Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan di negeri ini. Keingintahuan terhadap perkembangan Bahasa Indonesia di berbagai kalangan mulai
gencar dan menjadi pertanyaan. Sehingga jika membicarakan asal usul bahasa
Indonesia maka tidak lepas dari bahasa melayu sebagai sumber (akar) bahasa yang
kita pergunakan sampai sekarang. Perlunya pengetahuan bagi masyarakat
umumnya

dan

mahasiswa

khususnya

tentang

sejarah

dan

proses

perkembangannya sebagai media kesadaran pentingnya berbahasa Indonesia yang


berawal dari bahasa Melayu.
1.2

Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah

dalam penulisan ini sebagai berikut :


1.) Mengapa

bahasa

Melayu

diangkat

menjadi

Bahasa

Indonesia?
2.) Bagaimana sejarah perkembangan bahasa Melayu menjadi
Bahasa Indonesia?
1.3

Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam

karya tulis ini untuk mengetahui proses perkembangan sejarah bahasa Melayu
menjadi Bahasa Indonesia.
1.4

Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini diharapkan dapat menjadi media informasi

kepada masyarakat umumnya dan mahasiswa khususnya sehingga untuk menjaga


kesatuan Bahasa Indonesia dapat tercapai.
BAB II
ISI

2.1 Sumber Bahasa Indonesia


Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara lain,
menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Bahasa
Indonesia tumbuh dan berkembang dari bahasa Melayu yang sejak zaman dulu
sudah dipergunakan sebagai bahasa perhubungan atau perantara (lingua franca)
bukan hanya di Kepulauan Nusantara, melainkan juga hampir di seluruh Asia
Tenggara.
Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di bawah
rumpun bahasa Austronesia. Menurut statistik penggunaan bahasa di dunia,
penutur bahasa Melayu diperkirakan mencapai lebih kurang 250 juta jiwa yang
merupakan bahasa keempat dalam urutan jumlah penutur terpenting bagi bahasabahasa di dunia
Bahasa Melayu mulai dipakai di kawasan Asia Tenggara sejak abad ke-7.
Bukti yang menyatakan itu ialah dengan ditemukannya prasasti di Kedukan Bukit
berangka tahun 683 M (Palembang), Talang Tuwo berangka tahun 684 M
(Palembang), Kota Kapur berangka tahun 686 M (Bangka Barat), dan Karang
Brahi berangka tahun 688 M (Jambi). Prasasti itu bertuliskan huruf Pra-nagari
berbahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Kuno itu tidak hanya dipakai pada
zaman Sriwijaya karena di Jawa Tengah (Gandasuli) juga ditemukan prasasti
berangka tahun 832 M dan di Bogor ditemukan prasasti berangka tahun 942 M
yang juga menggunakan bahasa Melayu Kuno.
Pada zaman Sriwijaya, bahasa Melayu dipakai sebagai bahasa kebudayaan,
yaitu bahasa buku pelajaran agama Budha. Dipakai juga sebagai bahasa
perhubungan antarsuku di Nusantara dan sebagai bahasa perdagangan, baik
sebagai bahasa antarsuku di Nusantara maupun sebagai bahasa yang digunakan
terhadap para pedagang yang datang dari luar Nusantara.
Informasi dari seorang ahli sejarah Cina, I-Tsing, yang belajar agama Budha
di Sriwijaya, antara lain, menyatakan bahwa di Sriwijaya ada bahasa yang
bernama Koen-louen (I-Tsing:63,159), Kou-luen (I-Tsing:183), Kouen-louen
(Ferrand, 1919), Kwenlun (Alisjahbana, 1971:1089). Kunlun (Parnikel,
1977:91), Kun-lun (Prentice, 1078:19), yang berdampingan dengan Sanskerta.

Yang dimaksud Koen-luen adalah bahasa perhubungan (lingua franca) di


Kepulauan Nusantara, yaitu bahasa Melayu.
Perkembangan dan pertumbuhan bahasa Melayu tampak makin jelas dari
peninggalan kerajaan Islam, baik yang berupa batu bertulis, seperti tulisan pada
batu nisan di Minye Tujoh, Aceh, berangka tahun 1380 M, maupun hasil susastra
(abad ke-16 dan ke-17), seperti Syair Hamzah Fansuri, Hikayat Raja-Raja Pasai,
Sejarah Melayu, Tajussalatin, dan Bustanussalatin.

Prasasti Telaga Batu, salah satu catatan bahasa Melayu terawal.

Sejarah penggunaan yang panjang mengakibatkan perbedaan versi bahasa


yang digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam
tiga tahap utama, yaitu
Bahasa Melayu Kuno (abad ke-7 hingga abad ke-13)
Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu
tersebut saling bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai
tempat memunculkan berbagai dialek bahasa Melayu
2.2 Peresmian Nama Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia dengan perlahan lahan, tetapi pasti, berkembang dan
tumbuh terus. Hingga demikian pesatnya kini telah menjadi bahasa modern, yang
kaya akan kosakata dan mantap dalam struktur.

Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para
pemuda dari berbagai pelosok nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan
berikrar yang berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut :
Pertama

: Kami putra dan putri Indonesia mengaku bertumpah darah


yang satu, tanah Indonesia

Kedua

: Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang


satu, bangsa Indonesia

Ketiga

: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa


persatuan, bahasa Indonesia
Unsur yang ketiga, dari Sumpah Pemuda merupakan pernyataan tekad

bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa. Pada tahun 1928
itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa
Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
2.3 Mengapa Bahasa Melayu diangkat Menjadi Bahasa Indonesia?
Ada empat faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat menjadi
Bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1.) Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di indonesia, bahasa

perhubungan, bahasa perdagangan.


2.) Sistem bahsa melayu sederhana, mudah dipelajari karena dalam dalam

bahsa ini tidak dikenal tingkatan bahasa seperti dalam bahsa ini tidak
dikenal tingkatan bahsa seperti dalam bahsa jawa (ngoko,kromo) atau
perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar,
lemes).
3.) Suku jawa, suku sunda, dan suku-suku yang lain dengan suka rela menerima

bahsa melayu sebagai bahasa Nasioanal

4.) Bahasa Melayu mempunyai kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa

kebudayaan dalam arti yang luas


2.4 Peristiwa peristiwa penting yang berkaitan dengan Perkembangan
Bahasa Melayu / Indonesia
Banyak peristiwa yang berpengaruh besar sebagai arti penting dalam sejarah
perkembangan bahasa Melayu/ Indonesia sebagai berikut :
1.) Tahun 1901 disusun ejaan resmi bahasa Melayu oleh Ch.A.van Ophuijsen
dan dimuat dalam Kitab logat Melayu
2.) Tahun 1908 Pemerintah mendirikan sebuah badan penerbit buku buku
bacaan yang diberi nama Commissie voor de Volkslectuur (Taman Bacaaan
Rakyat), kemudian pada tahun 1917 diubah menjadi Balai Pustaka yang
menerbitkan buku buku novel, seperti Sitti Nurbaya dan Salah Asuhan,
buku buku penuntun bercocok tanam, penuntun memelihara kesehatan,
yang tidak sedikit membantu penyebaran bahasa Melayu di kalangan
masyarakat luas. Kehadiran dua novel di masa kini di toko buku menjadi
bukti bahwa bahasa Indonesia sudah ada dan sudah dipakai sebelum tahun
1928.
3.) 28 Oktober 1928 merupakan saat saat yang paling menentukan dalam
perkembangan bahasa Indonesia karena pada waktu itulah para pemuda
pilihan memancangkan tonggak yang kukuh untuk perjalanan bahasa
Indonesia.
4.) Tahun 1933 secara resmi berdiri sebuah angkatan sastrawan muda yang
menamakan dirinya Pujangga Baru yang dipimpin oleh Sutan Takdir
Alisjahbana dan kawan kawan.
5.) 25 28 Juni 1938 Kongres Bahasa Indonesia I di Solo. Putusannya adalah
bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia telah dilakukan
secara sadar oleh cendekiawan dan budayawan kita saat itu.
6.) 18 Agustus 1945 ditandatanganilah Undang Undang Dasar 1945, yang
salah satu pasalnya (Pasal 36) menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa
Negara.
7.) 19 Maret 1947 diresmikan penggunaan Ejaan Republik (Ejaan Soewandi)
sebagai pengganti ejaaan Van Ophuijsen yang berlaku sebelumnya.

8.) 28 Oktober 2 November 1954 pada Kongres Bahasa Indonesia II di


Medan memutuskan bahwa bangsa Indonesia bertekad untuk terus
menerus menyempurnakan bahasa Indonesia yang diangkat sebagai bahasa
nasional dan ditetapkan sebagai bahasa negara itu.
9.) 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan penggunaan
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan melalui pidato kenegaraan di
depan sidang DPR yang dikuatkan pula dengan keputusan Presiden No. 57,
tahun 1972.
10.) 31 Agustus 1972 Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menetapkan
Pedoman Umum Ejaan yang Disempurnakan dan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah resmi berlaku di seluruh Indonesia.
11.) 28 Oktober 2 November 1978 pada Kongres Bahasa Indonesia III di
Jakarta merupakan peristiwa peringatan hari sumpah pemuda yang kelima
puluh, selain memperlihatkan kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan
Bahasa Indonesia sejak tahun 1928, juga memutuskan untuk terus berusaha
memantapkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia.
12.) 21 26 November 1983 pada Kongres Bahasa Indonesia IV di Jakarta
diselenggarakan dalam rangka peringatan hari sumpah pemuda yang ke-55.
Dalam putusannya disebutkan bahwa pembinaan dan pengembangan bahasa
Indonesia harus lebih ditingkatkan sehingga amanat yang tercantum dalam
Garis garis Besar Haluan Negara, yang mewajibkan kepada semua warga
negara Indonesia untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan
benar, dapat tercapai semaksimal mungkin.
13.) 28 Oktober 3 November 1988 pada Kongres Bahasa Indonesia V di
Jakarta yang dihadiri oleh kira kira tujuh ratus pakar bahasa Indonesia dari
seluruh Nusantara dan peserta tamu dari negara sahabat seperti, Malaysia,
Singapura, Brunei Darussalam, Belanda, Jerman dan Australia. Acara ini
ditandai dengan dipersembahkannya karya besar Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa Kepada Pecinta Bahasa di Nusantara, yakni berupa
(1) Kamus Besar Bahasa Indonesia, dan (2) Tata Bahasa Baku Bahasa
Indonesia.
14.) 28 Oktober 2 November 1993 pada Kongres Bahasa Indonesia VI di
Jakarta dengan peserta 770 pakar bahasa dari Indonesia dan 53 peserta tamu

dari Mancanegara (Australia, Brunei Darussalam, Jerman, Hongkong, India,


Italia, Jepang, Rusia, Singapura, Korea Selatan dan Amerika Serikat).
Konres ini mengusulkan agar pusat pembinaan dan pengembangan bahasa
ditingkatkan

statusnya

menjadi

Lembaga

Bahasa

Indonesia,

serta

mengusulkan disusunya Undang Undang Bahasa Indonesia.


15.) 26 30 Oktober 1988 pada Kongres Bahasa Indonesia VII di Hotel
Indonesia Jakarta mengusulkan dibentuknya Badan Pertimbangan Bahasa
dengan ketentuan sebagai berikut
a.) Keanggotaanya terdiri atas tokoh masyarakat dan pakar yang
mempunyai kepedulian terhadap bahasa dan sastra.
b.) Tugasnya ialah memberikan nasihat kepada pusat pembinaan dan
Pengembangan Bahasa serta mengupayakan peningkatan status
kelembagaan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
16.) 14 17 Oktober 2003 diselenggarakannya Kongres Bahasa Indonesia VIII
di Jakarta.
2.5 Sejarah Perkembangan Bahasa Melayu ke Bahasa Indonesia
Bahasa-bahasa yang tersebar di dunia ini tidak hanya tumbuh dalam historis
tertentu, tetapi juga berkembang berdasarkan interaksi dengan lingkungan sosial
tertentu yang bersinggungan antar ruang dan waktu. Ini yang menyebabkan
terjadinya saling mempengaruhi dalam penggunaan bahasa. Perkembangan
historis itu dapat dilihat dari asal usul bahasa yang merupakan alat komunikasi
antar orang yang berkembang dari bahasa isyarat ke kata-kata yang semakin
komunikatif.
Perkembangan itu juga berlangsung dalam satu ruang sosial. Perubahanperubahan ruang yang terjadi telah menyebabkan satu bahasa bertemu dengan
bahasa lain. Daerah perbatasan, misalnya mempertemukan suatu tempat dengan
tempat lain, saling pengaruh antar bahasa terjadi dengan intensitas yang melebihi
daerah-daerah lain. Pertemuan itu menyebabkan saling pengaruh dan memperkaya
khasanah bahasa masing-masing, sehingga dapat memperkaya perbendaharaan
kata baru.
Perkembangan bahasa dalam konteks tersebut di atas memiliki tiga bentuk:
7

pertama perkembangan bahasa yang dipengaruhi oleh interaksi antar

daerah.
kedua perkembangan yang bahasa disebabkan oleh interaksi antara satu

bahasa daerah dengan bahasa daerah yang lain


perkembangan bahasa yang diakibatkan oleh pertemuan bahasa ini dalam
konteks yang lebih luas
Menurut ahli etnologi dan fisiologi, bahasa Melayu termasuk bahasa

Austronesia, berasal dari Kepulauan Riau (Sumatera) telah mengalami proses


perkembangan. Mula-mula bahasa ini hanya dipercakapkan terbatas oleh
penuturnya di Riau dan sekitarnya karena kepulauan ini terletak di jalur
perdagangan yang sangat ramai di selat Malaka dan penduduknya sebagian besar
bermata pencaharian sebagai nelayan atau pedagang antar pelabuhan serta
bahasanya mudah dipahami atau komunikatif; maka penutur bahasa Melayu
sering berinteraksi dengan penutur bahasa yang lain (seperti bahasa Hindi,
Malagasi, Tagalok, Jawa, dan lain-lainnya) sehingga menjadi dikenal dan
berkembang di Malaka dan daerah-daerah sekitarnya (Vlekke, 2008: 11).
Akhirnya bahasa ini tidak hanya digunakan oleh para pedagang di sekitar perairan
Malaka, tetapi juga di seluruh Nusantara. Pada Zaman Kerajaan Majapahit, atau
diperkirakan sebelum abad XV, bahasa Melayu itu telah menjadi lingua franca
bahasa dagang - bagi para saudagar di pelabuhan-pelabuhan di Asia, Asia
Tenggara, dan Asia Timur (Ricklefs, 1991: 77; Linschoten, 1910: Bab IV)
Selepas masa Sriwijaya, catatan tertulis tentang dan dalam bahasa Melayu
baru muncul semenjak masa Kesultanan Malaka (abad ke-15). Laporan Portugis
dari abad ke-16 menyebut-nyebut mengenai perlunya penguasaan bahasa Melayu
untuk bertransaksi perdagangan. Seiring dengan runtuhnya kekuasaan Portugis di
Malaka, dan bermunculannya berbagai kesultanan di pesisir Semenanjung
Malaya, Sumatera, Kalimantan, serta selatan Filipina, dokumen-dokumen tertulis
di kertas dalam bahasa Melayu mulai ditemukan. Surat-menyurat antarpemimpin
kerajaan pada abad ke-16 juga diketahui telah menggunakan bahasa Melayu.
Karena bukan penutur asli bahasa Melayu, mereka menggunakan bahasa Melayu
yang "disederhanakan" dan mengalami percampuran dengan bahasa setempat,

yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada
masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau
juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima
oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa
Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta,
bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam
perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Bahasa Melayu ini tidak hanya sekedar sebagai alat komunikasi di bidang
ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang sosial (alat komunikasi massa),
politik (perjanjian antar kerajaan), dan sastra-budaya (penyebaran agama Islam
dan Kristen) (Suryomihardjo, 1979, hal. 63). Di Indonesia banyak karya sastra
berbahasa Melayu, di antaranya seperti Hikayat Raja Pasai,Sejarah Melayu,
Hikayat Hasanudin, dan lain-lain.
Sejak itu penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu menyebar ke seluruh
pelosok kepuluan Indonesia (tidak hanya di daerah pantai atau pelabuhan tetapi
juga di pedalaman) dan memberikan wilayah yang heterogen itu suatu kesan
kebersatuan kepada pihak luar. Tetapi ada juga kesatuan yang lebih mendalam
yang mengikat bersama sebagian besar suku bangsa dan orang Indonesia.
Kesatuan ini muncul dari unsur-unsur dasar yang umum dari peradaban mereka.
Kemudian muncullah sebuah pertanyaan, bagaimana bahasa Melayu
tersebut dapat diadopsi menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, di negara
RI? Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sejak lama telah menjadi pembicaraan luas. Seperti
telah diceriterakan di atas bahwa bahasa Melayu yang aslinya merupakan salah
satu bahasa daerah dari kurang lebih 512 bahasa daerah di wilayah Indonesia

(Irwan Abdullah, 2008), telah lama memiliki peranan penting di bidang ekonomi,
sosial, politik, dan sastra-budaya.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji,
sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus
ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama pada pertengahan abad
ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya
Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena
menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi
pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan
penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran
bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat
populer bahasa ini.
Kemudian berkembang suatu situasi yang mendorong munculnya suatu
pemikiran akan perbaikan nasib terhadap rakyat pribumi dari pemerintaah
kolonial Belanda melalui kebijakan Politik Etis (Kahin, 1952), yang meliputi:
program edukasi, transmigrasi, dan irigasi. Melalui program edukasi itulah,
sekolah-sekolah bumi putra bermunculan dengan pengantar bahasa daerah, di
mana sekolahan itu berada. Pada perkembangan berikutnya, pemerintah menuntut
agar setiap sekolah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.
Tetapi sejak awal abad xx kepentingan daerah jajahan memerlukan tenaga-tenaga
rendahan yang mengerti bahasa Belanda, kemudian muncul sekolah-sekolah
dengan pengantar bahasa Belanda. Di kota-kota, sekolah lebih banyak
mengajarkan bahasa Belanda.
Dengan sistem pendidikan itu, kemudian munculah kelompok elit baru
yang amat peka terhadap perubahan jaman (Pringgodigdo, 1970; Savitri, 1985).
Tanda-tanda kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya
organisasi

yang

bercorak

politik

yang

mencita-citakan

kemajuan

dan

kemerdekaan bangsa, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
Sangat menarik untuk dicatat ialah mengenai bahasa yang dipakai di dalam
konggres-konggres oleh orgranisasi pergerakan Indonesia pada waktu itu adalah

10

kebanyakan bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda. Salah seorang pelajar yang
tergabung dalam Indonesische Verbond van studeerenden di Wageningen,
Belanda, pada tahun 1918 telah mengusulkan agar bahasa Melayu dipakai sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (A. Suryomihardjo, 1979).
Di Indonesia sendiri perkembangan pers berbahasa Melayu dinilai sangat
penting peranannya, karena dapat langsung mencapai penduduk bumi putera. Pada
mulanya pers Melayu adalah milik orang Belanda maupun Cina, tetapi tidak
jarang dewan redaksinya campuran. Umumnya guru bahasa Melayu yang duduk
di dalam dewan redaksi. Kemudian bermunculan mingguan dan surat kabar
berbahasa Melayu, Jawa, dan Belanda, seperti Medan Priyai (1907-1912),
Sarotama (1914), Indonesia Merdeka (1923), Bataviaasch Genootschap, dan lainlain (A. Surjamihardjo, 1979).
Dengan munculnya majalah dan surat kabar - surat kabar berbahasa daerah
itu, pemerintah kolonial Belanda merasa kawatir. Banyak kasus persdelict di
Indonesia pada waktu itu, yaitu larangan terbit bagi brosur dan pers yang
berbahasa daerah. Suatu contoh terbitnya artikel yang berjudul Als ik eens
Nederlander was, dan dalam bahasa Melayu, Jikalau saya sorang Belanda, pada
tahun1913 dilarang untuk diterbitkan. Artikel ini menceriterakan pengecaman
terhadap perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda yang akan di
selenggarakan di Indonesia.
Melalui perkembangan pendidikan dan pengajaran yang semakin maju di
Indonesia, bahasa Melayu menjadi semakin populer dan bersifat egaliter, sehingga
sidang-sidang atau kongres-kongres dari organisasi pergerakan nasional Indonesia
menggunakan

Bahasa

Melayu.

Ini

ternyata

menjadikan

bekal

untuk

mempersatukan seluruh bangsa Indonesia dalam berjuang melawan pemerintah


Kolonial Belanda.
Oleh karena itu, para pemuda Indonesia dalam konggresnya yang ke 2
bersatu pada tanggal 28 Oktober 1928 bertekat bulat untuk menggalang persatuan
dan kesatuan dengan Sumpah Pemuda Indonesia Raya. Konggres itu
menghasilkan keputusan: Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia. Sejak itulah bahasa Melayu disepakati untuk

11

diangkat sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional yaitu Bahasa Indonesia


(Pringgodigdo, 1970)
Pada bulan Agustus 2002, bahasa Melayu, dianggap banyak penuturnya di
dunia dengan jumlah 250 juta orang, sedang penutur bahasa Hindi, yang menjadi
bahasa ibu maupun bahas kedua (ketiga) di India dan di negara lain seperti di
Mauritius, Afika selatan, Yaman, dan lain-lain pada tahun 1988 berjumlah 300435 juta orang.
Kebangkitan nasional telah mendorong perkembangan bahasa Indonesia
dengan pesat. Peranan kegiatan politik, perdagangan, persurat kabaran, dan
majalah

sangat

besar

Proklamasi kemerdekaan

dalam
Republik

memodernkan

bahasa

Indonesia, 17 Agustus

Indonesia.
1945, telah

mengukuhkan kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia secara konstitusional


sebagai bahasa negara. Kini bahasa Indonesia dipakai oleh berbagai lapisan
masyarakat Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan bukubuku pelajaran dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan
membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari induknya,
bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa Indonesia masa kini
menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka atau "bahasa Melayu van
Ophuijsen". Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan
bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan diHindia Belanda. Ia juga
menjadi penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20
tahun berikutnya, "bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di
kalangan orang-orang pribumi dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan
Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928)
dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia". Sejak
saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu
lain, termasuk bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa
Melayu Pasar, yang telah populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai
karya fiksi di dekade-dekade akhir abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu

12

selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang "kurang mulia" dan


penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Pemeliharaan bahasa Melayu baku (bahasa Melayu Riau) terjaga akibat
meluasnya penggunaan bahasa ini dalam kehidupan sehari-hari. Sikap orang
Belanda yang pada waktu itu tidak suka apabila orang pribumi menggunakan
bahasa Belanda juga menyebabkan bahasa Melayu menjadi semakin populer.
Pada awal tahun 2004, Dewan Bahasa dan Pustaka (Malaysia) dan Majelis
Bahasa Brunei Darussalam - Indonesia - Malaysia (MABBIM) berencana
menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa resmi dalam organisasi ASEAN,
dengan memandang lebih separuh jumlah penduduk ASEAN mampu bertutur
dalam bahasa Melayu. Rencana ini belum pernah terealisasikan, tetapi ASEAN
sekarang selalu membuat dokumen asli dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan
ke dalam bahasa resmi masing-masing negara anggotanya.

BAB III
PENUTUP
3.1

Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan

sebagai berikut :
a. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara
lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
b. Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Sumpah
Pemuda.
c. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar
1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa
Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).

13

d. Bahasa Melayu termasuk dalam bahasa-bahasa Melayu Polinesia di


bawah rumpun bahasa Austronesia berasal dari Kepulauan Riau
(Sumatera) telah mengalami proses perkembangan.
e. Sudah dikenal sejak Zaman Kerajaan Majapahit, atau diperkirakan
sebelum abad XV, bahasa Melayu itu telah menjadi lingua franca
bahasa dagang bagi para saudagar di pelabuhan-pelabuhan di Asia, Asia
Tenggara, dan Asia Timur.
f. pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran
dan sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan
membentuk suatu varian bahasa tersendiri yang mulai berbeda dari
induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah bahasa
Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka atau
"bahasa Melayu van Ophuijsen".

3.2

Saran
a. Memahami sumber bahasa Indonesia dibutuhkan sedini mungkin,
sehingga tidak terjadi kesimpang siuran informasi.
b.

Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti


tercantum dalam sumpah pemuda sehingga tidak dapat dipandang
sebelah mata.

c.

Perencanaan terhadap bahasa melayu untuk dijadikan bahasa resmi di


tingkat ASEAN

tidak

sekedar

materi

bahasan,

tetapi

segera

direalisasikan.

14

Anda mungkin juga menyukai