Anda di halaman 1dari 4

Perbedaan Pendapat

Oleh Ahmad Firdhaus (21090114120041)


Tidak dapat disangkal lagi bahwa perpecahan, saling memvonis sesat, permusuhan,
dan kebencian yang terjadi dikalangan para pemuda yang komitmen, sebagian terhadap
sebagian yang lainnya yang tidak sepaham dengan manhaj masing-masing, adalah suatu hal
yang menyedihkan dan sangat disayangkan, bahkan bisa jadi menimbulkan dampak yang
serius.
Perpecahan seperti ini ibarat penyejuk mata hati para syaithan dari bangsa jin dan
manusia, sebab mereka tidak menyenangi apabila ahli kebajikan bersatu. Mereka
menginginkan ahli kebajikan tersebut berpecah-belah karena mereka (para syaithan tersebut)
mengetahui bahwa perpecahan akan meluluhlantakkan kekuatan yang dihasilkan oleh sikap
komitmen dan ketaatan kepada Allah Subhanahu wataala. Hal ini telah disinyalir oleh
firmanNya, artinya,
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar
dan hilang kekuatanmu.(QS. al-Anfal: 46).
Dan berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. (QS. Ali
Imran: 105)
Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka (terpecah)
menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu terhadap
mereka. (QS. al-Anam: 159)
Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkanNya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS. asy-Syuro: 13)
Allah Subhanahu wataala telah melarang kita berpecah belah dan menjelaskan
tentang akibatnya yang sangat buruk. Sudah merupakan kewajiban bagi kita untuk menjadi
umat yang bersatu dan satu kata (bersepakat). Perpecahan hanyalah akan merusak dan
meluluhlantakkan urusan serta mengakibatkan lemahnya umat Islam. Di antara para shahabat
pun terjadi perbedaan pendapat, akan tetapi hal itu tidak menimbulkan perpecahan,
permusuhan dan kebencian. Bahkan perbedaan pendapat itu terjadi pada masa
Nabi shallallaahu alaihi wasallam.
Sepulang beliau dari perang Ahzab (Khandaq), ketika itu, Jibrilalaihissalam datang
dan memerintahkannya agar bergerak menuju perkampungan Bani Quraizhah sebab mereka

telah membatalkan perjanjian. Beliau shallallaahu alaihi wasallam lalu bersabda kepada
para shahabatnya, Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan shalat
Ashar kecuali (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah. Mereka pun bergerak
dari Madinah menuju perkampungan Bani Quraizhah, sementara waktu Ashar pun sudah
tiba, lalu sebagian mereka berkata, Kita tidak boleh melakukan shalat, melainkan di
perkampungan Bani Quraizhah meskipun matahari sudah terbenam sebab Nabi shallallaahu
alaihi wasallam bersabda,Janganlah sekali-kali salah seorang di antara kalian melakukan
shalat Ashar melainkan (bila sudah tiba) di perkampungan Bani Quraizhah, karenanya kita
harus mengatakan, Samin wa athan (Kami dengar dan kami patuh).
Sebagian mereka yang lain berkata, Sesungguhnya Rasulullahshallallaahu alaihi
wasallam bermaksud agar kita bergegas dan bergerak cepat keluar, dan bukan bermaksud
agar

mengakhirkan

shalat. Perihal

tersebut

kemudian

sampai

ke

telinga

Rasulullahshallallaahu alaihi wasalam, namun beliau shallallaahu alaihi wasalam tidak


mencerca salah seorang pun di antara mereka, tidak pula mencemooh pemahaman mereka.
Jadi, mereka sendiri tidak berpecah-belah hanya karena berbeda pendapat di dalam
memahami hadits Rasulullah shallallaahu alaihi wasalam.
Demikian juga dengan kita, wajib untuk tidak berpecah-belah dan menjadi umat yang
bersatu. Sedangkan bila yang terjadi justru perpecahan, maka bahayanya sangat
besar. Optimisme yang kita harapkan dan cita-citakan dari kebangkitan Islam ini akan
menjadi sirna, manakala kita mengetahui bahwa ia hanya akan dimiliki oleh kelompokkelompok yang berpecah-belah, satu sama lain saling memvonis sesat dan mencela.

Solusi Menyikapi perbedaan pendapat


Solusi dari problematika ini adalah hanya dengan meniti jalan yang telah ditempuh
oleh para shahabat radiyallaahu anhum, mengetahui bahwa perbedaan pendapat yang
bersumber dari ijtihad ini adalah dalam taraf masalah yang masih bisa ditolerir berijtihad di
dalamnya dan mengetahui bahwa perbedaan pendapat ini tidak berpengaruh bahkan ia
sebenarnya adalah persepakatan.
Bagaimana bisa demikian? Saya berbeda pendapat dengan anda dalam satu masalah
dari sekian banyak masalah karena indikasi dari dalil yang ada pada anda berbeda dengan
yang ada pada pendapat saya. Realitasnya, kita bukan berbeda pendapat sebab pendapat kita
diambil berdasarkan asumsi bahwa inilah indikasi dari dalil tersebut. Jadi, indikasi dari dalil

itu ada di depan mata kita semua dan masing-masing kita tidak mengambil pendapatnya
sendiri saja melainkan karena menganggapnya sebagai indikasi dari dalil. Karenanya, saya
berterima kasih dan memuji anda karena anda telah berani berbeda pendapat dengan saya.
Saya adalah saudara dan teman anda, sebab perbedaan pendapat ini merupakan bagian dari
indikasi dari dalil yang menurut anda, sehingga wajib bagi saya untuk tidak menyimpan
sesuatu ganjalan pun di hati saya terhadap anda bahkan saya memuji anda atas pendapat anda
tersebut, demikian juga halnya dengan anda. Andaikata masing-masing kita memaksakan
pendapatnya untuk diambil pihak lain, niscaya pemaksaan yang saya lakukan terhadapnya
agar mengambil pendapat saya tersebut, tidak lebih utama daripada sikap pemaksaan yang
sama yang dilakukannya terhadap saya.
Oleh karena itu, saya tegaskan: Wajib bagi kita menjadikan perbedaan pendapat yang
dibangun atas suatu ijtihad bukan sebagai perpecahan, tetapi persepakatan sehingga terjadi
titik temu dan kebaikan dapat diraih.
Akan tetapi, bila ada yang berkata, Bisa jadi solusi seperti ini tidak mudah
direalisasikan oleh kalangan orang awam, lalu apa solusi lainnya?
Solusinya, hendaknya para pemimpin kaum dan pemukanya yang meliputi semua
pihak berkumpul untuk mengadakan telaah dan kajian terhadap beberapa permasalahan
yang diperselisihkan di antara kita, sehingga kita bisa bersatu dan berpadu hati.
Pada suatu tahun pernah terjadi suatu kasus di Mina yang sempat saya dan sebagian
saudara saya tangani. Barangkali masalahnya terdengar aneh bagi anda. Ada dua pihak
dihadirkan, masing-masing pihak beranggotakan 3-4 orang laki-laki, masing-masing saling
menuduh kafir dan melaknat, padahal mereka sedang melaksanakan haji. Ceritanya begini;
salah satu pihak menyatakan, Sesungguhnya pihak yang lain itu ketika berdiri untuk
melakukan shalat, meletakkan tangan kanan mereka di atas tangan kiri pada posisi atas
dada. Ini adalah kekufuran terhadap sunnah di mana sunnahnya menurut pihak ini mengulur
tangan

ke

bawah,

di

atas

kedua

paha.

Sementara

pihak

yang

lain

mengatakan, Sesungguhnya mengulur tangan ke bawah, di atas kedua paha dengan tidak
meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan perbuatan kufur yang membolehkan
laknatan.Perseteruan di antara mereka sangat tajam. Akan tetapi, berkat anugerah dari
Allah Subhanahu waTaala, usaha yang dilakukan sebagian saudara saya itu dibarengi
dengan penjelasan mengenai pentingnya perpaduan hati di antara umat Islam, mereka pun
mau pergi dari tempat itu dan masing-masing mereka akhirnya saling ridla.
Lihatlah, betapa syaithan telah mempermainkan mereka di dalam masalah yang
mereka perselisihkan ini sampai kepada taraf saling mengafirkan satu sama lainnya. Padahal

sebenarnya ia hanyalah salah satu amalan sunnah, bukan termasuk rukun Islam, bukan juga
fardlu atau wajibnya. Inti dari permasalahan itu, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa
meletakkan tangan di atas tangan kiri pada posisi di atas dada adalah sunnah hukumnya,
sementara ulama yang lain menyatakan bahwa sunnahnya adalah mengulur tangan ke bawah.
Padahal pendapat yang tepat dan didukung oleh as-Sunnah (hadits) adalah meletakkan tangan
kanan di atas pergelangan tangan kiri sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam alBukhari dari Sahl bin Sad radiyallaahu anhu, dia berkata, Dulu orang-orang
diperintahkan agar seseorang meletakkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kirinya
di dalam shalat.
Saya memohon kepada Allah Subhanahu waTaala agar menganugerahkan perpaduan hati,
kecintaan dan kelurusan hati kepada saudara-saudara kami yang memiliki manhaj tersendiri
di dalam sarana berdakwah. Bila niat sudah betul, maka akan mudahlah solusinya. Sedangkan
bila niat belum betul dan masing-masing di antara mereka berbangga diri terhadap
pendapatnya serta tidak menghiraukan pendapat yang lainnya, maka semakin jauhlah upaya
mencapai kesuksesan .
Catatan : Bila perbedaan pendapat itu terjadi pada masalah-masalah aqidah, maka
hal itu wajib dibetulkan. Pendapat apa saja yang berbeda dengan madzhab Salaf, wajib
diingkari dan diberikan peringatan terhadap orang yang meniti jalan yang menyelisihi
madzhab salaf tersebut pada sisi ini.
Sumber: Fatwa asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimn, Dr Alam al-Kutub,
Riyadh 1991, Cet. I, juz. II, hal. 939-944, dengan meringkas.

Anda mungkin juga menyukai