Anda di halaman 1dari 23

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

JURNAL
PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR DARAH YANG
MEMBERIKAN INFORMASI MENYESATKAN TERKAIT STATUS
KESEHATAN DAN PERILAKU HIDUPNYA

Oleh:
ELIKA DWI PUTRI TRESANTI
NIM. 031211131040

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


2

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


3

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR DARAH YANG


MEMBERIKAN INFORMASI MENYESATKAN TERKAIT STATUS
KESEHATAN DAN PERILAKU HIDUPNYA
Oleh: Elika Dwi Putri Tresanti
031211131040

ABSTRACT
Blood donors who want to donate blood are prohibited from providing misleading
information in the registration form. The misleading information was incorrect
information about the state of health and behavior of the real life blood donors
who have been diagnosed associated with infectious diseases transmitted through
blood transfusions, so that the donor blood can be dangerous for patients. To
donors who give misleading information will be penalized. Based on the results of
this research is that in form filling is written things that are contrary to the actual
circumstances or contrary to the truth it such actions closely with the crime of
forgery. Because commits a crime, that blood donors be held criminal liability .

Keyword: Blood donors, donors, misleading information, crime

PENDAHULUAN
a.

Latar Belakang Masalah


Kesehatan merupakan Hak Asasi Manusia dan salah satu unsur

kesejahteraan bagi suatu masyarakat. Hak atas kesehatan tersebut merupakan


kebahagiaan yang tertinggi bagi dipenuhinya hak asasi manusia yang merupakan
hak setiap insan.1 Mengingat bahwa hakikat pembangunan nasional adalah
pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat

Hermien Hadiati Koeswadji, Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT Citra


Aditya Bakti, Bandung, 1992, h. 13.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


4

Indonesia2, maka pembangunan dibidang kesehatan perlu untuk ditingkatkan.


Adapun salah satu kegiatan dibidang kesehatan yang dilakukan guna melakukan
pembangunan dibidang kesehatan adalah Pelayanan darah. Pelayanan darah
merupakan upaya kesehatan yang memanfaatkan darah manusia sebagai bahan
dasar dalam rangka penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Pelayanan
darah ini dilakukan dengan tujuan kemanusiaan dan tidak untuk tujuan komersial,
karena darah dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun.
Dalam melaksanakan kegiatan pelayanan darah sangat dibutuhkan
ketersediaan darah atau komponen darah yang cukup, aman, bermanfaat, mudah
diakses dan terjangkau oleh masyarakat. Upaya pemenuhan ketersediaan darah
untuk kebutuhan pelayanan darah dilakukan dengan mengadakan kegiatan donor
darah. Pelayanan kesehatan berupa pemenuhan ketersediaan darah selama ini
telah dilakukan oleh Palang Merah Indonesia berdasarkan penugasan oleh
Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun
1980 tentang Transfusi Darah.
Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia nomor 7 tahun 2011
tentang Pelayanan Darah (selanjutnya disebut PP Pelayanan Darah) pengaturan
mengenai pendonor darah terdapat pada Bab VI. Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) PP
Pelayanan Darah ini disebutkan bahwa : setiap orang dapat menjadi donor
darah. Walaupun dikatakan bahwa setiap orang dapat melakukan donor darah,
namun pendonor darah tersebut harus memenuhi persyaratan kesehatan. Hal
tersebut sesuai dengan bunyi Pasal 28 ayat (3) PP Pelayanan Darah. Adapun
syarat-syarat untuk menjadi pendonor yang ditetapkan oleh Palang Merah
Indonesia antara lain:
1. Sehat jasmani dan rohani
2. Usia 17 sampai dengan 65 tahun.
3. Berat badan minimal 45 kg.
4. Tekanan darah :
a. sistole 100 - 170
2

JURNAL

Ibid, h. 18.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


5

b. diastole 70 - 100
5. Kadar hemoglobin 12,5g% s/d 17,0g%
6. Denyut nadi teratur yaitu sekitar 50 100 kali/ menit
7. Interval donor minimal 12 minggu atau 3 bulan sejak donor darah
sebelumnya (maksimal 5 kali dalam 1 tahun)
Sebelum menjadi pendonor, setiap orang yang hendak mendonorkan darahnya
harus melalui prosedur pendaftaran terlebih dahulu. Pertama pendonor akan
menjalani pemeriksaan pendahuluan. Dalam pemeriksaan pendahuluan ini calon
pendonor akan diminta untuk mengisi formulir. Dimana formulir tersebut terdapat
hal-hal mengenai data diri dan informasi kesehatan yang wajib diisi oleh calon
pendonor. Terhadap pengisian formulir, calon pendonor berkewajiban untuk
memberikan informasi mengenai kesehatan dan perilaku hidupnya. Dalam Pasal
28 ayat (4) PP Pelayanan Darah disebutkan: pendonor darah harus memberikan
informasi yang benar perihal kesehatan dan perilaku hidupnya. Pendonor darah
harus memperhatikan ketentuan dari Pasal tersebut sebelum melakukan donor.
Terhadap pendonor yang melanggar ketentuan mengenai keharusan
memberikan informasi dengan benar tersebut akan dikenakan sanksi. Aturan
mengenai adanya sanksi bagi pendonor tersebut tercantum dalam Pasal 28 ayat (5)
PP Pelayanan Darah yang menyebutkan bahwa: Pendonor darah yang
memberikan informasi menyesatkan berkaitan dengan status kesehatan dan
perilaku hidupnya dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Namun dalam Peraturan Pemerintah tersebut tidak
disebutkan secara jelas sanksi apa yang akan diperoleh oleh pendonor.
Apabila dilihat dari rumusan Pasal 28 ayat (5) PP Pelayanan Darah
tersebut, maka terdapat unsur memberikan informasi menyesatkan yang mana
unsur tersebut berkaitan erat dengan tindak pidana. Dalam hal banyaknya
peraturan perundang-undangan hukum pidana terkait dengan memberikan
informasi menyesatkan maka perlu dikaji mengenai perbuatan-perbuatan yang
ditujukan pada ketentuan Pasal 28 ayat (5) PP Pelayanan Darah dari segi hukum
pidana. Sehingga terhadap perbuatan pendonor darah yang memberikan informasi
menyesatkan terkait dengan status kesehatan dan perilaku hidupnya dalam

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


6

formulir donor darah dapat diketahui apakah perbuatan tersebut dapat


dikategorikan

sebagai

suatu

perbuatan

pidana

dan

dapat

dimintakan

pertanggungjawaban bagi pelakunya.

b.

Rumusan Masalah
Berdasarkan hal yang telah diuraikan dalam latar belakang diatas, maka

yang menjadi permasalahan adalah:


1) Apakah memberikan informasi menyesatkan terkait donor darah
dapat dikategorikan sebagai perbuatan pidana?
2) Apakah pendonor darah yang memberikan informasi menyesatkan
dapat dimintai pertanggungjawaban pidana?

c.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis-normative

yang mengkaji hukum positif dan asas-asas hukum serta aspek teoritiknya, segala
hukum positif yang berkaitan dengan rumusan masalah yang dibahas akan dikaji
dengan asas-asas hukum dan teori-teori hukum yang relevan sehingga
menemukan konklusi yang koheren. Sehingga dapat menjawab isu hukum yang
diajukan. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan Statute Approach dan
Conceptual Approach.

ANALISA
A.

Informasi Menyesatkan Terkait Donor Darah Ditinjau Dari Aspek


Hukum Pidana
Dalam Pasal 28 ayat (4) Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor

7 Tahun 2011 tentang Pelayanan Darah (selanjutnya disebut PP Pelayanan Darah)


telah disebutkan bahwa terhadap calon pendonor darah yang memberikan
informasi menyesatkan terkait dengan status kesehatan dan perilaku hidupnya
akan dikenakan sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Hingga saat ini, di Indonesia belum pernah terjadi suatu kasus
menyangkut bunyi pasal tersebut. Namun apabila suatu saat terjadi suatu tindakan

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


7

dimana seorang calon pendonor darah dengan sengaja memberikan informasi


menyesatkan perihal perilaku hidupnya misalnya calon pendonor tersebut sering
berganti-ganti pasangan seks namun dalam formulir donor tidak disebutkan
mengenai hal itu atau mengatakan bahwa calon pendonor tidak pernah
berhubungan seks. Hingga pendonor tersebut dapat melakukan donor darah dan
kemudian darah yang telah didonorkan diketahui mengandung virus penyakit
melunar maka Pasal 28 ayat (4) PP Pelayanan Darah dapat diterapkan terhadap
pendonor tersebut.
Setiap orang yang hendak mendonorkan darahnya wajib memenuhi
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Salah satunya mengenai
kewajiban untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya terkait status
kesehatan dan perilaku hidupnya. Adapun tujuan dari pengaturan mengenai
tersebut adalah untuk menjamin ketersediaan darah yang aman bagi penerima
donor. Dengan adanya informasi yang benar dari pendonor diharapkan darah yang
didonorkan tersebut dapat disalurkan secara aman kepada penerima donor.
Dengan informasi yang jelas pula akan memudahkan bagi tenaga kesehatan yang
mengambil darah untuk memisahkan darah pendonor ke kategori darah yang
rentan penyakit atau tidak.
Dikaitkan dengan kegiatan donor darah, pemberian informasi yang
sebenar-benarnya sebelum melakukan donor darah juga akan memberikan mafaat
bagi UTD ataupun penerima donor. Penerima donor yang membutuhkan darah
dapat memulihkan kesehatannya dengan segera setelah mendapat donor darah
yang sehat. Sebaliknya, jika yang didapatkan oleh penerima donor adalah darah
yang tidak sehat, maka penerima donor tersebut dapat tertular berbagai penyakit.
Melihat pentingnya informasi bagi penerimanya, maka diaturnya mengenai
kewajiban memberikan informasi dengan sebenar-benarnya dalam PP Pelayanan
Darah merupakan salah satu pemenuhan hak kesehatan bagi masyarakat.
Pengaturan tentang adanya sanksi bagi pendonor yang memberikan informasi
menyesatkan terkait status kesehatan dan perilaku hidupnya merupakan bentuk
dari pelindungan hukum terhadap penerima donor.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


8

Informasi menyesatkan yang dimaksud dalam PP Pelayanan Darah terkait


dalam dua hal, yakni mengenai status kesehatan dan perilaku hidup. Status
kesehatan ini berarti bahwa pendonor harus memberikan informasi mengenai
keadaan kesehataannya saat akan mendonorkan darah, apakah pendonor sedang
mengalami sakit atau memiliki riwayat penyakit tertentu, semua harus disebutkan
dengan jelas. Kemudian mengenai perilaku hidup, pendonor harus menjelaskan
apakah ia memiliki perilaku hidup yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan
sehingga menyebabkan darah didalam tubuh rentan terhadap penyakit, seperti
penyalahgunaan obat dengan jarum suntik, seks bebas, termasuk homoseksual,
biseksual, melakukan perlukaan kulit, tato dan upacara dengan darah (melukai).
Informasi yang benar terkait status kesehatan dan perilaku hidup tersebut wajib
diisikan dalam formulir donor darah untuk memudahkan pemeriksaan selanjutnya.
Dikatakan memberikan informasi menyesatkan jika pendonor yang
memiliki riwayat penyakit dan memiliki perilaku hidup yang menyimpang, namun
dalam formulir donor darah tidak dituliskan mengenai hal itu atau mengatakan
bahwa tidak memiliki riwayat penyakit serta tidak memiliki perilaku hidup yang
menyimpang. Dalam penjelasan Pasal 28 ayat (5) PP Pelayanan Darah disebutkan
bahwa yang dimaksud dengan informasi menyesatkan adalah informasi yang tidak
benar atas status kesehatan dan perilaku hidup pendonor darah yang sebenarnya
telah didiagnosis berhubungan dengan penyakit infeksi menular lewat trasfusi
darah, sehingga darahnya membahayakan pasien. Kerugian yang dapat dialami
oleh penerima donor atas informasi menyesatkan dari pendonor harus
dihindarkan. Kerugian yang dapat timbul dari adanya informasi menyesatkan ini
dapat dialami oleh siapapun, tidak tercakup pada individu. Sehingga dalam hal ini
kepentingan masyarakat yang dapat terancam, khususnya para pasien.
Mengingat bahwa pemerintah bertanggungjawab terhadap pelayanan darah
yang aman, pemerintah berkewajiban untuk melindungi kepentingan umum
masyarakat dari adanya informasi menyesatkan tersebut. Dalam hal menyangkut
masalah kepentingan umum, maka penerapan sanksi terhadap pendonor yang
memberikan informasi menyesatkan dapat menggunakan hukum publik, yakni
melalui ranah Hukum Pidana. Terhadap pihak PMI atau UTD yang mengetahui

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


9

bahwa terdapat pendonor darah yang memberikan informasi menyesatkan, maka


pihak PMI dapat mengadakan laporan/pengaduan atas tindakan pendonor tersebut
dengan dalil melanggar ketentuan Pasal 28 ayat (5) PP Pelayanan Darah.
Dalam KUHP tidak ada pasal yang secara jelas menyebut kata
memberikan informasi menyesatkan, namun dalam beberapa pasal menyebutkan
mengenai memberikan keterangan palsu. Memberikan informasi menyesatkan
dengan memberikan keterangan palsu merupakan tindakan yang sama, dimana
keduanya merupakan tindakan tidak memberikan keterangan/informasi tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Hal yang patut diketahui oleh calon pendonor bahwa, ketika mengisi
formulir pendaftaran donor, pendonor wajib memberikan informasi yang sebenarbenarnya mengenai status kesehatan dan perilaku hidupnya. Apabila terhadap
pengisian formulir tersebut dituliskan hal-hal yang bertentangan dengan keadaan
yang sebenarnya maka perbuatan tersebut sama dengan tindak pidana pemalsuan
surat. Mengingat bahwa palsu merupakan sesuatu yang secara nyatanya atau yang
sesungguhnya bertentangan dengan hal yang sebenarnya.
Tindak pidana pemalsuan surat pada umumnya diatur dalam Pasal 263
KUHP, yang berbunyi :
(1) Barangsiapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau
yang diperuntukan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian
tersebut dapat menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat,
dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
(2) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika
pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Adapun penjelasan terhadap tiap-tiap unsur yang membentuk rumusan tindak
pidana dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP adalah sebagai berikut:
a. perbuatan membuat palsu dan perbuatan memalsu
Pengertian membuat surat palsu merupakan sebuah perbuatan membuat sebuah
surat (yang sebelumnya tidak ada surat) yang isi seluruhnya atau pada bagianbagian tertentu tidak sesuai dengan yang sebenarnya atau bertentangan dengan
JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


10

kebenaran atau palsu.

Sedangkan perbuatan memalsu surat adalah perbuatan

mengubah dengan cara apapun oleh orang yang tidak berhak terhadap surat
yang menyebabkan sebagian atau seluruh isi surat itu menjadi lain atau berbeda
dari surat semula atau surat aslinya.4
Terdapat pula membuat surat palsu dengan cara mengisi blanko yang
sudah disediakan, namun mengisikan hal-hal atau keadaan yang tidak
sebenarnya atau palsu. Perbuatan yang demikian ini juga termasuk pemalsuan
surat. Perbuatan mengisi blanko dengan tulisan yang tidak benar juga termasuk
pengertian membuat surat palsu menurut Pasal 263 ayat (1) ini. 5
Berdasarkan penjelasan tersebut, terhadap formulir donor darah yang
didalamnya diisikan mengenai hal-hal yang bertentangan dengan keadaan yang
sebenarnya, maka hal tersebut termasuk juga dalam perbuatan membuat palsu.
Hal ini mengingat bahwa formulir telah disediakan oleh UTD, yang kemudian
diberikan kepada setiap calon pendonor untuk diisi dengan benar. Namun
apabila terdapat pendonor yang mengisikan hal-hal yang tidak benar atau tidak
sesuai dengan keadaan yang sebenarnya terhadap formulir tersebut, maka
perbuatan yang demikian itu juga termasuk pemalsuan surat. Pemalsuan yang
demikian berbentuk membuat palsu, karena pengisian formulir tidak bersifat
mengubah isi, namun pendonor mengisikan sendiri dalam formulir kosong
yang disediakan UTD dan seluruh isinya merupakan hal-hal yang tidak sesuai
dengan kebenaran.

b. Obyeknya:
1) Surat yang dapat menimbulkan suatu hak;
2) Surat yang menimbulkan suatu perikatan;
3) Surat yang menimbulkan suatu pembebasan hutang;
4) Surat yang diperuntukan sebagai bukti daripada suatu hal;

Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana Pemalsuan, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2014, h. 138.
4
5

JURNAL

Ibid, h. 143.
Ibid.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


11

Terkait formulir donor darah dapat diklasifikasian sebagai surat yang dapat
menimbulkan suatu hak. Dalam hal ini bahwa, hak yang ditimbulkan dari
pengisian formulir donor adalah hak untuk memperoleh pelayanan dalam
kegiatan donor darah. Hak yang didapatkan pendonor darah timbul karena
telah dilakukannya suatu kewajiban, yakni mengisi formulir donor darah.
Sehingga setelah pengisian formulir donor darah tersebut, pendonor darah
dapat memperoleh hak berupa pelayanan donor darah, mulai dari hak untuk
diperiksa oleh dokter (pemeriksaan tekanan darah dan berat badan), kemudian
hak untuk diambil darahnya, serta hak untuk mendapatkan kartu donor.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dengan mengisi formulir tersebut, timbullah
suatu hak bagi pendonor darah. Maka formulir donor darah termasuk dalam
surat yang menimbulkan suatu hak.

c. pemakaian surat tersebut dapat menimbulkan kerugian


Kerugian yang mungkin timbul dari penggunaan surat palsu atau surat
yang dipalsu tidak harus berupa kerugian yang dapat diukur atau dinilai dengan
uang (kerugian materiil), tetapi juga kerugian yang bersifat immaterial.6 Sama
seperti yang telah disebutkan, bahwa terhadap penggunaan formulir donor
darah yang isinya dipalsukan juga dapat menimbulkan kerugian immaterial.
Kerugian yang mungkin dapat terjadi adalah apabila darah dari pendonor yang
memalsukan status kesehatannya dalam formulir pendaftaran ternyata
mengandung virus HIV, kemudian darah tersebut ditransfusikan kepada pasien
maka pasien tersebut akan mengalami kerugian berupa tertularnya pasien
terhadap virus HIV tersebut. Selain HIV, terdapat berbagai penyakit lain yang
juga dapat menular melalui transfusi darah. Penyakit menular tersebut tentu
akan memiliki dampak yang buruk bagi penderitanya. Penderita penyakit
menular tersebut tidak akan bisa beraktivitas seperti orang nomal, tidak
memampu bekerja dan dapat berisiko kematian.

JURNAL

Ibid, h. 156.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


12

d. kesalahan: dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai
seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu
Unsur kesalahan dalam tindak pidana membuat surat palsu atau memalsu surat
tersebut berupa kesengajaan sebagai maksud atau kesengajaan dalam arti
sempit. Maksud pembuat surat tersebut tujuannya untuk digunakan oleh dirinya
sendiri atau digunakan oleh orang lain. Dikaitkan dengan pedonor yang
memberikan keterangan palsu terhadap formulir pendaftaran, maka sudah
terlihat bahwa ia menggunakan formulir tersebut agar diperbolehkan untuk
mengikuti donor darah. Selain itu formulir digunakan seolah-olah isinya benar
padahal ia telah memberikan keterangan palsu didalam formulir tersebut.
Berdasarkan dengan penjelasan yang telah dikemukakan diatas dapat diketahui
bahwa tindakan pendonor yang memberikan keterangan palsu di dalam formulir
donor darah telah memenuhi unsur-unsur dalam tindak pidana pemalsuan
sebagaimana diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHP.

B.

Pertanggungjawaban Pidana bagi Pelaku yang Melakukan Tindak


Pidana terkait Informasi Menyesatkan
Dalam hal terjadi suatu tindak pidana, maka untuk dapat dijatuhkannya

pidana terhadap pelakunya diperlukan syarat adanya pertanggungjawaban pidana.


Dalam hukum pidana dikenal adanya dua pandangan diatara para ahli mengenai
pertanggungjawaban pidana. Pandangan pertama merupakan pandangan monistis
yang menganggap bahwa pertanggungjawaban pidana harus melekat pada tindak
pidana tersebut.7 Dalam hal ini tidak ada pemisahan antara criminal act dengan
criminal responsibility. Beberapa ahli seperti D. Simons, J. Baumman, dan
Wirjono Prodjodikoro yang menganut pandangan minostis ini menganggap
kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari pelaku termasuk dalam unsur
perbuatan pidana. Sedangkan dalam pandangan kedua yakni pandangan dualistis
pertanggungjawaban pidana harus dianggap terpisah dari pengertian tindak
pidana. Teori ini berpangkal dari pandangan bahwa unsur pembentuk tindak
7

JURNAL

A. Fuad Usfa dan Tongat, Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004, h. 73.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


13

pidana hanyalah perbuatan.8 Moeljatno, yang menganut pandangan dualistis ini,


berpendapat bahwa kesalahan dan kemampuan bertanggungjawab dari pelaku
tidak termasuk dalam unsur perbuatan pidana, karena hal-hal tersebut melekat
pada diri pelaku tersebut.
Walaupun terdapat perbedaan pendapat, namun secara prinsipal baik
pandangan monistis ataupun pandangan dualistis sama-sama menganggap bahwa
untuk dapat dijatuhkannya pidana diperlukan syarat adanya pertanggungjawaban
pidana. Pertanggungjawaban pidana ini dimaksudkan untuk menentukan dapat
atau tidaknya seseorang tersangka atau terdakwa dimintakan pertanggungjawaban
atas suatu tindak pidana yang terjadi.
Dalam hukum positif di Indonesia, selain menganut asas legalistas, dianut
juga mengenai asas kesalahan. Asas kesalahan ini merupakan asas dalam
pertanggungjawaban pidana yang berbunyi tidak ada pidana jika tidak ada
kesalahan. Walaupun asas ini tidak tertulis dalam peraturan perundanganundangan (Hukum tertulis) di Indonesia, asas ini hidup dimasyarakat sebagai
hukum yang tidak tertulis.9 Berdasarkan pada asas ini maka terlihat bahwa
pertanggungjawaban pidana sangat erat kaitannya dengan kesalahan. Untuk
menentukan

apakah

seorang

pelaku

tindak

pidana

dapat

dimintai

pertanggungjawaban dalam hukum pidana, akan dilihat apakah orang tersebut


pada saat melakukan tindak pidana mempunyai kesalahan. Sehingga apabila orang
yang melalukan tindak pidana memiliki kesalahan, maka ia akan dipidana. Namun
jika ia tidak memiliki kesalahan walaupun telah melakukan suatu tindak pidana, ia
tidak dipidana. Hal ini karena orang yang melakukan tindak pidana tidaklah selalu
dapat dipidana, ia akan dipidana apabila mempunyai kesalahan. Untuk dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana maka harus didasarkan pada unsur kesalahan
dan bentuk kesalahan dari pelaku tindak pidana.

Moeljatno, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana, Bina


Aksara, Jakarta, 1983, h. 10.
9
Moeljatno, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, (selanjutnya
disingkat Moeljatno I) h. 165.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


14

Orang dikatakan mempunyai kesalahan jika ia pada saat melakukan


perbuatan pidana mengetahui bahwa perbuatannya tersebut merupakan perbuatan
tercela dan merugikan masyarakat sehingga perbuatan tersebut harus dihindari,
namun ia tetap melakukan perbuatan itu. Pompe berpendapat bahwa ada
kesalahan jika perbuatan yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa verwijtbaar
(dapat dicela) dan vermijdbaar (dapat dihindari). Berdasarkan pengertian tersebut,
maka untuk melakukan kesalahan harus dipikirkan adanya dua hal, yaitu:10
1. Adanya keadaan batin yang tertentu
2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan
perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan dalam
masyarakat.
Sedangkan unsur-unsur kesalahan menurut Moeljatno yaitu:11
a. Melakukan Tindak Pidana;
b. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab;
c. Dengan kesengajaan atau kealpaan;
d. Tidak ada alasan pemaaf.
Berdasarkan bunyi Pasal 263 ayat (1) KUHP, dapat diketahui bahwa unsur
subyektif berupa kesalahan dimasukan ke dalam rumusan delik. Maka terhadap
pendonor darah yang memalsukan isi formulir donor darah harus memiliki unsur
kesalahan tersebut. Bentuk kesalahan yang disebutkan dalam pasal tersebut
berbentuk kesengajaan sebagai maksud.
Dalam pembuktian unsur sengaja yang dicantumkan dalam rumusan
tindak pidana, perlu diperhatikan tiga hal, yakni:12
1) Hubungan sengaja dengan unsur lain dalam rumusan tindak pidana
Dalam suatu rumusan tindak pidana mengandung unsur-unsur tindak
pidana yang mana unsur-unsur tersebut tidak dapat berdiri sendiri. Unsur satu
selalu berhubungan dengan unsur lain yang dicantumkan dalam rumusan.
10

Ibid, h. 171.

11

Ibid, h. 177.
Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Tindak Pidana Pemalsuan, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2014, h. 54.
12

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


15

Melihat MvT WvS Belanda ada dua keterangan menyangkut hubungan


sengaja dengan unsur lainnya, yakni: 13
(a) Pertama, menyatakan bahwa sengaja melakukan suatu kejahatan
adalah melakukan perbuatan yang dilarang dengan dikehendaki dan
diketahui. Orang yang menghendaki dan mengetahui adalah pelaku
tindak pidana. Oleh karena itu sengaja berupa sikap batin orang yang
menghendaki dan mengetahui suatu perbuatan dan lain-lain menjadi
unsur tindak pidana. Pelaku menghendaki untuk mewujudkan tindak
pidana, menghendaki perbuatan dan unsur-unsur lain dan mengetahui
semua unsur yang ada dalam tindak pidana.
(b) Kedua, menyatakan bahwa letak/penempatan unsur sengaja dalam
rumusan tindak pidana akan menentukan relasi pengertian sengaja
tersebut terhadap unsur-unsur lainnya dalam rumusan tindak pidana,
perkataan apa yang diletakkan sesudah perkataan sengaja akan diliputi
oleh unsur sengaja tersebut.
apabila dihubungkan pengertian sengaja dengan unsur maksud pada Pasal
263 ayat (1) maka unsur maksud tersebut adalah sama dengan kehendak yang
disebutkan oleh MvT. Dalam hubungan ini kehendak tersebut ditujukan pada
unsur:
(a) Untuk memakai atau menyuruh orang memakai surat palsu atau surat
yang dipalsu
(b) Seolah-olah isi surat itu benar (asli) atau tidak dipalsu.
Sehingga pendonor yang akan memberikan informasi menyesatkan harus
memiliki kehendak untuk memberikan informasi menyesatkan agar
diperbolehkan mengikuti donor darah, walaupun sebenarnya ia mengetahui
bahwa terdapat kewajiban hukum berupa memberikan informasi dengan
benar. Kehendak tersebut diwujudkan oleh pendonor dengan melakukan
perbuatan membuat surat palsu, dengan cara mengisikan hal-hal yang tidak
sesuai dengan keadaan sebenarnya dalam formulir donor darah. Pendonor
kemudian menggunakan formulir yang telah dipalsu tersebut untuk
melakukan donor dan menggunakannya seolah-olah isinya benar padahal
diketahui olehnya bahwa isi formulir tersebut telah dipalsu.

13

Lamintang., Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1990, h.

268.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


16

2) Semua keadaan ketika perbuatan dilakukan


Dalam membuktikan adanya kesengajaan sangat diperlukan perhatian
terhadap keadan-keadaan ketika perbuatan dilakukan. Tentang pentingnya
memperhatikan semua keaadan ini dapat dikemukakan pendapat Hoge Raad
dalam pertimbangan hukum putusannya tanggal 1 Desember 1970 yang
menyatakan sebagai berikut:14
Dengan memperhitungkan situasi dan kondisi yang ada dan
berdasarkan cara bagaimana seseorang memukul badan dan lengan
seorang lain dapat disimpulkan bahwa tindakan tersebut dilakukan
dengan sengaja
Perimbangan tersebut menjelaskan bahwa dengan melihat pada cara dan pada
bagian tubuh mana yang dipukul, orang dapat menentukan perbuatan tersebut
dilakukan dengan sengaja ataukah tidak.
Pada saat pendonor memberikan informasi menyesatkan, keadaan
pendonor harus berada pada kondisi dimana pendonor tersebut benar-benar
mengetahui

tentang

kondisi

kesehatannya.

Apabila

pendonor

tidak

mengetahui didalam tubuhnya terdapat penyakit menular, sehingga dalam


formulir donor ia tidak menuliskan mengenai suatu penyakit apapun apabila
nantinya diketemukan dalam darahnya terdapat virus dari penyakit menular,
pendonor tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini karena
pendonor tersebut tidak memenuhi unsur kesengajaan. Namun apabila
pendonor mengetahui keadaan dirinya, namun ia justru menuliskan hal-hal
yang berlainan dengan hal tersebut maka unsur kesengajaan memberikan
informasi menyesatkan terpenuhi.

3) Keadaan dan kemampuan jiwa pelaku saat melakukan perbuatan


Kesengajaan sebagai maksud sangat berhubungan dengan keadaan jiwa
pelaku saat melakukan tindak pidana. Hanya orang dengan jiwa normal yang
dapat melakukan perbuatan dengan sengaja, karena orang dengan jiwa yang
normal memiliki kehendak dan dapat menentukan perbuatan mana yang boleh
dilakukan atau tidak boleh dilakukan. Lain halnya apabila seseorang dalam
14

JURNAL

Adami Chazawi dan Ardi Ferdian, Op. Cit., h. 156.

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


17

membuat surat palsu/memalsukan surat palsu karena adanya paksaan dari


orang lain. Paksaan terhadap seseorang tersebut dapat berupa ancaman
kekerasan/kekerasan terhadap orang yang dipaksa. Tentulah dalam keadaan
demikian, pembuat surat palsu tidak dapat membentuk kehendak secara bebas
karena takut dengan ancaman tersebut. Apabila terbukti bahwa terdapat
keadaan jiwa seperti itu ketika membuat surat maka orang itu tidak boleh
dipidana. Karena hal tersebut tidak memenuhi unsur dengan maksud dalam
Pasal 263 ayat (1) KUHP .
Sehingga pendonor yang memberikan informasi menyesatkan, agar dapat
dimintai pertanggungjawaban pidana, ia harus memiliki jiwa yang normal dan
dalam keadaan yang normal. Jiwa yang normal dalam arti pendonor tidak
memiliki penyakit gangguan kejiwaan. Keadaan yang normal dalam arti
pendonor tidak sedang dalam paksaan melakukan tindakan memberikan
informasi menyesatkan.
Dengan terpenuhinya unsur-unsur pemalsuan surat dalam Pasal 263 ayat
(1) KUHP, baik unsur obyektif maupun unsur subyektif berupa kealahan, maka
tindakan pendonor darah yang memberikan informasi menyesatkan dapat
dimintakan pertanggungjawaban pidana.
Seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana, maka terhadapnya
dapat dijatuhi hukuman pidana. Apabila dilihat dalam rumusan Pasal 263 ayat (1),
maka disebutkan terhadap pelaku pemalsuan surat dapat dipidana dengan pidana
penjara paling lama enam tahun. Sehingga pendonor yang terbukti melakukan
perbuatan pemalsuan surat dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama
enam tahun.
Namun, tindakan pendonor yang memberikan informasi menyesatkan ini
juga dapat melibatkan pihak lain. Misalnya apabila pendonor memberikan
informasi menyesatkan pada UTD dengan cara menggunakan surat keterangan
dokter yang telah dipalsukan. Mengenai pemalsuan terhadap surat keterangan
dokter ini terdapat pada Pasal 267 KUHP, yang berbunyi:

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


18

(1) Seorang dokter yang dengan sengaja memberikan surat keterangan palsu
tentang ada atau tidaknya penyakit, kelemahan atau cacat, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun
(2) Jika keterangan diberikan dengan maksud untuk memasukkan seseorang
ke dalam rumah sakit jiwa atau untuk menahannya di situ, dijatuhkan
pidana penjara paling lama delapan tahun enam bulan.
(3) Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja
memakai surat keterangan palsu itu seolah-olah isinya sesuai dengan
kebenaran.
Maka terhadap pendonor yang mengunakan surat keterangan palsu dari dokter
tersebut dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun, sesuai
dengan ketentuan dalam Pasal 267 ayat (3) KUHP. Sedangkan terhadap dokter
yang

membuat

surat

keterangan

palsu

tersebut

juga

dapat

dimintai

pertanggungjawaban, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 267 ayat (1) KUHP.
Selain itu dapat pula terjadi penyertaan dalam tindakan memberikan
informasi menyesatkan ini. Penyertaan pada suatu kejahatan terjadi apabila dalam
satu tindak pidana tersangkut beberapa orang atau tindak pidana tersebut
dilakukan lebih dari satu orang. Penyertaan dalam tindak pidana dapat berupa:
1. Pelaku (dader), yang terdiri dari:
a) yang melakukan;
b) yang menyuruh melakukan;
c) yang turut melakukan;
d) yang memberi upah, janji-janji, dan sebagainya dengan
sengaja membujuk.
2. Pembantu melakukan (medeplichters), yang terdiri dari:
a) yang membantu waktu kejahatan dilakukan;
b) yang sengaja memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan
untuk melakukan kejahatan itu.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


19

Sehingga selain pelaku pendonor, dapat dimungkinkan juga ada pihak lain yang
turut serta melakukan tindakan ini. Contohnya, A menaruh dendam kepada B dan
ingin membalaskan dendamnya. Karena tahu B sedang sakit parah dan
membutuhkan donor, A membujuk C agar mau mendonorkan darahnya kepada B,
padahal A mengetahui bahwa C memiliki HIV. A juga menjanjikan kepada C
sejumlah uang. Kemudian A memberikan petujuk kepada C agar memalsukan isi
formulir donor darahnya supaya dapat melakukan donor. Hingga akhirnya C
melakukan hal-hal yang diinginkan oleh A. Dalam hal ini tindakan A termasuk
dalam tindakan menggerakan orang lain untuk melakukan tindak pidana.
Berdasarkan pada Pasal 55 KUHP, A dapat dipidana sebagai pelaku tindak
pidana. Adapun bunyi Pasal 55 KUHP sebagai berikut:
(1) Dipidana sebagai pembuat tindak pidana :
1. Mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan yang
turut serta melakukan perbuatan;
2. Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu
dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan
kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi
kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan
orang lain supaya melakukan perbuatan.
(2) Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan
sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.
Apabila dicermati, tindakan A yang membujuk C agar melakukan tindak
pidana dengan memberikan sejumlah uang kepada C sesuai dengan rumusan Pasal
55 ayat (1) angka 2 KUHP. Sehingga A dapat dipidana dengan pidana yang sama
dengan C.
Selain itu keterlibatan pihak lain dalam tindak pidana dapat berupa
pembantuan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 KUHP. Adapun bunyi Pasal
56 KUHP adalah sebagai berikut:
Dipidana sebagai pembantu kejahatan:
1.

Mereka yang sengaja memberi bantuan pada waktu kejahatan


dilakukan;

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


20

2.

Mereka yang sengaja memberi kesempatan, sarana atau keterangan


untuk melakukan kejahatan;

Bentuk pembantuan dalam tindakan memberikan informasi menyesatkan


ini dapat berupa A mengetahui niat B yang hendak menularkan HIV dengan
melakukan donor darah. A kemudian membantu mengantarkan B ke UTD
terdekat dan membantu menuliskan isi formulir donor karena B

tidak bisa

menulis. Tindakan yang dilakukan A tersebut termasuk dalam tindakan


pembantuan. Sehingga terhadap A dapat dijatuhi hukuman pidana. Adapun
ancaman pidana terhadap pembantu kejahatan terdapat dalam Pasal 57 KUHP,
yang berbunyi:
(1) Dalam hal pembantuan, maksimum pidana pokok terhadap
kejahatan, dikurangi sepertiga;
(2) Jika kejahatan diancam dengan pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup, dijatuhkan pidana penjara paling lama lima belas
tahun;
(3) Pidana tambahan bagi pembantuan sama dengan kejahatannya
sendiri;
(4) Dalam menentukan pidana bagi pembantu, yang diperhitungkan
hanya perbuatan yang sengaja dipermudah atau diperlancar olehnya,
beserta akibat-akibatnya.
Sehingga terhadap pihak lain yang melakukan penyertaan ataupun pembantuan
terhadap tindakan memberikan informasi menyesatkan tersebut juga dapat
dimintakan pertanggungjawaban apabila terbukti melakukan penyertaan dan
pembantuan.

PENUTUP
A.

Kesimpulan
1. Setiap pendonor diwajibkan memberikan informasi dengan benar
mengenai status kesehatan dan perilaku hidup dalam formulir donor
darah. PP Pelayanan Darah menyebutkan bahwa tindakan memberikan

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


21

informasi menyesatkan terkait status kesehatan dan perilaku hidup


akan dikenakan sanksi berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Tindakan memberikan informasi menyesatkan berarti
memberikan informasi yang tidak sesuai dengan keadaan yang
sebenarnya. Adapun tindakan memberikan informasi menyesatkan
dalam formulir donor darah termasuk dalam tindak pidana pemalsuan
surat sebagaimana diatur dalam pasal 263 ayat (1) KUHP.
2. Pertanggungjawaban pidana terhadap tindakan memberikan informasi
menyesatkan dapat dikenakan terhadap pelaku maupun pihak lain
yang terkait dalam tindakan tersebut. Bentuk pertanggungjawaban
tersebut dapat berupa penyertaan ataupun pembantuan seperti
disebutkan dalam pasal 55 dan pasal 56 KUHP. Pelaku tersebut
diancam pidana berupa pidana penjara paling lama enam tahun karena
telah melakukan tindak pidana pemalsuan sebagaimana dimaksud
pasal

263

ayat

(1)

KUHP.

Selain

itu

dapat

pula

pertanggungjawabannya tersebut berupa pemidanaan berdasarkan


pasal 267 ayat (3) KUHP apabila pendonor menggunakan surat
keterangan dokter yang telah dipalsukan.

B.

Saran
1. Merumuskan tindakan memberikan informasi menyesatkan dalam satu
pasal yang jelas dan utuh. Rumusan tersebut harus mengandung
tindakan-tindakan seperti apa yang dimaksud memberikan informasi
menyesatkan itu (unsur-unsur tindakan memberikan informasi
menyesatkan) dan juga menyebutkan mengenai sanksi apa yang dapat
dikenakan bagi pelakunya.
2. Memasukkan rumusan pasal sebagaimana saran diatas dalam UndangUndang Kesehatan. Hal ini karena pengaturan tentang sanksi terhadap

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


22

adanya informasi menyesatkan saat ini terdapat dalam PP Pelayanan


Darah yang merupakan salah satu peraturan pelaksana dari UndangUndang Kesehatan. Sedangkan dalam Undang-Undang Kesehatan
sama sekali tidak diatur tentang adanya sanksi bagi pendonor darah.
Sehingga akan lebih baik apabila tindakan memberikan informasi
menyesatkan tersebut diatur dalam Undang-Undang Kesehatan
dengan rumusan delik yang lebih jelas dan juga terdapat ancaman
pidana.

DAFTAR BACAAN
BUKU
Chazawi, Adami dan Ardi Ferdian., Tindak Pidana Pemalsuan, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2014.
Hamzah, Andi., Asas Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1994.
Koeswadji, Hermien Hadiati., Beberapa Permasalahan Hukum dan Medik, PT
Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992.
Marzuki, Peter Mahmud., Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2005.
Moeljatno., Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008.
Moeljatno., Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Dalam Hukum Pidana,
Bina Aksara, Jakarta, 1983.
Lamintang, P.A.F., Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung,
1984.
Lamintang, P.A.F., Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru., Bandung, 1990.
Prodjodikoro., Wirjono., Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia, Refika Aditama,
Bandung, 2003.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

ADLN-PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA


23

Soesilo, R., Pokok-Pokok Hukum Pidana, Peraturan Umum dan Delik-delik


Khusus, PT. Karyanusantara, Bandung, 1984.
Sudarto., Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990.
Usfa, A Fuad dan Tongat., Pengantar Hukum Pidana, UMM Press, Malang, 2004.

JURNAL
Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI, Situasi Donor Darah Di
Indonesia, Kementrian Keseharan RI, Jakarta, 2014.

INTERNET
Nano, 11 Bahaya HIV AIDS Bagi Tubuh Penderitanya, www.halosehat.com,
dikunjungi pada 19 Desember 2015.
Palang Merah Indonesia., Sejarah PMI, www.pmi.or.id, dikunjungi pada tanggal
21 September 2015.
Palang Merah Indonesia Bali., Transfusi Darah, www.pmibali.or.id,dikunjungi
pada tanggal 21 September 2015.
Setiawan,
Parta.,
Pengertian
Informasi
Menurut
Para
Ahli,
www.gurupendidikan.com, dikunjungi pada tanggal 19 Desember 2015.
Usmanan, Indra., Penyakit Yang Dapat Menular Melalui Transfusi Darah
www.kolope.com, dikunjungi pada tanggal 19 Desember 2015.

JURNAL

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENDONOR

ELIKA DWI PUTRI

Anda mungkin juga menyukai