekanisme sel limfosit untuk mengkopi dirinya
menjadi virus baru yang memiliki ciri-ciri HIV. HIV menyerang sistem imun manusia
yaitu menyerang limfosit T helper yang memiliki reseptor CD4 di permukaannya.
Limfosit T helper antara lain berfungsi menghasilkan zat kimia yang berperan sebagai
perangsang pertumbuhan dan pembetukan sel-sel lain dalam sistem imun dan
pembentukan antibodi sehingga yang terganggu bukan hanya fungsi limfosit T (T helper
dan natural cell killer), tetapi juga limfosit B, monosit, makrofag, dendritic cell dan
lainnya.1, 2
a. Cara penularan HIV/AIDS
Virus HIV dapat diisolasi dari cairan semen, sekresi serviks/vagina, limfosit, sel-sel
dalam plasma bebas, cairan serebrospinal, air mata, saliva, air seni dan air susu.
Namun tidak berarti semua cairan tersebut dapat menjalarkan infeksi karena
konsentrasi virus dalam cairan-cairan tersebut sangat bervariasi. Sampai saat ini
hanya darah dan air mani/semen dan sekresi serviks/vagina yang terbukti sebagai
sumber penularan, serta ASI yang dapat menularkan HIV dari ibu ke bayinya.
Karena itu HIV dapat tersebar melalui hubungan seks baik homo maupun
heteroseksual, penggunaan jarum yang tercemar, kecelakaan kerja pada pelayanan
kesehatan seperti tertusuk jarum atau alat tajam yang tercemar, transfusi darah,
donor organ, tindakan medis invasif, serta in utero, perinatal dan pemberian ASI
dari ibu ke anak. Tidak ada petunjuk/bukti bahwa HIV dapat menular melalui
kontak sosial, alat makan, toilet, kolam renang, udara ruangan, maupun oleh
nyamuk/serangga.1,2
b. Manifestasi klinis HIV/AIDS
Perjalanan penyakit infeksi HIV dapat dibagi dalam:

1)
Transmisi virus
2)
Infeksi HIV primer (sindrom retroviral akut)
3)
Serokonversi
4)
Infeksi kronik asimtomatik
5)
Infeksi kronik simtomatik
6)
AIDS ( indikator sesuai dengan CDC 1993 atau jumlah CD4 < 200/mm3
7)
Infeksi HIV lanjut ditandai dengan jumlah CD4 < 50/mm3
Setelah seseorang terinfeksi HIV, 2-6 minggu kemudian (rata-rata 2 minggu)
terjadilah sindrom retroviral akut. Lebih dari separuh orang terinfeksi HIV akan
menunjukkan gejala infeksi primer ini berupa gejala umum (ruam kulit, nyeri otot,
nyeri sendi, rasa lemah), kelainan mukokutan (ruam kulit, ulkus di mulut),
pembengkakan kelenjar limfe, gejala neurologi (nyeri kepala, nyeri belakang
kepala, fotofobia, depresi), maupun gangguan saluran cerna (anoreksia, nausea,
diare, jamur di mulut). Gejala ini dapat berlangsung 2-6 minggu dan akan membaik
dengan atau tanpa pengobatan. Setelah 2-6 minggu gejala menghilang disertai
serokonversi. Selanjutnya merupakan fase asimtomatik, tidak ada gejala, selama
rata-rata 8 tahun (5-10 tahun, di negara berkembang lebih cepat). Sebagian besar
penderita HIV saat ini berada pada fase asimtomatik ini. Penderita tampak sehat,
dapat melakukan aktifitas normal tetapi dapat menularkan kepada orang lain.
Setelah masa tanpa gejala, memasuki masa simtomatik, akan timbul gejala-gejala
pendahuluan seperti demam, pembesarkan kelenjar limfe, yang kemudian diikuti
oleh infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan
penyakit telah memasuki stadium AIDS. Fase simtomatik berlangsung rata-rata 1,3
tahun yang berakhir dengan kematian. 1,4
Setelah terjadi infeksi HIV ada masa di mana pemeriksaan serologis antibodi
HIV masih menunjukkan hasil negatif, sementara virus sebenarnya telah ada dalam
jumlah banyak. Pada masa ini, yang disebut window period (periode jendela), orang
yang telah terinfeksi ini sudah dapat menularkan kepada orang lain walaupun
pemeriksaan antibodi HIV hasilnya negatif. Periode ini berlangsung 3-12 minggu.
Sebenarnya telah ada pemeriksaan laboratorium yang dapat mendeteksi, yaitu
pemeriksaan kadar antigen p24 yang meningkat bermakna. Tetapi pemeriksaan ini
mahal dan masih terbatas pelaksanaannya.1
Terdapat beberapa klasifikasi klinis HIV/AIDS antara lain menurut CDC dan
WHO.

5,6

Klasifikasi CDC berdasarkan gejala klinis dan jumlah CD4 sebagai

berikut:
Tabel 1. Klasifikasi penderita HIV berdasarkan gejala klinis dan CD4
CD4
Kategori Klinis
Total
%
A
B

(asimtomatik)

(Simtomatik)

(AIDS)

> 500/ml
> 29%
A1
B1
C1
200-499/ml
14-28%
A2
B2
C2
< 200/ml
< 14%
A3
B3
C3
5
Dikutip dari CDC
Kategori klinis A meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik), Persistent
Generelized Lymphadenopaty, dan infeksi HIV akut primer dengan penyakit
penyerta atau adanya riwayat infeksi HIV akut. Kategori klinis B terdiri atas
kondisi dengan gejala (simtomatik) pada penderita terinfeksi HIV yang tidak
termasuk dalam kategori C dan memenuhi paling sedikit satu dari kriteria berikut:
1) Keadaan yang dihubungkan dengan infeksi HIV atau adanya kerusakan
kekebalan yang diperantarakan sel, atau
2) Kondisi yang dianggap oleh dokter telah memerlukan penanganan klinis atau
membutuhkan panatalaksanaan akibat komplikasi infeksi HIV, misalnya
Kandidiasis Orofaringeal, Oral Hairy Leukoplakia, Herpes Zoster, dan lainnya.
Kategori C meliputi gejala yang ditemukan pada pasien AIDS misalnya Sarkoma
Kaposi, Pneumonia Penumocystis carinii, Kandidiasis Esofagus, dan lainnya.
c. Kriteria Pelaporan infeksi HIV
Menurut CDC, untuk penderita dewasa, remaja, dan anak < 18 bulan, kasus yang
dilaporkan terinfeksi HIV harus memenuhi salah satu dari kriteria:
1) Kriteria laboratorium
a)Hasil positif pada skrining test antibodi HIV (repeatedly reactive enzyme
immunoassay), diikuti dengan konfirmasi hasil positif test antobodi HIV
yang lebih sensitif dan spesifik ( Western blot atau immunofluorescence
antibody ); atau
b)Hasil positif atau ditemukan virologi HIV (nonantobodi) test:
- PCR DNA/RNA HIV atau plasma HIV-1 RNA
- HIV p24 antigen test, termasuk neutralization assay
- HIV isolation (viral culture)
2) Kriteria klinik atau kriteria lain (jika tidak ditemukan kriteria laboratorium)
- Diagnosis infeksi HIV, berdasarkan kriteria laboratorium, yang disimpan
-

pada rekam medik seorang dokter.


Kondisi yang memenuhi kriteria diagnosis AIDS.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa suami penderita yang telah positif menderita
HIV dengan hasil pemeriksaan antibodi HIV positif dan kadar CD4 yang rendah (CD4
Abs 155/ml; CD4% 11%); dan bahwa cara penularan HIV telah terbukti melalui
hubungan heteroseksual kontak cairan semen dan sekret mukosa 7, maka sangat mungkin
penderita ini telah terinfeksi HIV. Meskipun hasil pemeriksaan antibodi HIV penderita

negatif dan tidak memenuhi kriteria infeksi HIV menurut CDC, tetapi tidak dapat
menyingkirkan bahwa penderita tidak terinfeksi HIV oleh karena mungkin saja
penderita berada dalam periode jendela dan terdapat hasil false negative sebesar 20%
terhadap pemeriksaan antibodi HIV.8 Oleh karena itu, pembicaraan kasus ibu hamil
dengan suami menderita HIV ini, adalah penatalaksaan seputar ibu hamil dengan infeksi
HIV.
2. Bagaimanakah penatalaksanaan pada wanita hamil dengan HIV ?
Penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV) bersifat
multidimensi, mengkombinasikan aspek medis dan obstetri sosial dengan konseling dan
support secara sosial. Perhatian terhadap aspek sosial dan psikologis dari penderita
adalah hal yang penting dalam perawatan medis. Idealnya digunakan pendekatan secara
tim terpadu yang terdiri dari; pekerja kesehatan, konselor, dan kelompok penyokong
lain.9-13
Pada umumnya bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) hamil lebih dianjurkan
untuk memulai Antiretroviral Therapy (ART) setelah trimester pertama dilalui, akan
tetapi bagi mereka yang berada pada AIDS ( acquired immune deficiency
syndrome) tahap lanjut, pemberian terapi dengan segera akan lebih baik dibandingkan

dengan risiko apapun pada janinnya. Lebih lanjut, terapi dengan dua NNRTI (nonnucleoside reverse transcriptase inhibitor) seperti d4T/ddI (stavudine/didanosine) tidak
diperbolehkan pada kehamilan dan hanya digunakan bila tidak ada pilihan lain, oleh
karena kombinasi tersebut akan memberikan risiko tinggi terjadinya asidosis laktat pada
perempuan hamil. Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP
(nevirapine) atau ruam kulit yang berat jarang terjadi, kalau ada lebih sering pada
perempuan dibanding laki-laki, dan cenderung terjadi pada perempuan dengan CD4
tinggi (>250/mm3)6. Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok perempuan
hamil akan tetapi tidak diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi toksisitas
tersebut.14-16
ODHA perempuan yang pernah mendapat profilaksis NVP atau 3TC (lamivudine)
dosis tunggal untuk PMTCT (prevention of mother-to-child transmission =
pencegahan penularan dari ibu ke anak) harus dianggap memenuhi kriteria untuk

mendapatkan rejimen yang mengandung NNRTI dan harus mendapat akses ART
seumur hidup hingga tersedia data pasti pada masalah ini.
Banyak negara telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga obat
jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA perempuan yang belum membutuhkan ART

bagi dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan bila belum memenuhi
kriteria klinik pemberian ART bagi dirinya.
Dari semua kasus, penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi HIV, termasuk
pemberian pengobatan dengan antiretroviral, haruslah dipandang sebagai satu bagian
dari seluruh perawatan yang dilakukan

terhadap ibu dan bayi. Perawatan lanjut

mungkin dapat dilakukan di rumah yang termasuk dalam primary health care services ,
di rumah sakit, atau pada klinik spesialis, tergantung pada kebutuhan penderita dan
fasilitas yang tersedia. Prosedur diagnostik dan penatalaksaan sangat tergantung pada
sumber yang tersedia dan setiap negara seharusnya membuat rekomendasi yang sesuai
dengan situasi yang ada.17, 18
a. Asuhan Ante Natal
Kebanyakan ibu hamil yang terinfeksi HIV bersifat asimptomatis dan tidak
mempunyai

kelainan

obstetrik

selama

kehamilannya.

Mereka

seharusnya

mendapatkan perawatan yang sama dengan ibu hamil yang normal. Bagi ibu hamil
dan keluarganya diberikan konseling secara terpisah maupun bersama-sama.
Diterangkan mengenai risiko penularan pada bayi dengan angka transmisi sekitar
25% terutama pada saat intrapartum (70-80%). Beri penjelasan mengenai status
HIVnya serta perjalanan penyakit dan rencana penatalaksanaan selanjutnya.
Memberikan kesempatan pada penderita dan keluarganya untuk memutuskan
kehamilan akan diteruskan atau akan dilakukan aborsi.11,17
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala infeksi
primer. Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan gejala ini
berlangsung selama 2-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala ini dapat ringan sampai
berat dan sekitar 42% penderita memerlukan perawatan di rumah sakit. Gejalagejala infeksi primer ini dapat dibagi menjadi gejala umum berupa demam, nyeri
otot, nyeri sendi dan rasa lemah. Di samping itu terdapat gejala akibat kelainan
mukokutan seperti ruam kulit, ulkus di mulut serta genital. Selain itu sekitar 50%
kasus disertai dengan pembengkakan kelenjar limfe, Sedangkan gejala gejala lain
berupa nyeri kepala, nyeri belakang mata, fotopobia dan depresi. Kelainan neurologi
yang lain dapat berupa meningitis. Dapat juga timbul kelainan saluran cerna berupa
anoreksia, diare dan jamur di mulut.12, 13
Tabel 2. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok
Gejala
Umum
Demam

Kekerapan (%)
90

Mukokutan
Limfadenopati
Neurologi

Saluran Cerna

Nyeri otot
Nyeri sendi
Rasa lemah
Ruam kulit
Ulkus di mulut
Nyeri kepala
Nyeri belakang mata
Fotopobia
Depresi
Meningitis
Anoreksia
Nausea
Diare
Jamur di mulut

54
0
0
70
12
74
32
0
0
0
12
0
0
32
12

Dikutip dari: Djauzi13

Gejala infeksi primer di atas, berlangsung selama 2-6 minggu dan akan
membaik dengan atau tanpa pengobatan. Setelah itu perjalanan penyakit menuju
stadium tanpa gejala yang pada orang dewasa lamanya 5-10 tahun. Masa tanpa
gejala ini akan memendek apabila viral load pada titik keseimbangan (set point)
tinggi. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejalagejala pendahuluan seperti
demam, pembesaran kelenjar limfe yang kemudian diikuti oleh infeksi oportunistik.
Dengan adanya infeksi oportunistik maka perjalanan penyakit telah memasuki
stadium AIDS.
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi risiko kematian, progresifitas
menjadi AIDS, atau progresifitas penurunan kadar CD4. Pengaruh kehamilan
terhadap CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns dkk. Pada kehamilan normal
terjadi penurunan kadar CD4 pada awal kehamilan untuk mempertahankan janin.
Pada ibu hamil yang tidak menderita HIV, persentase CD4 akan meningkat kembali
mulai trimester ketiga hingga 12 bulan setelah melahirkan, sedangkan pada ibu
hamil pengidap HIV penurunan tetap terjadi selama kehamilan dan setelah
melahirkan, walaupun hal ini tidak bermakna secara statistik. Namun penelitian dari
European Collaborative Study dan Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah
sampel yang lebih besar, menunjukkan persentase penurunan CD4 selama
kehamilan sampai 6 bulan setelah melahirkan tetap stabil.10,13,16,17
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load) HIV.
Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 bulan persalinan, walaupun secara
statistik tidak bermakna.10,13,16,17,19 Kehamilan juga tidak mempercepat progresifitas

penyakit menjadi AIDS. Italian Seroconversion Study Group yang membandingkan


antara ibu hamil yang terinfeksi HIV dengan yang tidak terinfeksi, menunjukkan
tidak ada perbedaan risiko menjadi AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari
200/mm3. 10,13,16,17
Jika dalam kehamilan didapatkan penurunan CD4 menjadi < 200/mm 3 maka
disarankan untuk diberikan antibiotik profilaktif untuk menghindari risiko infeksi.
Dilakukan pemeriksaan CD4 berkala.
Pada kasus ini penderita tidak menunjukkan gejala infeksi primer, pemeriksaan
tes skrining dilakukan setelah upaya penyuluhan bahwa penderita terpapar oleh
suami yang telah dinyatakan positif HIV. Selama asuhan antenatal penderita telah
mendapatkan perlakuan yang sama dengan ibu hamil yang normal.
b. Pencegahan transmisi perinatal
Kehamilan dan menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal toksisitas obat
terhadap ibu maupun anak, pemilihan obat ARV dan pencegahan penularan HIV dari
ibu ke bayinya. Masalah tersebut perlu mendapat perhatian khusus untuk
memberikan hasil pengobatan yang optimal.
Berbeda dengan populasi penderita HIV lainnya, pemberian antiretrovirus
(ART) direkomendasikan untuk semua ibu hamil yang terinfeksi untuk mengurangi
risiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa risiko transmisi perinatal
meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan risiko transmisi dapat diturunkan
hingga 20% pada ibu hamil pengidap HIV yang sedang dalam menjalani terapi
ART. Tujuan pemberian ART pada kehamilan adalah untuk memaksimalkan
kesehatan ibu dan mengurangi risiko transmisi HIV dengan cara menurunkan kadar
HIV serendah mungkin. Pada kehamilan, keuntungan pemberian ART ini harus
dibandingkan dengan potensi, toksisitas, teratogenesis dan efek samping jangka
lama.
Saat ini di Indonesia beberapa ART tersebut sudah tersedia dalam bentuk
generik dan dengan harga lebih murah, antara lain : Zidovudin, Lamivudin,
Nevirapin dan Stavudin.
Obat ART yang pertama kali diteliti untuk mengurangi transmisi perinatal
adalah Zidovudin (ZDV). Pada PATCG protokol 076, ZDV yang diberikan peroral
mulai minggu ke 14 kehamilan, dilanjutkan dengan ZDV intravena pada saat intra
partum untuk ibu, diikuti dengan ZDV sirup yang diberikan pada bayi sejak usia 6-

12 jam sampai dengan 6 minggu. Pada penelitian ini bayi tidak mendapat ASI. Cara
ini ternyata efektif menurunkan transmisi perinatal dari 25,5% pada kelompok
kontrol menjadi 8,3% . 17-19
Penggunaan kombinasi yang sangat aktif diharapkan akan mencegah
munculnya resistensi terhadap obat dan sangat efektif untuk mencegah penularan
perinatal kepada bayi.
Rejimen lini-pertama yang direkomendasikan untuk kelompok ini adalah:

(d4T atau AZT) + 3TC + NVP = Stavudin/Zidovudin+Lamivudin+Nevirapin


Pada kasus ini diberikan duviral 1 kali sehari ( kombinasi AZT 300 mg dan
lamivudin 150 mg) yang dimulai pada saat dinyatakan positif, dan dilanjutkan
dengan Neviral 1 tablet/hari selama 4 hari dimulai pada saat persalinan.

c. Penatalaksanaan Obstetrik
Untuk mengurangi risiko transmisi HIV yang terjadi terutama pada saat intrapartum,
beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara tindakan seksiosesar
dengan partus pervaginam. Persalinan dengan seksiosesar dianggap dapat
mengurangi terpaparnya bayi dengan cairan servikovaginal yang mengandung
HIV.11-13, 19
Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan transmisi HIV
yang lebih rendah pada penderita yang menjalani seksiosesar dibandingkan partus
pervaginam (11,7% dibandingkan 17,6%) tanpa membedakan seksio elektif dan
emergensi. Namun ternyata penelitian-penelitian selanjutnya tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna secara statistik. Women and Infants Transmission Study
mengemukakan bahwa lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih bermakna
daripada seksiosesar untuk menurunkan transmisi vertikal (RR 1,81/1,13).
Selanjutnya beberapa penelitian membandingkan risiko transmisi pada partus
pervaginam, seksiosesar emergensi dan elektif. European Mode of

Delivery

Collaboration membandingkan transmisi perinatal pada penderita HIV yang


melahirkan pervaginam dan seksiosesar. Ternyata seksiosesar secara elektif dapat
menurunkan resiko transmisi hanya 80% dibandingkan partus pervaginam (1,8%
dibandingkan 10,5%). Demikian juga hasil metaanalisis dari The International
Perinatal HIV Group terhadap 15 penelitian dengan lebih dari 8000 sampel di
beberapa negara.11-14,20

Seksiosesar elektif akan lebih bermakna jika disertai pemberian antiretrovirus.


Risiko transmisi akan berkurang sekitar 87%. Karena itu, saat ini seksiosesar
dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial terhadap transmisi HIV vertikal.
Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi intrapartum, Towers dkk mencoba
teknik seksiosesar dengan perdarahan minimal. Namun pada penelitian tersebut
ternyata efek seksiosesar dengan perdarahan minimal hampir sama dengan
pemberian antiretrovirus (transmisi HIV 6,3% dibandingkan 7,9%). Cara ini
mungkin dapat menjadi alternatif pada ibu yang tidak mendapat terapi
antiretrovirus.11-14,19,20
Namun pertimbangan untuk melakukan seksiosesar tanpa indikasi obstetrik lain
harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi seksiosesar mungkin terjadi
terutama pada stadium lanjut. Laporan PATCG 185 menyebutkan bahwa komplikasi
minor seksiosesar seperti endometritis, infeksi luka dan infeksi traktus urinarius
lebih banyak terjadi pada penderita HIV dibandingkan dengan kelompok non HIV.
Namun tidak ada perbedaan kejadian komplikasi mayor seperti pneumonia, efusi
pleura ataupun sepsis.11-13
Selain seksiosesar, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan risiko
transmisi penularan intrapartum pada ODHA. Salah satunya adalah pencucian jalan
lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata cara ini
tidak dapat mengurangi risiko transmisi partus pervaginam.13
Dengan mempertimbangkan

besaran prosentase keberhasilan

menekan

terjadinya transmisi intrapartum sebesar 87 %, jika dilakukan sesar elektif yang


disertai dengan pemberian ART. Kasus ini direncanakan untuk dilakukan terminasi
perabdominam yang disertai dengan pemberian ART. Dikatakan bahwa transmisi
intrapartum pada persalinan pervaginam yang disertai ART

adalah 7,3% bila

dibandingkan dengan SC yang disertai ART yang hanya 2%. Sedangkan tindakan
amniotomi dan stripping of membrane itu sendiri meningkatkan risiko transmisi
infeksi intrapartum.
d. Kewaspadaan dalam tindakan medik
Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai mikroorganisme
pada seorang pasien penting peranannya dalam keberhasilan manajemen kasus.
Apalagi bila infeksi yang terjadi disebabkan oleh infeksi virus seperti HIV, Hepatitis
B dan lain-lain. Akan tetapi atas dasar pertimbangan, sampai saat ini penapisan
(screening) terhadap berbagai infeksi virus tidak mungkin dilakukan secara rutin.

Bahkan pada infeksi HIV, terhadap window period yang mana pada masa itu darah
atau cairan tubuh penderita sudah dapat menularkan infeksi, walaupun adanya HIV
belum terdeteksi melalui pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip
kewaspadaan umum dalam upaya pencegahan infeksi merupakan kunci utama
keberhasilan memutuskan rantai transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah
atau cairan tubuh lainnya.19,21
Di bawah ini disampaikan langkah-langkah yang perlu diperhatikan sebagai
prosedur pencegahan infeksi khususnya infeksi yang ditularkan melalui darah/cairan
tubuh. Perlu diingatkan bahwa langkah-langkah di bawah ini tidak mengabaikan
pentingnya pelaksanaan prosedur standar dalam tiap-tiap tindakan pemrosesan
alat/instrumen secara tepat, pembuangan sampah / limbah secara aman dan
menjamin kebersihan ruangan tindakan dan lingkungan sekitarnya. Segala prosedur
pembedahan yang membuka jaringan organ, pembuluh darah, pertolongan
persalinan maupun tindakan abortus termasuk tindakan medik invasif risiko tinggi
untuk menularkan HIV bagi tenaga dokter.
Untuk

memutuskan rantai

penularan, diperlukan

barier berupa :

kacamata

pelindung untuk menghindari percikan cairan tubuh pada mata, masker penutup
pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan pada mukosa hidung dan
mulut, plastik penutup badan (skort) untuk mencegah kontak cairan tubuh pasien
dengan penolong, sarung tangan yang tepat untuk melindungi tangan yang aktif
melakukan tindakan medis invasif, dan penutup kaki untuk melindungi kaki dari
kemungkinan terpapar cairan yang infektif.19,21
1) Kewaspadaan di kamar operasi
a) Dalam prosedur operasi.
Selain oleh darah secara kontak langsung, tertusuknya bagian tubuh oleh
benda-benda tajam merupakan kecelakaan yang harus dicegah. Oleh karena
itu instrumen yang tajam jangan diberikan ke dan dari operator oleh asisten
atau instrumentator. Untuk memudahkan hal ini dipakai nampan guna
menyerahkan instrumen tajam tersebut atau mengembalikannya. Operator
bertanggung jawab untuk menempatkan benda tajam secara aman.
b) Pada saat menjahit
Pada saat menjahit lakukanlah prosedur sedemikian rupa sehingga
jari/tangan terhindar dari tusukan. Bila tersedia, gunakan jarum khusus yang

mempunyai desain khusus yang mampu menembus jaringan tetapi tidak


akan menembus sarung tangan.
c) Memisah jaringan.
Jangan gunakan tangan untuk memisahkan jaringan, karena tindakan ini
akan menambah risiko pemaparan infeksi melalui tangan operator.
d) Operasi sulit
Untuk operasi-operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit dan
lapangan kerjanya sulit (sempit) dianjurkan untuk menggunakan sarung
tangan ganda.
e) Melepas baju operasi dilakukan sebelum membuka sarung tangan agar tidak
terpapar oleh darah/cairan tubuh dari baju operasi tersebut.
f) Pencucian instrumen bekas pakai sebaiknya secara mekanik. Bila mencuci
instrumen secara manual, petugas harus menggunakan sarung tangan rumah
tangga dan instrumen tersebut sebelumnya telah mengalami proses
dekontaminasi dengan merendam dalam larutan

klorin 0,5% selama 10

menit.
g) Seorang dokter yang akan melakukan prosedur pembedahan sebaiknya telah
diuji kelayakannya untuk melakukan tindakan tersebut secara khusus
sebelumnya.21
2) Kewaspadaan di kamar bersalin.
Selain memperhatikan kebutuhan barier yang telah disebutkan di atas, perlu
diingat bahwa :
a) Kegiatan di kamar bersalin yang membutuhkan lengan / tangan
Untuk manipulasi intrauterin tentunya harus menggunakan skort dan sarung
tangan yang mencapai siku.
b)
c)
d)
e)

Menolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan.


Cara penghisapan lendir bayi dengan mulut penolong harus ditinggalkan.
Potonglah tali pusat pada saat bayi pulsasi telah menurun atau hilang.
ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mempunyai risiko untuk bayi baru lahir,
akan tetapi tidak berisiko untuk tenaga kesehatan.

3) Prosedur anestesi
Prosedur anestesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan infeksi
virus pada tenaga kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu diperhatikan adalah :
a) Perlu disediakan nampan/troli untuk alat-alat yang sudah dipergunakan.
b) Jarum harus dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam wadah
yang aman.

c) Pakailah obat-obatan sedapat-dapatnya untuk 1 dosis dengan 1 kali


pemberian
d) Menutup spuit adalah prosedur beresiko tinggi.
e) Sangatlah dianjurkan petugas anestesi melewati uji kelayakan terlebih
dahulu untuk meminimalkan resiko terluka oleh tusukan jarum suntik dan
alat lain yang tercemar darah atau cairan tubuh.21
4) Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan
tubuh.
a) Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lain-lain,
keluarkan darah sebanyak-banyaknya, cuci tangan dengan sabun dan air
atau engan air saja sebanyak-banyaknya.
b) Paparan pada membran mukosa melalui cipratan ke mata : cuci mata secara
gentle dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air atau cairan
NaCl.
c) Paparan pada mulut: keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara
berludah, kemudian kumur- kumur dengan air beberapa kali.
d) Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit yang sedang mengalami
perlukaan, lecet atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air dan
sabun antiseptik.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan pemeriksaan
HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus diperhatikan. Pejamu pun
harus terus dimonitor kemungkinan infeksinya. Selama pemantauan, tenaga
kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan konseling mengenai resiko infeksi
dan pencegahan transmisi selanjutnya. Tentunya individu teresbut diingatkan untuk
tidak menjadi donor darah ataupun jaringan, melakukan hubungan seksual yang
aman dan mencegah kehamilan.21
3. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita postpartum dengan HIV ?
Penatalaksanaan ibu nifas pada penderita HIV dilakukan sebagaimana biasanya, dengan
memperhatikan kaidah-kaidah kewaspadaan universal, waspada terhadap pajanan cairan
tubuh berupa darah, cairan vagina, dan urin serta tinja bagi petugas kesehatan.
Pada ibu nifas karena tidak disarankan memberikan ASI, maka perlu diberikan
bromokriptin oral untuk menghentikan produksi ASI, dan pemberian kontrasepsi jangka
panjang.

Untuk pengobatan antiretroviral lanjutan, sebelum memulai terapi perlu


dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap


b. Pemeriksaan fisik lengkap
c. Pemeriksaan laboratorium rutin
d. Hitung limfosit total (total lymphocyte count/TLC) dan bila mungkin pemeriksaan
jumlah CD4
Perlu penilaian klinis yang rinci sbb:
a. Menilai stadium klinis infeksi HIV
b. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
c. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang membutuhkan
pengobatan
d. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat mempengaruhi
pemilihan terapi.
Pertanyaan mengenai riwayat penyakit meliputi:
a. Kapan dan di mana diagnosis HIV ditegakkan
b. Kemungkinan sumber infeksi HIV
c. Gejala dan keluhan pasien saat ini
d. Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima termasuk
infeksi oportunistik
e. Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan kontak
dengan TB sebelumnya
f. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
g. Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
h. Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT sebelumnya.
i. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
j. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
k. Riwayat penggunaan NAPZA suntik.
Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Berat badan, tanda vital
b. Kulit: herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular eruption (PPE),
dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track) atau jejas sayatan
c. Limfadenopati

d. Selaput lendir orofaringeal: kandidiasis, sarcoma Kaposi, hairy leukoplakia, HSV


e. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
f. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka: kedaan kejiwaan, berkurangnya fungsi
motoris dan sensoris
g. Pemeriksaan fundus mata: retinitis dan papil-edema
i. Pemeriksaan saluran kelamin/alat kandungan
Pemeriksaan psikologis :
a. Untuk mengetahui status mental
b. Menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang atau seumur hidup.
Pemeriksaan Laboratorium :
a. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi 3 sesuai
pedoman
b. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
c. Pemeriksaan darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah (terutama fungsi hati) dan
fungsi ginjal
d. Pemeriksaan kehamilan.
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan klinis :
a. Foto toraks
b. Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopik
c. Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) (tergantung pada adanya
pemeriksaan dan sumber daya)
Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi yang terlatih di laboratorium yang
menjalankan program jaga mutu.
Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang dipakai untuk
menegakkan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul keraguan, pemeriksaan
harus diulang di laboratorium rujukan.
Sebelum mendapat ART pasien harus dipersiapkan secara matang dengan konseling
kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien faham benar akan manfaat, cara penggunaan,
efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain sebagainya yang terkait dengan ART.
Pasien yang mendapat ART harus menjalani pemeriksaan untuk pemantauan secara klinis
dengan teratur

Sesuai rekomendasi WHO untuk daerah dengan keterbatasan sumberdaya, maka


ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah ditegakkan
secara laboratoris disertai salah satu kondisi di bawah ini.
a.Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV:
1) Infeksi HIV Stadium IV menurut kriteria WHO, tanpa memandang jumlah CD4
2) Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4 <350/mm3
b.

Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<200/mm3
Artinya bahwa ART untuk penyakit Stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS klinis)

tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk Stadium III, bila tersedia sarana
pemeriksaan CD4 akan membantu untuk menentukan saat pemberian terapi yang lebih
tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan dengan jumlah CD4 berapapun, bila
jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat
ditunda dengan meneruskan pemantauan pasien secara klinis. Untuk kondisi Stadium III
terpilih nilai ambang 350/mm3 karena pada nilai di bawahnya biasanya kondisi pasien
mulai menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan sesuai dengan
pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4 <200/mm3
merupakan indikasi pemberian terapi.
Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai indikator
pemberian terapi pada infeksi HIV simtomatik adalah jumlah limfosit total 1200/mm3 atau
kurang (misalnya pada Stadium II WHO). Sedangkan pada pasien asimtomatik jumlah
limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4. Namun bila dalam stadium
simtomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda prognosis dan harapan hidup.14-18
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan kadar RNA HIV-1 dalam
plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak direkomendasikan oleh
WHO sebagai tindakan rutin untuk memandu pengambilan keputusan terapi, oleh karena
harganya yang mahal dan pemeriksaannya rumit. Diharapkan di masa mendatang dapat
terkembang cara pemeriksaan viral load yang lebih terjangkau sehingga cara memantau
pengobatan tersebut dapat diterapkan secara luas.
Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV menurut WHO bagi ODHA
dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan memiliki keterbatasan,
namun demikian, tetap masih bermanfaat untuk membantu menetapkan indikator saat
memulai terapi.
4. Bagaimanakah penatalaksanaan bayi yang lahir dari penderita HIV ?

Tatalaksana bayi ibu HIV + pada dasarnya adalah kelanjutan upaya pencegahan penularan
vertikal (PMTCT), diagnosis dini infeksi HIV, dan pemberian ARV bila perlu. Secara
praktis hal tersebut dilakukan seiring dengan pemeriksaan berkala dan monitor tumbuh
kembang bayi seperti biasa.
a. Pencegahan transmisi
Upaya pencegahan sebenarnya sudah mulai dilakukan pada saat kehamilan. Salah satu
obat terbaik yang pernah ditemukan untuk menurunkan transmisi vertikal HIV adalah
yang disebut Zidovudine (ZDV). ZDV diberikan secara oral pada wanita hamil dimulai
pada usia kehamilan 14 minggu.

Dilanjutkan pemberian ZDV secara intravenous

setelah 6 minggu pengobatan oral. Dengan protokol pengobatan yang dikembangkan


ACTG-076 ini ternyata terdapat perbedaan yang sangat bermakna dalam hal transmisi
infeksi HIV. Pada kelompok plasebo ada penurunan sebesar 25,5% dan 8,3% pada
kelompok terapi ZDV ( p = 0,00006 ).19,22,23
ZDV melewati barier plasenta, dan ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada
cairan amnion. Walaupun demikian bagaimana ZDV mempunyai kemampuan untuk
menurunkan transmisi infeksi HIV pada perinatal tidak sepenuhnya diketahui.22,23
Hingga saat ini belum ada penelitian yang membuktikan tentang efek samping
jangka panjang pemberian ZDV pada anak-anak yang tidak terinfeksi HIV. Atas dasar
hasil penelitian sesuai protokol PACTG-076 tersebut di negara Thailand maka WHO
merekomendasikan resumen ini sebagai pencegahan transmisi infeksi HIV di negaranegara berkembang.22-25
Ada penelitian lain dari Uganda yang dilakukan oleh Guay dkk dengan
mempergunakan Nevirapine. Nevirapine diberikan sebagai dosis tunggal oral pada ibu
pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi baru lahir. Dengan resumen ini
ternyata ada penurunan risiko transmisi vertikal HIV-1 mendekati 50% selama minggu
ke 14 16 pertama kehidupan neonatus yang disusui.

Saat sekarang msih terus

berlangsung penelitian pada anak dengan menggunakan Nevirapine untuk melihat


efektifitas dan keamanan Nevirapine. Di samping itu ada PETRA yang melakukan
penelitian untuk melihat efektifitas kombinasi ZDV-Lamivudine bagi pencegahan
transmisi infeksi HIV dari ibu ke anak.

Penelitian ini ternyata sangat berarti

dikembangkan di negara-negara berkembang dimana tidak dapat menyediakan resumen


sesuai protokol ACTG-076, karena lebih sedikit komplikasi yang terjadi dan lebih
murah. Juga dikembangkan pencegahan transmisi infeksi HIV pada perinatal dengan
menggunakan antiretroviral. Tetapi keseluruhan metode terapi dengan Nevirapine atau

antiretroviral lainnya untuk pencegahan transmisi infeksi HIV pada bayi yang terpapar
HIV hingga saat sekarang belum ada yang cukup memuaskan.16,22,23
African Network for the care of Children Affected by AIDS (ANECCA) telah
mencatat 10 pokok penting sebagai panduan minimal tatalaksana bayi dan anak yang
terpajan atau terinfeksi HIV bagi petugas kesehatan.
Paket perawatan AIDS terpadu pada anak :
1. Konfrmasi status infeksi HIV segera
2. Monitor tumbuh kembang anak
3. Imunisasi sesuai jadwal
4. Lakukan pencegahan infeksi oportunis (PCP dan TBC)
5. Mencari infeksi dan mengobatinya segera
6. Konseling ibu dan keluarga
7. Tentukan derajat berat penyakit pada anak yang terbukti terinfeksi HIV
8. Berikan terapi ARV pada anak yang terinfeksi bila diperlukan
9. Lakukan bantuan psikososial terhadap anak yang terinfeksi dan ibunya.
10. Rujuk anak yang terinfeksi pada tingkat perawatan spesialis yang lebih
tinggi bila perlu, atau pada program sosial atau program bantuan
komunitas lain.
Dikutip : dari Djauzi 13

Panduan tersebut memperlihatkan betapa pentingnya upaya konfirmasi diagnosis


infeksi HIV pada bayi dan anak sebagai landasan untuk tindakan selanjutnya.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jakarta telah membuat Petunjuk
Teknis Penatalaksanaan Bayi ibu HIV+/AIDS (BIHA) seperti dibawah ini, walaupun
pada kenyataannya sebagian besar petunjuk tersebut sulit dilaksanakan dilapangan.
Kesulitan terbesar adalah pada tahap diagnosis yang disebabkan oleh ketidaksiapan dan
kekurang tahuan dokter terhadap kemungkinan infeksi HIV pada pasiennya, selain
karena sarana yang diperkukan memang terbatas pada laboratorium tertentu di
Indonesia.
Petunjuk teknis penatalaksanaan BIHA 11,22
1) Setelah lahir (Hari 1)
a) Tidak diberikan ASI, berikan susu formula biasa
b) Pengobatan profilaksis : Zidovudin (AZT) profilaksis untuk bayi mulai
usia 12 jam selama 6 minggu, dan nevirapin dosis tunggal dalam masa usia
48-72 jam pertama.

c) Dosis ARV untuk anak disesuaikan dengan petunjuk.


d) Lapor Tim BIHA IKA
2) Sebelum bayi dipulangkan
a) Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap ( Hb, leukosit, trombosit,
hitung jenis)
b) Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberikan vaksin polio hidup
3) Usia 4 minggu
a) Kontrol rutin, evaluasi klinis
b) Laboratorium
i. Enzim fungsi hati SGPT dan SGOT
ii. PCR RNA HIV pertama
c) Bila PCR negatif, profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian selama
6 minggu.
d) Bila PCR RNA positif berarti terinfeksi HIV, lakukan pemeriksaan
konfirmasi PCR RNA HIV usia 2 bulan CD4, dan anjuran
pemeriksaan CD 4; berikan terapi agresif dengan AZT/d4T, 3 TC, serta
NVP, dan pasien dirujuk ke Tim BIHA IKA.
e) Pengobatan profilaksis terhadap Pneumocyctis

carinii

dengan

kotrimoksazol diberikan setelah usia 5 minggu sampai dinyatakan bayi


tidak terinfeksi HIV.
f) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
imunisasi polio dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
4) Usia 2-4 bulan
a) Pemeriksaan fisik 1 kali perbulan
i. Keadaan umum tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang.
ii. Bila ada kelainan klinis infeksi HIV seperti pada lampiran 2, rujuk
ke TIM BIHA.
iii. Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis
b) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
5) Usia 4 bulan
a) Pemeriksaan laboratorium

i. PCR RNA kedua bila sebelumnya PCR RNA negatif. Bila negatif
berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif berarti terinfeksi HIV,
dianjurkan pemeriksaan CD 4 dan diberikan terapi AZT/d4T, 3TC
dan NVP.
ii. Pemeriksaan lain sesuai indikasi.
b) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.
6) Usia 6 bulan
a ) Pemeriksaan fisis
i. Keadaan umum tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang.
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2,

rujuk ke Tim

BIHA
b) Pemeriksaan laboratorium
i.

Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit


Faal hati : SGOT/SGPT

ii.

PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan PCR RNA


pertama negatif dan kedua positif.

iii. Bila tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA HIV, periksa serologi
anti HIV dengan 3 reagen berbeda.
c)

Bila hasil serologi anti HIV negatif, diulang 1 bulan kemudian. Bila
keduanya negatif, maka dinyatakan tidak terinfeksi HIV

d) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. Bila dinyatakan
infeksi HIV negatif, lakukan imunisasi BCG dengan uji tuberculin
terlebih dahulu.
7) Usia 12 bulan
a)

Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA

b)

Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
ii. Serologi antiHIV

c) Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik : dianggap bukan infeksi HIV.
Rencana pemeriksaan serologi antiHIV umur 18 bulan untuk konfirmasi
d) Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada usia 18 bulan
e) Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis seperti pada lampiran
2, rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi
f)

Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin polio hidup dan pasien di rujuk ke Tim BIHA.

8) Usia 18 bulan
a) Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b) Pemeriksaan laboratorium
i.

Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit

ii.

Serologi antiHIV

c) Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV


d) Serologi antiHIV (+): infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA, pengobatan ARV
e) Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksi polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA

b. Terapi antiretroviral
Bayi cukup bulan dengan paparan HIV pada masa perinatal sebaiknya mendapatkan
ZDV dengan dosis 2 mg/kg/dosis per oral setiap 6 jam atau 1,5 mg/kg/dosis iv setiap 6
jam selama 30 menit. Bayi preterm (usia kehamilan 34 minggu atau kurang) dapat
diberi ZDV dengan dosis 1,5 mg/kg/dosis setiap 12 jam untuk 2 minggu pertama,
kemudian ditingkatkan menjadi 2 mg/kg/dosis setiap 8 jam. ZDV sebaiknya dimulai
pada 12 jam pertama kehidupan dan dilanjutkan sampai 42 hari.19
Berikut ini diperlihatkan bagaimana protokol penggunaan zidovudine (ZDV) yang telah
dicobakan pada suatu studi kelompok atas gejala klinik AIDS.
Tabel 3. Prosedur pemakaian zidovudine atas studi kelompok uji klinik AIDS

Antepartum
Zidovudine 100 mg oral 5 kali sehari, dimulai umur kehamilan 14 34 minggu dan
dilanjutkan selama hamil
Intrapartum
Zidovudine 2 mg/kgBB intravena dalam 1 jam sebagai loading dose, dilanjutkan 1
mg/kg/jam selama persalinan.
Baru lahir
Zidovudine sirup 2 mg/kg BB oral setiap 6 jam, dimulai 8 12 jam setelah lahir dan
dilanjutkan selama 6 minggu kehidupan.
Dikutip dari Michael K22

Algoritme diagnosis HIV pada bayi : 25

Obat antiretrovirus yang digunakan untuk bayi adalah : 12,13,19,28


1) Zidovudin (AZT)
a) Neonatus kurang bulan
1,5 mg/kgBB/12 jam sampai usia 12 minggu, kemudian 2 mg/kgBB/8 jam
b) Neonatus cukup bulan (sampai bayi usia 90 hari)
i.

Oral : 2 mg/kgBB tiap 6 jam (oral)

ii.

IV : 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam

2) Stavudin (d4T)
Neonatus (sedang dalam evaluasi PACTG 332)
3) Lamivudin (3TC)
Neonatus (bayi < 30 hari) 2 mg/kgBB, 2x sehari
4) Nevirapin (NVP)
a) Perinatal profilaksis 2 mg/kgBB (oral) pada usia 48 jam
b) Neonatus (sampai usia 2 bulan)
i.

14 hari pertama : 5 mg/kgBB atau 120 mg/m2 sekali sehari

ii.

14 hari kedua : 120 mg/m2 2x sehari, berikutnya 200 mg/m2 2x sehari


sampai usia 2 bulan

5) Nelvinafir (NFV)
Neonatus 40 mg/kgBB, 2x sehari
6) Kotrimoksazol (untuk pneumocystis carinii)
a) Profilaksis : 2,5 mg TMP/kgBB, 2x sehari, 3 hari seminggu
b) Pengobatan : 8-10 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
5. Apakah ASI dapat diberikan oleh penderita HIV ?
Menyusui dikontraindikasikan bagi bayi dari ibu yang terinfeksi HIV di negara-negara
industri dimana alternatif yang aman untuk menyusui tersedia. Bayi-bayi ini harus
mendapatkan formula artificial sebagai makanan pendukung.

Tetapi di negara

berkembang pemberian ASI bagi bayi dari ibu yang terpapar HIV masih merupakan
perdebatan. Kebijaksanaan WHO untuk menyusui bayi dari ibu yang terinfeksi di
negara berkembang telah berubah sejak 1998.

Alasan di negara-negara dimana

menyusui masih merupakan perdebatan pada ibu terinfeksi HIV adalah sebagai
perlindungan terhadap usaha untuk mengatasi kematian dini akibat diare dan penyakitpenyakit infeksi yang umum dibandingkan dengan usaha untuk menurunkan transmisi
HIV melalui air susu. Walaupun demikian diketahui bahwa, menyusui bayi umur

kurang dari 12 bulan merupakan tindakan yang tidak baik karena akan meningkatkan
risiko-risiko transmisi HIV. Kenyataannya risiko transmisi HIV melalui menyusui
ditemukan lebih nyata dibandingkan perkiraan yang ada. Risikonya setinggi 28 % di
atas risiko yang sudah ada pada kehamilan dan persalinan. Berdasarkan perkiraan
WHO bahwa dari tahun 1992 sampai 1998 sedikitnya 1 juta anak-anak terinfeksi
karena air susu, dan hal itu menjadi rekomendasi WHO untuk mengganti menyusui ASI
dengan pemberian susu formula dari sapi atau kambing. Masih banyak pertanyaan
belum terjawab tentang rekomendasi menyusui ini dari negara-negara berkembang.22-24
HIV dapat ditemukan pada air susu dari ibu yang terinfeksi. Kebalikannya pada
bayi yang tidak menyusui dimana mendapat infeksi HIV pada akhir kehamilan atau
selama persalinan, transmisi HIV melalui ASI menempati 1/3 sampai 2/3 dari
keseluruhan transmisi

HIV, dan risiko

tambahan

ASI

bagi

transmisi

HIV

diperkirakan dari 14 28%. Banyak faktor kemungkinan berperan bagi transmisi


virus melalui ASI.

Immaturitas traktus gastrointestinal pada bayi baru lahir

memungkinkan masuknya virus melalui mukosa usus, tetapi transmisi juga terjadi pada
bayi yang mulai menyusui setelah periode neonatal.

Pengenalan awal pada jenis

makanan lain mungkin juga berperan pada kerusakan garis-garis usus.22,24,27


Karena risiko morbiditas dan mortalitas antara menyusui dengan tidak di negara
berkembang relatif seimbang, maka WHO merekomendasikan beberapa hal mengenai
pemberian ASI kepada bayi oleh penderita HIV. Terpenting adalah melakukan
konseling sebelum memutuskan. Jika syarat AFFASS, acceptable (dapat diterima),
feasible

(mudah

dikerjakan),

affordable

(harga

terjangkau),

sustainable

(berkesinambungan), and safe (aman) dapat dipenuhi, maka dianjurkan pemberian susu
formula. Tetapi jika tidak, maka pemberian ASI ekslusif 6 bulan dapat
direkomendasikan. Keputusan ada ditangan si penderita.
6. Apakah penderita boleh hamil lagi?
Laporan Triwulan III tahun 2008 Departemen Kesehatan menyebutkan bahwa jumlah
kasus AIDS secara kumulatif adalah 15.136 kasus dan infeksi HIV 6.015 kasus. Lebih
dari 6,5 juta perempuan di Indonesia menjadi populasi yang rawan tertular dan
menularkan HIV. Terdapat lebih dari 24.000 wanita usia subur telah terinfeksi HIV, dan
lebih dari 9.000 perempuan dengan HIV hamil setiap tahunnya di Indonesia. Lebih dari
30% di antaranya melahirkan bayi-bayi yang tertular dengan HIV. Belum lagi data lain
menyebutkan bahwa 90% anak menderita HIV didapat dari ibunya dan 10% karena

transfusi.1,2 Oleh karena terdapat risiko penularan kepada bayi mulai dari dalam
kandungan, persalinan, hingga menyusui meningkat 25-50% maka wanita dengan HIV
tidak dianjurkan untuk hamil.
7. Alat kontrasepsi yang terbaik untuk penderita HIV ?
Perempuan yang menerima obat ARV dan tidak ingin hamil harus menggunakan
metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai guna mencegah kehamilan yang tidak
dikehendaki. Kontrasepsi mantap merupakan bukan merupakan indikasi absolut pada
penderita HIV. Perlu diingat bahwa setiap obat ARV memiliki potensi untuk menaikkan
atau menurunkan bioavailabilitas hormon steroid dan kontrasepsi hormonal. Dari data
yang terbatas menunjukkan adanya interaksi antara beberapa obat ARV dengan hormon
kontrasepsi dan dapat mengubah keamanan atau efikasi baik hormon kontrasepsi itu
sendiri ataupun ARVnya.
Belum diketahui pasti apakah kontrasepsi yang hanya mengandung progesteron
suntikan (seperti depo medroxyprogesterone acetat dan norethisterone enantate) juga
terancam efikasinya, karena metode ini memberikan kadar hormon yang tinggi dalam
darah dibanding kontrasepsi progesteron lain, atau dibanding dengan kontrasepsi oral
kombinasi. Penelitian sedang dilaksanakan untuk menilai interaksi antara depo
medroxyprogesteron acetate dengan obat PI dan NNRTI tertentu. Oleh karena itu,
apabila seorang perempuan yang mendapat ART akan mulai atau meneruskan
penggunaan kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan kondom
untuk mencegah penularan HIV dan menjaga kemungkinan adanya penurunan
efektivitas kontrasepsi hormonal yang ia pakai.28,29
Jadi pilihan utama adalah vasektomi atau tubektomi. Pilihan terbaik lain adalah
kondom, karena bersifat proteksi ganda. Kontrasepsi hormonal baik suntik maupun
implan bukanlah suatu kontraindikasi. Kontrasepsi barier lain sperti spons dan
diafragma kurang efektif, karena tidak mengandung proteksi terhadap kontak.
Sementara AKDR tidaklah dianjurkan (kontraindikasi) karena dapat menyebabkan
perdarahan.

IV. KESIMPULAN

AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang digolongkan dalam virus RNA.
Ada 3 cara penularan virus yaitu :
a. Melalui Hubungan intim fisik (baik homoseksual / heteroseksual)
b. Vertikal dari ibu ke janin (risiko 15-45%)
1. Transmisi intrauterin
2. Transmisi intrapartum
3. Transmisi pascapersalinan
c. Terpapar pada darah/cairan tubuh yang terinfeksi (paling mudah terjadi)
Penderita ini sangat mungkin telah terinfeksi HIV akibat suami penderita yang telah
positif menderita HIV.
Asuhan antenatal yang diberikan berupa : konseling bagi ibu hamil dan keluarganya
secara terpisah maupun bersama-sama, memberikan penerangan mengenai risiko
penularan pada bayi terutama pada saat intrapartum, penjelasan mengenai status HIV
dan perjalanan penyakitnya, serta rencana penatalaksanaan lebih lanjut serta
memberikan kesempatan pada penderita dan keluarga untuk memutuskan apakah
kehamilan akan diteruskan atau akan dilakukan aborsi.
Penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi HIV bersifat multidimensi yang
mengkombinasikan aspek medis dan obstetrik sosial dengan konseling dan support
secara sosial, dan persalinan akan dilakukan dengan seksio elektif segera.
Untuk

pencegahan

transmisi

perinatal,

pemberian

antiretrovirus

(ART)

direkomendasikan untuk semua ibu hamil yang terinfeksi HIV. Resiko transmisi
perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan
hingga 20% pada ibu hamil yang mengidap HIV jika diterapi dengan ART.
Semua bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya dilakukan
pemeriksaan untuk mendiagnosa virus pada 2 hari pertama kehidupannya dimana
sedikitnya 40 % bayi baru lahir yang terinfeksi dapat dideteksi. HIV-DNA PCR yang
kedua dapat dilakukan pada umur 2 minggu jika tes awalnya negatif. Semua bayi yang
terpapar HIV sebaiknya diperiksa dengan HIV-DNA PCR pada umur 1-2 bulan dan 3-6
bulan.
Bayi cukup bulan dengan paparan HIV pada masa perinatal sebaiknya mendapatkan
ZDV dengan dosis 2 mg/kg/dosis per oral setiap 6 jam atau 1,5 mg/kg/dosis iv setiap 6

jam selama 30 menit. ZDV sebaiknya dimulai pada 12 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan sampai 42 hari.17
Jika syarat AFFASS, acceptable (dapat diterima), feasible (mudah dikerjakan),
affordable (harga terjangkau), sustainable (berkesinambungan), and safe (aman) dapat
dipenuhi, maka dianjurkan pemberian susu formula. Tetapi jika tidak, maka pemberian
ASI ekslusif 6 bulan dapat direkomendasikan.
Oleh karena terdapat risiko penularan kepada bayi mulai dari dalam kandungan,
persalinan, hingga menyusui meningkat 25-50% maka wanita dengan HIV tidak
dianjurkan untuk hamil.
Seorang perempuan yang mendapat ART akan mulai atau meneruskan penggunaan
kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk
mencegah penularan HIV dan menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas
kontrasepsi hormonal yang ia pakai.
Pengetahuan tentang Kewaspadaan Umum adalah barier protektif bagi tenaga
kesehatan dari ancaman transmisi infeksi.

V. RUJUKAN
1.
2.
3.
4.

5.
6.
7.
8.

9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.

Pusat Data dan Informasi Departemen Kesehatan RI. Situasi HIV/AIDS di Indonesia tahun 1987-2006.
Departemen Kesehatan RI. Jakarta; 2006.
Decock KM, Fowler MG, Mercier E. Prevention of mother to child HIV transmission in resource poor
countries: translating research into policy and practice. JAMA. 2000; 283: 1175-82.
Quinn TC, Wawer MJ, Sewankambo N. Viral load and heterosexual transmission of human
immunodeficiency virus type 1. N Engl J Med. 2000; 342: 921-9.
Paltiel AD, Weinstein MC, Kimmel AD. Expanded screening for HIV in the United States -- an analysis
of cost-effectiveness. N Engl J Med. 2005;352:586-95.
Centers for Disease Control and Prevention. CDC post new HIV testing, referral guidelines. AIDS
Alert. 2002; 17(1): 2-10.
World Health Organization. AIDS epidemic update. (Cited: December, 2000). Geneva: UNAIDS. 2000.
Available from http://www.unaids.org/epidemic_update/index.html.
Partington KN. Heterosexual HIV transmission: ethics of disinformation and the importance of adhering
to an evidence-based approach. Sexual and Relationship Therapy. 2008; 23(4): 419 32.
Edelstein PH. HIV antibody testing at HUP. (Cited: April 2007). Pennsylvania: UPHS. Available from
http://www.uphs.upenn.edu/bugdrug/antibiotic_manual/HIVtesting.html.
Unandar B. Acquired immune deficiency syndrome. Dalam: Ilmu kulit dan kelamin. Edisi I. Jakarta:
Fakultas Kedokteran UI; 1987. h 339-41.
Richard L, Ronald S. Infectious diseases of the female genital tract. 4 thed. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins; 2002. p237-96.
Anderson J.A Guide to the clinical care of woman with HIV. Preliminary ed. Maryland: Women Care
Parklawn Building; 2002. p 211-23, 234-58.
Yunihastuti E,Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi HIV pada kehamilan.edisi I. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2002. h1-32.
Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di pelayanan kesehatan dasar, edisi I. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI; 2002. h1-58.
Scott B Ranson, Mark I Evans, Mitchel P. Contemporary therapy in obstetrics and gynecology.
Philadelphia: WB Saunders Company; 2002. p9-13.
Michel E Rivlin, Rick W Martin. Manual of clinical problems in obstetrics and gynecology. 5 th ed.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins; 1999. p297-300.
William M Baron, Marshal D Lindheimer. Medical disorders during pregnancy. 3th ed. Missouri:Mosby;
2000. p491-502.
Charry & Merkatzs. Complications of pregnancy. 5 th ed. Philadelphia: Lippincott Williams &
Wilkins;1999. p677-89.
James PJ Steer, CP Weiner, B Gonile. High risk pregnancy management options. 4th ed. Philadelphia:
WB Saunders Company;1996. p498-501.
Direktorat Jenderal Pengembangan Penyakit Menular & Penyehatan Lingkungan Depkes RI. Pedoman
nasional terapi antiretroviral. Depkes RI, Jakarta: 2004; 9-15.
Fernando Arias. Practical guide to high risk pregnancy and delivery.2 nd ed. Missouri: Mosby;1993. 3647.
Fernandez AD, McNeeley DF, et al. Management of the infant born to a mother infected with human
immunodeficiency virus type 1 (HIV-1):Current concepts. Am J Perinatology. 2000;17:429-36.
Michael KL, Nesheim SR. Human immunodeficiency virus infection in pregnant women and their
newborns. Clinics in perinatology. 1997;24:161-80
Wiknjosastro H. Penyakit menular. Dalam: Wiknjosastro H. Editor. Ilmu kebidanan. Edisi ketiga.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 1997. p556-8.
Mandelbrot L, Mayaux MJ, Bongain A, et al. Obstetrics factors and mother-to-child transmission of
human immunodeficiency virus type 1: the French perinatal cohort. Am J Obstet Gynecol.
1996;175:661-7.
Direktorat Jenderal Pengembangan Penyakit Menular & penyehatan Lingkungan Depkes RI. Pedoman
nasional perawatan, dukungan, penyebaran ODHA. Jakarta: Depkes RI; 2003. p1-93.
Biggar RJ, Pahwa S, Minkoff H, Mendes H, Willoughby A, Landesman S, et al. Immunosuppresion in
pregnant women infected with human immunodeficiency virus. Am J Obstet Gynecol. 1989;69 (3 pt 1):
288-91
Minkoff H, Henderson C, Mendez H, Gail MH, Holman S, Willoughby A, et al. Pregnancy outcomes
among women infected with human immunodeficiency virus and uninfected control subjects. Am J
Obstet Gynecol. 1990;163 (5 pt 1) : 1598-604
Wood AJJ. Management of human immunodeficiency virus in pregnancy. N Engl J Med. 2002; 346
(24): 1879-91.

Lampiran 1 : Stadium klinis HIV menurut WHO pada dewasa


Stadium klinis I
1. Asimtomatik
2. Limfadenopati generalisata
Skala penampilan 1: asimtomatik, aktivitas normal
Stadium klinis II
1. Berat badan berkurang <10%
2. Manifestasi mukokutaneus ringan (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur di kuku,
ulserasi oral berulang, kheilitis angularis)
3. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (seperti sinusitis bakterial)
Dan/atau skala penampilan 2: simtomatik, aktivitas normal
Stadium klinis III
1. Berat badan berkurang >10%
2. Diare kronik tanpa penyebab yang jelas, >1 bulan
3. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas (datang pergi / menetap), >1 bulan
4. kandidiasis oral (thrush)
5. Oral hairy leucoplakia (OHL)
6. TB paru
7. Infeksi bakterial berat (mis. pnemonia,piomiositis)
Dan/atau skala penampilan 3: <50% dalam masa 1 bulan terakhir terbaring
Stadium klinis IV:
1. HIV wasting syndrome a
2. Pneumocystic carinii pneumonia
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare karena kriptosporidiosis >1 bulan
5. Kriptokokosis ekstra paru
6. Penyakit Cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
(contoh retinitis)
7. Infeksi virus Herpes simpleks, di mukokutaneus (>1 bulan) atau organ dalam
8. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
9. Mikosis endemik yang menyebar
10. Kandidiasis esofagus, trakea, bronki
11. Mikobakteriosis atipik, menyebar atau di paru
12. Septikemia salmonela non-tifoid
13. Tuberkulosis ekstra paru
14. Limfoma
15. Sarkoma Kaposi's
16. Ensefalopati HIV b
Dan/atau skala penampilan 4: terbaring di tempat tidur >50% dalam masa 1 bulan terakhir
a. HIV wasting syndrome: berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai salah satu dari diare kronik tanpa
penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas.
b. Ensefalopati HIV: adanya gangguan dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari,
berlangsung selama berminggu-minggu atau bulan, tanpa ada penyakit penyerta lain selain infeksi-HIV yang dapat
menjelaskan mengapa demikian.

Lampiran 2 : Stadium klinis HIV menurut WHO pada


anak
Stadium klinis I:
1. Asimtomatik
2. Limfadenopati generalisaa
Stadium klinis II:
1. Diare kronik >30 hari tanpa etiologi yang jelas
2. Kandidiasis persisten atau berulang di luar masa neonatal
3. Berat badan berkurang atau gagal tumbuh tanpa etiologi yang jelas
4. Demam persisten >30 hari tanpa etiologi jelas
5. Infeksi bakterial berulang yang berat selain septikemia atau meningitis (contoh:
osteomielitis, pnemonia bakterial non-TB, abses)
Stadium klinis III:
1. Infeksi oportunistik yang termasuk dalam definisi AIDS
2. Gagalan tumbuh yang berat (wasting) tanpa etiologi yang jelasa
3. Ensefalopati yang progresif
4. Keganasan
5. Septisemia atau meningitis berulang
a.

Berat badan berkurang secara persisten >10% dari BB semula atau di bawah garis persentil 5
grafik berat badan dibanding tinggi (BBT) pada pengukuruan 2 kali berturut-turut dengan selang waktu
lebih dari 1 bulan tanpa adanya etiologi atau penyakit penyerta lain yang jelas.

Lampiran 3 : Panduan Penggunaan ARV pada PMTCT


1

Kondisi Klinis
ODHA dengan
indikasi ART1
yang mungkin
dapat hamil

Rejimen bagi Ibu (dosis sesuai Tabel 2)


Pastikan tidak sedang hamil sebelum mulai ARV
Jangan menggunakan EFV kecuali dipastikan
menggunakan kontrasepsi yang efektif seperti
kondom.
AZT + 3TC + NVP atau d4T + 3TC + NVP
Lanjutkan rejimen ART2 yang sekarang digunakan
kecuali bila mengandung EFV, dalam hal ini diganti
dengan NVP atau PI bila dalam kehamilan trimester I.
Lanjutkan ART yang sama selama persalinan dan
pasca persalinan

ODHA dengan ART


yang kemudian
hamil

ODHA hamil
dengan indikasi
ART1

Tunda ART sampai setelah trimester I


Untuk ibu dgn kondisi buruk perlu di pertimbang-kan
untung-rugi untuk memulai ART lebih dini
Berikan ART seperti pada ODHA biasa
ARV-lini I : AZT+3TC+NVP atau d4T+3TC+NVP
EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan TM I

ODHA hamil dan


belum ada
indikasi ART1

AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau


sesegera mungkin setelah itu; dilanjutkan selama
masa persalinan,
ditambah
NVP dosis tunggal pada awal persalinan
Rejimen alternatif:
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 mgg atau segera
mungkin ; dilanjutkan selama persalinan,
AZT + 3TC : sejak kehamilam 36 atau segera
mungkin; dilanjutkan selama masa persalinan
hingga 1 minggu pasca persalinan
NVP dosis tunggal intrapartum

ODHA hamil dgn


indikasi ART tapi
tidak mulai ART
ODHA hamil dgn
TB aktif OAT yg
sesuai untuk
Perempuan hamil
tetap diberikan
Ibu hamil dalam
masa persalinan
yang tidak
diketahui status
HIV
atau
ODHA yang datang
pada saat
persalinan tetapi
belum pernah
Mendapatkan ART

Bayi lahir dari


ODHA yang belum
pernah mendapat

Rejimen bagi Bayi

Berikan AZT
(4mg/kgBB / 12jam)
selama 1 minggu
atau
NVP (2 mg/ kg BB)
dosis tunggal atau
NVP dosis tunggal
ditambah AZT selama
1 minggu
AZT selama 1 minggu
atau
NVP dosis tunggal
atau
NVP dosis tunggal
ditambah
AZT selama 1 minggu
NVP dosis tunggal
dalam 72 jam pertama
ditambah
AZT selama 1 minggu

AZT selama 1 minggu


AZT ditambah
3TC (2mg/kgBB/12
jam)selama 1 minggu
NVP dosis tunggal
dalam 72 jam

Sesuai butir 4, tetapi lebih baik menggunakan rejimen


yang paling efektif dari yang ada
Bila dipertimbangkan untuk mulai ART,gunakan :
AZT + 3TC + SQV/r atau d4T + 3TC + SQV/r
Bila pengobatan dimulai pada trimester III, gunakan
AZT 3TC+ EFV atau d4T + 3TC + EFV
Bila tidak akan menggunakan ART,ikuti butir 4
Untuk ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila
ada waktu, tawarkan pemeriksaan dan konseling, bila
tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera
setelah persalinan (dengan
persetujuan) dan ikut butir 8
atau
Bila positif
Berikan NVP dosis tunggal; bila persalinan sudah
terjadi jangan berikan tapi ikuti pedoman butir 8 Atau
AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan hingga 1
minggu pasca persalinan

NVP dosis tunggal


dalam 72 jam pertama

AZT + 3TC selama 1


minggu
NVP dosis tunggal
sesegera mungkin

obat
ARV

ditambah
AZT selama 1 mgg Bila
setelah 2 hari kurang
bermanfaat

Lamp. 4 : Tanda, gejala klinis, pemantauan & penatalaksanaan


terhadap gejala efek samping yang berat dari ARV yang
membutuhkan penghentian obat
Efek
samping

Kemungkinan
obat
penyebab
Hepatitis
NVP;EFV jarang;
akut
lebih jarang
dgn AZT, ddl,
d4T (<1%); & PI,
paling sering
dgn RTV
Pankreatiti Ddl, d4T; 3TC
s akut
(jarang)

Asidosis
laktat

Semua analog
nukleosida
(NsRTI)

Reaksi
hipersensi
tif

ABC, NVP

Ruam
hebat/
sindroma
StevensJohnson

NNRTI : NVP,
EFV

Tanda/ gejala klinis


gejala gastrointestinal, capai, tidak
nafsu makan; NVP yg berhubungan
dgnhepatitis dapat mempunyai
komponen hiperpeka (ruam karena
obat, gejala sistematik, eosinofilia)

Penatalaksanaan

Pantau transaminase
serum, bilirubin.
Semua ARV harus
dihentikan sampai gejala
teratasi. NP harus
dihentikan selamanya.
Mual, muntah dan sakit perut
Pantau amilase & lipase
pancreas serum. Semua
ART dihentikan sampai
gejala teratasi. Mulai
kembali ART dgn NsRTI
yang lain, lebih disukai
yang tidak menyebab-kan
toksisitas pada pancreas
(mis. AZT, ABC)
Gejala awal bervariasi:
Hentikan semua ART,
Sind. prodromal klinis berupa
gejala dpt berlanjut / lebih
kelelahan umum, lemah, gejala
buruk setelah penghentian
gastrointestinal (mual, muntah),
ART. Berikan terapi
pembesaran hati, tidak nafsu makan, penunjang. Obat yg dpt
&/ kehilangan berat badan mendadak dipertimbangkan untuk
yang tidak dapat dijelaskan), gejala
memulai Th/ kembali
pernafasan (takipnea dan sesak
termasuk kombinasi PI
nafas) atau gejala neurologist
dengan suatu NNRTI &
(termasuk kelemahan motorik)
kemungkinan salah satu
ABC/tenofovir (TDF)
ABC: kumpulan gejala awal
Hentikan semua ARV
termasuk: demam, capai,mialgia,
sampai gejala teratasi.
mual/muntah, diare sakit perut,
Reaksi dapat bertambah
faringitis, batuk, sesak nafas
buruk secara cepat dng
(dengan / tanpa ruam). Walaupun
pemberian obat & dapat
gejala bertumpang tindih dgn gejala fatal. Berikan terapi
pernafasan dan gastrointestinal yang penunjang.
timbul akut setelah memulai ABC
Jangan coba lagi dengan
menunjukan khas adanya reaksi
ABC atau NVP, karena
hiperpeka. NVP: gejala sistematik
reaksi anafilaktik dan
seperti demam, mialga, artralgia,
kematian telah pernah
hepatitis, eosinofilia dengan / tanpa dilaporkan. Sekali gejala
ruam
teratasi, mulai kembali
ARV dan menggantinya
dgn NsRTI lain jika
berhubungan dgn ABC
/dgn PI / NsRTI jika
berhubungan dgn NVP.
Ruam biasanya timbul dalam 2-4mgg Hentikan semua ARV
pertama pengobatan.
sampai gejala teratasi.
Ruam biasanya eritomatous,
Hentikan sama sekali NVP
makulopapula, bersatu paling banyak yang menimbulkan ruam
ditubuh dan lengan, mungkin gatal
dgn gejala sistematik
dan dapat terjadi dengan atau tanpa
seperti demam, ruam yang
demam. Sindrom Stevens- Johnson
hebat dgn lesi pada
atau nekrotik epidermal toksik
mukosa atau gatal,

(SSJ/NET) terjadi pada ~0,3% orang


terinfeksi yang menerima NP.

Neuropati
perifer
yang
hebat

Ddl, d4T

Sakit, semutan, mati rasa pada


tangan dan kaki; kehilangan sensori
distal, kelemahan otot ringan dan
dapat terjadi hilangnya refleks.

atau SSJ/NET;
begitu teratasi, ganti obat
ART dengan jenis ARV
lainnya (mis. 3NsRTI / 2
NsRTI & PI). Jika ruam tidak
begitu hebat tanpa gejala
mukosa atau sistematik,
ganti NNRTI (NVP ganti dgn
EFV) dpt dipertim-bangkan
setelah ruam teratasi.
Hentikan NsRTI yang
dicurigai dengan NsRTI
lain yang tidak neurotorik
(mis. AZT, ABC), gejala
biasanya
teratasi dalam 2-3mgg.

Anda mungkin juga menyukai