Anda di halaman 1dari 20

KEBIJAKAN

SEBAGAI PROSES
Proses adalah urutan pelaksanaan atau kejadian yang terjadi secara alami atau didesain, mungkin
menggunakan waktu, ruang, keahlian atau sumber daya lainnya, yang menghasilkan suatu hasil. Suatu
proses mungkin dikenali oleh perubahan yang diciptakan terhadap sifat-sifat dari satu atau lebih objek di
bawah pengaruhnya. Jika di tinjau dari bagaimana suatu kebijakan tersebut di keluarkan oleh para aktor
pembuat kebijakan, maka kita akan melihat suatu kebijakan tersebut dari prosesnya. Dalam prosesnya
kebijakan akan lebih mudah jika dilihat dari suatu sistem selayaknya suatu kegiatan sehingga saling
membentuk dan bekerja sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Terkait dengan proses kebijakan
tersebut ada beberapa model yang biasa digunakan untuk menilai
Terkait proses tersebut Easton mengembangkan model kebijikan klasik (1984). Dimana Easton
melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antar
mahluk hidup dengan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang
relatif stabil. Dalam terminologi ini, Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan
publik dengan sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik).
Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri atas input, throughput dan output, seperti
digambarkan sebagai berikut:

Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada dalam
sistem politik dengan mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri atas dua hal, yaitu tuntutan dan
dukungan. Model Easton inilah yang dikembangkan oleh para akademis di bidang kebijakan publik, seperti:
Anderson, Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy.
Sedangkan, James E. Anderson, David W. Brady, dan Charles Bullock III (1978) membagi proses
kebijakan menjadi:
1.
2.
3.
4.
5.

Agenda kebijakan (policy agenda)


Perumusan kebijakan (policy formulation)
Penetapan kebijakan (policy adoption)
Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
Evaluasi kebijakan (policy evaluation)

Model ini selanjutnya dibandingkan dengan model proses kebijakan yang dikembangkan oleh
William N. Dunn sebagai berikut:

Patton dan Savicky membuat siklus proses kebijakan sebagai berikut:


1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mendefinisikan masalah (define the problem)


Menentukan kriteria evaluasi (detrmine evaluation criteria)
Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan alternatif (identify alternative policies)
Mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif (evaluate alternative policies)
Menyeleksi kebijakan-kebijakan pilihan (select preferred policy)
Menerapkan kebijakan-kebijakan pilihan (implement the preferred policy)
Model proses kebijakan lainnya, dikenalkan oleh Thomas R. Dye yang dibagi menjadi:

1.
2.
3.
4.
5.
6.

Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)


Pengaturan agenda (agenda setting)
Perumusan kebijakan (policy formulation)
Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
Evaluasi kebijakan (policy evaluation)

Konsep proses kebijakan yang dikembangkan Gerald Meier, yang disebut policy formation juga
bersifat linear, sebagaimana dapat disimak pada gambar berikut ini

Sementara itu, Merilee Grindle dan John Thomas (1991) menyepakati bahwa pada dasarnya
proses kebijakan tidak sepenuhnya linear, melainkan bergerak seperti diagram pohon keputusan (decision
tree model) sebagai berikut:

David Scott (2000) mengemukakan tiga model proses kebijakan, yaitu:


1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.

Centralized
Policy Made
Policy Implemented
Pluralisme
Policy Made
Policy Contest and Remade
Policy Implemented
Fragmen & Multidirected
Policy Made
Policy Contested and Remade
Policy Remade During Its Implementation
Policy Rewritten

Model yang dikembangkan oleh para para ilmuwan kebijakan publik di atas mempunyai satu
kesamaan yaitu bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai
kinerja kebijakan. Pola kesamaan tersebut menjelaskan bahwa proses kebijakan adalah dari gagasan
kebijakan, formalisasi dan legalisasi kebijakan, implementasi, baru kemudian menuju kinerja atau

mencapai prestasi yang diharapkan sebagai hasil dari evaluasi kinerja kebijakan. Akademisi yang
memberikan lokus Kinerja Kebijakan adalah Sofian Effendi, yang mengembangkan proses kebijakan
sebagai berikut :

RUMUSAN KEBIJAKAN

KINERJA
KEBIJAKAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

A. PERUMUSAN KEBIJAKAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN

Proses pembuatan kebijakan merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses
maupun variabel-variabel yang harus dikaji. Kebijakan publik merupakan suatu kesatuan sistem yang
bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara sinambung, saling menentukan dan saling membentuk.
Kebijakan publik tidak terlepas dari sebuah proses kegiatan yang melibatkan aktor-aktor yang akan
bermain dalam proses pembuatan kebijakan. Menurut beberapa ahli, dalam memahami proses perumusan
kebijakan kita perlu memahami aktor-aktor yang terlibat atau pemeran serta (partisipants) dalam proses
pembuatan kebijakan tersebut.
Pada dasarnya dalam perumusan kebijakan terdapat 13 (tiga belas) model dalam perumusannya
yang diantaranya :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.

Model Kelembagaan
Model Proses
Model Kelompok
Model Elite
Model Rasional
Model Inkremental
Model Teori Permainan
Model Pilihan Publik
Model Sistem
Model Pengamatan Terpadu
Model Demokratis
Model Strategis
Model Deliberatif

1.

MODEL KELEMBAGAAN (INSTITUSIONAL)

Pada model ini secara sederhana bermakna bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah tugas
pemerintah. Jadi semua yang dibuat oleh pemerintah dengan cara apa pun merupakan kebijakan publik.
Model ini pada dasarnya lebih mengutamakan fungsi-fungsi setiap kelembagaan dari pemerintah, di setiap
sektor dan tingkat dalam memformulasikan kebijakan. Menurut Thomas R. Dye, ada tiga hal yang
membenarkan tentang pendekatan teori ini, yaitu ; pemerintah memang sah dalam membuat kebijakan
publik, formulasi kebijakan publik yang dibuat oleh pemeritah bersifat universal (umum), pemerintah
memonopoli/menguasai fungsi pemaksaan (koersi) dalam kehidupan bersama.
Model ini sebenarnya merupakan derivasi/turunan dari ilmu politik tradisional dimana dalam ilmu
tersebut lebih menekankan pada strukturnya daripada proses atau perilaku politik. Proses yang dilakukan
dalam model ini menunjukan tugas lembaga-lembaga pemerintah dalam melakukan formulasi kebijakan
tetapi dalam memformulasi kebijakan tersebut dilakukan secara otonom tanpa berinteraksi/berkomunikasi
dengan lingkungan sekitar. Hal tersebut menjadi salah satu kelemahan dari model ini yaitu terabaikannya
masalah-masalah lingkungan di mana kebijakan itu diterapkan. (Wibawa, 1994 : 6).
2.

MODEL PROSES (PROCESS)

Pada model ini politik diasumsikan sebagai sebuah aktivitas sehingga mempunyai proses. Oleh karena
itu, kebijakan publik juga merupakan suatu proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan:
Identifikasi Permasalahan
Menata Agenda Formulasi Kebijakan
Perumusan Proposal Kebijakan
Legitimasi Kebijakan

Implementasi Kebijakan
Evaluasi Kebijakan

Mengemukakan tuntutan agar pemerintah mengambil


tindakan.
Memutuskan isu apa yang dipilih dan permasalahan
apa yang hendak dikemukakan.
Mengembangkan
proposal
kebijakan
untuk
menangani masalah tersebut.
Memimilih satu buah proposal yang dinilai terbaik
untuk kemudian mencari dukungan politik agar dapat
diterima sebagai sebuah hukum.
Mengorganisasikan
birokrasi,
menyediakan
pelayanan dan pembayaran dan pengumpulan pajak.
Melakukan studi program, melaporkanoutpputnya,
mengevaluasi pengaruh (impact) kelompok sasaran
dan non-sasaran, dan memberikan rekomendasi
penyempurnaan kebijakan.

Model ini menunjukan tentang bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat, akan tetapi
kurang memberikan tekanan pada substansi seperti apa yang harus ada dalam kebijakan tersebut. Jadi
lebih mengutamakan step by step pembuatan kebijakan tetapi kurang fokus terhadap isi/hal-hal penting
yang harus ada dalam kebijakan itu.

3.

MODEL TEORI KELOMPOK (GROUP)

Dalam pengambilan kebijakan penganut teori ini mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimbangan
(equilibrium). Intinya adalah interaksi yang terjadi di dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan
dan keseimbangan tersebut adalah yang terbaik. Individu di dalam kelompok kepentingan berinteraksi
secara formal maupun informal, secara langsung atau melalui media massa menyampaikan
tuntutan/gagasan kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik yang diperlukan. Sistem politik
pada model ini berperan untuk memanage konflik yang muncul akibat adanya perbedaan tuntutan, melalui:
a.
b.
c.
d.

Merumuskan aturan main antarkelompok kepentingan.


Menata kompromi dan menyeimbangkan kepentingan.
Memungkinkan terbentuknya kompromi di dalam kebijakan publik (yang akan dibuat).
Memperkuat kompromi-kompromi tersebut.

Menurut model ini dalam melakukan formulasi kebijakan, beberapa kelompok kepentingan berusaha
mempengaruhi isi dan bentuk kebijakan secara interaktif. (Wibawa, 1994 : 9).
4.

MODEL TEORI ELIT (ELITE)

Model teori ini mengasumsikan bahwa dalam setiap masyarakat terdapat 2 kelompok, yaitu pemegang
kekusaan (elit) dan yang tidak berkuasa (massa). Di dalam formulasi kebijakan, sedemokratis apa pun
selalu ada bias karena pada akhirnya kebijakan tersebut merupakan preferensi politik dari para elit-politik.
Sisi negatifnya adalah dalam sistem politik, para elit-politiklah yang akan menyelengarakan kekuasaan
sesuai kehendaknya. Sisi positifnya adalah seorang elit-politik yang berhasil memenangkan gagasan
membawa negara-bangsa ke kondisi yang lebih baik dibanding dengan pesaingnya. Secara top down, elitpolitiklah yang membuat kebijakan, sedang implementasi kepada rakyat dilakukan oleh administrator
publik. Jadi model elit merupakan abstraksi dari proses formulasi kebijakan dimana kebijakan publik
merupakan perspeksi elit-politik. Prinsip dasarnya kebijakan yang dibuat bersifat konservatif karena para
elit-politik ingin mempertahankan status quo. Kelemahannya yaitu kebijakan yang dibuat elit-politik tidak
selalu mementingkan kesejahteraan rakyat.
5.

MODEL TEORI RASIONALISME (RATIONAL)

Kebijakan publik sebagai maximum social gain, maksudnya pemerintah sebagai pembuat kebijakan
harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat, dalam formulasinya harus
berdasar keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya yaitu perbandingan antara pengorbanan
dan hasil yang akan dicapai sehingga model ini lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis.
Cara-cara formulasi kebijakan disusun dalam urutan : (1) Mengetahui preferensi publik dan
kecenderungannya, (2) Menemukan pilihan-pilihan, (3) Menilai konsekuensi masing-masing pilihan, (4)
Menilai rasio nilai sosial yang dikorbankan, (5) Memilih alternatif kebijakan yang paling efisien. (Wibawa,
1994 : 10, Winarno, 2002 : 75, Wahab, 2002 : 19). Model ini termasuk yang ideal dalam formulasi kebijakan
dalam arti untuk mencapai tingkat efisiensi dan efektivitas kebijakan. Beberapa kelemahan pokonya antara
lain konsep maximum social gain berbeda di antara kelompok kepentingan sehingga dikhawatikan

menimbulkan perbedaan/perselisihan, kebijakan maximum social gain sulit dicapai mengingat birokrasi
yang cenderung melayani diri sendiri daripada melayani publik. Namun idealisme dari model ini perlu
ditingkatkan dan diperkuat karena di setiap negara pasti ada birokrat-birokrat yang cakap, cerdas dan
handal demi memajukan bangsa dan negaranya. Untuk itu model ini perlu menjadi kajian dalam proses
formulasi kebijakan.
6.

MODEL INKREMENTALIS (INCREMENTAL)

Pada dasarnya merupakan kritik terhadap model rasional, diamana para pembuat kebijakan tidak
pernah melakukan proses seperti yang diisyaratkan oleh pendekatan rasional karena mereka tidak memiliki
cukup waktu, intelektual, maupun biaya, ada kekhawatiran muncul dampak yang tidak diinginkan akibat
kebijakan yang belum pernah dibuat sebelumnya, adanya hasil-hasil dari kebijakan sebelumnya yang
harus dipertahankan dan menghindari konflik. (Wibawa, 1994 : 11, Winarno, 2002 : 77-78, Wahab, 2002 :
21). Jadi kebijakan publik merupakan variasi/kelanjutan dari kebijakan di masa lalu. Karena pengambilan
kebijakan dihadapkan kepada ketidakpastian yang muncul di sekelilingnya maka pilihannya adalah
melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan melakukan modifikasi seperlunya, pemerintah dengan
kebijakan inkrementalis berusaha mempertahankan komitmen kebijakan di masa lalu untuk
mempertahankan kinerja yang telah dicapai.
7.

MODEL TEORI PERMAINAN (GAME THEORY)

Model ini di-cap sebagai model konspiratif, dimana mulai muncul sejak berbagai pendekatan yang
sangat rasional tidak mampu menyelesaikan pertanyaan yang muncul yang sulit diterangkan dengan faktafakta yang tersedia. Gagasan pokok dari teori ini : (1) formulasi kebijakan berada pada situasi kompetisi
yang intensif, (2) para aktor berada dalam situasi pilihan yang tidak independent ke dependent melainkan
situasi pilihan yang sama-sama bebas/independent. Konsep kunci teori ini adalah strategi, dimana
kuncinya bukanlah yang paling aman tetapi yang paling aman dari serangan lawan. Jadi teori ini memiliki
tingkat konservativitas yang tinggi karena pada intinya merupakan strategi defensif, tetapi bisa juga
dikembangkan menjadi strategi ofensif asal yang bersangkutan memiliki posisi superior dan dukungan
sumber daya yang memadai.
8.

MODEL PILIHAN PUBLIK (PUBLIC CHOICE)

Dalam model ini kebijakan sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap individu yang
berkepentingan atas keputusan tersebut. Akar dari kebijakan ini adalah dari teori ekonomi pilihan publik
(economic of public choice) yang mengatakan bahwa manusia itu homo economicus yang memiliki
kepentingan yang harus dipuaskan dan pada prinsipnya adalah buyer meet seller; supply meet demand.
Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi
pengguna (beneficiaries/customer). Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling
demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya
kepada pemerintah sebelum diambil keputusan. Meskipun ideal dalam konteks demokrasi dan kontrak
sosial, namun memiliki kelemahan pokok dalam realitas interaksi itu sendiri karena interaksi akan terbatas

pada publik yang mempunyai akses dan di sisi lain terdapat kecenderungan dari pemerintah untuk
memuaskan pemilihnya daripada masyarakat luas.
9.

MODEL SISTEM (SYSTEM)

Menurut David Easton pendekatan dalam model ini terdiri dari 3 komponen : input, proses dan output.
Salah satu kelemahan dari pendekatan ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang
dilakukan pemerintah dan pada akhirnya kita kehilangan perhatian pada apa yang tidak pernah dilakukan
pemerintah. (Wibawa, 1994 : 7, Winarno, 2002 : 70). Jadi formulasi kebijakan dengan model sistem
mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik,
maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat dipahami, proses formulasi
kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan
dukungan.
10. MODEL PENGAMATAN TERPADU (MIXED-SCANING)
Model ini berupaya menggabungkan antara model rasional dengan model inkremental. Tokohnya
adalah Amitai Etzioni, pada 1967 yang memperkenalkan model ini sebagai suatu pendekatan terhadap
formulasi keputusan-keputusan pokok dan inkremental, menetapkan proses-proses formulasi kebijakan
pokok dan urusan tinggi yang menentukan petunjuk-petunjuk dasar, proses-proses yang mempersiapkan
keputusan-keputusan pokok dan menjalankannya setelah keputusan itu terapai. Jika diibaratkan seperti
dua kamera; kamera wide angle untuk melihat keseluruhan, kamera dengan zoom untuk melihat detailnya.
(Winarno, 2002 : 78, Wahab, 2002 : 23-24).
11. MODEL DEMOKRATIS
Pengambilan keputusan harus sebanyak mungkin mengelaborasi suara dari stakeholders. Pernyataan
tersebut dapat dikatakan sebagai Model Demokrasi karena menghendaki agar setiap pemilik hak
demokrasi diikut sertakan sebanyak-banyaknya. Model ini implementasinya pada good governance bagi
pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat
(beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Model ini sebenarnya sudah baik akan tetapi kurang efektif dalam
mengatasi masalah-masalah yang bersifat kritis, darurat dan dalam kelangkaan sumber daya. Namun
apabila model ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk
ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas
kebijakan yang dirumuskan.
12. MODEL STRATEGIS
Model seperti ini dikenal juga dengan model "deliberatif" atau model "jejaring" (Anderson, 2011),
"kolaboratif" (Inez&Booker,2003), "argumentatif" (Fiscer & Forester, 1993), ataupun "discursive" (Fishcer,
2003). Model deliberatif atau "musyawarah" pada perumusan kebijakan dapat dilihat pada bagian analisis
kebijakan dengan model deliberative policy analysis di depan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
model ini dikembangkan oleh Maarten Hajer dan Henderik Wagenaar (2003) yang mengembangkan

konsep dari Frank Fischer dan John Forester, penulis The Argumentative Turn in Policy Analysis and
Planning (1993). Frank Fischer (2003) memberi istilah discursive policy making karena melihat proses
perumusan kebijakan sebagai sebuah proses interaksi untuk saling membuat konstruksi atas pemahaman
dari sebuah realitas, atau juga membuat konstruksi realitas itu sendiri (Fischer. 2003: viii). Proses analisis
kebijakan publik model "musyawarah" ini jauh berbeda dengan model-model teknokratik karena peran dari
analis kebijakan "hanya" sebagai fasilitator agar masyarakat menemukan sendiri keputusan kebijakan atas
dirinya sendiri.

B. IMPLEMENTASI KEBIJAKAN
Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan.
Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak
atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu
dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh
lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.
Ditambahakan pula, bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada dua pilihan langkah yang
ada, yaitu: langsung mengimplementasikan dalam bentuk program atau melalui formulasi kebijakan derivat
atau turunan dari kebijakan publik tesebut. Secara umum dapat digambarkan sebagai berikut:

Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-masalah yang tidak
dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan. Selain itu, ancaman utama adalah konsistensi implementasi.
1.

MODEL-MODEL IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PUBLIK


a. Model Van Meter dan Van Horn

Model pertama adalah model yang paling klasik, yakni model yang diperkenalkan oleh Donald Van
Meter dan Carl Van Horn (1975). Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara
linear dari kebijakan publik, implementator, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel yang
dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik adalah variabel berikut:
1)
2)
3)
4)

Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi


Karakteristik agen pelaksana/implementator
Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
Kecenderungan (disposition) pelaksana/implementor.

b. Model Mazmanian dan Sabatier


Model yang kedua adalah model yang dikembangkan Daniel Mazmanian dan Paul A. Sabatier (1983)
yang mengemukakan bahwa implementasi adalah upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Model
Mazmanian dan Sabatier disebut Model Kerangka Analisis Implementasi (a framework for implementation
analysis). Mazmanian-Sabatier mengklasifikasikan proses implementasi kebijakan ke dalam tiga variabel,
yaitu:
1) Variabel Independen
Mudah-tidaknya masalah dikendalikan yang berkenaan dengan indikator masalah teori dan teknis
pelaksanaan, keragaman objek, dan perubahan seperti apa yang dikehendaki
2) Variabel Intervening
Diartikan sebagai kemampuan kebijakan untuk menstrukturkan proses implementasi dengan indikator
kejelasan dan konsistensi tujuan, dipergunakannya teori kausal, ketepatan alokasi sumber dana,
keterpaduan hirarkis di antara lembaga pelaksana, aturan pelaksana dari lembaga pelaksana, dan
perekrutan pejabat pelaksana yang memiliki keterbukaan kepada pihak luar, variabel di luar kebijakan yang
mempengaruhi proses implementasi yang berkenaan dengan indikator kondisi sosio-ekonomi dan
teknologi, dukungan publi, sikap dan risorsis konstituen, dukungan pejabat yang lebih tinggi, serta
komitmen dan kualitas kepemimpinan dari pejabat pelaksana.
3) Variabel Dependen
Yaitu tahapan dalam proses implementasi kebijakan publik dengan lima tahapan, yang terdiri dari:
pertama, pemahaman dari lembaga/badan pelaksana dalam bentuk disusunnya kebijakan pelaksana.
Kedua, kepatuhan objek. Ketiga, hasil nyata. Ke-empat, penerimaan atas hasil nyata. Terakhir, kelima,
tahapan yang mengarah pada revisi atas kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan, baik sebagian maupun
keseluruhan kebijakan yang bersifat mendasar.
c. Model Hogwood dan Gunn

Model ketiga adalah Model Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn (1978), untuk dapat
mengimplementasikan kebijakan secara sempurna, maka diperlukan beberapa persayaratan tertentu.
Syarat-syarat itu adalah:
1) Kondisi eksternal yang dihadapi oleh badan/instansi pelaksana tidak akan menimbulkan
gangguan/kendala yang serius. Beberapa kendala/hambatan (constraints) pada saat
implementasi kebijakan seringkali berada diluar kendali para administrator, sebab hambatanhambatan itu memang diluar jangkauan wewenang kebijakan dari badan pelaksana.
Hambatan-hambatan tersebut diantaranya mungkin bersifat fisik maupun politis.
2) Untuk pelaksanaan program tersedia waktu dan sumberdaya yang cukup memadahi. Syarat
kedua ini sebagian tumpang tindih dengan syarat pertama diatas, dalam pengertian bahwa
kerapkali ia muncul diantara kendala-kendala yang bersifat eksternal. Kebijakan yang memilki
tingkat kelayakan fisik dan politis tertentu bisa saja tidak berhasil mencapai tujuan yang
diinginkan karena menyangkut kendalan waktu yang pendek dengan harapan yang terlalu
tinggi
3) Perpaduan sumber-sumber yang diperlukan benar-benar memadahi. Persyaratan ini mengikuti
syarat item kedua artinya disatu pihak harus dijamin tidak ada kendala-kendala pada semua
sumber-sumber yang diperlukan, dan dilain pihak, setiap tahapan proses implementasi
perpaduan diantara sumber-sumber tersebut harus dapat disediakan. Dalam prakteknya
implementasi program yang memerlukan perpaduan antara dana, tenaga kerja dan peralatan
yang diperlukan untuk melaksanakan program harus dapat disiapkan secara serentak, namun
ternyata ada salah satu komponen tersebut mengalami kelambatan dalam penyediaannya
sehingga berakibat program tersebut tertunda pelaksanaannya.
4) Kebijakan yang akan diimplementasikan didasari oleh suatu hubungan kausalitas yang andal.
Kebijakan kadangkala tidak dapat diimplemetasikan secara efektif bukan lantaran ia telah
diimplementasikan secara asal-asalan, tetapi kebijakan itu sendiri memang jelek. Penyebabnya
karena kebijakan itu didasari oleh tingkat pemahaman yang tidak memadahi mengenahi
persoalan yang akan ditanggulangi, sebab-sebab timbulnya masalah dan cara pemecahanya,
atau peluang-peluang yang tersedia untuk mengatasi masalahnya, sifat permasalahannya dan
apa yang diperlukan untuk memanfaatkan peluang-peluang tersebut.
5) Hubungan kausalitas bersifat langsung dan hanya sedikit mata rantai penghubungnya. Pada
kebanyakan program pemerintah sesungguhnya teori yang mendasari kebijakan jauh lebih
komplek dari pada sekedar hubungan antara dua variabel yang memiliki hubungan kausalitas.
Kebijakan-kebijakan yang memiliki hubungan sebab-akibat tergantung pada mata rantai yang
amat panjang maka ia akan mudah sekali mengalami keretakan, sebab semakin panjang mata
rantai kausalitas, semakin besar hubungan timbal balik diantara mata rantai penghubungnya
dan semakin kompleks implementasinya. Dengan kata lain semakin banyak hubungan dalam
mata rantai, semakin besar pula resiko bahwa bebarapa diantaranya kelak terbukti amat lemah
atau tidak dapat dilaksanakan dengan baik.
6) Hubungan saling ketergantungan harus kecil. Implemetasi yang sempurna menuntut adanya
persyaratan bahwa hanya terdapat badan pelaksana tunggal dalam melaksanakan misi tidak
tergantung badan-badan lain/instansi lainnya. Kalau ada ketergantungan dengan organisasi-

7)

8)

9)

10)

organisasi ini haruslah pada tingkat yang minimal, baik dalam artian jumlah maupun kadar
kepentingannya. Jika implementasi suatu program ternyata tidak hanya membutuhkan
rangkaian tahapan dan jalinan hubungan tertentu, melainkan juga kesepakatan atau komitmen
terhadap setiap tahapan diantara sejumlah aktor/pelaku yang terlibat, maka peluang bagi
keberhasilan implementasi program, bahkan hasil akhir yang diharapkan kemungkinan akan
semakin berkurang.
Pemahaman yang mendalam dan kesepakatan terhadap tujuan. Persyaratan ini mengharuskan
adanya pemahaman yang menyeluruh mengenahi kesepakatan terhadap tujuan yang akan
dicapai dan dipertahankan selama proses implementasi. Tujuan itu harus dirumuskan dengan
jelas, spesifik, mudah dipahami, dapat dikuantifikasikan, dan disepakati oleh seluruh pihak yang
terlibat dalam organisasi. Namun berbagai penelitian telah mengungkap bahwa dalam
prakteknya tujuan yang akan dicapai dari program sukar diidentifikasikan. Kemungkinan
menimbulkan konflik yang tajam atau kebingungan, khususnya oleh kelompok profesional atau
kelompok-kelompok lain yang terlibat dalam program lebih mementingkan tujuan mereka
sendiri. Tujuan-tujuan resmi kerap kali tidak dipahami dengan baik, mungkin karena komunikasi
dari atas ke bawah atau sebaliknya tidak berjalan dengan baik. Kalaupun pada saat awal tujuan
dipahami dan disepakati namun tidak ada jaminan kondisi ini dapat terpelihara selama
pelaksanaan program, karena tujuan-tujuan itu cenderung mudah berubah, diperluas dan
diselewengkan.
Tugas-tugas diperinci dan ditempatkan dalam urutan yang tepat. Syarat ini mengandung makna
bahwa dalam menjalankan program menuju tercapainya tujuan-tujuan yang telah disepakati,
masih dimungkinkan untuk merinci dan menyusun dalam urutan-uruan yangbtepat seluruh
tugas yang harus dilaksanakan oleh setiap bagian yang terlibat. Kesulitan untuk mencapai
kondisi implementasi yang sempurna masih terjadi dan tidak dapat dihindarkan. Untuk
mengendalikan program dengan baik dapat dilakukan dengan teknologi seperti Network
planning dan contrrol.
Komunikasi dan koordinasi yang sempurna. Syarat ini mengharuskan adanya komunikasi dan
ordinasi yang sempurna diantara berbagai unsur atau badan yang terlibat dalam program.
Hood (1976) dalam hubungan ini menyatakan bahwa guna mencapai implementasi yang
sempurna diperlukan suatu sistem satuan administrasi tunggal sehingga tercipta koordinasi
yang baik. Pada kebanyakan organiasi yang memiliki ciri-ciri departemenisasi, profesionalisasi,
dan bermacam kegiatan kelompok yang melindungi nilai-nilai dan kepentingan kelompok
hampir tidak ada koordinasi yang sempurna. Komunikasi dan koordiasi memiliki peran yang
sangat penting dalam proses implementasi karena data, syaran dan perintah-perintah dapat
dimengerti sesuai dengan apa yang dikehendaki.
Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan mendapatkan kepatuhan
yang sempurna. Hal ini menjelaskan bahwa harus ada ketundukan yang penuh dan tidak ada
penolakan sama sekali terhadap perintah dalam sistim administrasinya. Persyaratan ini
menandaskan bahwa mereka yang memiliki wewenang, harus juga yang memiliki kekuasan
dan mampu menjamin adanya kepatuhan sikap secara menyeluruh dari pihak-pihak lain baik
dalam organisasi maupun luar organisasi. Dalam kenyataan dimungkinkan adanya

kompartemenisasi dan diantara badan yang satu dengan yang lain mungkin terdapat konflik
kepentingan.
d. Model Goggin
Malcolm Goggin, Ann Bowman, dan James Lester mengembangkan apa yang disebutnya sebagai
communication model untuk implementasi kebijakan yang disebutnya sebagai generasi ketiga model
implementasi kebijakan (1990). Goggin dan kawan-kawan bertujuan mengembangkan sebuah model
implementasi kebijakan yang lebih ilmiah dengan mengedepankan pendekatan metode penelitian dengan
adanya variabel independen, intervening, dan dependen, dan meletakkan komunikasi sebagai penggerak
dalam implementasi kebijakan.
e. Model Grindle
Model ke-empat adalah model Merilee S. Grindle (1980). Model Implementasi Kebijakan Publik yang
dikemukakan Grindle (1980:7) menuturkan bahwa Keberhasilan proses implementasi kebijakan sampai
kepada tercapainya hasil tergantung kepada kegiatan program yang telah dirancang dan pembiayaan
cukup, selain dipengaruhi oleh Content of Policy (isi kebijakan) dan Contex of Implementation (konteks
implementasinya). Isi kebijakan yang dimaksud meliputi:
1)
2)
3)
4)
5)
6)

Kepentingan yang terpenuhi oleh kebijakan (interest affected).


Jenis manfaat yang dihasilkan (tipe of benefit).
Derajat perubahan yang diinginkan (extent of change envisioned).
Kedudukan pembuat kebijakan (site of decision making).
Para pelaksana program (program implementators).
Sumber daya yang dikerahkan (Resources commited).

Sedangkan konteks implementasi yang dimaksud:


1)
2)
3)
4)
f.

Kekuasaan (power).
Kepentingan strategi aktor yang terlibat (interest strategies of actors involved).
Karakteristik lembaga dan penguasa (institution and regime characteristics).
Kepatuhan dan daya tanggap pelaksana (compliance and responsiveness).
Model Elmore, dkk

Model kelima adalah model yang disusun Richard Elmore (1979), Michael Lipsky (1971), dan Benny
Hjern dan David OPorter (1981). Model ini dimulai dari mengidentifikasikan jaringan aktor yang terlibat
dalam proses pelayanan dan menanyakan kepada mereka: tujuan, strategi, aktivitas, dan kontak-kontak
yang mereka miliki. Model implementasi ini didasarkan pada jenis kebijakan publik yang mendorong
masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau tetap melibatkan pejabat
pemerintah namun hanya di tataran rendah. Oleh karena itu, kebijakan yang dibuat harus sesuai dengan
harapan, keinginan, publik yang menjadi target atau kliennya, dan sesuai pula dengan pejabat eselon
rendah yang menjadi pelaksananya. Kebijakan model ini biasanya diprakarsai oleh masyarakat, baik
secara langsung maupun melalui lembaga-lembaga nirlaba kemasyarakatan (LSM).

g. Model Edward
George Edward III (1980, 1) menegaskan bahwa masalah utama administrasi publik adalah lack of
attention to implementation. Dikatakannya, without effective implementation the decission of policymakers
will not be carried out successfully. Edward menyarankan untuk memperhatikan empat isu pokok agar
implementasi kebijakan menjadi efektif, yaitu communication, resource, disposition or attitudes, dan
beureucratic structures. Komunikasi berkenaan dengan bagaimana kebijakan dikomunikasikan pada
organisasi dan/atau publik, ketersediaan sumber daya untuk melaksanakan kebijakan, sikap dan tanggap
dari pihak yang terlibat, dan bagaimana struktur organisasi pelaksana kebijakan.
Resources berkenaan dengan ketersediaan sumber daya pendukung, khususnya sumber daya
manusia. Hal ini berkenaan dengan kecakapan pelaksana kebijakan publik untuk carry out kebijakan
secara efektif. Disposition berkenaan dengan kesediaan dari para implementor untuk carry out kebijakan
publik tersebut, kecakapaan saja tidak mencukupi, tanpa kesediaan dan komitmen untuk melaksanakan
kebijakan. Struktur birokrasi berkenaan dengan kesesuaian organisasi birokrasi yang menjadi
penyelenggara implementasi kebijakan publik. Tantangan adalah bagaimana agar tidak terjadi beureucratic
fragmentation karena struktur ini menjadikan proses implementasi menjadi jauh dari efektif. Di Indonesia
sering terjadi inefektivitas implementasi kebijakan karena kurangnya koordinasi dan kerja sama di antara
lembaga-lembaga negara dan/ atau pemerintahan.
h. Model Nakamura dan Smallwood
Model Nakamura dan Smallwood mengambarkan proses implementasi kebijakan secara detail. Begitu
detailnya, sehingga model ini relatif relevan diimplementasikan pada semua kebijakan. Tabel di bawah ini
menjelaskan keterkaitan antara pembentukan kebijakan dan implementasi kebijakan secara praktikal.
i.

Model Implementasi Kebijakan

j.

Model Jaringan

Model ini memehami bahwa proses implementasi kebijakan adalah sebuah complex of interaction
processes di antara sejumlah besar aktor yang berada dalam suatu jaringan (network) aktor-aktor yang
independen. Interaksi di antara para aktor dalam jaringan tersebutlah yang akan menentukan bagaimana

implementasi harus dilaksanakan, permasalahan-permasalahan yang harus dikedepankan, dan diskresidiskresi yang diharapkan menjadi bagian penting di dalamnya.
Pemahaman ini antara lain dikembangkan dalam sebuah buku yang ditulis oleh tiga orang ilmuwan
Belanda, yaitu Walter Kickert, Erik Hans Klijn, dan Joop Koppenjan, Managing Complex Networks:
Strategies for the Public Sector (1997). Pada model ini, semua aktor dalam jaringan relatif otonom, artinya
mempunyai tujuan masing-masing yang berbeda. Tidak ada aktor sentral, tidak ada aktor yang menjadi
koordinator. Pada pendekatan ini, koalisi dan/ atau kesepakatan di antara aktor yang berada pada sentral
jaringan menjadi penentu implementasi kebijakan dan keberhasilannya.
k. Model Matland
Richard Matland (1995) mengembangkan sebuah model yang disebut dengan Model Matriks
Ambiguitas-Konflik yang menjelaskan bahwa implementasi secara admiministratif adalah implementasi
yang dilakukan dalam keseharian operasi birokrasi pemerintahan. Kebijakan di sini memiliki ambiguitas
atau kemenduaan yang rendah dan konflik yang rendah. Implementasi secara politik adalah implementasi
yang perlu dipaksakan secara politik, karena, walaupun ambiguitasnya rendah, tingkat konfliknya tinggi.
Implementasi secara eksperimen dilakukan pada kebijakan yang mendua, namun tingkat konfilknya
rendah. Implementasi secara simbolik dilakukan pada kebijakan yang mempunyai ambiguitas tinggi dan
konflik yang tinggi. Pemikiran Matland dikembangkan lebih rinci sebagai berikut Matriks Matland;

Pada prinsispnya matrik matland memiliki empat tepat yang perlu dipenuhi dalam hal keefektifan
implemenatasi kebijakan, yaitu:
1) Ketepatan Kebijakan
Ketepatan kebijakan ini dinilai dari:
a) Sejauh mana kabijakan yang ada telah bermuatan hal-hal yang memang memecahkan
masalah yang hendak dipecahkan. Pertanyaannya adalah how excelent is the policy.
b) Apakah kebijakan tersebut sudah dirumuskan sesuai dengan karakter masalah yang
hendak dipecahkan.
c) Apakah kebijakan dibuat oleh lembaga yang mempunyai kewenangan (misi kelembagaan)
yang sesuai dengan karakter kebijakan.
2) Ketepatan Pelaksanaan

Aktor implementasi kebijakan tidaklah hanya pemerintah. Ada tiga lembaga yang bisa menjadi
pelaksana, yaitu pemerintah, kerjasama antara pemerintah-masyarakat/swasta, atau implementasi
kebijakan yang diswastakan (privatization atau contracting out). Kebijakan-kebijakan yang bersifat
monopoli, seperti kartu identitas penduduk, atau mempunyai derajat politik keamanan yang tinggi, seperti
pertahanan dan keamanan, sebaiknya diselenggarakan oleh pemerintah. Kebijakan yang bersifat
memberdayakan masyarakat, seperti penanggulangan kemiskinan, sebaiknya diselenggarakan pemerintah
bersama masyarakat. Kebijakan yang bertujuan mengarahkan kegiatan kegiatan masyarakat, seperti
bagaimana perusahaan harus dikelola, atau di mana pemerintah tidak efektif menyelenggarakannya
sendiri, seperti pembangunan industri-industri berskala menengah dan kecil yang tidak strategis, sebaiknya
diserahkan kepada masyarakat
3) Ketepatan Target
Ketepatan berkenaan dengan tiga hal, yaitu:
a) Apakah target yang dintervensi sesuai dengan yang direncanakan, apakah tidak ada
tumpang tindih dengan intervensi lain, atau tidak bertentangan dengan intervensi kebijakan
lain.
b) Apakah targetnya dalam kondisi siap untuk dintervensi ataukah tidak. Kesiapan bukan saja
dalam arti secara alami, namun juga apakah kondisi target ada dalam konflik atau harmoni,
dan apakah kondisi target ada dalam kondisi mendukung atau menolak.
c) Apakah intervensi implementasi kebijakan bersifat baru atau memperbarui implementasi
kebijakan sebelumnya. Terlalu banyak kebijakan yang tampaknya baru namun pada
prinsipnya mengulang kebijakan yang lama dengan hasil yang sama tidak efektifnya dengan
kebijakan sebelumnya.
4) Ketepatan Lingkungan
Ada dua lingkungan yang paling menentukan, yaitu:
a) Lingkungan Kebijakan
Yaitu interaksi antara lembaga perumus kebijakan dengan pelaksana kebijakan dengan lembaga yang
terkait. Donald J. Calista menyebutnya sebagai sebagai variabel endogen, yaitu authoritative arrangement
yang berkenaan dengan kekuatan sumber otoritas dari kebijakan, network composition yang berkenaan
dengan komposisi jejaring dari berbagai organisasi yang terlibat kebijakan, baik dari pemerintah maupun
masyarakat, implementation setting yang berkenaan dengan posisi tawar-menawar antara otoritas yang
mengeluarkan kebijakan dan jejaring yang berkenaan dengan implementasi kebijakan.
b) Lingkungan Eksternal Kebijakan
Lingkungan ini oleh Calista disebut sebagai variabel eksogen, yang terdiri dari atas public opinion, yaitu
persepsi publik akan kebijakan dan implementasi kebijakan, interpretive instutions yang berkenaan dengan
interprestasi lembaga-lembaga strategis dalam masyarakat, seperti media massa, kelompok penekan, dan

kelompok kepentingan, dalam menginterpretasikan kebijakan dan implementasi kebijakan, dan individuals,
yakni individu-individu tertentu yang mampu memainkan peran penting dalam menginterpretasikan
kebijakan dan implementasi kebijakan.
Ke-empat tepat tersebut masih perlu didukung oleh tiga jenis dukungan, yaitu:
(1) Dukungan politik;
(2) Dukungan strategik; dan
(3) Dukungan teknis.
Selain tiga dukungan di atas, penelitian ataupun analisis tentang implementasi kebijakan sebaiknya
juga menggunakan model implementasi sesuai dengan isu kebijakannya, sebagaimana yang digambarkan
Matland berikut ini:

C. EVALUASI KEBIJAKAN
Sebuah kebijakan publik tidak bisa dilepas begitu saja. Kebijakan tersebut harus diawasi, dan salah satu
mekanisme pengawasan tersebut disebut evaluasi kebijakan. Evaluasi sendiri bertujuan untuk mencari
kekurangan dan menutup kekurangan. Ciri dari evaluasi kebijakan adalah :
1. Tujuannya menemukan hal-hal yang strategis untuk meningkatkan kinerja kebijakan.
2. Evaluator mampu mengambil jarak dari pembuat kebijakan, pelaksana kebijakan, dan target
kebijakan
3. Prosedur dapat dipertanggungjawabkan secara metodologi
4. Dilaksanakan tidak dalam suasana permusuhan atau kebencian.
5. Mencangkup rumusan, implementasi, lingkungan, dan kinerja kebijakan.

1. MODEL DAN JENIS-JENIS EVALUASI KEBIJAKAN


Dalam hal ini William Dunn (House, 1978 : 45), mengemukakan beberapa Model Evaluasi Kebijakan Publik
yang terdiri dari :
a) The Adversary Model

Para evaluator dikelompokkan menjadi dua, yang pertama bertugas menyajikan hasil evaluasi
program yang positif, hasil dampak kebijakan yang efektif dan baik, tim kedua berperan untuk menemukan
hasil evaluasi program negatif, tidak efektif, gagal dan yang tidak tepat sasaran. Kedua kelompok ini
dimaksudkan untuk menjamin adanya netralitas serta obyektivitas proses evaluasi. Temuannya kemudian
dinilai sebagai hasil evaluasi. Menurut model dari evaluasi ini tidak ada efisiensi data yang dihimpun.
b) The Transaction Model
Model ini memperhatikan penggunaan metode studi kasus, bersifat naturalistik dan terdiri dua jenis,
yaitu : evaluasi responsif I yang dilakukan melalui kegiatan kegiatan secara informal, ber ulang-ulang
agar program yang telah direncanakan dapat digambarkan dengan akurat; dan evaluasi iluminativ
(illuminativ evaluation) bertujuan untuk mengkaji program inovativ dalam rangka mendeskripsikan dan
menginterpretasikan pelaksanaan suatu program atau kebijakan. Jadi evaluasi model ini akan berusaha
mengungkapkan serta mendokumenter pihak-pihak yang berpartisipasi dalam program.
c) Good Free Model
Model evaluasi ini ber tujuan untuk mencari dampak aktual dari suatu kebijakan, dan bukan hanya
sekedar untuk menentukan dampak yang diharapkan sesuai dengan ditetapkan dalam program. Dalam
upaya mencari dampak aktual, evaluator tidak perlu mengkaji secara luas dan mendalam tentang tujuan
dari program yang direncanakan. Sehingga evaluator (peneliti) dalam posisi yang bebas menilai dan ada
obyektivitas.
2. JENIS-JENIS EVALUASI KEBIJAKAN
Evaluasi implementasi kebijakan dibagi tiga menurut timing evaluasi, yaitu sebelum dilaksanakan,
pada waktu dilaksanakan, dan setelah dilaksanakan. Secara spesifik Dunn (2003: 612-613)
mengembangkan tiga pendekatan evaluasi implementasi kebijakan, yang tujuan, asumsi, dan bentukbentuk utamanya. Sebagai pembanding, James P. Lester dan Joseph Steward, Jr. (2000)
mengelompokkan evaluasi implementasi kebijakan menjadi:
a) Evaluasi Proses, yaitu evaluasi yang berkenaan dengan proses implementasi;
b) Evaluasi Impak, yaitu evaluasi berkenaan dengan hasil dan / atau pengaruh dari implementasi
kebijakan;
c) Evaluasi Kebijakan, yaitu apakah benar hasil yang dicapai mencerminkan tujuan yang
dikehendaki, dan
d) Evaluasi Meta-evaluasi yang berkenaan dengan evaluasi berbagai implementasi kebijakan
yang ada untuk menemukan kesamaan- kesamaan tertentu.
Ada pula penilaian evaluasi sesuai dengan teknik evaluasinya, yaitu:
a) Evaluasi komparatif, yaitu membandingkan implementasi kebijakan (proses dan hasilnya)
dengan implementasi kebijakan yang sama atau berlainan, di satu tempat yang sama atau
berlainan.

b) Evaluasi Historikal, yaitu membuat evaluasi kebijakan berdasarkan rentang sejarah munculnya
kebijakan-kebijakan tersebut.
c) Evaluasi Laboratorium atau eksperimental, yaitu evaluasi namun menggunakan eksperimen
yang diletakkan dalam sejenis laboratorium.
d) Evaluasi Ad Hock, yaitu evaluasi yang dilakukan secara mendadak dalam waktu segera untuk
mendapatkan gambar pada saat itu (snap shot).
James Anderson membagi evaluasi (implementasi) kebijakan publik menjadi tiga tipe, yaitu:
a) Evaluasi kebijakan publik yang dipahami sebagai kegiatan fungsional.
b) Evaluasi yang memfokuskan pada bekerjanya kebijakan.
c) Evaluasi kebijakan sistematis yang melihat secara objektif program-program kebijakan yang
ditujukan untuk mengukur dampaknya bagi masyarakat dan sejauh mana tujuan-tujuan yang
ada telah dinyatakan telah dicapai (dikutip Winarno, 2002, 168).
Sementara itu, Bingham dan Felbinger (dalam Lester & Steward, 2000) Membagi evaluasi kebijakan
menjadi 4 (empat) jenis, yaitu:
a) Evaluasi Proses, yang focus pada bagaimana proses implementasi suatu kebijakan.
b) Evaluasi Impak, yang fokus pada hasil akhir suatu kebijakan.
c) Evaluasi Kebijakan, yang menilai hasil kebijakan dengan tujuan yang direncanakan dalam
kebijakan pada saat dirumuskan.
d) Meta-Evaluasi, yang merupakan evaluasi terhadap berbagai hasil atau temuan evaluasi dari
berbagai kebijakan yang terkait.
Howlet dan Ramesh (1995) dalam William Dunn, ada 3 macam Evaluasi Kebijakan, yaitu:
a) Evaluasi Administratif
Yang berkenaan dengan evaluasi sisi administratif anggaran, efisiensi, biaya dari proses
kebijakan di dalam pemerintah yang berkenaann dengan:
1) Effort evaluation, yang menilai dari sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan.
2) Performance evaluation, yang menilai keluaran (output) dari program yang dikembangkan
oleh kebijakan.
3) Adequacy of performance evaluation atau effectiveness evaluation, yang menilai apakah
program dijalankan sebagaimana yang sudah ditetapkan.
4) Efficiency Evaluation, yang menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang
keefektifan biaya tersebut.
5) Process Evaluation, yang menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk
melaksanakan program.
b) Evaluasi Judisial

Evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum tempat kebijakan diimplementasikan,
termasuk kemungkinan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika, aturan administrasi negara,
hingga hak asasi manusia.
c) Evaluasi Politik
Menilai sejauh mana penerimaan konstitusi politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Anda mungkin juga menyukai