Anda di halaman 1dari 12

LAPORAN PENDAHULUAN CIDERA KEPALA

Tuesday, September 23, 2014

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA


I.
II.

Diagnosa medik: Cedera kepala.


Definisi : Cedera kepala merupakan cedera yang mengenai kulit kepala hingga

tengkorak (Cranium dan bagian bawah). Namun penggunaan istilah cedera kepala
(head injury) ini biasanya berkaitan dengan cedera yang mengenai tengkorak atau
otak atau keduanya (Hickey, 2003). Defenisi lain menurut nasional institude of
neurological disorder and strok, cedera kepala atau yang sinonim dengan brain
injuri/head injuri/traumatic brain injuri, adalah cedera yang mengenai kepala atau
otak (atau keduanya) yang terjadi ketika trauma mendadak menyebabkan kerusakan
pada otak.
Hemoragi intraserebral adalah perdarahan ke dalam substansi otak. Hemoragi ini
biasa terjadi pada cedera kepala dimana tekanan mendesak ke kepala sampai
daerah kecil (cedera peluru atau luka tembak dan cedera tumpul).
Hemoragi di dalam otak mungkin disebabkan oleh hipertensi sistemik yang
menyebabkan degenersi dan ruptur pembuluh darah, ruptur kantung aneurisme,
anomali vaskuler, tumor intrakranial.
III. Etiologi: Cedera kepala dapat disebabkan karena kecelakaan lalu lintas, terjatuh,
kecelakaan industri, kecelakaan olah raga, luka pada persalianan (Tarwoto, dkk,
2007). Tipe dan Tingkatan Cedera Kepala.

Cedera kepala ringan :

Klien bangun dan mungkin bisa berprientasi

GCS (13-15)

Kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit

Tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hamatom.

Cedera kepala sedang


Klien mungkin konfusi/samnolen, namun tetap mampu untuk mengikuti

perintah sederhana
-

GCS (9-12)

Hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam

Dapat disertai fraktur tengkorak, disorientasi ringan

Cedera kepala berat


Klien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan

kesadaran
-

GCS (3-8)

Kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam

Mengalami kontusio serebral, laserasi, hematoma intrakranial.

IV. Patofisiologi
Kerusakan otak dapat diakibatkan cedera primer atau cedera sekunder pada kepala.
Pada cedera primer kerusakan otak akibat trauma itu sendiri, sedangkan pada
cedera sekunder kerusakan pada otak merupakan akibat dari pembengkakan
(swelling), perdarahan (hematom), infeksi, hipoksia cerebral, atau iskemia yang
terjadi estelah cedera primer. Cedera sekunder dapat terjadi dalam waktu yang
cepat, dalam hitungan jam dari terjadinya cedera primer (Porth, 1998 dalam Lemote
& Burke, 2000).
Web of caution terlampir

V. Pemeriksaan fisik
Pengkajian
1.

Aktifitas/ Istirahat

Gejala : Letih, lelah ,malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan keseimbangan.


Sakit kepala yang hebat pada saat perunahan postur tubuh/ aktivitas.
Keterbatasan akibat keadaan.
2.

Sirkulasi

Gejala : riwayat hipertensi


Tanda : Hipertensi
Denyutan vaskuler, misalnya daerah temporal.
Pucat, wajah tampak kemerahan.
3.

Integritas Ego

Gejala : Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidakberdayaan, depresi.


Peka rangsangan selama nyeri kepala
Factor-faktor stress emosional/ lingkungan tertentu.

4.

Makanan/ cairan

Gejala : Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya kafein,


coklat, daging, makanan berlemak.
Mual/muntah, anoreksia
Penurunan berat badan
5.

Neurosensori

Gejala : Pusing, disorientasi, tidak mampu berkosentrasi.


Riwayat cedera kepala yang baru terjadi, trauma, infeksi intracranial,
Kraniotomy.
Penurunan tingkat kesadaran.
Status mental : mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku
Perubahan visual, sensitive terhadap cahaya/ suara yang keras.
Kelemahanprogresif/ paralisi satu sis temporer
Tanda : Perubahan pola bicara/proses fakir.
Mudah terangsang, peka terhadap stimulus.
Penurunan reflektendon dalam papiledema
6.

Nyeri/ Kenyamanan

Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala :


Pascatraumatik : berat dan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau intermiten,
setempat atau umum, intensitas beragam, diperburuk oleh gangguan emosional,
perubnahan posisi tubuh.
Tanda : Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah.
Respon emosional/ perilaku tak terarah, gelisah.
7.

Interaksi Sosial :

Gejala : perubahan dalam tanggung jawab peran/ interaksi social yang berhubungan
dengan penyakit.
8.

Ventilasi

Pada cedera kepala tertutup disarankan untuk melalukukan hiperventilasi manual


dengan memberikan oksigen
9.

Hiportermi

Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan penurunan darah


serebral.
VI. Pemeriksaan Diagnostik
1. CT. Scan (dengan /tanpa zat kontras)
2. MRI, sama dengan CT Scan

3. EEG : memperlihatkan keberadaan/ berkembangnya sel patologis


4. Fungsi Lumbal : CSS menduga adanya perdarahn sub arachnoid
5. GDA : mengetahui masalah ventilasi dan oksigenasi yang dapat menarik TIK.
VII. Diagnosa keperawatan

Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan interupsi aliran

darah, tidak adekuatnya suplai darah ke cerebral : gangguan oklusi, hemoragi,


vasospasme cerebral, edema cerebral.

Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan kesadaran

dan disfungsi hormonal.

Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang berhubungan dengan

perubahan metabolisme, pembatasan cairan dan asupan yang tidak adekuat.

Perubahan proses pikir (defisit fungsi intelektual komunikasi, ingatan, proses

informasi) yang berhubungan dengan cedera otak.

Potensial terhadap koping keluarga tidak efektif yang berhubungan dengan

pasien tidak responsif, hasil yang tidak jelas, periode pemulihan yang lama, sisa
kemampuan fisik pasien dan defisit emosi.

Kurang pengetahuan tentang proses rehabilitasi.

VIII. Intervensi Keperawatan

Gangguan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan interupsi aliran

darah, tidak adekuatnya suplai darah ke cerebral : gangguan oklusi, hemoragi,


vasospasme cerebral, edema cerebral
INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
-

Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab peningkatan

TIK dan akibatnya.


-

Anjurkan kepada klien untuk bed rest totat

Observasi dan catat tanda-tanda vital dan kelain tekanan intrakranial tiap dua

jam
tipis)

Berikan posisi kepala lebih tinggi 15-30 dengan letak jantung ( beri bantal

Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan

Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung

Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian obat neuroprotektor

Keluarga lebih berpartisipasi dalam

proses penyembuhan

Untuk mencegah perdarahan ulang

Mengetahui setiap perubahan yang terjadi pada klien secara dini dan untuk

penetapan tindakan yang tepat.


-

Mengurangi tekanan arteri dengan meningkatkan draimage vena dan

memperbaiki sirkulasi serebral.


-

Batuk dan mengejan dapat meningkatkan tekanan intra kranial dan potensial

terjadi perdarahan ulang.


-

Rangsangan aktivitas yang meningkat dapat meningkatkan kenaikan TIK.

Istirahat total dan ketenagngan mingkin diperlukan untuk pencegahan terhadap


perdarahan dalam kasus stroke hemoragik / perdarahan lainnya.

Memperbaiki sel yang masih viabel

Kekurangan volume cairan yang berhubungan dengan gangguan kesadaran

dan disfungsi hormonal.


INTERVENSI RASIONAL
Mandiri
- Pantau TTV, catat adanya hipotensi (termasuk perubahan postural), takikardia,
takipnea dan demam.

- Pertahankan masukan dan haluaran yang akurat dan hubungkan dengan BB harian.
- Ukur berat jenis urine.

- Observasi kulit/ membran mukosa untuk kekeringan, turgor.


- Ubah posisi tubuh dengan sering, berikan perawatan kulit dengan sering dan
pertahankan tempat tidur kering dan bebas lipatan.
LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA
CIDERA KEPALA
A. Pengertian
Cidera kepala adalah kerusakan neurologis yang terjadi akibat adanya trauma pada
jaringan otak yang terjadi secara langsung maupun efek sekunder dari trauma yang
terjadi (Sylvia anderson Price, 1985).
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan karena beberapa hal diantaranya adalah :
1.

Oleh benda / serpihan tulang yang menembus jaringan otak misal :

kecelakaan, dipukul dan terjatuh.


2.

Trauma saat lahir misal : sewaktu lahir dibantu dengan forcep atau vacum.

3.

Efek dari kekuatan atau energi yang diteruskan ke otak.

4.

Efek percepatan dan perlambatan (akselerasi-deselerasi) pada otak.

C. Manifestasi klinis
Cidera otak karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala, cidera akut dengan
cepat menyebabkan pingsan (coma), yang pada akhirnya tidak selalu dapat
disembuhkan. Karena itu, sebagai penunjang diagnosis, sangat penting diingat arti
gangguan vegetatif yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala,
mual, muntah, dan puyeng. Gangguan vegetatif tidak dilihat sebagai tanda-tanda
penyakit dan gambaran penyakit, namun keadaannya reversibilitas.
Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia
antegrad), tetapi biasanya korban/ pasien tidak diingatnya pula sebelum dan

sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad). Timbul tanda-tanda lemah


ingatan, cepat lelah, amat sensitif, negatifnya hasil pemeriksaan EEG, tidak akan
menutupi diagnosis bila tidak ada kelainan EEG.
Koma akut tergantung dari beratnya trauma/ cidera. Akibatnya juga beraneka
ragam, bisa terjadi sebentar saja dan bisa hanya sampai 1 menit. Catatan
kesimpulan mengenai cidera kepala akan lebih kalau terjadi koma berjam-jam atau
seharian, apalagi kalau tidak menampakkan gejala penyakit gangguan syaraf.
Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar
otak akan terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1
jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan
jaringan otak yang berkepanjangan.
D. Klasifikasi
Cidera kepala diklasifikasikan menjadi dua :
1. Cidera kepala terbuka
Luka terbuka pada lapisan-lapisan galea tulang tempurung kepala duramater disertai
cidera jaringan otak karena impressi fractura berat. Akibatnya, dapat menyebabkan
infeksi di jaringan otak. Untuk pencegahan, perlu operasi dengan segera
menjauhkan pecahan tulang dan tindakan seterusnya secara bertahap.
2. Cidera kepala tertutup
Pada tulang kepala, termasuk di antaranya selaput otak, terjadi keretakan-keretakan.
Dalam keadaan seperti ini, timbul garis/linea fractura sedemikian rupa sehingga
menyebabkan luka pada daerah periferia a. meningia media, yang menyebabkan
perdarahan arteri. Haematoma dengan cepat membesar dan gambaran klinik juga
cepat merembet, sehingga tidak kurang dari 1 jam terbentuk haematomaepiduralis.
Penentuan diagnosis sangat berarti lucidum intervalum (mengigat waktu yang jitu
dan tepat). Jadi, pada epiduralis haematoma, sebenarnya jaringan otak tidak rusak,
hanya tertekan (depresi). Dengan tindakan yang cepat dan tepat, mungkin pasien
dapat ditolong. Paling sering terdapat di daerah temporal, yaitu karena pecahnya
pembulnh darah kecil/perifer cabang-cabang a. meningia media akibat fractura
tulang kepala daerah itu (75% pada Fr. Capitis).
a. Epiduralis haematoma
Pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior, sin. transversus. Foto
kepala sangat berguna, tetapi yang lebih penting adalah pengawasan terhadap
pasien. Saat ini, diagnosis yang cepat dan tepat ialah CT scan atau Angiografi.
Kadangkala kita sangat terpaksa melakukan "Burr hole Trepanasi", karena dicurigai

akan terjadi epiduralis haematoina. Dengan ini sekaligus bisa didiagnosis dan
dekompresi, sebab terapi untuk epiduralis haematoma adalah suatu kejadian yang
gawat dan harus segera ditangani.
b. Subduralis haematoma akut
Kejadian akut haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah
kecil sinus vena pecah atau terjadi perdarahan. Atau jembatan vena bagian atas
pada interval yang akibat tekanan lalu terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan
cepat, karena tekanan jaringan otak sehingga darah cepat tertuangkan dan
memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi
tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial).
Pada kejadian akut haematoma, lucidum intervalum akan terasa setelah beberapa
jam sampai 1 atau 2 hari. Tanda-tanda neurologis-klinis di sini jarang memberi gejala
epileptiform pada perdarahan dasar duramater. Akut hematoma subduralis pada
trauma kapitis dapat juga terjadi tanpa Fractura Cranii, namun pembuluh darah
arteri dan vena di corteks terluka. Pasien segera pingsan/ koma. Jadi, di sini tidak
ada "free interval time". Kadang-kadang pembuluh darah besar seperti arteri dan
sinus dapat juga terluka. Dalam kasus ini sering dijumpai kombinasi dengan
intracerebral haematoma sehingga mortalitas subdural haematoma akut sangat
tinggi (80%).
c. Subrachnoidalis Haematoma
Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada
permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik seharihari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir
aneurysna pelebaran pembuluh darah. Ini sering menyebabkan pecahnya
pembuluh darah otak. Gambaran klinik tidak menunjukkan gejala-gejala penyakit
tetapi terjadi gangguan ingatan karena timbulnya gangguan meningeal. Akut
Intracerebralis Haematoma terjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks
dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada
jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah
pula karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah
"subduralis haematoma", disertai gejala kliniknya.
d. Contusio Cerebri
Di antara yang paling sering adalah bagian yang berlawanan dengan tipe kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, atau kelumpuhan syaraf-syaraf otak,
gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala. Contusio
pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon

dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan
tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai
dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah,
keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio
rigiditas).
E. Pemeriksaan diagnostik
1.

Spinal X ray

Membantu menentukan lokasi terjadinya trauma dan efek yang terjadi (perdarahan
atau ruptur atau fraktur).
2.

CT Scan

Memeperlihatkan secara spesifik letak oedema, posisi hematoma, adanya jaringan


otak yang infark atau iskemia serta posisinya secara pasti.
3.

Myelogram

Dilakukan untuk menunjukan vertebrae dan adanya bendungan dari spinal aracknoid
jika dicurigai.
4.

MRI (magnetic imaging resonance)

Dengan menggunakan gelombang magnetik untuk menentukan posisi serta besar/


luas terjadinya perdarahan otak.
5.

Thorax X ray

Untuk mengidentifikasi keadaan pulmo.


6.

Pemeriksaan fungsi pernafasan

Mengukur volume maksimal dari inspirasi dan ekspirasi yang penting diketahui bagi
penderita dengan cidera kepala dan pusat pernafasan (medulla oblongata).
7.

Analisa Gas Darah

Menunjukan efektifitas dari pertukaran gas dan usaha pernafasan.


G. Diagnosa keperawatan
1.

Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke

otak.
2.

Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

3.

Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan

intra kranial.
4.

Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

5.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan

elektrolit meningkat.
6.

Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan

medula oblongata.

H. Intervensi
1.

Gangguan perfusi jaringan b/ d oedema cerebri, meningkatnya aliran darah ke

otak.
Tujuan
Gangguan perfusi jaringan tidak dapat diatasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 2x 24 jam dengan KH :
a.

Mampu mempertahankan tingkat kesadaran

b.

Fungsi sensori dan motorik membaik.

Intervensi
a.

Pantau status neurologis secara teratur.

b.

Evaluasi kemampuan membuka mata (spontan, rangsang nyeri).

c.

Kaji respon motorik terhadap perintah yang sederhana.

d.

Pantau TTV dan catat hasilnya.

e.
f.

Anjurkan orang terdekat untuk berbicara dengan klien


Kolaborasi pemberian cairan sesuai indikasi melalui IV dengan alat control

2.

Gangguan rasa nyaman nyeri b/ d peningkatan tekanan intra kranial.

Tujuan
Rasa nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam
dengan KH :
a.

pasien mengatakan nyeri berkurang.

b.

Pasien menunjukan skala nyeri pada angka 3.

c.

Ekspresi wajah klien rileks.

Intervensi
a.

Teliti keluhan nyeri, catat intensitasnya, lokasinya dan lamanya.

b.

Catat kemungkinan patofisiologi yang khas, misalnya adanya infeksi, trauma

servikal.
c.

Berikan kompres dingin pada kepala

3.

Perubahan persepsi sensori b/ d penurunan kesadaran, peningkatan tekanan

intra kranial.
Tujuan
Fungsi persepsi sensori kembali normal setelah dilakukan perawatan selama 3x 24
jam dengan KH :
a.

mampu mengenali orang dan lingkungan sekitar.

b.

Mengakui adanya perubahan dalam kemampuannya

Intervensi

a.

Evaluasi secara teratur perubahan orientasi, kemampuan berbicara, alam

perasaan, sensori dan proses pikir.


b.

Kaji kesadaran sensori dengan sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul

dan kesadaran terhadap gerakan.


c.

Bicara dengan suara yang lembut dan pelan. Gunakan kalimat pendek dan

sederhana. Pertahankan kontak mata.


d.

Berikan lingkungan tersetruktur rapi, nyaman dan buat jadwal untuk klien jika

mungkin dan tinjau kembali.


e.
f.

Gunakan penerangan siang atau malam.


Kolaborasi pada ahli fisioterapi, terapi okupasi, terapi wicara dan terapi kognitif.

4.

Resiko tinggi infeksi b/ d jaringan trauma, kerusakan kulit kepala.

Tujuan
Tidak terjadi infeksi setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x 24 jam
dengan KH :
a.

Bebas tanda- tanda infeksi

b.

Mencapai penyembuhan luka tepat waktu

Intervensi
a.

Berikan perawatanwatan aseptik dan antiseptik, pertahankan teknik cuci

tangan yang baik.


b.

Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang terpasang alat

invasi, catat karakteristik drainase dan adanya inflamasi.


c.

Batasi pengunjung yang dapat menularkan infeksi atau cegah pengunjung

yang mengalami infeksi saluran nafas atas.


d.

Kolaborasi pemberian atibiotik sesuai indikasi

5.

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit b/ d haluaran urine dan

elektrolit meningkat.
Tujuan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam ganguan keseimbangan
cairan dan elektrolit dapat teratasi dengan KH :
a.

Menunjukan membran mukosa lembab,

b.

tanda vital normal

c.

haluaran urine adekuat

d.

bebas oedema

Intervensi
a.

Kaji tanda klinis dehidrasi atau kelebihan cairan.

b.

Catat masukan dan haluaran, hitung keseimbangan cairan, ukur berat jenis

urine.
c.

Berikan air tambahan/ bilas selang sesuai indikasi

d.

Kolaborasi pemeriksaan lab. kalium/fosfor serum, Ht dan albumin serum.

6.

Gangguan pola nafas b/ d obstruksi trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan

medula oblongata.
Tujuan
Tidak terjadi gangguan pola nafas setelah dilakukan tindakan keperawatan 2x 24
jam dengan KH :
a.

Memperlihatkan pola nafas normal/ efektif,

b.

Bebas sianosis dengan BGA dalam batas normal pasien.

Intervensi
a.

Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan. Catat ketidakteraturan

pernafasan.
b.

Angkat kepala tempat tidur sesuai aturan posisi miring sesuai indikasi.

c.

Anjurkan pasien untuk latihan nafas dalam yang efektif jika pasien sadar.

d.

Auskultasi suara nafas. Perhatikan daerah hipoventilasi dan adanya suara-

suara tambahan yang tidak normal. (krekels, ronki dan whiszing).


e.
f.

Kolaborasi untuk pemeriksaan AGD, tekanan oksimetri.


Berikan oksiegen sesuai indikasi.

DAFTAR PUSTAKA
Capernito, L.J. 1999, Rencana Asuhan dan Dokumentasi Keperawatan, Penerbit Buku
Kedokteran EGC.
Doengoes, M.E. 2003, Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien, Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Price, Silvia A dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi keempat, Buku Kedua. Jakarta :EGC
Smeltzer, Suzanne C. dan Brenda G Bare. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah. Edisi 8 Volume 3. Jakarta : EGC
http://www.tersemangat.com/2014/09/laporan-pendahuluan-cidera-kepala.html

Anda mungkin juga menyukai