I.
REKAM MEDIS
A. Anamnesis Umum
1. Identifikasi
Nama
: Ny. Irm
Umur
: 26 tahun
Alama
Suku Bangsa
: Indonesia
Agama
: Islam
Pendidikan
: SMA
Pekerjaan
MRS
2
C. Pemeriksaan Fisik
1.
Status Presens
Keadaan umum : sedang
Nadi
: 80 x/m
Kesadaran
:compos mentis
Pernafasan
: 20 x/m
Tipe badan
: atletikus
Suhu
: 36,60 C
Berat badan
: 53 Kg
Tinggi badan
: 150 cm
Tekanan darah
: 120/80 mmHg
Reflek patologi : - / -
2. Status obstetrik
Pemeriksaan luar :
Tinggi fundus uteri 2 jari bawah processus xyphoideus (31 cm), memanjang,
punggung kiri, presentasi kepala, penurunan 4/5, his (-), denyut jantung janin
140 X/mnt, taksiran berat janin 3000 g.
Pemeriksaan dalam :
Porsio lunak, posisi posterior, pendataran 0%, pembukaan kuncup, ketuban
belum bisa dinilai, terbawah kepala, penurunan H I-II, penunjuk belum bisa
dinilai.
3. Diagnosis Kerja :
G1P0A0 hamil aterm dengan HIV belum inpartu, janin tunggal hidup presentasi
kepala.
4. Tatalaksana :
-
Urin Rutin
Kimia darah : BSS 64 mg/dl , Billirubin total 0.5 mg/dl, Billirubin direk 0.1
mg/dl, Billirubin Indirek 0.4 mg/dl, Protein Total 6.4 g/dl,
Albumin 3.1 mg/dl, Globulin 3.1 g/dl, Ureum 17 mg/dl,
Creatinine 1.1 mg/dl, Natrium 141 mmol/l, Kalium 4.0 mmol/l.
Anti HIV
CD4
Pemeriksaan Fisik
Penatalaksanaan
- Terminasi Perabdominal
Cito
- Observasi DJJ, tanda vital
ibu & tanda-tanda inpartu
- Persiapan Operasi
- Informed consent
LAPORAN OPERASI
No. Operasi :
Nama Pasien :
Alamat
:
Med.Rec/Reg :
Premedikasi :
Induksi
:
Maintenance :
30/Eg-Obs/IX/07
Ny. Irma Susilawati / 26 tahun
Jl.Plaju - Palembang
076447 / 07014058
SA 0,25 mg
Bunascan
N2O + O2 + Fluthane
Hari/tanggal
Operator
Asisten I
Asisten II
Anestesi
Instrumen
:
:
:
:
:
:
Penderita dalam posisi duduk dan dilakukan anastesi spinal. Lalu dilakukan tindakan aseptik dan
antiseptik pada daerah perut dan sekitarnya. Lapangan operasi dipersempit dengan doek steril.
Dilakukan insisi mediana sepanjang 10 cm, insisi diperdalam secara tajam dan tumpul sampai
menembus peritoneum. Setelah peritoneum dibuka, tampak uterus sebesar kehamilan aterm.
Diputuskan untuk melakukan SSTP dengan cara sebagai berikut:
Membuka dan memotong plika vesikouterina, kemudian vesika urinaria disisihkan ke
bawah dan dilindungi dengan hak besar
Insisi SBR konkaf ke atas sepanjang 9 cm secara tajam kemudian bagian tengah
ditembus secara tumpul dengan jari sampai menembus kavum uteri dan diperlebar
kesamping, ketuban jernih.
Anak dilahirkan dengan cara meluksir kepala.
Pukul 09.50 WIB. Lahir bayi perempuan dengan BB: 3300 gram, PB: 52 cm, AS 8/9. Ke dalam
cairan infus dimasukkan piton-s 20 IU, plasenta dilahirkan dengan tarikan ringan pada tali pusat.
Pukul 09.55 WIB. Plasenta lahir lengkap dengan BP: 450 g, PTP: 55 cm, 18 x 19 cm.
Dilakukan pembersihan cavum uteri dengan kassa, dilanjutkan penjahitan pada sudut luka secara
figure of eight Kemudian dilanjutkan penjahitan pada uterus secara selapis yaitu sebagai berikut :
Lapisan SBR dijahit secara jelujur dengan benang Vicryl no. 1.0
Perdarahan dirawat sebagaiman mestinya
Setelah diyakini tak ada perdarahan dilanjutkan reperitonealisasi dengan Plain catgut no 2.0
Dilanjutkan dengan pencucian cavum abdomen dengan NaCl 0,9%
Dilanjutkan penutupan dinding abdomen lapis demi lapis dengan cara sebagai berikut :
Peritoneum dijahit jelujur dengan plain catgut no.2.0
Otot dijahit secara jelujur dengan plain catgut no. 2.0
Fascia dijahit jelujur feston dengan Vicryl no. 1.0
Subkutis dijahit secara terputus satu-satu dengan plain catgut no. 1.0
Kutis dijahit secara subkuticuler Vicryl no. 3.0
Luka operasi ditutup dengan sofratule dan opsite.
Pukul 10.20 wib Operasi selesai
Cairan Masuk:
RL
:
NaCl
:
Total
:
Diagnosis pra bedah
Diagnosis pasca bedah
Tindakan
900 cc
- cc
900 cc
Cairan Keluar:
Darah
:
Urine
:
Total
:
300 cc
500 cc
800 cc
: G1P0A0 hamil aterm dengan HIV Inpartu kala I fase laten, janin tunggal
hidup presentasi kepala
: HIV
: Seksio sesaria transperitonealis profunda
II. PERMASALAHAN
1. Bagaimanakah penatalaksanaan pada wanita hamil dengan HIV ?
2. Bagaimanakah penatalaksanaan penderita postpartum dengan HIV ?
3. Bagaimanakah penatalaksanaan bayi yang lahir dari penderita HIV ?
4. Apakah ASI dapat diberikan oleh penderita HIV ?
5. Alat kontrasepsi yang terbaik untuk penderita HIV ?
akan lebih baik dibandingkan dengan risiko apapun pada janinnya. Lebih lanjut,
terapi dengan dua NNRTI (non-nucleoside reverse transcriptase inhibitor) seperti
d4T/ddI (stavudine/didanosine) tidak diperbolehkan pada kehamilan dan hanya
digunakan bila tidak ada pilihan lain, oleh karena kombinasi tersebut akan
memberikan risiko tinggi terjadinya asidosis laktat pada perempuan hamil.
Hepatotoksisitas dengan gejala yang berhubungan dengan NVP (nevirapine) atau
ruam kulit yang berat jarang terjadi, kalau ada lebih sering pada perempuan
dibanding laki-laki, dan cenderung terjadi pada perempuan dengan CD4 tinggi
(>250/mm3)6. Toksisitas tersebut pernah dilaporkan dari kelompok perempuan
hamil akan tetapi tidak diketahui mengapa kehamilan merupakan predisposisi
toksisitas tersebut6,7,8.
ODHA perempuan yang pernah mendapat profilaksis NVP atau 3TC
(lamivudine) dosis tunggal untuk PMTCT (prevention of mother-to-child
transmission = pencegahan penularan dari ibu ke anak) harus dianggap
Dari semua kasus, penatalaksanaan ibu hamil yang terinfeksi HIV, termasuk
pemberian pengobatan dengan antiretroviral, haruslah dipandang sebagai satu
bagian dari seluruh perawatan yang dilakukan terhadap ibu dan bayi. Perawatan
lanjut mungkin dapat dilakukan di rumah yang termasuk dalam primary health
care services , di rumah sakit, atau pada klinik spesialis, tergantung pada
kebutuhan penderita dan fasilitas yang tersedia. Prosedur diagnostik dan
penatalaksaan sangat tergantung pada sumber yang tersedia dan setiap negara
seharusnya membuat rekomendasi yang sesuai dengan situasi yang ada.3,5,10,14
1. Asuhan Ante Natal
Kebanyakan ibu hamil yang terinfeksi HIV bersifat asimptomatis dan tidak
mempunyai kelainan obstetrik selama kehamilannya. Mereka seharusnya
mendapatkan perawatan yang sama dengan ibu hamil yang normal. Bagi ibu
hamil dan keluarganya diberikan konseling secara terpisah maupun bersamasama. Diterangkan mengenai risiko penularan pada bayi dengan angka
transmisi sekitar 25% terutama pada saat intrapartum (70-80%). Beri
penjelasan mengenai status HIVnya serta perjalanan penyakit dan rencana
penatalaksanaan selanjutnya. Memberikan kesempatan pada penderita dan
keluarganya untuk memutuskan kehamilan akan diteruskan atau akan
dilakukan aborsi.3,14,16
Lebih dari separuh orang yang terinfeksi HIV akan menunjukkan gejala
infeksi primer. Biasanya gejala ini timbul setelah beberapa hari terinfeksi dan
gejala ini berlangsung selama 2-6 minggu setelah terinfeksi. Gejala ini dapat
ringan sampai berat dan sekitar 42% penderita memerlukan perawatan di
rumah sakit. Gejala-gejala infeksi primer ini dapat dibagi menjadi gejala
umum berupa demam, nyeri otot, nyeri sendi dan rasa lemah. Di samping itu
terdapat gejala akibat kelainan mukokutan seperti ruam kulit, ulkus di mulut
serta genital. Selain itu sekitar 50% kasus disertai dengan pembengkakan
kelenjar limfe, Sedangkan gejala gejala lain berupa nyeri kepala, nyeri
belakang mata, fotopobia dan depresi. Kelainan neurologi yang lain dapat
berupa meningitis. Dapat juga timbul kelainan saluran cerna berupa anoreksia,
diare dan jamur di mulut.4,5,14
Tabel 1. Gejala klinis infeksi primer HIV
Kelompok
Gejala
Umum
Demam
Kekerapan (%)
90
Mukokutan
Limfadenopati
Neurologi
Saluran Cerna
Nyeri otot
Nyeri sendi
Rasa lemah
Ruam kulit
Ulkus di mulut
Nyeri kepala
Nyeri belakang mata
Fotopobia
Depresi
Meningitis
Anoreksia
Nausea
Diare
Jamur di mulut
54
0
0
70
12
74
32
0
0
0
12
0
0
32
12
Gejala infeksi primer di atas, berlangsung selama 2-6 minggu dan akan
membaik dengan atau tanpa pengobatan. Setelah itu perjalanan penyakit
menuju stadium tanpa gejala yang pada orang dewasa lamanya 5-10 tahun.
Masa tanpa gejala ini akan memendek apabila viral load pada titik
keseimbangan (set point) tinggi. Setelah masa tanpa gejala akan timbul gejala
gejala pendahuluan seperti demam, pembesaran kelenjar limfe yang kemudian
diikuti oleh infeksi oportunistik. Dengan adanya infeksi oportunistik maka
perjalanan penyakit telah memasuki stadium AIDS.
Kehamilan tidak secara signifikan mempengaruhi risiko kematian,
progresifitas menjadi AIDS, atau progresifitas penurunan kadar CD4. Pengaruh
kehamilan terhadap CD4 pertama kali dilaporkan oleh Burns dkk. Pada
kehamilan normal terjadi penurunan kadar CD4 pada awal kehamilan untuk
mempertahankan janin. Pada ibu hamil yang tidak menderita HIV, persentase
CD4 akan meningkat kembali mulai trimester ketiga hingga 12 bulan setelah
melahirkan, sedangkan pada ibu hamil pengidap HIV penurunan tetap terjadi
selama kehamilan dan setelah melahirkan, walaupun hal ini tidak bermakna
secara statistik. Namun penelitian dari European Collaborative Study dan
Swiss HIV Pregnancy Cohort dengan jumlah sampel yang lebih besar,
menunjukkan persentase penurunan CD4 selama kehamilan sampai 6 bulan
setelah melahirkan tetap stabil.2,5,8,9
Kehamilan ternyata hanya sedikit meningkatkan kadar virus (viral load)
HIV. Kadar virus HIV meningkat terutama setelah 2 bulan persalinan,
intrapartum.
4. Kewaspadaan dalam tindakan medik
Kita menyadari bahwa diagnosis dini adanya infeksi oleh berbagai
mikroorganisme pada seorang pasien penting peranannya dalam keberhasilan
manajemen kasus. Apalagi bila infeksi yang terjadi disebabkan oleh infeksi
virus seperti HIV, Hepatitis B dan lain-lain. Akan tetapi atas dasar
pertimbangan, sampai saat ini penapisan (screening) terhadap berbagai infeksi
virus tidak mungkin dilakukan secara rutin. Bahkan pada infeksi HIV, terhadap
window period yang mana pada masa itu darah atau cairan tubuh penderita
sudah dapat menularkan infeksi, walaupun adanya HIV belum terdeteksi
melalui pemeriksaan laboratorium. Oleh karena itu prinsip kewaspadaan
umum dalam upaya pencegahan infeksi merupakan kunci utama keberhasilan
memutuskan rantai transmisi penyakit yang ditularkan melalui darah atau
cairan tubuh lainnya.14,16
Di bawah ini disampaikan langkah-langkah yang perlu diperhatikan
sebagai prosedur pencegahan infeksi khususnya infeksi yang ditularkan
melalui darah/cairan tubuh. Perlu diingatkan bahwa langkah-langkah di bawah
ini tidak mengabaikan pentingnya pelaksanaan prosedur standar dalam tiaptiap tindakan pemrosesan alat/instrumen secara tepat, pembuangan sampah /
limbah secara aman dan menjamin kebersihan ruangan tindakan dan
lingkungan sekitarnya. Segala prosedur pembedahan yang membuka jaringan
organ, pembuluh darah, pertolongan persalinan maupun tindakan abortus
termasuk tindakan medik invasif risiko tinggi untuk menularkan HIV bagi
tenaga dokter.
Untuk memutuskan rantai penularan, diperlukan barier berupa : kacamata
pelindung untuk menghindari percikan cairan tubuh pada mata, masker
penutup pelindung hidung dan mulut untuk mencegah percikan pada
mukosa hidung dan mulut, plastik penutup badan (skort) untuk mencegah
kontak cairan tubuh pasien dengan penolong, sarung tangan yang tepat untuk
melindungi tangan yang aktif melakukan tindakan medis invasif, dan penutup
kaki untuk melindungi kaki dari kemungkinan terpapar cairan yang infektif.14,16
a. Kewaspadaan di kamar operasi
a.1. Dalam prosedur operasi.
d.4. Paparan pada kulit yang utuh maupun kulit yang sedang mengalami
perlukaan, lecet atau dermatitis : cucilah sebersih mungkin dengan air
dan sabun antiseptik.
Selanjutnya mereka yang terpapar ini perlu mendapatkan pemantauan
pemeriksaan HIV yang adekuat dan kondisi kesehatannya pun harus
diperhatikan. Pejamu pun harus terus dimonitor kemungkinan infeksinya.
Selama pemantauan, tenaga kesehatan yang terpapar tersebut memerlukan
konseling mengenai resiko infeksi dan pencegahan transmisi selanjutnya.
Tentunya individu teresbut diingatkan untuk tidak menjadi donor darah
ataupun jaringan, melakukan hubungan seksual yang aman dan mencegah
kehamilan.16
2.
ii.
Infeksi HIV Stadium III menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<350/mm3
b.
Infeksi HIV Stadium I atau II menurut kriteria WHO dengan jumlah CD4
<200/mm3
Artinya bahwa ART untuk penyakit Stadium IV (kriteria WHO disebut AIDS
klinis) tidak seharusnya tergantung pada jumlah CD4. Untuk Stadium III, bila
tersedia sarana pemeriksaan CD4 akan membantu untuk menentukan saat
pemberian terapi yang lebih tepat. Tuberkulosis paru dapat timbul pada tahapan
dengan jumlah CD4 berapapun, bila jumlah CD4 tersebut dapat terjaga dengan
baik (misalnya >350/mm3), maka terapi dapat ditunda dengan meneruskan
pemantauan pasien secara klinis. Untuk kondisi Stadium III terpilih nilai ambang
350/mm3 karena pada nilai di bawahnya biasanya kondisi pasien mulai
menunjukkan perkembangan penyakit yang cepat memburuk dan sesuai dengan
pedoman yang ada. Bagi pasien dalam stadium I atau II, maka jumlah CD4
<200/mm3 merupakan indikasi pemberian terapi.
Apabila tidak ada sarana pemeriksaan CD4, maka yang digunakan sebagai
indikator pemberian terapi pada infeksi HIV simtomatik adalah jumlah limfosit
total 1200/mm3 atau kurang (misalnya pada Stadium II WHO). Sedangkan pada
pasien asimtomatik jumlah limfosit total kurang berkorelasi dengan jumlah CD4.
Namun bila dalam stadium simtomatik baru akan bermanfaat sebagai petanda
prognosis dan harapan hidup6,7,8,9,10,11.
Pemeriksaan viral load (misalnya dengan menggunakan kadar RNA HIV-1
dalam plasma) tidak dianggap perlu sebelum dimulainya ART dan tidak
direkomendasikan
oleh WHO
sebagai
tindakan
rutin
untuk
memandu
A. Pencegahan transmisi
Upaya pencegahan sebenarnya sudah mulai dilakukan pada saat kehamilan.
Salah satu obat terbaik yang pernah ditemukan untuk menurunkan transmisi
vertikal HIV adalah yang disebut Zidovudine (ZDV). ZDV diberikan secara
oral pada wanita hamil dimulai pada usia kehamilan 14 minggu. Dilanjutkan
pemberian ZDV secara intravenous setelah 6 minggu pengobatan oral. Dengan
protokol pengobatan yang dikembangkan ACTG-076 ini ternyata terdapat
perbedaan yang sangat bermakna dalam hal transmisi infeksi HIV.
Pada
kelompok plasebo ada penurunan sebesar 25,5% dan 8,3% pada kelompok
terapi ZDV ( p = 0,00006 ).17,20
ZDV melewati barier plasenta, dan ditemukan dalam konsentrasi yang
tinggi pada cairan amnion. Walaupun demikian bagaimana ZDV mempunyai
kemampuan untuk menurunkan transmisi infeksi HIV pada perinatal tidak
sepenuhnya diketahui.17,20
Hingga saat ini belum ada penelitian yang membuktikan tentang efek
samping jangka panjang pemberian ZDV pada anak-anak yang tidak terinfeksi
HIV. Atas dasar hasil penelitian sesuai protokol PACTG-076 tersebut di negara
Thailand maka WHO merekomendasikan resumen ini sebagai pencegahan
transmisi infeksi HIV di negara-negara berkembang.17,18,22
Ada penelitian lain dari Uganda yang dilakukan oleh Guay dkk dengan
mempergunakan Nevirapine. Nevirapine diberikan sebagai dosis tunggal oral
pada ibu pada saat persalinan dan dosis tunggal pada bayi baru lahir. Dengan
resumen ini ternyata ada penurunan risiko transmisi vertikal HIV-1 mendekati
50% selama minggu ke 14 16 pertama kehidupan neonatus yang disusui. Saat
sekarang msih terus berlangsung penelitian pada anak dengan menggunakan
Nevirapine untuk melihat efektifitas dan keamanan Nevirapine. Di samping itu
ada PETRA yang melakukan penelitian untuk melihat efektifitas kombinasi
ZDV-Lamivudine bagi pencegahan transmisi infeksi HIV dari ibu ke anak.
Penelitian ini ternyata sangat berarti dikembangkan di negara-negara
berkembang dimana tidak dapat menyediakan resumen sesuai protokol ACTG076, karena lebih sedikit komplikasi yang terjadi dan lebih murah.
Juga
pada bayi yang terpapar HIV hingga saat sekarang belum ada yang cukup
memuaskan.17,8,20
African Network for the care of Children Affected by AIDS (ANECCA)
telah mencatat 10 pokok penting sebagai panduan minimal tatalaksana bayi dan
anak yang terpajan atau terinfeksi HIV bagi petugas kesehatan.
Paket perawatan AIDS terpadu pada anak :
1. Konfrmasi status infeksi HIV segera
2. Monitor tumbuh kembang anak
3. Imunisasi sesuai jadwal
4. Lakukan pencegahan infeksi oportunis (PCP dan TBC)
5. Mencari infeksi dan mengobatinya segera
6. Konseling ibu dan keluarga
7. Tentukan derajat berat penyakit pada anak yang terbukti terinfeksi HIV
8. Berikan terapi ARV pada anak yang terinfeksi bila diperlukan
9. Lakukan bantuan psikososial terhadap anak yang terinfeksi dan ibunya.
10. Rujuk anak yang terinfeksi pada tingkat perawatan spesialis yang lebih
tinggi bila perlu, atau pada program sosial atau program bantuan
komunitas lain.
Dikutip : dari Akib AA 1
Pengobatan
profilaksis
terhadap
Pneumocyctis
carinii
dengan
b. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
5. Usia 4 bulan
a. Pemeriksaan laboratorium
i. PCR RNA kedua bila sebelumnya PCR RNA negatif. Bila negatif
berarti tidak terinfeksi HIV, bila positif berarti terinfeksi HIV,
dianjurkan pemeriksaan CD 4 dan diberikan terapi AZT/d4T, 3TC
dan NVP.
ii. Pemeriksaan lain sesuai indikasi.
b. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA.
6. Usia 6 bulan
a. Pemeriksaan fisis
i. Keadaan umum tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang.
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
Faal hati : SGOT/SGPT
ii. PCR RNA HIV untuk konfirmasi bila pemeriksaan PCR RNA pertama
negatif dan kedua positif.
iii. Bila tidak dilakukan pemeriksaan PCR RNA HIV, periksa serologi
anti HIV dengan 3 reagen berbeda.
c. Bila hasil serologi anti HIV negatif, diulang 1 bulan kemudian. Bila
keduanya negatif, maka dinyatakan tidak terinfeksi HIV
d. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA. Bila dinyatakan
infeksi HIV negatif, lakukan imunisasi BCG dengan uji tuberculin
terlebih dahulu.
7. Usia 12 bulan
a. Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
ii. Serologi antiHIV
c. Bila serologi antiHIV (-) dan klinis baik : dianggap bukan infeksi HIV.
Rencana pemeriksaan serologi antiHIV umur 18 bulan untuk konfirmasi
d. Bila serologi HIV (+) dan klinis baik, ulangi serologi pada usia 18 bulan
e. Bila serologi HIV (+) dan terdapat kelainan klinis seperti pada lampiran
2, rujuk ke Tim BIHA untuk evaluasi
f. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksin polio hidup dan pasien di rujuk ke Tim BIHA.
8. Usia 18 bulan
a. Pemeriksaan fisik
i. Keadaan umum, tanda vital, pemeriksaan organ sistematik, tumbuh
kembang
ii. Bila ada kelainan klinis seperti pada lampiran 2, rujuk ke Tim BIHA
b. Pemeriksaan laboratorium
i. Darah tepi : Hb, leukosit, trombosit, hitung jenis leukosit
ii. Serologi antiHIV
c. Serologi antiHIV (-) : konfirmasi bukan infeksi HIV
d. Serologi antiHIV (+) : infeksi HIV, rujuk ke Tim BIHA, pengobatan ARV
e. Imunisasi rutin, bila ada tanda klinis defisiensi imun berat tidak diberi
vaksi polio hidup dan pasien dirujuk ke Tim BIHA
Algoritme diagnosis HIV pada bayi :
B. Terapi antiretroviral.
Bayi cukup bulan dengan paparan HIV pada masa perinatal sebaiknya
mendapatkan ZDV dengan dosis 2 mg/kg/dosis per oral setiap 6 jam atau 1,5
mg/kg/dosis iv setiap 6 jam selama 30 menit. Bayi preterm (usia kehamilan 34
minggu atau kurang) dapat diberi ZDV dengan dosis 1,5 mg/kg/dosis setiap 12
jam untuk 2 minggu pertama, kemudian ditingkatkan menjadi 2 mg/kg/dosis
setiap 8 jam. ZDV sebaiknya dimulai pada 12 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan sampai 42 hari.17
Berikut ini diperlihatkan bagaimana protokol penggunaan zidovudine (ZDV)
yang telah dicobakan pada suatu studi kelompok atas gejala klinik AIDS.
Tabel 2. Prosedur pemakaian zidovudine atas studi kelompok uji klinik AIDS
Antepartum
Zidovudine 100 mg oral 5 kali sehari, dimulai umur kehamilan 14 34
minggu dan dilanjutkan selama hamil
Intrapartum
Zidovudine 2 mg/kgBB intravena dalam 1 jam sebagai loading dose,
dilanjutkan 1 mg/kg/jam selama persalinan.
Baru lahir
Zidovudine sirup 2 mg/kg BB oral setiap 6 jam, dimulai 8 12 jam setelah
lahir dan dilanjutkan selama 6 minggu kehidupan.
Dikutip dari Michael K19
i.
ii.
5. Nelvinafir (NFV)
Neonatus 40 mg/kgBB, 2x sehari
6. Kotrimoksazol (untuk pneumocystis carinii)
a) Profilaksis : 2,5 mg TMP/kgBB, 2x sehari, 3 hari seminggu
b) Pengobatan : 8-10 mg/kgBB/hari dalam 2 kali pemberian
4. Menyusui Apakah ASI dapat diberikan oleh penderita HIV ?
Menyusui dikontraindikasikan bagi bayi dari ibu yang terinfeksi HIV di negaranegara industri dimana alternatif yang aman untuk menyusui tersedia. Bayi-bayi
ini harus mendapatkan formula artificial sebagai makanan pendukung. Tetapi di
negara berkembang pemberian ASI bagi bayi dari ibu yang terpapar HIV masih
merupakan perdebatan. Kebijaksanaan WHO untuk menyusui bayi dari ibu yang
terinfeksi di negara berkembang telah berubah sejak 1998. Alasan di negara-negara
dimana menyusui masih merupakan perdebatan pada ibu terinfeksi HIV adalah
sebagai perlindungan terhadap usaha untuk mengatasi kematian dini akibat diare
dan penyakit-penyakit infeksi yang umum dibandingkan dengan usaha untuk
menurunkan transmisi HIV melalui air susu. Walaupun demikian diketahui bahwa,
menyusui bayi umur kurang dari 12 bulan merupakan tindakan yang tidak baik
karena akan meningkatkan risiko-risiko transmisi HIV.
Kenyataannya risiko
1 juta anak-anak terinfeksi karena air susu, dan hal itu menjadi
memungkinkan masuknya virus melalui mukosa usus, tetapi transmisi juga terjadi
pada bayi yang mulai menyusui setelah periode neonatal. Pengenalan awal pada
jenis makanan lain mungkin juga berperan pada kerusakan garis-garis usus.17,18,21
5. Alat kontrasepsi yang terbaik untuk penderita HIV ?
Perempuan yang menerima obat ARV dan tidak ingin hamil harus
menggunakan metode kontrasepsi yang efektif dan sesuai guna mencegah
kehamilan yang tidak dikehendaki. Perlu diingat bahwa setiap obat ARV memiliki
potensi untuk menaikkan atau menurunkan bioavailabilitas hormon steroid dan
kontrasepsi hormonal. Dari data yang terbatas menunjukkan adanya interaksi
antara beberapa obat ARV dengan hormon kontrasepsi dan dapat mengubah
keamanan atau efikasi baik hormon kontrasepsi itu sendiri ataupun ARVnya.
Belum diketahui pasti apakah kontrasepsi yang hanya mengandung
progesteron suntikan (seperti depo medroxyprogesterone acetat dan norethisterone
enantate) juga terancam efikasinya, karena metode ini memberikan kadar hormon
yang tinggi dalam darah dibanding kontrasepsi progesteron lain, atau dibanding
dengan kontrasepsi oral kombinasi. Penelitian sedang dilaksanakan untuk menilai
interaksi antara depo medroxyprogesteron acetate dengan obat PI dan NNRTI
tertentu. Oleh karena itu, apabila seorang perempuan yang mendapat ART akan
mulai atau meneruskan penggunaan kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga
selalu menggunakan kondom untuk mencegah penularan HIV dan menjaga
kemungkinan adanya penurunan efektivitas kontrasepsi hormonal yang ia pakai.
IV. KESIMPULAN
AIDS adalah penyakit defisiensi imunitas seluler yang disebabkan oleh Human
Immunodeficiency Virus (HIV) yang digolongkan dalam virus RNA.
Ada 3 cara penularan virus yaitu :
a. Melalui Hubungan intim fisik (baik homoseksual / heteroseksual)
b. Vertikal dari ibu ke janin (risiko 15-45%)
1. Transmisi intrauterin
2. Transmisi intrapartum
3. Transmisi pascapersalinan
pencegahan
transmisi
perinatal,
pemberian
antiretrovirus
(ART)
direkomendasikan untuk semua ibu hamil yang terinfeksi HIV. Resiko transmisi
perinatal meningkat sesuai dengan kadar HIV ibu dan resiko transmisi dapat diturunkan
hingga 20% pada ibu hamil yang mengidap HIV jika diterapi dengan ART.
Semua bayi yang lahir dari ibu yang terinfeksi HIV sebaiknya dilakukan
pemeriksaan untuk mendiagnosa virus pada 2 hari pertama kehidupannya dimana
sedikitnya 40 % bayi baru lahir yang terinfeksi dapat dideteksi. HIV-DNA PCR yang
kedua dapat dilakukan pada umur 2 minggu jika tes awalnya negatif. Semua bayi yang
terpapar HIV sebaiknya diperiksa dengan HIV-DNA PCR pada umur 1-2 bulan dan 3-6
bulan.
Bayi cukup bulan dengan paparan HIV pada masa perinatal sebaiknya mendapatkan
ZDV dengan dosis 2 mg/kg/dosis per oral setiap 6 jam atau 1,5 mg/kg/dosis iv setiap 6
jam selama 30 menit. ZDV sebaiknya dimulai pada 12 jam pertama kehidupan dan
dilanjutkan sampai 42 hari.17
Seorang perempuan yang mendapat ART akan mulai atau meneruskan penggunaan
kontrasepsi hormonal, tetap dianjurkan juga selalu menggunakan kondom untuk
mencegah penularan HIV dan menjaga kemungkinan adanya penurunan efektivitas
kontrasepsi hormonal yang ia pakai.
Pengetahuan tentang Kewaspadaan Umum adalah barier protektif bagi tenaga
kesehatan dari ancaman transmisi infeksi.
V. RUJUKAN
1.
Unandar Budimulya. Acquired Immune Deficiency Syndrome. Dalam: Ilmu Kulit dan Kelamin.edisi
I. Fakultas Kedokteran UI, Jakarta: 1987;339-341
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
21.
Richard L, Ronald S. Infectious Diseases of the Female Genital Tract. 4 thed. Lippincott Williams &
Wilkins, Philadelphia: 2002; 237-296.
Anderson J.A Guide to the Clinical Care of Woman with HIV. Preliminary ed. Women Care
Parklawn Building, Maryland: 2002; 211-223, 234-258.
Yunihastuti E,Wibowo N, Djauzi S, Djoerban Z. Infeksi HIV pada kehamilan.edisi I. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta: 2002; 1-32.
Djauzi S, Djoerban Z. Penatalaksanaan HIV/AIDS di Pelayanan Kesehatan Dasar, edisi I. Balai
Penerbit FKUI, Jakarta: 2002; 1-58.
Scott B Ranson, Mark I Evans, Mitchel P. Contemporary Therapy in Obstetetrics and Gynecology.
WB Saunders Company, Philadelphia: 2002; 9-13.
Michel E Rivlin, Rick W Martin. Manual of Clinical Problems in Obstetrics and Gynecology. 5 th ed.
Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia: 1999; 297-300.
William M Baron, Marshal D Lindheimer. Medical Disorders During Pregnancy. 3th ed. Mosby,
Missouri: 2000; 491-502.
Charry & Merkatzs. Complications of Pregnancy. 5 th ed. Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia: 1999; 677-689.
James PJ Steer, CP Weiner, B Gonile. High Risk Pregnancy Management Options. 4 th ed. WB
Saunders Company, Philadelphia: 1996; 498-501.
Fernando Arias. Practical Guide to High Risk Pregnancy and Delivery. 2 nd ed. Mosby,. Missouri:
1993; 364-367.
Steven G Gable, Jennifer R Niebbye, Joe Leigh Simpson. Obstetrics Normal & Problem
Pregnancies. 3 rd ed. Churchill Livingstone: 1996; 1222-1224.
Direktorat Jenderal Pengembangan Penyakit Menular & penyehatan Lingkungan Depkes RI.
Pedoman Nasional Perawatan, Dukungan, Penyebaran ODHA. Depkes RI, Jakarta: 2003; 1-93.
Direktorat Jenderal Pengembangan Penyakit Menular & penyehatan Lingkungan Depkes RI.
Pedoman nasional terapi antiretroviral. Depkes RI, Jakarta: 2004; 9-15.
Alan H DeCherney & Martin L Pernoll. Current Obstetric & Gynecologic Diagnosis & Treatment.
8th ed. Apleton & Lange, USA: 1994; 764-768.
Fernandez AD, McNeeley DF, et al. Management of the infant born to a mother infected with human
immunodeficiency virus type 1 (HIV-1): Current concepts. Am J Perinatology 2000;17:429-436
Michael KL, Nesheim SR. Human immunodeficiency virus infection in pregnant women and their
newborns. Clinics in perinatology 1997;24:161-180
Mandelbrot L, Mayaux MJ, Bongain A, et al. Obstetrics factors and mother-to-child transmission of
human immunodeficiency virus type 1: the French perinatal cohort. Am J Obstet Gynecol
1996;175:661-667
Biggar RJ, Pahwa S, Minkoff H, Mendes H, Willoughby A, Landesman S, et al. Immunosuppresion
in pregnant women infected with human immunodeficiency virus. Am J Obstet Gynecol 1989;69 (3
part 1):288-191
Wiknjosastro H. Penyakit menular. Dalam: Wiknjosastro H. Editor. Ilmu kebidanan. Edisi ketiga.
Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. 1997:556-558
Minkoff H, Henderson C, Mendez H, Gail MH, Holman S, Willoughby A, et al. Pregnancy
outcomes among women infected with human immunodeficiency virus and uninfected control
subjects. Am J Obstet Gynecol 1990;163 (5 pt 1):1598-1604
2. Limfadenopati generalisata
Skala penampilan 1: asimtomatik, aktivitas normal
Stadium klinis II
1. Berat badan berkurang <10%
2. Manifestasi mukokutaneus ringan (dermatitis seboroik, prurigo, infeksi jamur di kuku,
ulserasi oral berulang, kheilitis angularis)
3. Herpes zoster dalam lima tahun terakhir
4. Infeksi saluran napas bagian atas yang berulang (seperti sinusitis bakterial)
Dan/atau skala penampilan 2: simtomatik, aktivitas normal
Stadium klinis III
1. Berat badan berkurang >10%
2. Diare kronik tanpa penyebab yang jelas, >1 bulan
3. Demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas (datang pergi / menetap), >1 bulan
4. kandidiasis oral (thrush)
5. Oral hairy leucoplakia (OHL)
6. TB paru
7. Infeksi bakterial berat (mis. pnemonia,piomiositis)
Dan/atau skala penampilan 3: <50% dalam masa 1 bulan terakhir terbaring
Stadium klinis IV:
1. HIV wasting syndrome a
2. Pneumocystic carinii pneumonia
3. Toksoplasmosis otak
4. Diare karena kriptosporidiosis >1 bulan
5. Kriptokokosis ekstra paru
6. Penyakit Cytomegalovirus pada satu organ selain hati, limpa, atau kelenjar getah bening
(contoh retinitis)
7. Infeksi virus Herpes simpleks, di mukokutaneus (>1 bulan) atau organ dalam
8. Progressive multifocal leucoencephalopathy (PML)
9. Mikosis endemik yang menyebar
10. Kandidiasis esofagus, trakea, bronki
11. Mikobakteriosis atipik, menyebar atau di paru
12. Septikemia salmonela non-tifoid
13. Tuberkulosis ekstra paru
14. Limfoma
15. Sarkoma Kaposi's
16. Ensefalopati HIV b
Dan/atau skala penampilan 4: terbaring di tempat tidur >50% dalam masa 1 bulan terakhir
a. HIV wasting syndrome: berat badan berkurang >10% dari BB semula, disertai salah satu dari diare kronik tanpa
penyebab yang jelas (>1 bulan) atau kelemahan kronik dan demam berkepanjangan tanpa penyebab yang jelas.
b. Ensefalopati HIV: adanya gangguan dan/atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas hidup sehari-hari,
berlangsung selama berminggu-minggu atau bulan, tanpa ada penyakit penyerta lain selain infeksi-HIV yang dapat
menjelaskan mengapa demikian.
1. Asimtomatik
2. Limfadenopati generalisaa
Stadium klinis II:
1. Diare kronik >30 hari tanpa etiologi yang jelas
2. Kandidiasis persisten atau berulang di luar masa neonatal
3. Berat badan berkurang atau gagal tumbuh tanpa etiologi yang jelas
4. Demam persisten >30 hari tanpa etiologi jelas
5. Infeksi bakterial berulang yang berat selain septikemia atau meningitis (contoh:
osteomielitis, pnemonia bakterial non-TB, abses)
Stadium klinis III:
1. Infeksi oportunistik yang termasuk dalam definisi AIDS
2. Gagalan tumbuh yang berat (wasting) tanpa etiologi yang jelasa
3. Ensefalopati yang progresif
4. Keganasan
5. Septisemia atau meningitis berulang
a.
Berat badan berkurang secara persisten >10% dari BB semula atau di bawah garis persentil
5 grafik berat badan dibanding tinggi (BBT) pada pengukuruan 2 kali berturut-turut dengan selang waktu
lebih dari 1 bulan tanpa adanya etiologi atau penyakit penyerta lain yang jelas.
ODHA dengan
indikasi ART1
yang mungkin
dapat hamil
ODHA hamil
dengan indikasi
ART1
Berikan AZT
(4mg/kgBB / 12jam)
selama 1 minggu
atau
NVP (2 mg/ kg BB)
dosis tunggal atau
NVP dosis tunggal
ditambah AZT selama
1 minggu
AZT selama 1 minggu
atau
NVP dosis tunggal
atau
NVP dosis tunggal
ditambah
AZT selama 1 minggu
NVP dosis tunggal
dalam 72 jam pertama
ditambah
AZT selama 1 minggu
Kemungkinan
obat
penyebab
Hepatitis
NVP;EFV jarang;
akut
lebih jarang
dgn AZT, ddl,
d4T (<1%); & PI,
paling sering
dgn RTV
Pankreatiti Ddl, d4T; 3TC
s akut
(jarang)
Asidosis
laktat
Semua analog
nukleosida
(NsRTI)
Reaksi
hipersensi
tif
ABC, NVP
Ruam
hebat/
sindroma
StevensJohnson
NNRTI : NVP,
EFV
Penatalaksanaan
Pantau transaminase
serum, bilirubin.
Semua ARV harus
dihentikan sampai gejala
teratasi. NP harus
dihentikan selamanya.
Mual, muntah dan sakit perut
Pantau amilase & lipase
pancreas serum. Semua
ART dihentikan sampai
gejala teratasi. Mulai
kembali ART dgn NsRTI
yang lain, lebih disukai
yang tidak menyebab-kan
toksisitas pada pancreas
(mis. AZT, ABC)
Gejala awal bervariasi:
Hentikan semua ART,
Sind. prodromal klinis berupa
gejala dpt berlanjut / lebih
kelelahan umum, lemah, gejala
buruk setelah penghentian
gastrointestinal (mual, muntah),
ART. Berikan terapi
pembesaran hati, tidak nafsu makan, penunjang. Obat yg dpt
&/ kehilangan berat badan mendadak dipertimbangkan untuk
yang tidak dapat dijelaskan), gejala
memulai Th/ kembali
pernafasan (takipnea dan sesak
termasuk kombinasi PI
nafas) atau gejala neurologist
dengan suatu NNRTI &
(termasuk kelemahan motorik)
kemungkinan salah satu
ABC/tenofovir (TDF)
ABC: kumpulan gejala awal
Hentikan semua ARV
termasuk: demam, capai,mialgia,
sampai gejala teratasi.
mual/muntah, diare sakit perut,
Reaksi dapat bertambah
faringitis, batuk, sesak nafas
buruk secara cepat dng
(dengan / tanpa ruam). Walaupun
pemberian obat & dapat
gejala bertumpang tindih dgn gejala fatal. Berikan terapi
pernafasan dan gastrointestinal yang penunjang.
timbul akut setelah memulai ABC
Jangan coba lagi dengan
menunjukan khas adanya reaksi
ABC atau NVP, karena
hiperpeka. NVP: gejala sistematik
reaksi anafilaktik dan
seperti demam, mialga, artralgia,
kematian telah pernah
hepatitis, eosinofilia dengan / tanpa dilaporkan. Sekali gejala
ruam
teratasi, mulai kembali
ARV dan menggantinya
dgn NsRTI lain jika
berhubungan dgn ABC
/dgn PI / NsRTI jika
berhubungan dgn NVP.
Ruam biasanya timbul dalam 2-4mgg Hentikan semua ARV
pertama pengobatan.
sampai gejala teratasi.
Ruam biasanya eritomatous,
Hentikan sama sekali NVP
makulopapula, bersatu paling banyak yang menimbulkan ruam
ditubuh dan lengan, mungkin gatal
dgn gejala sistematik
dan dapat terjadi dengan atau tanpa
seperti demam, ruam yang
demam. Sindrom Stevens- Johnson
hebat dgn lesi pada
atau nekrotik epidermal toksik
mukosa atau gatal,
(SSJ/NET) terjadi pada ~0,3% orang
atau SSJ/NET;
terinfeksi yang menerima NP.
begitu teratasi, ganti obat
ART dengan jenis ARV
lainnya (mis. 3NsRTI / 2
NsRTI & PI). Jika ruam tidak
begitu hebat tanpa gejala
Neuropati
perifer
yang
hebat
Ddl, d4T