Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Dewasa ini, perkembangan teknologi internet baik di pusat maupun di daerah maju dengan pesat.
Ini merupakan salah satu tuntutan kemajuan zaman yang menuntut setiap orang mulai dari yang kecil
hingga tua harus menguasai teknologi digital ini. Tidak hanya sebatas itu saja, teknologi internet seakanakan sudah dianggap sebagai kebutuhan primer oleh kalangan elit ataupun masyarakat akademis. Saat ini,
penggunaan Teknologi, Informasi dan Komunikasi dalam pemberian pelayanan menjadi perhatian yang
serius dari Pemerintah yang juga sebagai tuntutan masyarakat. Bentuk pelayanan tersebut kemudian
tertuang dalam ide Electronic Government (E-Government) yang dianggap dapat menjawab permasalahan
pelayanan saat ini seperti birokrasi yang berbelit, tidak transparan, rentan terhadap KKN dan jauh dari
akuntabilitas.
Dengan mengacu pada kemajuan teknologi tersebut dan dalam rangka meningkatkan keefektivan
dan keefisiensian pelayanan public, pemerintah Indonesia tidak hanya melihat dan menikmati saja
kemajuan teknologi digital yang hadir, pemerintah Indonesia juga berupaya menggunakan teknologi
informasi dan telekomunikasi dalam meningkatkan kualitas pelayan public yang dikenal dengan Egovernment.
Keluarnya Inpres No. 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Egovernment yang berbunyi dalam lampiran I, motivasi kebijakan E-government, dengan tuntutan
perubahan Indonesia pada saat ini tengah mengalami perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara
secara fundamental menuju ke sistem kepemerintahan yang demokratis transparan serta meletakkan
supremasi hukum. Perubahan yang tengah dialami tersebut memberikan peluang bagi penataan berbagai
segi kehidupan berbangsa dan bernegara, dimana kepentingan rakyat dapat kembali diletakkan pada
posisi sentral. Namun setiap perubahan kehidupan berbangsa dan bernegara selalu disertai oleh berbagai
bentuk ketidakpastian. Dengan demikian pemerintah harus mengupayakan kelancaran komunikasi dengan
lembaga-lembaga tinggi negara, pemerintah daerah serta mendorong partisipasi masyarakat luas, agar
ketidakpastian tersebut tidak mengakibatkan perselisihan paham dan ketegangan yang meluas, serta
berpotensi menimbulkan permasalahan baru. Pemerintah juga harus lebih terbuka terhadap derasnya
aliran ekspresi aspirasi rakyat dan mampu menanggapi secara cepat dan efektif.

E-government adalah penggunaan teknologi informasi dan telekomunikasi untuk administrasi


pemerintahan yang efisien dan efektif, serta memberikan pelayanan yang transparan dan memuaskan
kepada masyarakat. E-government dapat kita golongkan dalam empat tingkatan. Tingkat pertama adalah
pemerintah mempublikasikan informasi melalui website. Tingkat kedua adalah interaksi antara masyarakat
dan kantor pemerintahan melaui e-mail. Tingkat ketigaadalah masyarakat pengguna dapat melakukan
transaksi dengan kantor pemerintahan secara timbal balik. Level terakhir adalah integrasi di seluruh kantor
pemerintahan, di mana masyarakat dapat melakukan transaksi dengan seluruh kantor pemerintahan yang
telah mempunyai pemakaian data base bersama.
Kehadiran E-government di tengah-tengah masyarakat telah memberikan kemudahan kepada
masyarakat dalam melakukan transaksi ataupun mendapatkan pelayanan secara online dari pemerintah
sendiri. E- government telah memberikan perubahan cara berpikir masyarakat yang awalnya masih
tradisional menjadi modern. Kehadiran E-government ini telah membantu masyarakat yang serba sibuk
dengan pekerjaannya. Misalnya mereka yang biasanya antri dalam mendapatkan pelayanan dari
pemerintah serta butuh waktu yang sangat lama dan bisa dibilang buang-buang waktu, sekarang hanya
dengan mengakses komputer, laptop, tablet PC yang tersambung dengan internet, mereka telah
mendapatkan pelayanan dari pemerintah sesuai dengan pelayanan apa yang mereka butuhkan.
Wujud nyata dari aplikasi e-government yang telah umum dilaksanakan dan diatur
pelaksanaannya adalah pembuatan situs web pemerintah daerah. Situs web pemerintah daerah
merupakan salah satu strategi didalam melaksanakan pengembangan e-government secara sistematik
melalui tahapan yang realistik dan terukur. Situs web pemerintah daerah merupakan tingkat pertama dalam
pengembangan e-Government di Indonesia yang memiliki sasaran agar masyarakat Indonesia dapat
dengan mudah memperoleh akses kepada informasi dan layanan pemerintah daerah, serta ikut
berpartisipasi di dalam pengembangan demokrasi di Indonesia dengan menggunakan media internet (Buku
panduan Kominfo, 2002, 3). Dari aplikasi tersebut dapat diketahui bahwa pengembangan e-government di
Indonesia dilaksanakan melalui 4 (empat) tingkatan, yaitu Tingkat 1 merupakan tingkat Persiapan berupa
pembuatan situs web sebagai media informasi dan komunikasi pada setiap lembaga serta sosialisasi situs
web untuk internal dan publik. Tingkat 2 merupakan tingkat Pematangan yang berupa Pembuatan situs
web informasi publik yang bersifat interaktif dan Pembuatan antar muka keterhubungan dengan lembaga
lain. Tingkat 3, tingkat Pemantapan yang berisi Pembuatan situs web yang bersifat transaksi pelayanan
publik dan Pembuatan interoperabilitas aplikasi dan data dengan lembaga lain. Tingkat 4 adalah tingkat

Pemanfaatan yang berisi Pembuatan aplikasi untuk pelayanan yang bersifat Government to Government
(G2G), Government to Business (G2B), Government to Consumers (G2C).
Di Indonesia Model E-Government dijabarkan dalam bentuk kegiatan Government to Citizens,
Government to Business, Government to Governments, dan Government to Employees. Government to
Citizens atau yang biasa disingkat dengan G2C merupakan aplikasi e-Government yang paling umum,
yaitu dimana pemerintah membangun dan menerapkan berbagai portofolio teknologi informasi dengan
tujuan utama untuk memperbaiki hubungan interaksi dengan masyarakat (rakyat). Dengan kata lain, tujuan
utama dari dibangunnya aplikasi e-Government bertipe G-to-C adalah untuk mendekatkan pemerintah
dengan rakyatnya melalui kanal-kanal akses yang beragam agar masyarakat dapat dengan mudah
menjangkau pemerintahnya untuk pemenuhan berbagai kebutuhan pelayanan sehari-hari. Contoh
aplikasinya adalah sebagai berikut, Kepolisian membangun dan menawarkan jasa pelayanan
perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) melalui internet
dengan maksud untuk mendekatkan aparat administrasi kepolisian dengan komunitas para pemilik
kendaraan bermotor dan para pengemudi, sehingga yang bersangkutan tidak harus bersusah payah
datang ke Komdak dan antre untuk memperoleh pelayanan.
Government to Business atau bias disingkat dengan G2B yang dijabarkan dimana salah satu tugas
utama dari sebuah pemerintahan adalah membentuk sebuah lingkungan bisnis yang kondusif agar roda
perekenomian sebuah negara dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam melakukan aktivitas sehariharinya, entiti bisnis semacam perusahaan swasta membutuhkan banyak sekali data dan informasi yang
dimiliki oleh pemerintah. Disamping itu, yang bersangkutan juga harus berinteraksi dengan berbagai
lembaga kenegaraan karena berkaitan dengan hak dan kewajiban organisasinya sebagai sebuah entiti
berorientasi profit. Diperlukannya relasi yang baik antara pemerintah dengan kalangan bisnis tidak saja
bertujuan untuk memperlancar para praktisi bisnis dalam menjalankan roda perusahaannya, namun lebih
jauh lagi banyak hal yang dapat menguntungkan pemerintah jika terjadi relasi interaksi yang baik dan
efektif dengan industri swasta. Contoh aplikasinya adalah para perusahaan wajib pajak dapat dengan
mudah menjalankan aplikasi berbasi web untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayarkan ke
pemerintah dan melakukan pembayaran melalui internet
Government to Governments atau yang biasa disebut dengan G2G penjabaran ini terlihat jelas
adanya kebutuhan bagi negara-negara untuk saling berkomunikasi secara lebih intens dari hari ke hari.
Kebutuhan untuk berinteraksi antar satu pemerintah dengan pemerintah setiap harinya tidak hanya

berkisar pada hal-hal yang berbau diplomasi semata, namun lebih jauh lagi untuk memperlancar kerjasama
antar negara dan kerjasama antar entiti-entiti negara (masyarakat, industri, perusahaan, dan lain-lain)
dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik,
mekanisme hubungan sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Berbagai penerapan e-Government bertipe
G-to-G ini yang telah dikenal luas antara lain: Hubungan administrasi antara kantor-kantor pemerintah
setempat dengan sejumlah kedutaan-kedutaan besar atau konsulat jenderal untuk membantu penyediaan
data dan informasi akurat yang dibutuhkan oleh para warga negara asing yang sedang berada di tanah air.
Government to Employees atau G2E, dimana akhirnya aplikasi e-Government juga diperuntukkan
untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pegawai negeri atau karyawan pemerintahan yang
bekerja di sejumlah institusi sebagai pelayan masyarakat. Contoh aplikasinya adalah sistem
pengembangan karir pegawai pemerintah yang selain bertujuan untuk meyakinkan adanya perbaikan
kualitas sumber daya manusia, diperlukan juga sebagai penunjang proses mutasi, rotasi, demosi, dan
promosi seluruh karyawan pemerintahan,
Disisi lain, dengan adanya E-government, pelayan yang didapatkan masyarakat baik kalangan
atas, menengah, ataupun menengah kebawah dirasakan sangat adil, karena mereka diperlakukan sama
tanpa memilih orang. Namun, tentunnya hal ini hanya dapat dilakukan oleh orang-orang yang melek akan
teknologi informasi ini. Tidak hanya hal positif yang dapat diberikan dari kehadiran E-government ini. Disaat
positif suatu teknologi ada, maka negatif dari teknologi juga akan mengiringinya dari belakang. Untuk
diketahui saja, dampak negatif dari teknologi ini tidak kecil, bahkan dapat mengakibatkan kehancuran
suatu negara. Karena dengan semakin mudah diaksesnya teknologi informasi, maka setiap orang tanpa
ada lagi batasan usia, lokasi, dan gender dapat mengakses informasi tersebut.
Informasi bukan hanya sekedar tulisan, namun juga dapat berupa gambar, video, dan suara yang
dapat di transmisikan ke berbagai media sehingga setiap orang dapat mengakses informasi tersebut.
Bahkan bukan hanya informasi yang menurut pendapat kita bermuatan positif, namun juga ada
diantaranya yang bermuatan negatif. Infromasi yang bermuatan negative terkadang lebih mudah diakses
bahkan akan lengsung terpapar di media internet ketika kita mulai surf atau memasuki dunia maya.
Dengan apapun alasan ekonomis atau bisnis didalamnya informasi negative tersebut jelas lebih menarik
dibandingkan dengan informasi yang bersifat informati atau positif. Bahkan ada quote yang mampu
mengatakan bad news is a good news. Selain dari pada itu konten negative seakan tumbuh dan
berkembang layaknya virus yang menyerang makhluk hidup.

Pemerintah pada akhirnya berpendapat terhadap penyebaran informasi tersebut harus dibatasi
pada pengaksesnya dan jenis informasi yang didampaikan. Hal ini dikarenakan kebanyakan diantara
pengakses informasi tersebut yang berada dalam level rentan atau mudah dipengaruhi karena pola berfikir
yang belum berkembang atau dengan kata lain belum pada tatanan umur mereka untuk dapat mengakses
informasi tersebut. Salah satu diantaranya konten pornografi yang saat ini menjadi dilema pada
pemerintahan di Indonesia. Konten Pornografi dianggap dapat menghancurkan pola berfikir anak yang
belum berkembang sempurna, sehinggga menciptakan suatu dorongan-dorongan biologis untuk mencoba
memperaktekkan seperti apa yang diperlihatkan oleh konten tersebut. Hingga akhirnya tercatat dengan
meningkatkan boardband speed internet di Indonesia, berdasarkan data dari satu situs ponografi Pronhub
menyebutkan jika Indonesia menempati posisi kedua sebagai negara pengakses situs tersebut dengan
persentase 475 % per konten. Ini sungguh memperihatinkan, ditambah lagi akhir-akhir ini meningkatnya
kasus seksualitas dan pelecehan dengan korban perempuan serta anak yang terus meningkat. Selama
2015, korban kasus pelecehan seksual didominasi anak berdasar data Komisi Nasional Perlindungan Anak
sejak Januari hingga Agustus. Setidaknya ada 1.726 kasus melibatkan anak-anak, dan 58 persen di
antaranya merupakan perkara pelecehan seksual. Sehingga diperlukan suatu formulasi ataupun rumusanrumusan kebijakan yang mampu menekan kejadian-kejadian tersebut seiring dengan bergulirnya kebijakan
e-government dimana teknologi informasi sebagai ujung tombaknya.
Dengan mengacu kepada penjabaran penulis yang telah disampaikan pada latar belakang di atas,
maka penulis bermaksud akan membahas permasalahan formulasi kebijakan tersebut dengan judul
Formulasi Kebijakan Negative Information Content Guna Mendukung Pelaksanaan E-Government Di
Indonesia.
1.2 Perumusan Masalah
E-Government merupakan bentuk dari implementasi penggunaan teknologi informasi bagi
pelayanan pemerintah kepada public. Dengan berkembangnya teknologi informasi membawa dampak
positif dan membawa dampak negative. Sehingga dalam penerapan kebijakan e-government tersebut
dimungkinkan akan adanya kendala pada bidang environment diluar system. Dimana dampak tersebut
dapat disebabkan oleh perkembangan informasi. Sehingga butuh suatu formulasi kebijakan bagaimana
untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Oleh karena itu permasalahan utama yang akan dibahas

dalam tulisan ini adalah Bagaimana Formulasi Kebijakan Negative Information Content Agar Dapat
Mendukung Pelaksanaan E-Government Di Indonesia.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk melihat langkah-langkah apa yang dilakukan oleh Pemerintahan
Indonesia untuk merumuskan atau menformuasikan suatu kebijakan Negative Information Content sebagai
suatu langkah untuk mendukung berjalannya e-government di Indonesia. Sehingga sasaran yang nantinya
dicapai dapat terwujudnya pelayanan prima kepada masyarakat berdasarkan kriteria-kriteria yang telah
ditentukan untuk pencapaian tujuan di masa depan.
1.4 Metode Penulisan
Penulis menggunakan metode studi kepustakaan dalam penulisan ini. Refrensi tulisan ini
bersumber tidak hanya dari buku, tetapi uga dari media-media lain seperti e-book, web, blog, dan
perangkat media massa yang diambil dari internet.
1.5 Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan ini terbagi dalam :
A. Secara Akademis :
1.

Memberikan wawasan Ilmu Pengetahuan di bidang Kebijakan Publik khususnya dalam formulasi

2.

kebijakan atas suatu strategi dalam suatu organisasi publik.


Pelengkap literature yang membahas tentang formulasi atas pelaksanaan kebijakan suatu
organisasi publik.

B. Secara Praktis :
1.

Memberikan gambaran tentang formulasi kebijakan Negative Information Content untuk

2.

mendukung pelaksanaan e-government di Indonesia.


Memberikan masukan bagi Pemerintah Indonesia agar dapat menerapkan Kebijakan Negative
Information Content agar nantinya dapat memberikan dukungan terhadap pelaksanaan Kebijakan
e-government di Indonesia.

1.6 Sistematika Penulisan


Dalam penulisan ini terdiri dari tiga bab, dengan deskripsi substansi sebagai berikut:
BAB I

PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan,
manfaat penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II

PEMBAHASAN
Bab ini berisi tentang konsep yang terkait dengan e-government, langkah-langkah
formulasi kebijakan Negative Information Content, serta memberikan kerangka pemikiran
yang menjadi arah penulis dalam melakukan penulisan.

BAB III

PENUTUP
Bab ini akan berisi tentang penjelasan kesimpulan atas pertanyaan penelitian yang
didasarkan atas hasil penelitian serta saran sebagai rekomendasi dari hasil penelitian.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 E-Government Dan Indonesia


E-government adalah tentang penyampaian informasi pemerintah dan penyelenggaraan
pelayanan secara online melalui internet atau alat digital lainnya. Sedangkan menurut Holmes (2000), EGov didefinisikan sebagai Kegunaan Teknologi Informasi untuk memberikan/menyajikan pelayanan
kepada publik dengan lebih nyaman, berorientasi pada konsumen, mengefektifkan biaya, dan secara
keseluruhan merupakan cara yang lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan penulis lain (Fang, 2002; Seifert
and Bonham, 2004) mendefinikan E-government merupakan sebuah cara bagaimana pemerintah
menggunakan teknologi informasi khususnya aplikasi internet berbasis web, untuk menyediakan akses
yang mudah terhadap informasi pemerintah dan menyediakan pelayanan publik, juga untuk meningkatkan
kualitas pelayanan pemerintahan, serta melakukan transformasi hubungan antara pejabat publik dengan
penduduk dan juga bisnis. Dari berbagai definisi ini, umumnya pemerintah-pemerintah di dunia yang
mengimplementasikan E-Gov menggunakan definisi dari Bank Dunia, yaitu pemanfaatan Teknologi
Informasi (seperti Wide Area Network, Internet, Mobile Computing) oleh agen pemerintah yang mampu
mentransformasi hubungan dengan penduduk, bisnis serta unit pemerintah lainnya. Penggunaan teknologi
informasi ini kemudian menghasilkan hubungan bentuk baru seperti: Government to Citizen, Government
to Business Enterprises, dan inter-agency relationship.
Pengembangan e-Government di lingkungan instansional pemerintah Indonesia sendiri, saat ini
merupakan salah satu tuntutan yang harus dipenuhi dalam rangka menciptakan media informasi dan
komunikasi birokrasi pemerintah yang transparan dan bersifat global kepada publik. E-Government juga
tidak hanya menjadi tanggung jawab dari pemerintah saja. Masyarakat umum dapat membantu pemerintah
dalam hal mengumpulkan data dan mengorganisirnya (atau bahkan ikut serta dalam mengonline-kannya).
Tenaga teknis yang handal dapat membantu pemerintah setempat dalam setup server dan access
point di berbagai tempat. Selama ini pemerintah menerapkan sistem dan proses kerja yang dilandaskan
pada tatanan birokrasi yang kaku. Sistem dan proses kerja semacam itu tidak mungkin menjawab
perubahan yang kompleks dan dinamis, dan perlu ditanggapi secara cepat. Oleh karena itu di masa
mendatang pemerintah harus mengembangkan sistem dan proses kerja yang lebih lentur untuk

memfasilitasi berbagai bentuk interaksi yang kompleks dengan lembaga-lembaga negara lain, masyarakat,
dunia usaha, dan masyarakat internasional
Sistem manajemen pemerintah selama ini merupakan sistem hirarki kewenangan dan komando
sektoral yang mengerucut dan panjang. Untuk memuaskan kebutuhan masyarakat yang semakin beraneka
ragam di masa mendatang harus dikembangkan sistem manajemen modern dengan organisasi berjaringan
sehingga dapat memperpendek lini pengambilan keputusan serta memperluas rentang kendali.
Pemerintah juga harus melonggarkan dinding pemisah yang membatasi interaksi dengan sektor
swasta, organisasi pemerintah harus lebih terbuka untuk membentuk kemitraan dengan dunia usaha
(public-private partnership). Pemerintah harus mampu memanfaatkan kemajuan teknologi informasi untuk
meningkatkan kemampuan mengolah, mengelola, menyalurkan, dan mendistribusikan informasi dan
pelayanan publik. Dengan demikian pemerintah harus segera melaksanakan proses transformasi menuju
e-government. Melalui proses transformasi tersebut, Pemerintah dapat mengoptimasikan pemanfaatan
kemajuan teknologi informasi untuk mengeliminasi sekat-sekat organisasi birokrasi, serta membentuk
jaringan sistem manajemen dan proses kerja yang memungkinkan instansi-instansi pemerintah bekerja
secara terpadu untuk menyederhanakan akses ke semua informasi dan layanan publik yang harus
disediakan oleh pemerintah. Dengan demikian seluruh lembaga-lembaga negara, masyarakat, dunia
usaha, dan pihakpihak berkepentingan lainnya dapat setiap saat memanfaatkan informasi dan layanan
pemerintah secara optimal. Untuk itu dibutuhkan kepemimpinan yang kuat di masing-masing institusi atau
unit pemerintahan agar proses transformasi menuju e-government dapat dilaksanakan dengan sebaikbaiknya.
Di Indonesia Model E-Government dijabarkan dalam bentuk kegiatan Government to Citizens,
Government to Business, Government to Governments, dan Government to Employees. Government to
Citizens atau yang biasa disingkat dengan G2C merupakan aplikasi e-Government yang paling umum,
yaitu dimana pemerintah membangun dan menerapkan berbagai portofolio teknologi informasi dengan
tujuan utama untuk memperbaiki hubungan interaksi dengan masyarakat (rakyat). Dengan kata lain, tujuan
utama dari dibangunnya aplikasi e-Government bertipe G-to-C adalah untuk mendekatkan pemerintah
dengan rakyatnya melalui kanal-kanal akses yang beragam agar masyarakat dapat dengan mudah
menjangkau pemerintahnya untuk pemenuhan berbagai kebutuhan pelayanan sehari-hari. Contoh
aplikasinya adalah sebagai berikut, Kepolisian membangun dan menawarkan jasa pelayanan
perpanjangan Surat Ijin Mengemudi (SIM) atau Surat Tanda Nomor Kendaraan (STNK) melalui internet

dengan maksud untuk mendekatkan aparat administrasi kepolisian dengan komunitas para pemilik
kendaraan bermotor dan para pengemudi, sehingga yang bersangkutan tidak harus bersusah payah
datang ke Komdak dan antre untuk memperoleh pelayanan.
Government to Business atau bias disingkat dengan G2B yang dijabarkan dimana salah satu tugas
utama dari sebuah pemerintahan adalah membentuk sebuah lingkungan bisnis yang kondusif agar roda
perekenomian sebuah negara dapat berjalan sebagaimana mestinya. Dalam melakukan aktivitas sehariharinya, entiti bisnis semacam perusahaan swasta membutuhkan banyak sekali data dan informasi yang
dimiliki oleh pemerintah. Disamping itu, yang bersangkutan juga harus berinteraksi dengan berbagai
lembaga kenegaraan karena berkaitan dengan hak dan kewajiban organisasinya sebagai sebuah entiti
berorientasi profit. Diperlukannya relasi yang baik antara pemerintah dengan kalangan bisnis tidak saja
bertujuan untuk memperlancar para praktisi bisnis dalam menjalankan roda perusahaannya, namun lebih
jauh lagi banyak hal yang dapat menguntungkan pemerintah jika terjadi relasi interaksi yang baik dan
efektif dengan industri swasta. Contoh aplikasinya adalah para perusahaan wajib pajak dapat dengan
mudah menjalankan aplikasi berbasi web untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayarkan ke
pemerintah dan melakukan pembayaran melalui internet
Government to Governments atau yang biasa disebut dengan G2G penjabaran ini terlihat jelas
adanya kebutuhan bagi negara-negara untuk saling berkomunikasi secara lebih intens dari hari ke hari.
Kebutuhan untuk berinteraksi antar satu pemerintah dengan pemerintah setiap harinya tidak hanya
berkisar pada hal-hal yang berbau diplomasi semata, namun lebih jauh lagi untuk memperlancar kerjasama
antar negara dan kerjasama antar entiti-entiti negara (masyarakat, industri, perusahaan, dan lain-lain)
dalam melakukan hal-hal yang berkaitan dengan administrasi perdagangan, proses-proses politik,
mekanisme hubungan sosial dan budaya, dan lain sebagainya. Berbagai penerapan e-Government bertipe
G-to-G ini yang telah dikenal luas antara lain: Hubungan administrasi antara kantor-kantor pemerintah
setempat dengan sejumlah kedutaan-kedutaan besar atau konsulat jenderal untuk membantu penyediaan
data dan informasi akurat yang dibutuhkan oleh para warga negara asing yang sedang berada di tanah air.
Government to Employees atau G2E, dimana akhirnya aplikasi e-Government juga diperuntukkan
untuk meningkatkan kinerja dan kesejahteraan para pegawai negeri atau karyawan pemerintahan yang
bekerja di sejumlah institusi sebagai pelayan masyarakat. Contoh aplikasinya adalah sistem
pengembangan karir pegawai pemerintah yang selain bertujuan untuk meyakinkan adanya perbaikan

kualitas sumber daya manusia, diperlukan juga sebagai penunjang proses mutasi, rotasi, demosi, dan
promosi seluruh karyawan pemerintahan,
Sudah berpuluh-puluh tahun teknologi informasi berkembang di Indonesia. Akan tetapi
pengimplementasiannya di instansi instansi pemerintahan baik pusat maupun daerah masih relatif
rendah dibandingkan dengan instansi swasta. Data dari Ditjen Aptel Depkominfo menyebutkan bahwa dari
491 pemda di Indonesia, 423 pemda atau sekitar 86% baru memiliki situs web pada Januari 2008. Padahal
teknologi informasi telah berkembang di Indonesia lebih dari 20 tahun yang lalu. Hal itu dipengaruhi oleh
berbagai hal seperti birokrasi mulai dari perundang undangan sampai kebijakan kebijakan yang ada di
pusat maupun daerah belum mampu mendukung perkembang e-government di Indonesia. Hal lain yang
mempengaruhi adalah masalah keterbatasan, baik itu dalam hal anggaran maupun keterbatasan
kemampuan untuk menjalankan e-government tersebut.
Setelah ditelisik jauh mendalam ternyata banyak faktor-faktor di tingkat environment yang tanpa di
sadari juga menghambat bagaimana penerapan e-government di Indonesia. Meningkatnya akses dan
kebutuhan akan informasi teknologi salah satunya. Disatu sisi ada yang berpendapat teknologi informasi
memberikan dampak positif, dan disatu sisi teknologi informasi dampak negative. Sehingga diperlukan
adanya suatu formulasi atau rumusan-rumusan kebijakan yang harus dilakukan guna mendukung
implementasi kebijakan e-government di Indonesia.
2.2 Formulasi Kebijakan Publik
Fadilah:2001 menjelaskan jika formulasi kebijakan publik adalah langkah yang paling awal dalam
proses kebijakan publik secara keseluruhan, oleh karena apa yang terjadi pada tahap ini akan sangat
menentukan berhasil tidaknya kebijakan publik yang dibuat itu pada masa yang akan datang. Oleh sebab
itu perlu adanya kehati-hatian lebih dari para pembuat kebijakan ketika akan melakukan formulasi
kebijakan publik ini. Yang harus diingat pula adalah bahwa formulasi kebijakan publik yang baik adalah
formulasi kebijakan publik yang berorientasi pada implementasi dan evaluasi. Sebab seringkali para
pengambil kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian
konseptual yang sarat dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi. Padahal
sesungguhnya formulasi kebijakan publik yang baik itu adalah sebuah uraian atas kematangan pembacaan
realitas sekaligus alternatif solusi yang fisibel terhadap realitas tersebut. Kendati pada akhirnya uraian yang

dihasilkan itu tidak sepenuhnya presisi dengan nilai ideal normatif, itu bukanlah masalah asalkan uraian
atas kebijakan itu presisi dengan realitas masalah kebijakan yang ada dilapangan.
Dalam

perumusannya

Islamy:1991

membagi

proses

formulasi

kebijakan

kedalam tahap perumusan masalah kebijakan, penyusunan agenda pemerintah, perumusan usulan
kebijakan, pengesahan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan penilaian kebijakan. Pada tahap perumusan
masalah kebijakan prinsipnya, walaupun suatu peristiwa, keadaan dan situasi tertentu dapat menimbulkan
satu atau beberapa problem, tetapi agar hal itu menjadi masalah publik tidak hanya tergantung dari
dimensi obyektifnya saja, tetapi juga secara subyektif, baik oleh masyarakat maupun para pembuat
keputusan, dipandang sebagai suatu masalah yang patut dipecahkan atau dicarikan jalan keluarnya. Oleh
karena itu, suatu problem, untuk bisa berubah menjadi problem umum tidak hanya cukup dihayati oleh
banyak orang sebagai sesuatu masalah yang perlu segera diatasi, tetapi masyarakat perlu memiliki
political will untuk memperjuangkannya dan yang lebih penting lagi, problem tersebut ditanggapi positif oleh
pembuat kebijakan dan mereka bersedia memperjuangkan problem umum itu menjadi problem kebijakan,
memasukannya kedalam agenda pemerintah dan mengusahakannya menjadi kebijakan publik, maka
langkah pertama yang harus dilakukan oleh setiap pembuat kebijakan adalah mengidentifikasikan problem
yang akan dipecahkan kemudian membuat perumusan yang sejelas-jelasnya terhadap problem tersebut.
Kegiatan ini merupakan upaya untuk menentukan identitas masalah kebijakan dengan terlebih dahulu
mengerti dan memahami sifat dari masalah tersebut sehingga akan mempermudah dalam menentukan
sifat proses perumusan kebijakan.
Tahap selanjutnya penyusunan agenda pemerintah. Ini dikarenakan masalah publik yang telah
diidentifikasi begitu banyak jumlahnya, maka para pembuat keputusan akan memilih dan menentukan
problem mana yang seharusnya memperoleh prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif,
sehingga biasanya agenda pemerintah ini mempunyai sifat yang khas, lebih kongkrit dan terbatas
jumlahnya untuk selanjutnya diusulkan pada tahap usulan kebijakan.
Pada tahap usulan kebijakan, terdapat kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian
tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi

Identifikasi alternatif dilakukan untuk

kepentingan pemecahan masalah. Kemudian mendefinisikan dan merumuskan alternatif, bertujuan agar
masing-masing alternatif yang telah dikumpulkan oleh pembuat kebijakan itu jelas pengertiannya, sebab
semakin jelas alternatif itu diberi pengertian, maka akan semakin mudah pembuat kebijakan menilai dan
mempertimbangkan aspek positif dan negatif dari masing-masing alternatif tersebut. Kemudian menilai

alternatif, yakni kegiatan pemberian bobot pada setiap alternatif, sehingga jelas bahwa setiap alternatif
mempunyai nilai bobot kebaikan dan kekurangannya masing-masing, sehingga dengan mengetahui bobot
yang dimiliki oleh masing-masing alternatif maka para pembuat keputusan dapat memutuskan alternatif
mana yang lebih memungkinkan untuk dilaksanakan/dipakai, dan yang terakhir adalah memilih alternatif
yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk
dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian
terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu
usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap
pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat
kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan
didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh
sebagai konsekwensi dari pilihannya.
2.3 Formulasi Kebijakan Negative Information Content Di Indonesia
Berbagai macam kendala dalam mengimplementasikan kebijakan e-government di Indonesia
sudah seharusnya mendapat perhatian khusus. Terlebih lagi saat ini dimana kebutuhan akan akses dan
informasi semakin tinggi di masyarakat. Sehingga diperlukan suatu solusi untuk memecahkan persoalan
tersebut agar nantinya tidak mengganggu pelaksanaan e-government di Indonesia. Berdasarkan
permasalahan tersebut akan dibuat suatu formulasi kebijakan Negative Information Content untuk
mendukung e-government di Indonesia dengan menggunakan tahapan-tahapan dlam penyusunan suatu
formulasi kebijakan.
Pada tahapan pertama yaitu perumusan masalah atau defining problem. Di tahap ini segala
permasalahan akan diperhatikan untuk mengenali dan merumuskan masalah publik yang ada di
masyarakat. Hal ini merupakan hal yang fundamental dalam perumusan kebijakan. Dalam langkah ini,
dipertanyakan seberapa besar kontribusi kebijakan publik dapat menyelesaikan masalah-masalah dalam
masyarakat. Dalam hal ini permasalahan yang akan dirumuskan adalah bagaimana melakukan
pembatasan terhadap informasi yang bermuatan negative seperti pornografi yang dapat diakses oleh
setiap orang sehingga tidak menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaan e-government dalam bentuk
kebijakan Information Negative Content. Pada tahap ini terdapat kegiatan loby dan tarik menarik antar
kepentingan antara legislatif dan eksekutif. Dimana mereka akan saling adu argumen dan beranggapan

permasalahan mana yang mungkin akan dimasukkan kedalam agenda kebijakan yang dapat
menguntungkan pihak legislatif baik itu keuntungan dibidang sosial, ekonomi, dan pemerintahan serta
permasalahan yang masuk agenda kebijakan yang akan menguntungkan eksekutif. Namun secara garis
besar terlihat terhadap permasalahan tersebut harus memiliki dampak yang besar dan membutuhkan
penanganan segera. Beberapa actor yang terlibat diantaranya KEMENKOMINFO, LSM, KEPOLISIAN,
DPR, KEMENTRIAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK, KPAI, dan organisasi lain yang memiliki
kepentingan didalamnya agar nantinya rumusan permasalahan tersebut dapat menguntungkan lembagalembaga tersebut. Hingga akhirnya dimasukan kedalam agenda pemerintah untuk nantinya memperoleh
prioritas utama untuk diperhatikan secara serius dan aktif.
Pada tahap berikutnya usulan kebijakan, terdapat kegiatan menyusun dan mengembangkan
serangkaian tindakan yang perlu untuk memecahkan masalah, meliputi Identifikasi alternatif dilakukan
untuk kepentingan pemecahan masalah. Terhadap problem yang hampir sama atau mirip, dapat saja
dipakai alternatif kebijakan yang telah pernah dipilih, akan tetapi terhadap problem yang sifatnya baru
maka para pembuat kebijakan dituntut untuk secara kreatif menemukan dan mengidentifikasi alternatif
kebijakan baru sehingga masing-masing alternatif jelas karakteristiknya, sebab pemberian identifikasi yang
benar dan jelas pada setiap alternatif kebijakan akan mempermudah proses perumusan alternatif. Dalam
hal ini alternative yang diambil adalah melakukan pembatasan terhadap konten negative seperti pornografi
dengan cara memblokir konten tersebut dengan berkoordinasi dengan KEMENKOMINFO. Dengan hal
tersebut adanya pembatasan terhadap informasi yang bersifat pornografi dan tidak setiap orang dapat
mengaksesnya. Selain itu juga memilih alternatif yang memuaskan. Proses pemilihan alternatif yang
memuaskan atau yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan barulah dapat dilakukan setelah pembuat
kebijakan berhasil dalam melakukan penilaian terhadap alternatif kebijakan. Suatu alternatif yang telah
dipilih secara memuaskan akan menjadi suatu usulan kebijakan yang telah diantisipasi untuk dapat
dilaksanakan dan memberikan dampak positif. Tahap pemilihan alternatif yang memuaskan selalu bersifat
obyektif dan subyektif, dalam artian bahwa pembuat kebijakan akan menilai alternatif kebijakan sesuai
dengan kemampuan rasio yang dimilikinya, dengan didasarkan pada pertimbangan terhadap kepentingan
pihak-pihak yang akan memperoleh pengaruh sebagai konsekwensi dari pilihannya. Sehingga nantinya
selain melakukan pemblokiran terhadap situs pornografi akan ada alternative pilihan yang lain seperti
edukasi tentang bahaya pornografi, perlakuan terhadap konten pornografi terkait hal peraturan atau aturan
hukum.

Dilanjutkan dengan Pengesahan kebijakan Information Negative Content sebagai suatu proses
kolektif, pengesahan kebijakan merupakan proses penyesuaian dan penerimaan secara bersama terhadap
prinsip-prinsip yang diakui dan diterima (comforming to recognized principles or accepted standards).
Landasan utama untuk melakukan pengesahan adalah variabel-variabel sosial seperti sistem nilai
masyarakat, ideologi negara, sistem politik dan sebagainya. Dalam hal ini biasanya proses pengesahan
suatu kebijakan biasanya diawali dengan kegiatan persuasion dan bargaining. Persuasion diartikan
sebagai Usaha-usaha untuk meyakinkan orang lain tentang sesuatu kebenaran atau nilai kedudukan
seseorang, sehingga mereka mau menerimanya sebagai milik sendiri. Sedangkan Bergaining
diterjemahkan sebagai Suatu proses dimana dua orang atau lebih yang mempunyai kekuasaan atau
otoritas mengatur/menyesuaikan setidak-tidaknya sebagian tujuan-tujuan yang tidak mereka sepakati agar
dapat merumuskan serangkaian tindakan yang dapat diterima bersama meskipun itu tidak terlalu ideal bagi
mereka. Yang termasuk ke dalam kategori bargaining adalah perjanjian (negotiation), saling memberi dan
menerima (take and give) dan kompromi (compromise). Baik persuasion maupun bargaining, keduaduanya saling melengkapi sehingga penerapan kedua kegiatan atau proses tersebut akan dapat
memperlancar proses pengesahan kebijakan. Disini Beberapa actor yang terlibat diantaranya
KEMENKOMINFO, LSM, KEPOLISIAN, DPR, KEMENTRIAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK,
KPAI, dan organisasi lain saling loby agar mendapat keuntungan dari kebijakan yang dialksanakan
tersebut. Hal ini dikarenakan dalam proses ini menentukan siapa, berbuat apa, dan kemudian bertanggung
jawab kepada siapa akan ditentukan. Sehingga kebijakan Information Negative Content dapat berjalan
sesuai dengan tujuan yang telah dirumuskan.
Setelah kebijakan tersebut dilakukan dampaknya dapat dirasakan oleh banyak pihak. Namun
dibalik itu semua ternyata ada beberapa kekurangan setelah kebijakan tersebut di evaluasi sebagi suatu
output terhadap kebijakan. Ternyata dari pelaksanaan kebijakan tersebut, ada beberapa pihak yang tidak
diuntungkan bahkan dirugikan. Diantara golongan tersebut para pemilik domain legal serta perusahaan
online yang menggunakan content negative untuk menarik perhatian pembaca. Dikarenakan turunnya
rating pembaca situs tersebut yang berdampak pada penghasilan perusahaan mereka. Dari hal ini setelah
dilakukan evaluasi, terhadap permasalahan ini dapat dimasukkan kedalam identifikasi permasalahan yang
nantinya dimasukkan kembali kedalam dalam agenda kebijakan. Begitu setelahnya dan berlanjut kembali
kedalam proses formulasi kebijakan publik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Berdasarkan penjelasan yang telah penulis utakan diatas dapat penulis simpulkan,bahwa
pengaplikasian E-government di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat pesat. Hal ini
dibuktikan dengan setiap instansi pemerintah ataupun swasta telah memiliki produk pelayanan berbasis
teknologi. Kebijakan e-government ini telah membantu masyarakat yang biasanya menghabiskan waktu
berjam-jam untuk mendapatkan suatu pelayanan, sekarang sambil duduk di rumah pun pelayanan tetap
didapatkan, tentunya dengan adanya kecakapan yang dimiliki individu. Selain itu Pelaksaanaan Egovernment yang berbasiskan pada teknologi wap dengan pemanfaatan bentuk portal menjadi trend
dikalangan pemerintahan. Namun perlu diwaspadai terhadap dampak yang terjadi setelah diterapkannya
kebijakan tersebut yang salah satu diantaranya adalah mudah diaksesnya informasi yang bermuatan
negative seperti pornografi. Sehingga diharapkan nantinya dengan penerapan kebijakan Information
Negative Content yang telah di formulasikan dapat melakukan pembatasan akses terhadap segala macam
informasi yang bersifat negative.

3.2 Saran
Saran yang dapat penulis berikan yaitu agar pelaksanaan E-government terlaksana dengan
maksimal, diharapkan kepada pemerintah pusat maupun daerah merekrut pegawai yang benar-benar
mempunyai skill dalam hal penguasaan teknologi. Karena SDM yang berkualitas adalah factor utama
dalam terlaksanan penerapan E-government ini. Kemudian pemerintah harus dapat mensosialisasikan Egovernment kepada masyarakat agar masyarakat mengenal E-government sebagai media pembantu
dalam mendapatkan pelayanan yang sama, adil tanpa diskriminasi serta dengan administrasi yang cukup
sedikit. Selain itu juga melakukan langkah-langkah antisipatif untuk mencegah dampak negatif dari
berkembangnya e-government dan merumuskan langkah-langkah strategi untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan e-goverment di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Inpres RI No. 3 tahun 2003 tentang kebijakan dan strategi nasional pengembangan E-government
Depkominfo, Peluang Indonesia Untuk Bangkit Melalui Implementasi E-Government, Laguboti, Toba, 2005
Kemenkominfo, Penjabaran Pelaksanaan E-Government, Jakarta 2003
http://fungsiumum.blogspot.co.id/2013/10/pengertian-dan-tahap-formulasi-kebijakan.html
http://kebijakanpublik12.blogspot.co.id/2012/06/formulasi-kebijakan.html
http://panjitrisula.blogspot.co.id/2012/04/formulasi-kebijakan-publik.html
https://dhinadhina39.wordpress.com/2013/04/24/formulasi-kebijakan/
http://adhymuliadi.blogspot.co.id/2014/06/model-model-formulasi-kebijakan-publik.html
https://opyaroffah.wordpress.com/model-strategi-penerapan-e-government-indonesia/
https://web.kominfo.go.id/sites/default/files/users/12/SESI%20II%20-%202.%20paparan-kementerian-2014nov-bandung-erlinda-REV-fix.pdf
https://blingjamong.wordpress.com/2013/11/18/1-1dampak-positif-dan-negatif-teknologi-informasi-dankomunikasi-dalam-bidang-pendidikan-pemerintah-dan-ekonomi/
http://myzavier.blogspot.co.id/2009/05/latar-belakang-e-goverment.html
http://ichisima.blogspot.co.id/2012/01/penerapan-dan-pemanfaatan-e-government.html
http://g-lucky.blogspot.co.id/2011/04/latar-belakang-e-government.html

Anda mungkin juga menyukai