Anda di halaman 1dari 35

1

I.

REKAM MEDIS
A. Anamnesis Umum
1. Identifikasi
Nama

: Ny. Irm

Umur

: 26 tahun

Alama

: Komplek Jaya I No. 2324, RT. 15 Plaju SU II, Palembang

Suku Bangsa

: Indonesia

Agama

: Islam

Pendidikan

: SMA

Pekerjaan

: Ibu rumah tangga

MRS

: 25 September 2007, Pukul 14.09 WIB

Med.rec/register : 07 64 47 / 070 140 58


2. Riwayat perkawinan
Kawin 1 kali, lamanya 1 tahun
3. Riwayat reproduksi
Penderita menars pada usia 12 tahun, dengan siklus haid teratur, 28 hari, lama
haid lebih kurang 5 hari. Hari pertama haid terakhir 25 Desember 2006.
Taksiran Persalinan 2 Oktober 2007
4. Riwayat kehamilan/melahirkan
G1P0A0 : 1. Hamil ini
5.

Riwayat penyakit dahulu : HIV (+)

6. Riwayat gizi atau sosial ekonomi : Sedang


B. Anamnesis Khusus
Keluhan utama

: Hamil cukup bulan dengan HIV

Riwayat perjalan panyakit :


Sejak 1 minggu sebelum masuk rumah sakit, penderita baru mengetahui kalau
dirinya mengidap HIV (+) dari hasil pemeriksaan laboratorium (tgl 24 September
2007), pemeriksaan ini dilakukan karena suaminya juga mengidap HIV (+). Saat ini
Os. mengaku hamil cukup bulan, gerakan anak masih dirasakan. Riwayat perut
mules yang menjalar ke pinggang yang makin lama makin sering dan kuat (-),
riwayat keluar darah lendir (-), riwayat keluar air-air (-). Riwayat demam tinggi (-),
riwayat sakit kepala yang disertai nyeri sendi dan otot (-), riwayat mual muntah dan
diare (-).

2
C. Pemeriksaan Fisik
1.

Status Presens
Keadaan umum : sedang

Nadi

: 80 x/m

Kesadaran

:compos mentis

Pernafasan

: 20 x/m

Tipe badan

: atletikus

Suhu

: 36,60 C

Berat badan

: 53 Kg

Edema pretibial : -/-

Tinggi badan

: 150 cm

Reflek fisiologi : normal/normal

Tekanan darah

: 120/80 mmHg

Reflek patologi : - / -

2. Status obstetrik
Pemeriksaan luar :
Tinggi fundus uteri 2 jari bawah processus xyphoideus (31 cm), memanjang,
punggung kiri, presentasi kepala, penurunan 4/5, his (-), denyut jantung janin
140 X/mnt, taksiran berat janin 3000 g.
Pemeriksaan dalam :
Porsio lunak, posisi posterior, pendataran 0%, pembukaan kuncup, ketuban
belum bisa dinilai, terbawah kepala, penurunan H I-II, penunjuk belum bisa
dinilai.
3. Diagnosis Kerja :
G1P0A0 hamil aterm dengan HIV belum inpartu, janin tunggal hidup presentasi
kepala.
4. Tatalaksana :
-

Rencana Terminasi perabdominam

Observasi tanda vital ibu dan tanda-tanda inpartu

Persiapan operasi ( izin, alat, obat, darah)

Konsul PDL dan Anastesi

Lab DR, KD & UR

Terapi ART duviral 1 x 1 tablet (diteruskan)

5. Laboratorium ( tgl 24-09-2007 ) :


Darah rutin

: Hb 9,3g%, Ht 28 vol%, Eritrosit 3.1 juta, Leukosit 8400/l,


Trombosit 299.000/l, Hitung Jenis 0/2/0/61/30/7, Gol. Darah
A Rh (+), CT 11 menit, BT 2 menit.

Urin Rutin

: Warna kuning, Jernih, pH 6.0, BJ 1.015, Glukosa (-), Protein (-),


Billirubin (-), Urobillinogen (+), Darah (-), Nitrit (-), Keton (-),
Eritrosit 1-2/LPB, Lekosit 0-1/LPB, Sel epitel (+), Silinder (-),
Kristal ().

Kimia darah : BSS 64 mg/dl , Billirubin total 0.5 mg/dl, Billirubin direk 0.1
mg/dl, Billirubin Indirek 0.4 mg/dl, Protein Total 6.4 g/dl,
Albumin 3.1 mg/dl, Globulin 3.1 g/dl, Ureum 17 mg/dl,
Creatinine 1.1 mg/dl, Natrium 141 mmol/l, Kalium 4.0 mmol/l.

Anti HIV

: Standard Diagnostic Reaktif, Immuno Comb II Reaktif,


Determine Abbot Reaktif.

CD4

: CD4 Abs 155, CD4% 11 (09-10-2007)

6. Konsultasi (26 September 2007)


Hasil konsul Penyakit Dalam:
Kesan : Saat ini cor dan pulmo fungsional kompensata
Hasil konsul Anastesi :
Kesan : ASA III
Saran : Pasien akan di observasi di kamar operasi.
Follow up
No
Waktu
.
1. 26-09-07
03.00 WIB

Pemeriksaan Fisik

Penatalaksanaan

Kel: Perut mules yang menjalar ke


pinggang
Status presens:
KU: baik, CM, TD: 110/80 mmHg, N:
80 x/m, RR: 20 x/m, T: 36.8oC
Status obstetrik:
PL: Tifut 2 jari bawah px (30 cm),
memanjang, punggung kiri, presentasi
kepala, penurunan 4/5 his 2x/10/30,
DJJ (142), TBJ 2800 g.
VT: porsio lunak, posisi medial,
pendataran 100%, pembukaan 2 cm,
ketuban
(+),
terbawah
kepala,
penurunan H I-II, penunjuk belum bisa
dinilai.
D/ G1P0A0 hamil aterm dengan HIV
inpartu kala I fase aktif, janin tunggal
hidup, presentasi kepala.

- Terminasi Perabdominal
Cito
- Observasi DJJ, tanda vital
ibu & tanda-tanda inpartu
- Persiapan Operasi
- Informed consent

LAPORAN OPERASI
No. Operasi :
Nama Pasien :
Alamat
:
Med.Rec/Reg :
Premedikasi :
Induksi
:
Maintenance :

30/Eg-Obs/IX/07
Ny. Irma Susilawati / 26 tahun
Jl.Plaju - Palembang
076447 / 07014058
SA 0,25 mg
Bunascan
N2O + O2 + Fluthane

Pukul 09.45 WIB. Operasi dimulai

Hari/tanggal
Operator
Asisten I
Asisten II
Anestesi
Instrumen

:
:
:
:
:
:

Rabu , 26 September 2007


dr. H. Amir Fauzi, SpOG-K
dr. Nova Ardiansyah
dr. Oriza
dr. Nirwan / Susilo
Lela Nurlela

Penderita dalam posisi duduk dan dilakukan anastesi spinal. Lalu dilakukan tindakan aseptik dan
antiseptik pada daerah perut dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
Dilakukan insisi mediana sepanjang 10 cm, insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampai
menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus sebesar kehamilan aterm.
Diputuskan untuk melakukan SSTP dengan cara sebagai berikut:
Membuka dan memotong plika vesikouterina, kemudian vesika urinaria disisihkan ke
bawah dan dilindungi dengan hak besar
Insisi SBR konkaf ke atas sepanjang 9 cm secara tajam kemudian bagian tengah
ditembus secara tumpul dengan jari sampai menembus kavum uteri dan diperlebar
kesamping, ketuban jernih.
Anak dilahirkan dengan cara meluksir kepala.
Pukul 09.50 WIB. Lahir bayi perempuan dengan BB: 3300 gram, PB: 52 cm, AS 8/9. Ke dalam
cairan infus dimasukkan piton-s 20 IU, plasenta dilahirkan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
Pukul 09.55 WIB. Plasenta lahir lengkap dengan BP: 450 g, PTP: 55 cm, 18 x 19 cm.
Dilakukan pembersihan cavum uteri dengan kassa, dilanjutkan penjahitan pada sudut luka secara
figure of eight Kemudian dilanjutkan penjahitan pada uterus secara selapis yaitu sebagai berikut :
Lapisan SBR dijahit secara jelujur dengan benang Vicryl no. 1.0
Perdarahan dirawat sebagaiman mestinya
Setelah diyakini tak ada perdarahan dilanjutkan reperitonealisasi dengan Plain catgut no 2.0
Dilanjutkan dengan pencucian cavum abdomen dengan NaCl 0,9%
Dilanjutkan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut :
Peritoneum dijahit jelujur dengan plain catgut no.2.0
Otot dijahit secara jelujur dengan plain catgut no. 2.0
Fascia dijahit jelujur feston dengan Vicryl no. 1.0
Subkutis dijahit secara terputus satu-satu dengan plain catgut no. 1.0
Kutis dijahit secara subkuticuler Vicryl no. 3.0
Luka operasi ditutup dengan sofratule dan opsite.
Pukul 10.20 wib Operasi selesai
Cairan Masuk:
RL
:
NaCl
:
Total
:
Diagnosis pra bedah
Diagnosis pasca bedah
Tindakan

900 cc
- cc
900 cc

Cairan Keluar:
Darah
:
Urine
:
Total
:

300 cc
500 cc
800 cc

: G1P0A0 hamil aterm dengan HIV Inpartu kala I fase laten, janin tunggal
hidup presentasi kepala
: HIV
: Seksio sesaria transperitonealis profunda

II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penatalaksanaan pada wanita hamil dengan HIV ?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita postpartum dengan HIV ?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan bayi yang lahir dari penderita HIV ?
4. Apakah ASI dapat diberikan oleh penderita HIV ?
5. Alat kontrasepsi yang terbaik untuk penderita HIV ?

III. ANALISA KASUS


1. Bagaimanakah penatalaksanaan pada wanita hamil dengan HIV ?
Penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi Human Imunodeficiency Virus (HIV)
bersifat multidimensi, mengkombinasikan aspek medis dan obstetri sosial dengan
konseling dan support secara sosial. Perhatian terhadap aspek sosial dan
psikologis dari penderita adalah hal yang penting dalam perawatan medis.
Idealnya digunakan pendekatan secara tim terpadu yang terdiri dari; pekerja
kesehatan, konselor, dan kelompok penyokong lain.1,2,3,4,5,10,14
Pada umumnya bagi Orang Dengan HIV AIDS (ODHA) hamil lebih
dianjurkan untuk memulai Antiretroviral Therapy (ART) setelah trimester
pertama dilalui, akan tetapi bagi mereka yang berada pada AIDS ( acquired
immune deficiency syndrome) tahap lanjut, pemberian terapi dengan segera

akan lebih baik dibandingkan dengan risiko apapun pada janinnya. Lebih lanjut,
terapi dengan dua NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor) seperti
d4T/ddI (stavudine/didanosine) tidak diperbolehkan pada kehamilan dan hanya
digunakan bila tidak ada pilihan lain, oleh karena kombinasi tersebut akan
memberikan risiko tinggi terjadinya asidosis laktat pada perempuan hamil.
Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP (nevirapine) atau
ruam kulit yang berat jarang terjadi, kalau ada lebih sering pada perempuan
dibanding laki-laki, dan cenderung terjadi pada perempuan dengan CD4 tinggi
(>250/mm3)6. Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok perempuan
hamil akan tetapi tidak diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi
toksisitas tersebut6,7,8.
ODHA perempuan yang pernah mendapat profilaksis NVP atau 3TC
(lamivudine) dosis tunggal untuk PMTCT (prevention of mother-to-child
transmission = pencegahan penularan dari ibu ke anak) harus dianggap

memenuhi kriteria untuk mendapatkan rejimen yang mengandung NNRTI dan


harus mendapat akses ART seumur hidup hingga tersedia data pasti pada masalah
ini.
Banyak negara telah mempertimbangkan penggunaan terapi kombinasi tiga
obat jangka pendek untuk PMTCT pada ODHA perempuan yang belum
membutuhkan ART bagi dirinya sendiri, dan terapi pasca persalinan dihentikan
bila belum memenuhi kriteria klinik pemberian ART bagi dirinya.

Dari semua kasus, penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi HIV, termasuk
pemberian pengobatan dengan antiretroviral, haruslah dipandang sebagai satu
bagian dari seluruh perawatan yang dilakukan terhadap ibu dan bayi. Perawatan
lanjut mungkin dapat dilakukan di rumah yang termasuk dalam primary health
care services , di rumah sakit, atau pada klinik spesialis, tergantung pada
kebutuhan penderita dan fasilitas yang tersedia. Prosedur diagnostik dan
penatalaksaan sangat tergantung pada sumber yang tersedia dan setiap negara
seharusnya membuat rekomendasi yang sesuai dengan situasi yang ada.3,5,10,14
1. Asuhan Ante Natal
Kebanyakan ibu hamil yang terinfeksi HIV bersifat asimptomatis dan tidak
mempunyai kelainan obstetrik selama kehamilannya. Mereka seharusnya
mendapatkan perawatan yang sama dengan ibu hamil yang normal. Bagi ibu
hamil dan keluarganya diberikan konseling secara terpisah maupun bersamasama. Diterangkan mengenai risiko penularan pada bayi dengan angka
transmisi sekitar 25% terutama pada saat intrapartum (70-80%). Beri
penjelasan mengenai status HIVnya serta perjalanan penyakit dan rencana
penatalaksanaan selanjutnya. Memberikan kesempatan pada penderita dan
keluarganya untuk memutuskan kehamilan akan diteruskan atau akan
dilakukan aborsi.3,14,16
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
infeksi primer. Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan
gejala ini berlangsung selama 2-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala ini dapat
ringan sampai berat dan sekitar 42% penderita memerlukan perawatan di
rumah sakit. Gejala-gejala infeksi primer ini dapat dibagi menjadi gejala
umum berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi dan rasa lemah. Di samping itu
terdapat gejala akibat kelainan mukokutan seperti ruam kulit, ulkus di mulut
serta genital. Selain itu sekitar 50% kasus disertai dengan pembengkakan
kelenjar limfe, Sedangkan gejala gejala lain berupa nyeri kepala, nyeri
belakang mata, fotopobia dan depresi. Kelainan neurologi yang lain dapat
berupa meningitis. Dapat juga timbul kelainan saluran cerna berupa anoreksia,
diare dan jamur di mulut.4,5,14
Tabel 1. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok
Gejala
Umum
Demam

Kekerapan (%)
90

Mukokutan
Limfadenopati
Neurologi

Saluran Cerna

Nyeri otot
Nyeri sendi
Rasa lemah
Ruam kulit
Ulkus di mulut
Nyeri kepala
Nyeri belakang mata
Fotopobia
Depresi
Meningitis
Anoreksia
Nausea
Diare
Jamur di mulut

54
0
0
70
12
74
32
0
0
0
12
0
0
32
12

Dikutip dari: Djauzi5

Gejala infeksi primer di atas, berlangsung selama 2-6 minggu dan akan
membaik dengan atau tanpa pengobatan. Setelah itu perjalanan penyakit
menuju stadium tanpa gejala yang pada orang dewasa lamanya 5-10 tahun.
Masa tanpa gejala ini akan memendek apabila viral load pada titik
keseimbangan (set point) tinggi. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala
gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfe yang kemudian
diikuti oleh infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka
perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS.
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi risiko kematian,
progresifitas menjadi AIDS, atau progresifitas penurunan kadar CD4. Pengaruh
kehamilan terhadap CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns dkk. Pada
kehamilan normal terjadi penurunan kadar CD4 pada awal kehamilan untuk
mempertahankan janin. Pada ibu hamil yang tidak menderita HIV, persentase
CD4 akan meningkat kembali mulai trimester ketiga hingga 12 bulan setelah
melahirkan, sedangkan pada ibu hamil pengidap HIV penurunan tetap terjadi
selama kehamilan dan setelah melahirkan, walaupun hal ini tidak bermakna
secara statistik. Namun penelitian dari European Collaborative Study dan
Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sampel yang lebih besar,
menunjukkan persentase penurunan CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan
setelah melahirkan tetap stabil.2,5,8,9
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load)
HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 bulan persalinan,

walaupun secara statistik tidak bermakna.2,5,8,9,14 Kehamilan juga tidak


mempercepat progresifitas penyakit menjadi AIDS. Italian Seroconversion
Study Group yang membandingkan antara ibu hamil yang terinfeksi HIV
dengan yang tidak terinfeksi, menunjukkan tidak ada perbedaan risiko menjadi
AIDS atau penurunan CD4 menjadi kurang dari 200/mm3. 2,5,8,9
Jika dalam kehamilan didapatkan penurunan CD4 menjadi < 200/mm3
maka disarankan untuk diberikan antibiotik profilaktif untuk menghindari
risiko infeksi. Dilakukan pemeriksaan CD4 berkala.
Pada kasus ini penderita tidak menunjukkan gejala infeksi primer,
pemeriksaan tes skrining dilakukan setelah upaya penyuluhan bahwa penderita
terpapar oleh suami yang telah dinyatakan positif HIV. Selama asuhan
antenatal penderita telah mendapatkan perlakuan yang sama dengan ibu hamil
yang normal.
2. Pencegahan transmisi perinatal
Kehamilan dan menyusui memberikan masalah tambahan dalam hal
toksisitas obat terhadap ibu maupun anak, pemilihan obat ARV dan pencegahan
penularan HIV dari ibu ke bayinya. Masalah tersebut perlu mendapat perhatian
khusus untuk memberikan hasil pengobatan yang optimal.
Berbeda dengan populasi penderita HIV lainnya, pemberian antiretrovirus
(ART) direkomendasikan untuk semua ibu hamil yang terinfeksi untuk
mengurangi risiko transmisi perinatal. Hal ini berdasarkan bahwa risiko
transmisi perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan risiko
transmisi dapat diturunkan hingga 20% pada ibu hamil pengidap HIV yang
sedang dalam menjalani terapi ART. Tujuan pemberian ART pada kehamilan
adalah untuk memaksimalkan kesehatan ibu dan mengurangi risiko transmisi
HIV dengan cara menurunkan kadar HIV serendah mungkin. Pada kehamilan,
keuntungan pemberian ART ini harus dibandingkan dengan potensi, toksisitas,
teratogenesis dan efek samping jangka lama.
Saat ini di Indonesia beberapa ART tersebut sudah tersedia dalam bentuk
generik dan dengan harga lebih murah, antara lain : Zidovudin, Lamivudin,
Nevirapin dan Stavudin.
Obat ART yang pertama kali diteliti untuk mengurangi transmisi perinatal
adalah Zidovudin (ZDV). Pada PATCG protokol 076, ZDV yang diberikan

peroral mulai minggu ke 14 kehamilan, dilanjutkan dengan ZDV intravena


pada saat intra partum untuk ibu, diikuti dengan ZDV sirup yang diberikan
pada bayi sejak usia 6-12 jam sampai dengan 6 minggu. Pada penelitian ini
bayi tidak mendapat ASI. Cara ini ternyata efektif menurunkan transmisi
perinatal dari 25,5% pada kelompok kontrol menjadi 8,3% . 2,3,4,5,9,10
Penggunaan kombinasi yang sangat aktif diharapkan akan mencegah
munculnya resistensi terhadap obat dan sangat efektif untuk mencegah
penularan perinatal kepada bayi.
Rejimen lini-pertama yang direkomendasikan untuk kelompok ini adalah:
(d4T atau AZT) + 3TC + NVP = Stavudin/Zidovudin+Lamivudin+Nevirapin
Pada kasus ini diberikan duviral 1 kali sehari ( kombinasi AZT 300 mg
dan lamivudin 150 mg) yang dimulai pada saat dinyatakan positif, dan
dilanjutkan dengan Neviral 1 tablet/hari selama 4 hari dimulai pada saat
persalinan.
3. Penatalaksanaan Obstetrik
Untuk mengurangi risiko transmisi HIV yang terjadi terutama pada saat
intrapartum, beberapa peneliti mencoba membandingkan transmisi antara
tindakan seksiosesar dengan partus pervaginam. Persalinan dengan seksiosesar
dianggap dapat mengurangi terpaparnya bayi dengan cairan servikovaginal
yang mengandung HIV.2,3,4,5
Penelitian awal dari European Collaborative Study melaporkan transmisi
HIV yang lebih rendah pada penderita yang menjalani seksiosesar
dibandingkan partus pervaginam (11,7% dibandingkan 17,6%) tanpa
membedakan seksio elektif dan emergensi. Namun ternyata penelitianpenelitian selanjutnya tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna secara
statistik. Women and Infants Transmission Study mengemukakan bahwa
lamanya ketuban pecah sebelum persalinan lebih bermakna daripada
seksiosesar untuk menurunkan transmisi vertikal (RR 1,81/1,13). Selanjutnya
beberapa penelitian membandingkan risiko transmisi pada partus pervaginam,
seksiosesar emergensi dan elektif. European Mode of Delivery Collaboration
membandingkan transmisi perinatal pada penderita HIV yang melahirkan
pervaginam dan seksiosesar. Ternyata seksiosesar secara elektif dapat
menurunkan resiko transmisi hanya 80% dibandingkan partus pervaginam

(1,8% dibandingkan 10,5%). Demikian juga hasil metaanalisis dari The


International Perinatal HIV Group terhadap 15 penelitian dengan lebih dari
8000 sampel di beberapa negara.2-6,11
Seksiosesar elektif akan lebih bermakna jika disertai pemberian
antiretrovirus. Risiko transmisi akan berkurang sekitar 87%. Karena itu, saat
ini seksiosesar dianggap hanya mempunyai efek proteksi parsial terhadap
transmisi HIV vertikal. Untuk lebih mengurangi kemungkinan transmisi
intrapartum, Towers dkk mencoba teknik seksiosesar dengan perdarahan
minimal. Namun pada penelitian tersebut ternyata efek seksiosesar dengan
perdarahan minimal hampir sama dengan pemberian antiretrovirus (transmisi
HIV 6,3% dibandingkan 7,9%). Cara ini mungkin dapat menjadi alternatif
pada ibu yang tidak mendapat terapi antiretrovirus.2-6,11,14
Namun pertimbangan untuk melakukan seksiosesar tanpa indikasi
obstetrik lain harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat komplikasi
seksiosesar mungkin terjadi terutama pada stadium lanjut. Laporan PATCG
185 menyebutkan bahwa komplikasi minor seksiosesar seperti endometritis,
infeksi luka dan infeksi traktus urinarius lebih banyak terjadi pada penderita
HIV dibandingkan dengan kelompok non HIV. Namun tidak ada perbedaan
kejadian komplikasi mayor seperti pneumonia, efusi pleura ataupun sepsis.2,3,4,5
Selain seksiosesar, berbagai cara telah dicoba untuk menurunkan risiko
transmisi penularan intrapartum pada Odha. Salah satunya adalah pencucian
jalan lahir dengan kassa yang direndam dengan 0,25% klorheksidin. Ternyata
cara ini tidak dapat mengurangi risiko transmisi partus pervaginam.5
Dengan mempertimbangkan besaran prosentase keberhasilan menekan
terjadinya transmisi intrapartum sebesar 87 %, jika dilakukan sesar elektif
yang disertai dengan pemberian ART. Kasus ini direncanakan untuk dilakukan
terminasi perabdominam yang disertai dengan pemberian ART. Apalagi
dengan riwayat bekas sesar sebelumnya yang memberikan kemungkinan lebih
besar dilakukannya tindakan invasif ( amniotomi, stripping of membrane)
untuk akselerasi dan seringnya dilakukan periksa dalam pada persalinan
pervaginam. Dikatakan bahwa transmisi intrapartum pada persalinan
pervaginam yang disertai ART adalah 7,3 % bila dibandingkan dengan sesar
yang disertai ART yang hanya 2 %. Sedangkan tindakan amniotomi dan

stripping of membrane itu sendiri meningkatkan

risiko transmisi infeksi

intrapartum.
4. Kewaspadaan dalam tindakan medik
Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai
mikroorganisme pada seorang pasien penting peranannya dalam keberhasilan
manajemen kasus. Apalagi bila infeksi yang terjadi disebabkan oleh infeksi
virus seperti HIV, Hepatitis B dan lain-lain. Akan tetapi atas dasar
pertimbangan, sampai saat ini penapisan (screening) terhadap berbagai infeksi
virus tidak mungkin dilakukan secara rutin. Bahkan pada infeksi HIV, terhadap
window period yang mana pada masa itu darah atau cairan tubuh penderita
sudah dapat menularkan infeksi, walaupun adanya HIV belum terdeteksi
melalui pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip kewaspadaan
umum dalam upaya pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan
memutuskan rantai transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah atau
cairan tubuh lainnya.14,16
Di bawah ini disampaikan langkah-langkah yang perlu diperhatikan
sebagai prosedur pencegahan infeksi khususnya infeksi yang ditularkan
melalui darah/cairan tubuh. Perlu diingatkan bahwa langkah-langkah di bawah
ini tidak mengabaikan pentingnya pelaksanaan prosedur standar dalam tiaptiap tindakan pemrosesan alat/instrumen secara tepat, pembuangan sampah /
limbah secara aman dan menjamin kebersihan ruangan tindakan dan
lingkungan sekitarnya. Segala prosedur pembedahan yang membuka jaringan
organ, pembuluh darah, pertolongan persalinan maupun tindakan abortus
termasuk tindakan medik invasif risiko tinggi untuk menularkan HIV bagi
tenaga dokter.
Untuk memutuskan rantai penularan, diperlukan barier berupa : kacamata
pelindung untuk menghindari percikan cairan tubuh pada mata, masker
penutup pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan pada
mukosa hidung dan mulut, plastik penutup badan (skort) untuk mencegah
kontak cairan tubuh pasien dengan penolong, sarung tangan yang tepat untuk
melindungi tangan yang aktif melakukan tindakan medis invasif, dan penutup
kaki untuk melindungi kaki dari kemungkinan terpapar cairan yang infektif.14,16
a. Kewaspadaan di kamar operasi
a.1. Dalam prosedur operasi.

Selain oleh darah secara kontak langsung, tertusuknya bagian tubuh


oleh benda-benda tajam merupakan kecelakaan yang harus dicegah.
Oleh karena itu instrumen yang tajam jangan diberikan ke dan dari
operator oleh asisten atau instrumentator. Untuk memudahkan hal ini
dipakai nampan guna menyerahkan instrumen tajam tersebut atau
mengembalikannya. Operator bertanggung jawab untuk menempatkan
benda tajam secara aman.
a.2. Pada saat menjahit
Pada saat menjahit lakukanlah prosedur sedemikian rupa sehingga
jari/tangan terhindar dari tusukan. Bila tersedia, gunakan jarum khusus
yang mempunyai desain khusus yang mampu menembus jaringan
tetapi tidak akan menembus sarung tangan.
a.3. Memisah jaringan.
Jangan gunakan tangan untuk memisahkan jaringan, karena tindakan
ini akan menambah risiko pemaparan infeksi melalui tangan operator.
a.4. Operasi sulit
Untuk operasi-operasi yang membutuhkan waktu lebih dari 60 menit
dan lapangan kerjanya sulit (sempit) dianjurkan untuk menggunakan
sarung tangan ganda.
a.5. Melepas baju operasi dilakukan sebelum membuka sarung tangan agar
tidak terpapar oleh darah/cairan tubuh dari baju operasi tersebut.
a.6. Pencucian instrumen bekas pakai sebaiknya secara mekanik. Bila
mencuci instrumen secara manual, petugas harus menggunakan sarung
tangan rumah tangga dan instrumen tersebut sebelumnya telah
mengalami proses dekontaminasi dengan merendam dalam larutan
klorin 0,5% selama 10 menit.
a.7. Seorang dokter yang akan melakukan prosedur pembedahan sebaiknya
telah diuji kelayakannya untuk melakukan tindakan tersebut secara
khusus sebelumnya.16
b. Kewaspadaan di kamar bersalin.
Selain memperhatikan kebutuhan barier yang telah disebutkan di atas, perlu
diingat bahwa :
b.1. Kegiatan di kamar bersalin yang membutuhkan lengan / tangan

Untuk manipulasi intrauterin tentunya harus menggunakan skort dan


sarung tangan yang mencapai siku.
b.2. Menolong bayi baru lahir harus menggunakan sarung tangan.
b.3. Cara penghisapan lendir bayi dengan mulut penolong harus
ditinggalkan.
b.4. Potonglah tali pusat pada saat bayi pulsasi telah menurun atau hilang.
b.5. ASI dari ibu yang terinfeksi HIV mempunyai risiko untuk bayi baru
lahir, akan tetapi tidak berisiko untuk tenaga kesehatan.
c. Prosedur anestesi
Prosedur anestesi merupakan salah satu aktifitas yang dapat memaparkan
infeksi virus pada tenaga kesehatan pula. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah :
c.1. Perlu disediakan nampan/troli untuk alat-alat yang sudah dipergunakan.
c.2. Jarum harus dibuang sesegera mungkin setelah pemakaian ke dalam
wadah yang aman.
c.3. Pakailah obat-obatan sedapat-dapatnya untuk 1 dosis dengan 1 kali
pemberian
c.4. Menutup spuit adalah prosedur beresiko tinggi.
c.5. Sangatlah dianjurkan petugas anestesi melewati uji kelayakan terlebih
dahulu untuk meminimalkan resiko terluka oleh tusukan jarum suntik
dan alat lain yang tercemar darah atau cairan tubuh.16
d. Manajemen untuk tenaga kesehatan yang terpapar darah atau cairan
tubuh.
d.1. Paparan secara parenteral melalui tusukan jarum, terpotong dan lainlain, keluarkan darah sebanyak-banyaknya, cuci tangan dengan sabun
dan air atau engan air saja sebanyak-banyaknya.
d.2. Paparan pada membran mukosa melalui cipratan ke mata : cuci mata
secara gentle dengan mata dalam keadaan terbuka menggunakan air
atau cairan NaCl.
d.3. Paparan pada mulut: keluarkan cairan infektif tersebut dengan cara
berludah, kemudian kumur- kumur dengan air beberapa kali.

d.4. Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit yang sedang mengalami
perlukaan, lecet atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air
dan sabun antiseptik.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan
pemeriksaan HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus
diperhatikan. Pejamu pun harus terus dimonitor kemungkinan infeksinya.
Selama pemantauan, tenaga kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan
konseling mengenai resiko infeksi dan pencegahan transmisi selanjutnya.
Tentunya individu teresbut diingatkan untuk tidak menjadi donor darah
ataupun jaringan, melakukan hubungan seksual yang aman dan mencegah
kehamilan.16
2.

Bagaimanakah penatalaksanaan penderita postpartum dengan HIV ?


Penatalaksanaan ibu nifas pada penderita HIV dilakukan sebagaimana biasanya,
dengan memperhatikan kaidah-kaidah kewaspadaan universal, waspada terhadap
pajanan cairan tubuh berupa darah, cairan vagina, dan urin serta tinja bagi petugas
kesehatan.
Pada ibu nifas karena tidak disarankan memberikan ASI, maka perlu
diberikan bromokriptin oral untuk menghentikan produksi ASI, dan pemberian
kontrasepsi jangka panjang.
Untuk pengobatan antiretroviral lanjutan, sebelum memulai terapi perlu
dilakukan hal-hal sebagai berikut:

a. Penggalian riwayat penyakit secara lengkap


b. Pemeriksaan fisik lengkap
c. Pemeriksaan laboratorium rutin
d. Hitung limfosit total (total lymphocyte count/TLC) dan bila mungkin
pemeriksaan jumlah CD4
Perlu penilaian klinis yang rinci sbb:
a. Menilai stadium klinis infeksi HIV
b. Mengidentifikasi penyakit yang berhubungan dengan HIV di masa lalu
c. Mengidentifikasi penyakit yang terkait dengan HIV saat ini yang
membutuhkan pengobatan
d. Mengidentifikasi pengobatan lain yang sedang dijalani yang dapat
mempengaruhi pemilihan terapi.

Pertanyaan mengenai riwayat penyakit meliputi:


a. Kapan dan di mana diagnosis HIV ditegakkan
b. Kemungkinan sumber infeksi HIV
c. Gejala dan keluhan pasien saat ini
d. Riwayat penyakit sebelumnya, diagnosis dan pengobatan yang diterima
termasuk infeksi oportunistik
e. Riwayat penyakit dan pengobatan tuberkulosis (TB) termasuk kemungkinan
kontak dengan TB sebelumnya
f. Riwayat kemungkinan infeksi menular seksual (IMS)
g. Riwayat dan kemungkinan adanya kehamilan
h. Riwayat penggunaan ART termasuk riwayat rejimen untuk PMTCT
sebelumnya.
i. Riwayat pengobatan dan penggunaan kontrasepsi oral pada perempuan
j. Kebiasaan sehari-hari dan riwayat perilaku seksual
k. Riwayat penggunaan NAPZA suntik.
Pemeriksaan fisik meliputi :
a. Berat badan, tanda vital
b. Kulit: herpes zoster, sarkoma Kaposi, dermatitis HIV, pruritic papular
eruption (PPE), dermatitis seboroik berat, jejas suntikan (needle track) atau
jejas sayatan
c. Limfadenopati
d. Selaput lendir orofaringeal: kandidiasis, sarcoma Kaposi, hairy leukoplakia,
HSV
e. Pemeriksaan jantung, paru dan abdomen
f. Pemeriksaan sistem saraf dan otot rangka: kedaan kejiwaan, berkurangnya
fungsi motoris dan sensoris
g. Pemeriksaan fundus mata: retinitis dan papil-edema
i. Pemeriksaan saluran kelamin/alat kandungan
Pemeriksaan psikologis :
a. Untuk mengetahui status mental
b. Menilai kesiapan menerima pengobatan jangka panjang atau seumur hidup.
Pemeriksaan Laboratorium :

a. Pemeriksaan serologi untuk HIV dengan menggunakan strategi 2 atau strategi


3 sesuai pedoman
b. Limfosit total atau CD4 (jika tersedia)
c. Pemeriksaan darah lengkap (terutama Hb) dan kimia darah (terutama fungsi
hati) dan fungsi ginjal
d. Pemeriksaan kehamilan.
Pemeriksaan tambahan yang diperlukan sesuai riwayat penyakit dan pemeriksaan
klinis :
a. Foto toraks
b. Pemeriksaan urin rutin dan mikroskopik
c. Serologi virus hepatitis C (HCV) dan virus hepatitis B (HBV) (tergantung
pada adanya pemeriksaan dan sumber daya)
Pemeriksaan HIV harus dilakukan oleh teknisi yang terlatih di laboratorium yang
menjalankan program jaga mutu.
Hasil pemeriksaan sebaiknya juga menyebutkan jenis pemeriksaan yang
dipakai untuk menegakkan diagnosis berdasarkan pedoman WHO. Bila timbul
keraguan, pemeriksaan harus diulang di laboratorium rujukan.
Sebelum mendapat ART pasien harus dipersiapkan secara matang dengan
konseling kepatuhan yang telah baku, sehingga pasien faham benar akan manfaat,
cara penggunaan, efek samping obat, tanda-tanda bahaya dan lain sebagainya
yang terkait dengan ART. Pasien yang mendapat ART harus menjalani
pemeriksaan untuk pemantauan secara klinis dengan teratur
Sesuai rekomendasi WHO untuk daerah dengan keterbatasan sumberdaya,
maka ODHA dewasa seharusnya segera mulai ART manakala infeksi HIV telah
ditegakkan secara laboratoris disertai salah satu kondisi di bawah ini.
a.Secara klinis sebagai penyakit tahap lanjut dari infeksi HIV:
i.

Infeksi HIV Stadium IV menurut kriteria WHO, tanpa memandang jumlah


CD4

ii.

Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<350/mm3

b.

Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<200/mm3

Artinya bahwa ART untuk penyakit Stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS
klinis) tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk Stadium III, bila
tersedia sarana pemeriksaan CD4 akan membantu untuk menentukan saat
pemberian terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan
dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan
baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat ditunda dengan meneruskan
pemantauan pasien secara klinis. Untuk kondisi Stadium III terpilih nilai ambang
350/mm3 karena pada nilai di bawahnya biasanya kondisi pasien mulai
menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan sesuai dengan
pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4
<200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.
Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai
indikator pemberian terapi pada infeksi HIV simtomatik adalah jumlah limfosit
total 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada Stadium II WHO). Sedangkan pada
pasien asimtomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4.
Namun bila dalam stadium simtomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda
prognosis dan harapan hidup6,7,8,9,10,11.
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan kadar RNA HIV-1
dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak
direkomendasikan

oleh WHO

sebagai

tindakan

rutin

untuk

memandu

pengambilan keputusan terapi, oleh karena harganya yang mahal dan


pemeriksaannya rumit. Diharapkan di masa mendatang dapat terkembang cara
pemeriksaan viral load yang lebih terjangkau sehingga cara memantau
pengobatan tersebut dapat diterapkan secara luas.
Perlu diperhatikan bahwa sistem pentahapan infeksi HIV menurut WHO bagi
ODHA dewasa tersebut dikembangkan pada beberapa tahun yang lalu dan
memiliki keterbatasan, namun demikian, tetap masih bermanfaat untuk membantu
menetapkan indikator saat memulai terapi.
3. Bagaimanakah penatalaksanaan bayi yang lahir dari penderita HIV ?
Tatalaksana bayi ibu HIV + pada dasarnya adalah kelanjutan upaya pencegahan
penularan vertikal (PMTCT), diagnosis dini infeksi HIV, dan pemberian ARV bila
perlu. Secara praktis hal tersebut dilakukan seiring dengan pemeriksaan berkala dan
monitor tumbuh kembang bayi seperti biasa.

A. Pencegahan transmisi
Upaya pencegahan sebenarnya sudah mulai dilakukan pada saat kehamilan.
Salah satu obat terbaik yang pernah ditemukan untuk menurunkan transmisi
vertikal HIV adalah yang disebut Zidovudine (ZDV). ZDV diberikan secara
oral pada wanita hamil dimulai pada usia kehamilan 14 minggu. Dilanjutkan
pemberian ZDV secara intravenous setelah 6 minggu pengobatan oral. Dengan
protokol pengobatan yang dikembangkan ACTG-076 ini ternyata terdapat
perbedaan yang sangat bermakna dalam hal transmisi infeksi HIV.

Pada

kelompok plasebo ada penurunan sebesar 25,5% dan 8,3% pada kelompok
terapi ZDV ( p = 0,00006 ).17,20
ZDV melewati barier plasenta, dan ditemukan dalam konsentrasi yang
tinggi pada cairan amnion. Walaupun demikian bagaimana ZDV mempunyai
kemampuan untuk menurunkan transmisi infeksi HIV pada perinatal tidak
sepenuhnya diketahui.17,20
Hingga saat ini belum ada penelitian yang membuktikan tentang efek
samping jangka panjang pemberian ZDV pada anak-anak yang tidak terinfeksi
HIV. Atas dasar hasil penelitian sesuai protokol PACTG-076 tersebut di negara
Thailand maka WHO merekomendasikan resumen ini sebagai pencegahan
transmisi infeksi HIV di negara-negara berkembang.17,18,22
Ada penelitian lain dari Uganda yang dilakukan oleh Guay dkk dengan
mempergunakan Nevirapine. Nevirapine diberikan sebagai dosis tunggal oral
pada ibu pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi baru lahir. Dengan
resumen ini ternyata ada penurunan risiko transmisi vertikal HIV-1 mendekati
50% selama minggu ke 14 16 pertama kehidupan neonatus yang disusui. Saat
sekarang msih terus berlangsung penelitian pada anak dengan menggunakan
Nevirapine untuk melihat efektifitas dan keamanan Nevirapine. Di samping itu
ada PETRA yang melakukan penelitian untuk melihat efektifitas kombinasi
ZDV-Lamivudine bagi pencegahan transmisi infeksi HIV dari ibu ke anak.
Penelitian ini ternyata sangat berarti dikembangkan di negara-negara
berkembang dimana tidak dapat menyediakan resumen sesuai protokol ACTG076, karena lebih sedikit komplikasi yang terjadi dan lebih murah.

Juga

dikembangkan pencegahan transmisi infeksi HIV pada perinatal dengan


menggunakan antiretroviral.

Tetapi keseluruhan metode terapi dengan

Nevirapine atau antiretroviral lainnya untuk pencegahan transmisi infeksi HIV

pada bayi yang terpapar HIV hingga saat sekarang belum ada yang cukup
memuaskan.17,8,20
African Network for the care of Children Affected by AIDS (ANECCA)
telah mencatat 10 pokok penting sebagai panduan minimal tatalaksana bayi dan
anak yang terpajan atau terinfeksi HIV bagi petugas kesehatan.
Paket perawatan AIDS terpadu pada anak :
1. Konfrmasi status infeksi HIV segera
2. Monitor tumbuh kembang anak
3. Imunisasi sesuai jadwal
4. Lakukan pencegahan infeksi oportunis (PCP dan TBC)
5. Mencari infeksi dan mengobatinya segera
6. Konseling ibu dan keluarga
7. Tentukan derajat berat penyakit pada anak yang terbukti terinfeksi HIV
8. Berikan terapi ARV pada anak yang terinfeksi bila diperlukan
9. Lakukan bantuan psikososial terhadap anak yang terinfeksi dan ibunya.
10. Rujuk anak yang terinfeksi pada tingkat perawatan spesialis yang lebih
tinggi bila perlu, atau pada program sosial atau program bantuan
komunitas lain.
Dikutip : dari Akib AA 1

Panduan tersebut memperlihatkan betapa pentingnya upaya konfirmasi


diagnosis infeksi HIV pada bayi dan anak sebagai landasan untuk tindakan
selanjutnya.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI/RSCM, Jakarta telah membuat
Petunjuk Teknis Penatalaksanaan Bayi ibu HIV+/AIDS (BIHA) seperti dibawah
ini, walaupun pada kenyataannya sebagian besar petunjuk tersebut sulit
dilaksanakan dilapangan. Kesulitan terbesar adalah pada tahap diagnosis yang
disebabkan oleh ketidaksiapan dan kekurang tahuan dokter terhadap
kemungkinan infeksi HIV pada pasiennya, selain karena sarana yang
diperkukan memang terbatas pada laboratorium tertentu di Indonesia.1,2,18,19,20
Petunjuk teknis penatalaksanaan BIHA :1,3
1. Setelah lahir (Hari 1)
a. Tidak diberikan ASI, berikan susu formula biasa

b. Pengobatan profilaksis : Zidovudin (AZT) profilaksis untuk bayi mulai


usia 12 jam selama 6 minggu, dan nevirapin dosis tunggal dalam masa
usia 48-72 jam pertama.
c. Dosis ARV untuk anak disesuaikan dengan petunjuk.
d. Lapor Tim BIHA IKA
2. Sebelum bayi dipulangkan
a. Pemeriksaan laboratorium darah tepi lengkap ( Hb, leukosit, trombosit,
hitung jenis)
b. Imunisasi rutin kecuali BCG, bila terdapat tanda klinis defisiensi imun
berat tidak diberikan vaksin polio hidup
3. Usia 4 minggu
a. Kontrol rutin, evaluasi klinis
b. Laboratorium
i. Enzim fungsi hati SGPT dan SGOT
ii. PCR RNA HIV pertama
c. Bila PCR negatif, profilaksis AZT dihentikan setelah pemberian selama 6
minggu.
d. Bila PCR RNA positif berarti terinfeksi HIV, lakukan pemeriksaan
konfirmasi PCR RNA HIV usia 2 bulan CD4, dan anjuran pemeriksaan
CD 4; berikan terapi agresif dengan AZT/d4T, 3 TC, serta NVP, dan
pasien dirujuk ke Tim BIHA IKA.
e.

Pengobatan

profilaksis

terhadap

Pneumocyctis

carinii

dengan

kotrimoksazol diberikan setelah usia 5 minggu sampai dinyatakan bayi


tidak terinfeksi HIV.
f. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
imunisasi polio dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
4. Usia 2-4 bulan
a. Pemeriksaan fisik 1 kali perbulan
i. Keadaan umum tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang.
ii. Bila ada kelainan klinis infeksi HIV seperti pada lampiran 2, rujuk ke
TIM BIHA.
iii. Pemeriksaan laboratorium sesuai klinis

b. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
5. Usia 4 bulan
a. Pemeriksaan laboratorium
i. PCR RNA kedua bila sebelumnya PCR RNA negatif. Bila negatif
berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif berarti terinfeksi HIV,
dianjurkan pemeriksaan CD 4 dan diberikan terapi AZT/d4T, 3TC
dan NVP.
ii. Pemeriksaan lain sesuai indikasi.
b. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.
6. Usia 6 bulan
a. Pemeriksaan fisis
i. Keadaan umum tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang.
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
Faal hati : SGOT/SGPT
ii. PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan PCR RNA pertama
negatif dan kedua positif.
iii. Bila tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA HIV, periksa serologi
anti HIV dengan 3 reagen berbeda.
c. Bila hasil serologi anti HIV negatif, diulang 1 bulan kemudian. Bila
keduanya negatif, maka dinyatakan tidak terinfeksi HIV
d. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. Bila dinyatakan
infeksi HIV negatif, lakukan imunisasi BCG dengan uji tuberculin
terlebih dahulu.
7. Usia 12 bulan
a. Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang

ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
ii. Serologi antiHIV
c. Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik : dianggap bukan infeksi HIV.
Rencana pemeriksaan serologi antiHIV umur 18 bulan untuk konfirmasi
d. Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada usia 18 bulan
e. Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis seperti pada lampiran
2, rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi
f. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin polio hidup dan pasien di rujuk ke Tim BIHA.
8. Usia 18 bulan
a. Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
ii. Serologi antiHIV
c. Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV
d. Serologi antiHIV (+) : infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA, pengobatan ARV
e. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksi polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
Algoritme diagnosis HIV pada bayi :

B. Terapi antiretroviral.
Bayi cukup bulan dengan paparan HIV pada masa perinatal sebaiknya
mendapatkan ZDV dengan dosis 2 mg/kg/dosis per oral setiap 6 jam atau 1,5
mg/kg/dosis iv setiap 6 jam selama 30 menit. Bayi preterm (usia kehamilan 34
minggu atau kurang) dapat diberi ZDV dengan dosis 1,5 mg/kg/dosis setiap 12
jam untuk 2 minggu pertama, kemudian ditingkatkan menjadi 2 mg/kg/dosis
setiap 8 jam. ZDV sebaiknya dimulai pada 12 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan sampai 42 hari.17
Berikut ini diperlihatkan bagaimana protokol penggunaan zidovudine (ZDV)
yang telah dicobakan pada suatu studi kelompok atas gejala klinik AIDS.
Tabel 2. Prosedur pemakaian zidovudine atas studi kelompok uji klinik AIDS
Antepartum
Zidovudine 100 mg oral 5 kali sehari, dimulai umur kehamilan 14 34
minggu dan dilanjutkan selama hamil
Intrapartum
Zidovudine 2 mg/kgBB intravena dalam 1 jam sebagai loading dose,
dilanjutkan 1 mg/kg/jam selama persalinan.
Baru lahir
Zidovudine sirup 2 mg/kg BB oral setiap 6 jam, dimulai 8 12 jam setelah
lahir dan dilanjutkan selama 6 minggu kehidupan.
Dikutip dari Michael K19

Obat antiretrovirus yang digunakan untuk bayi adalah :1,4,5


1. Zidovudin (AZT)
a) Neonatus kurang bulan
1,5 mg/kgBB/12 jam sampai usia 12 minggu, kemudian 2 mg/kgBB/8 jam
b) Neonatus cukup bulan (sampai bayi usia 90 hari)
i. Oral : 2 mg/kgBB tiap 6 jam (oral)
ii. IV : 1,5 mg/kgBB tiap 6 jam
2. Stavudin (d4T)
Neonatus (sedang dalam evaluasi PACTG 332)
3. Lamivudin (3TC)
Neonatus (bayi < 30 hari) 2 mg/kgBB, 2x sehari
4. Nevirapin (NVP)
a) Perinatal profilaksis 2 mg/kgBB (oral) pada usia 48 jam
b) Neonatus (sampai usia 2 bulan)

i.

14 hari pertama : 5 mg/kgBB atau 120 mg/m2 sekali sehari

ii.

14 hari kedua : 120 mg/m2 2x sehari, berikutnya 200 mg/m2 2x sehari


sampai usia 2 bulan

5. Nelvinafir (NFV)
Neonatus 40 mg/kgBB, 2x sehari
6. Kotrimoksazol (untuk pneumocystis carinii)
a) Profilaksis : 2,5 mg TMP/kgBB, 2x sehari, 3 hari seminggu
b) Pengobatan : 8-10 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
4. Menyusui Apakah ASI dapat diberikan oleh penderita HIV ?
Menyusui dikontraindikasikan bagi bayi dari ibu yang terinfeksi HIV di negaranegara industri dimana alternatif yang aman untuk menyusui tersedia. Bayi-bayi
ini harus mendapatkan formula artificial sebagai makanan pendukung. Tetapi di
negara berkembang pemberian ASI bagi bayi dari ibu yang terpapar HIV masih
merupakan perdebatan. Kebijaksanaan WHO untuk menyusui bayi dari ibu yang
terinfeksi di negara berkembang telah berubah sejak 1998. Alasan di negara-negara
dimana menyusui masih merupakan perdebatan pada ibu terinfeksi HIV adalah
sebagai perlindungan terhadap usaha untuk mengatasi kematian dini akibat diare
dan penyakit-penyakit infeksi yang umum dibandingkan dengan usaha untuk
menurunkan transmisi HIV melalui air susu. Walaupun demikian diketahui bahwa,
menyusui bayi umur kurang dari 12 bulan merupakan tindakan yang tidak baik
karena akan meningkatkan risiko-risiko transmisi HIV.

Kenyataannya risiko

transmisi HIV melalui menyusui ditemukan lebih nyata dibandingkan perkiraan


yang ada. Risikonya setinggi 28 % di atas risiko yang sudah ada pada kehamilan
dan persalinan. Berdasarkan perkiraan WHO bahwa dari tahun 1992 sampai 1998
sedikitnya

1 juta anak-anak terinfeksi karena air susu, dan hal itu menjadi

rekomendasi WHO untuk mengganti menyusui ASI dengan pemberian susu


formula dari sapi atau kambing. Masih banyak pertanyaan belum terjawab tentang
rekomendasi menyusui ini dari negara-negara berkembang.17,18,21
HIV dapat ditemukan pada air susu dari ibu yang terinfeksi. Kebalikannya pada
bayi yang tidak menyusui dimana mendapat infeksi HIV pada akhir kehamilan atau
selama persalinan, transmisi HIV melalui ASI menempati 1/3 sampai 2/3 dari
keseluruhan transmisi HIV, dan risiko tambahan ASI bagi transmisi HIV
diperkirakan dari 14 28%. Banyak faktor kemungkinan berperan bagi transmisi

virus melalui ASI.

Immaturitas traktus gastrointestinal pada bayi baru lahir

memungkinkan masuknya virus melalui mukosa usus, tetapi transmisi juga terjadi
pada bayi yang mulai menyusui setelah periode neonatal. Pengenalan awal pada
jenis makanan lain mungkin juga berperan pada kerusakan garis-garis usus.17,18,21
5. Alat kontrasepsi yang terbaik untuk penderita HIV ?
Perempuan yang menerima obat ARV dan tidak ingin hamil harus
menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai guna mencegah
kehamilan yang tidak dikehendaki. Perlu diingat bahwa setiap obat ARV memiliki
potensi untuk menaikkan atau menurunkan bioavailabilitas hormon steroid dan
kontrasepsi hormonal. Dari data yang terbatas menunjukkan adanya interaksi
antara beberapa obat ARV dengan hormon kontrasepsi dan dapat mengubah
keamanan atau efikasi baik hormon kontrasepsi itu sendiri ataupun ARVnya.
Belum diketahui pasti apakah kontrasepsi yang hanya mengandung
progesteron suntikan (seperti depo medroxyprogesterone acetat dan norethisterone
enantate) juga terancam efikasinya, karena metode ini memberikan kadar hormon
yang tinggi dalam darah dibanding kontrasepsi progesteron lain, atau dibanding
dengan kontrasepsi oral kombinasi. Penelitian sedang dilaksanakan untuk menilai
interaksi antara depo medroxyprogesteron acetate dengan obat PI dan NNRTI
tertentu. Oleh karena itu, apabila seorang perempuan yang mendapat ART akan
mulai atau meneruskan penggunaan kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga
selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV dan menjaga
kemungkinan adanya penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang ia pakai.

IV. KESIMPULAN

AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang digolongkan dalam virus RNA.
Ada 3 cara penularan virus yaitu :
a. Melalui Hubungan intim fisik (baik homoseksual / heteroseksual)
b. Vertikal dari ibu ke janin (risiko 15-45%)
1. Transmisi intrauterin
2. Transmisi intrapartum
3. Transmisi pascapersalinan

c. Terpapar pada darah/cairan tubuh yang terinfeksi (paling mudah terjadi)


Asuhan antenatal yang diberikan berupa : konseling bagi ibu hamil dan keluarganya
secara terpisah maupun bersama-sama, memberikan penerangan mengenai risiko
penularan pada bayi terutama pada saat intrapartum, penjelasan mengenai status HIV
dan perjalanan penyakitnya, serta rencana penatalaksanaan lebih lanjut serta
memberikan kesempatan pada penderita dan keluarga untuk memutuskan apakah
kehamilan akan diteruskan atau akan dilakukan aborsi.
Penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi HIV bersifat multidimensi yang
mengkombinasikan aspek medis dan obstetrik sosial dengan konseling dan support
secara sosial.
Untuk

pencegahan

transmisi

perinatal,

pemberian

antiretrovirus

(ART)

direkomendasikan untuk semua ibu hamil yang terinfeksi HIV. Resiko transmisi
perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan
hingga 20% pada ibu hamil yang mengidap HIV jika diterapi dengan ART.
Semua bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya dilakukan
pemeriksaan untuk mendiagnosa virus pada 2 hari pertama kehidupannya dimana
sedikitnya 40 % bayi baru lahir yang terinfeksi dapat dideteksi. HIV-DNA PCR yang
kedua dapat dilakukan pada umur 2 minggu jika tes awalnya negatif. Semua bayi yang
terpapar HIV sebaiknya diperiksa dengan HIV-DNA PCR pada umur 1-2 bulan dan 3-6
bulan.
Bayi cukup bulan dengan paparan HIV pada masa perinatal sebaiknya mendapatkan
ZDV dengan dosis 2 mg/kg/dosis per oral setiap 6 jam atau 1,5 mg/kg/dosis iv setiap 6
jam selama 30 menit. ZDV sebaiknya dimulai pada 12 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan sampai 42 hari.17
Seorang perempuan yang mendapat ART akan mulai atau meneruskan penggunaan
kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk
mencegah penularan HIV dan menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas
kontrasepsi hormonal yang ia pakai.
Pengetahuan tentang Kewaspadaan Umum adalah barier protektif bagi tenaga
kesehatan dari ancaman transmisi infeksi.

V. RUJUKAN
1.

Unandar Budimulya. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Dalam: Ilmu Kulit dan Kelamin.edisi
I. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 1987;339-341

2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.

Richard L, Ronald S. Infectious Diseases of the Female Genital Tract. 4 thed. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia: 2002; 237-296.
Anderson J.A Guide to the Clinical Care of Woman with HIV. Preliminary ed. Women Care
Parklawn Building, Maryland: 2002; 211-223, 234-258.
Yunihastuti E,Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi HIV pada kehamilan.edisi I. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta: 2002; 1-32.
Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar, edisi I. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta: 2002; 1-58.
Scott B Ranson, Mark I Evans, Mitchel P. Contemporary Therapy in Obstetetrics and Gynecology.
WB Saunders Company, Philadelphia: 2002; 9-13.
Michel E Rivlin, Rick W Martin. Manual of Clinical Problems in Obstetrics and Gynecology. 5 th ed.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia: 1999; 297-300.
William M Baron, Marshal D Lindheimer. Medical Disorders During Pregnancy. 3th ed. Mosby,
Missouri: 2000; 491-502.
Charry & Merkatzs. Complications of Pregnancy. 5 th ed. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia: 1999; 677-689.
James PJ Steer, CP Weiner, B Gonile. High Risk Pregnancy Management Options. 4 th ed. WB
Saunders Company, Philadelphia: 1996; 498-501.
Fernando Arias. Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery. 2 nd ed. Mosby,. Missouri:
1993; 364-367.
Steven G Gable, Jennifer R Niebbye, Joe Leigh Simpson. Obstetrics Normal & Problem
Pregnancies. 3 rd ed. Churchill Livingstone: 1996; 1222-1224.
Direktorat Jenderal Pengembangan Penyakit Menular & penyehatan Lingkungan Depkes RI.
Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, Penyebaran ODHA. Depkes RI, Jakarta: 2003; 1-93.
Direktorat Jenderal Pengembangan Penyakit Menular & penyehatan Lingkungan Depkes RI.
Pedoman nasional terapi antiretroviral. Depkes RI, Jakarta: 2004; 9-15.
Alan H DeCherney & Martin L Pernoll. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment.
8th ed. Apleton & Lange, USA: 1994; 764-768.
Fernandez AD, McNeeley DF, et al. Management of the infant born to a mother infected with human
immunodeficiency virus type 1 (HIV-1): Current concepts. Am J Perinatology 2000;17:429-436
Michael KL, Nesheim SR. Human immunodeficiency virus infection in pregnant women and their
newborns. Clinics in perinatology 1997;24:161-180
Mandelbrot L, Mayaux MJ, Bongain A, et al. Obstetrics factors and mother-to-child transmission of
human immunodeficiency virus type 1: the French perinatal cohort. Am J Obstet Gynecol
1996;175:661-667
Biggar RJ, Pahwa S, Minkoff H, Mendes H, Willoughby A, Landesman S, et al. Immunosuppresion
in pregnant women infected with human immunodeficiency virus. Am J Obstet Gynecol 1989;69 (3
part 1):288-191
Wiknjosastro H. Penyakit menular. Dalam: Wiknjosastro H. Editor. Ilmu kebidanan. Edisi ketiga.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997:556-558
Minkoff H, Henderson C, Mendez H, Gail MH, Holman S, Willoughby A, et al. Pregnancy
outcomes among women infected with human immunodeficiency virus and uninfected control
subjects. Am J Obstet Gynecol 1990;163 (5 pt 1):1598-1604

Lampiran 1 : Stadium klinis HIV menurut WHO pada dewasa


Stadium klinis I
1. Asimtomatik

2. Limfadenopati generalisata
Skala penampilan 1: asimtomatik, aktivitas normal
Stadium klinis II
1. Berat badan berkurang <10%
2. Manifestasi mukokutaneus ringan (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur di kuku,
ulserasi oral berulang, kheilitis angularis)
3. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (seperti sinusitis bakterial)
Dan/atau skala penampilan 2: simtomatik, aktivitas normal
Stadium klinis III
1. Berat badan berkurang >10%
2. Diare kronik tanpa penyebab yang jelas, >1 bulan
3. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas (datang pergi / menetap), >1 bulan
4. kandidiasis oral (thrush)
5. Oral hairy leucoplakia (OHL)
6. TB paru
7. Infeksi bakterial berat (mis. pnemonia,piomiositis)
Dan/atau skala penampilan 3: <50% dalam masa 1 bulan terakhir terbaring
Stadium klinis IV:
1. HIV wasting syndrome a
2. Pneumocystic carinii pneumonia
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare karena kriptosporidiosis >1 bulan
5. Kriptokokosis ekstra paru
6. Penyakit Cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
(contoh retinitis)
7. Infeksi virus Herpes simpleks, di mukokutaneus (>1 bulan) atau organ dalam
8. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
9. Mikosis endemik yang menyebar
10. Kandidiasis esofagus, trakea, bronki
11. Mikobakteriosis atipik, menyebar atau di paru
12. Septikemia salmonela non-tifoid
13. Tuberkulosis ekstra paru
14. Limfoma
15. Sarkoma Kaposi's
16. Ensefalopati HIV b
Dan/atau skala penampilan 4: terbaring di tempat tidur >50% dalam masa 1 bulan terakhir
a. HIV wasting syndrome: berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai salah satu dari diare kronik tanpa
penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas.
b. Ensefalopati HIV: adanya gangguan dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari,
berlangsung selama berminggu-minggu atau bulan, tanpa ada penyakit penyerta lain selain infeksi-HIV yang dapat
menjelaskan mengapa demikian.

Lampiran 2 : Stadium klinis HIV menurut WHO pada


anak
Stadium klinis I:

1. Asimtomatik
2. Limfadenopati generalisaa
Stadium klinis II:
1. Diare kronik >30 hari tanpa etiologi yang jelas
2. Kandidiasis persisten atau berulang di luar masa neonatal
3. Berat badan berkurang atau gagal tumbuh tanpa etiologi yang jelas
4. Demam persisten >30 hari tanpa etiologi jelas
5. Infeksi bakterial berulang yang berat selain septikemia atau meningitis (contoh:
osteomielitis, pnemonia bakterial non-TB, abses)
Stadium klinis III:
1. Infeksi oportunistik yang termasuk dalam definisi AIDS
2. Gagalan tumbuh yang berat (wasting) tanpa etiologi yang jelasa
3. Ensefalopati yang progresif
4. Keganasan
5. Septisemia atau meningitis berulang
a.

Berat badan berkurang secara persisten >10% dari BB semula atau di bawah garis persentil
5 grafik berat badan dibanding tinggi (BBT) pada pengukuruan 2 kali berturut-turut dengan selang waktu
lebih dari 1 bulan tanpa adanya etiologi atau penyakit penyerta lain yang jelas.

Lampiran 3 : Panduan Penggunaan ARV pada PMTCT


Kondisi Klinis

Rejimen bagi Ibu (dosis sesuai Tabel 2)

Rejimen bagi Bayi

ODHA dengan
indikasi ART1
yang mungkin
dapat hamil

Pastikan tidak sedang hamil sebelum mulai ARV


Jangan menggunakan EFV kecuali dipastikan
menggunakan kontrasepsi yang efektif seperti
kondom.
AZT + 3TC + NVP atau d4T + 3TC + NVP
Lanjutkan rejimen ART2 yang sekarang digunakan
kecuali bila mengandung EFV, dalam hal ini diganti
dengan NVP atau PI bila dalam kehamilan trimester I.
Lanjutkan ART yang sama selama persalinan dan
pasca persalinan

ODHA dengan ART


yang kemudian
hamil

ODHA hamil
dengan indikasi
ART1

Tunda ART sampai setelah trimester I


Untuk ibu dgn kondisi buruk perlu di pertimbang-kan
untung-rugi untuk memulai ART lebih dini
Berikan ART seperti pada ODHA biasa
ARV-lini I : AZT+3TC+NVP atau d4T+3TC+NVP
EFV tidak boleh diberikan pada kehamilan TM I

ODHA hamil dan


belum ada
indikasi ART1

AZT dimulai pada usia kehamilan 28 minggu atau


sesegera mungkin setelah itu; dilanjutkan selama
masa persalinan,
ditambah
NVP dosis tunggal pada awal persalinan
Rejimen alternatif:
AZT dimulai pada usia kehamilan 28 mgg atau segera
mungkin ; dilanjutkan selama persalinan,
AZT + 3TC : sejak kehamilam 36 atau segera
mungkin; dilanjutkan selama masa persalinan
hingga 1 minggu pasca persalinan
NVP dosis tunggal intrapartum

ODHA hamil dgn


indikasi ART tapi
tidak mulai ART
ODHA hamil dgn
TB aktif OAT yg
sesuai untuk
Perempuan hamil
tetap diberikan
Ibu hamil dalam
masa persalinan
yang tidak
diketahui status
HIV
atau
ODHA yang datang
pada saat
persalinan tetapi
belum pernah
Mendapatkan ART

Bayi lahir dari


ODHA yang belum
pernah mendapat
obat
ARV

Berikan AZT
(4mg/kgBB / 12jam)
selama 1 minggu
atau
NVP (2 mg/ kg BB)
dosis tunggal atau
NVP dosis tunggal
ditambah AZT selama
1 minggu
AZT selama 1 minggu
atau
NVP dosis tunggal
atau
NVP dosis tunggal
ditambah
AZT selama 1 minggu
NVP dosis tunggal
dalam 72 jam pertama
ditambah
AZT selama 1 minggu

AZT selama 1 minggu


AZT ditambah
3TC (2mg/kgBB/12
jam)selama 1 minggu
NVP dosis tunggal
dalam 72 jam

Sesuai butir 4, tetapi lebih baik menggunakan rejimen


yang paling efektif dari yang ada
Bila dipertimbangkan untuk mulai ART,gunakan :
AZT + 3TC + SQV/r atau d4T + 3TC + SQV/r
Bila pengobatan dimulai pada trimester III, gunakan
AZT 3TC+ EFV atau d4T + 3TC + EFV
Bila tidak akan menggunakan ART,ikuti butir 4
Untuk ibu yang belum diketahui status HIV-nya, bila
ada waktu, tawarkan pemeriksaan dan konseling, bila
tidak, lakukan pemeriksaan dan konseling segera
setelah persalinan (dengan
persetujuan) dan ikut butir 8
atau
Bila positif
Berikan NVP dosis tunggal; bila persalinan sudah
terjadi jangan berikan tapi ikuti pedoman butir 8 Atau
AZT + 3TC pada saat persalinan dilanjutkan hingga 1
minggu pasca persalinan

NVP dosis tunggal


dalam 72 jam pertama

AZT + 3TC selama 1


minggu
NVP dosis tunggal
sesegera mungkin
ditambah
AZT selama 1 mgg Bila
setelah 2 hari kurang
bermanfaat

Lamp. 4 : Tanda, gejala klinis, pemantauan & penatalaksanaan


terhadap gejala efek samping yang berat dari ARV yang
membutuhkan penghentian obat
Efek
samping

Kemungkinan
obat
penyebab
Hepatitis
NVP;EFV jarang;
akut
lebih jarang
dgn AZT, ddl,
d4T (<1%); & PI,
paling sering
dgn RTV
Pankreatiti Ddl, d4T; 3TC
s akut
(jarang)

Asidosis
laktat

Semua analog
nukleosida
(NsRTI)

Reaksi
hipersensi
tif

ABC, NVP

Ruam
hebat/
sindroma
StevensJohnson

NNRTI : NVP,
EFV

Tanda/ gejala klinis


gejala gastrointestinal, capai, tidak
nafsu makan; NVP yg berhubungan
dgnhepatitis dapat mempunyai
komponen hiperpeka (ruam karena
obat, gejala sistematik, eosinofilia)

Penatalaksanaan

Pantau transaminase
serum, bilirubin.
Semua ARV harus
dihentikan sampai gejala
teratasi. NP harus
dihentikan selamanya.
Mual, muntah dan sakit perut
Pantau amilase & lipase
pancreas serum. Semua
ART dihentikan sampai
gejala teratasi. Mulai
kembali ART dgn NsRTI
yang lain, lebih disukai
yang tidak menyebab-kan
toksisitas pada pancreas
(mis. AZT, ABC)
Gejala awal bervariasi:
Hentikan semua ART,
Sind. prodromal klinis berupa
gejala dpt berlanjut / lebih
kelelahan umum, lemah, gejala
buruk setelah penghentian
gastrointestinal (mual, muntah),
ART. Berikan terapi
pembesaran hati, tidak nafsu makan, penunjang. Obat yg dpt
&/ kehilangan berat badan mendadak dipertimbangkan untuk
yang tidak dapat dijelaskan), gejala
memulai Th/ kembali
pernafasan (takipnea dan sesak
termasuk kombinasi PI
nafas) atau gejala neurologist
dengan suatu NNRTI &
(termasuk kelemahan motorik)
kemungkinan salah satu
ABC/tenofovir (TDF)
ABC: kumpulan gejala awal
Hentikan semua ARV
termasuk: demam, capai,mialgia,
sampai gejala teratasi.
mual/muntah, diare sakit perut,
Reaksi dapat bertambah
faringitis, batuk, sesak nafas
buruk secara cepat dng
(dengan / tanpa ruam). Walaupun
pemberian obat & dapat
gejala bertumpang tindih dgn gejala fatal. Berikan terapi
pernafasan dan gastrointestinal yang penunjang.
timbul akut setelah memulai ABC
Jangan coba lagi dengan
menunjukan khas adanya reaksi
ABC atau NVP, karena
hiperpeka. NVP: gejala sistematik
reaksi anafilaktik dan
seperti demam, mialga, artralgia,
kematian telah pernah
hepatitis, eosinofilia dengan / tanpa dilaporkan. Sekali gejala
ruam
teratasi, mulai kembali
ARV dan menggantinya
dgn NsRTI lain jika
berhubungan dgn ABC
/dgn PI / NsRTI jika
berhubungan dgn NVP.
Ruam biasanya timbul dalam 2-4mgg Hentikan semua ARV
pertama pengobatan.
sampai gejala teratasi.
Ruam biasanya eritomatous,
Hentikan sama sekali NVP
makulopapula, bersatu paling banyak yang menimbulkan ruam
ditubuh dan lengan, mungkin gatal
dgn gejala sistematik
dan dapat terjadi dengan atau tanpa
seperti demam, ruam yang
demam. Sindrom Stevens- Johnson
hebat dgn lesi pada
atau nekrotik epidermal toksik
mukosa atau gatal,
(SSJ/NET) terjadi pada ~0,3% orang
atau SSJ/NET;
terinfeksi yang menerima NP.
begitu teratasi, ganti obat
ART dengan jenis ARV
lainnya (mis. 3NsRTI / 2
NsRTI & PI). Jika ruam tidak
begitu hebat tanpa gejala

Neuropati
perifer
yang
hebat

Ddl, d4T

Sakit, semutan, mati rasa pada


tangan dan kaki; kehilangan sensori
distal, kelemahan otot ringan dan
dapat terjadi hilangnya refleks.

mukosa atau sistematik,


ganti NNRTI (NVP ganti dgn
EFV) dpt dipertim-bangkan
setelah ruam teratasi.
Hentikan NsRTI yang
dicurigai dengan NsRTI
lain yang tidak neurotorik
(mis. AZT, ABC), gejala
biasanya
teratasi dalam 2-3mgg.

Anda mungkin juga menyukai