PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan di negeri ini. Keingintahuan terhadap perkembangan Bahasa Indonesia di berbagai kalangan mulai
gencar dan menjadi pertanyaan. Sehingga jika membicarakan asal usul bahasa
Indonesia maka tidak lepas dari bahasa melayu sebagai sumber (akar) bahasa yang
kita pergunakan sampai sekarang. Perlunya pengetahuan bagi masyarakat
umumnya
dan
mahasiswa
khususnya
tentang
sejarah
dan
proses
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka yang menjadi rumusan masalah
bahasa
Melayu
diangkat
menjadi
Bahasa
Indonesia?
2.) Bagaimana sejarah perkembangan bahasa Melayu menjadi
Bahasa Indonesia?
1.3
Tujuan Penulisan
Sesuai rumusan masalah tersebut, maka tujuan yang ingin dicapai dalam
karya tulis ini untuk mengetahui proses perkembangan sejarah bahasa Melayu
menjadi Bahasa Indonesia.
1.4
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan ini diharapkan dapat menjadi media informasi
Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928. pada saat itu, para
pemuda dari berbagai pelosok nusantara berkumpul dalam kerapatan Pemuda dan
berikrar yang berisi tiga butir kebulatan tekad sebagai berikut :
Pertama
Kedua
Ketiga
bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan bangsa. Pada tahun 1928
itulah bahasa Indonesia dikukuhkan kedudukannya sebagai bahasa nasional.
Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar 1945
disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam
Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa Bahasa negara ialah bahasa
Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
2.3 Mengapa Bahasa Melayu diangkat Menjadi Bahasa Indonesia?
Ada empat faktor yang menjadi penyebab bahasa Melayu diangkat menjadi
Bahasa Indonesia, yaitu sebagai berikut :
1.) Bahasa melayu sudah merupakan lingua franca di indonesia, bahasa
bahsa ini tidak dikenal tingkatan bahasa seperti dalam bahsa ini tidak
dikenal tingkatan bahsa seperti dalam bahsa jawa (ngoko,kromo) atau
perbedaan bahasa kasar dan halus, seperti dalam bahasa Sunda (kasar,
lemes).
3.) Suku jawa, suku sunda, dan suku-suku yang lain dengan suka rela menerima
statusnya
menjadi
Lembaga
Bahasa
Indonesia,
serta
daerah.
kedua perkembangan yang bahasa disebabkan oleh interaksi antara satu
yang lebih populer sebagai bahasa Melayu Pasar (Bazaar Malay). Tulisan pada
masa ini telah menggunakan huruf Arab (kelak dikenal sebagai huruf Jawi) atau
juga menggunakan huruf setempat, seperti hanacaraka.
Bahasa Melayu menyebar ke pelosok Nusantara bersamaan dengan
menyebarnya agama Islam di wilayah Nusantara. Bahasa Melayu mudah diterima
oleh masyarakat Nusantara sebagai bahasa perhubungan antarpulau, antarsuku,
antarpedagang, antarbangsa, dan antarkerajaan karena bahasa Melayu tidak
mengenal tingkat tutur. Bahasa Melayu yang dipakai di daerah di wilayah
Nusantara dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh corak budaya daerah. Bahasa
Melayu menyerap kosakata dari berbagai bahasa, terutama dari bahasa Sanskerta,
bahasa Persia, bahasa Arab, dan bahasa-bahasa Eropa. Bahasa Melayu pun dalam
perkembangannya muncul dalam berbagai variasi dan dialek.
Bahasa Melayu ini tidak hanya sekedar sebagai alat komunikasi di bidang
ekonomi (perdagangan), tetapi juga di bidang sosial (alat komunikasi massa),
politik (perjanjian antar kerajaan), dan sastra-budaya (penyebaran agama Islam
dan Kristen) (Suryomihardjo, 1979, hal. 63). Di Indonesia banyak karya sastra
berbahasa Melayu, di antaranya seperti Hikayat Raja Pasai,Sejarah Melayu,
Hikayat Hasanudin, dan lain-lain.
Sejak itu penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu menyebar ke seluruh
pelosok kepuluan Indonesia (tidak hanya di daerah pantai atau pelabuhan tetapi
juga di pedalaman) dan memberikan wilayah yang heterogen itu suatu kesan
kebersatuan kepada pihak luar. Tetapi ada juga kesatuan yang lebih mendalam
yang mengikat bersama sebagian besar suku bangsa dan orang Indonesia.
Kesatuan ini muncul dari unsur-unsur dasar yang umum dari peradaban mereka.
Kemudian muncullah sebuah pertanyaan, bagaimana bahasa Melayu
tersebut dapat diadopsi menjadi bahasa nasional, yaitu bahasa Indonesia, di negara
RI? Perkembangan bahasa Melayu menjadi bahasa nasional di Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) sejak lama telah menjadi pembicaraan luas. Seperti
telah diceriterakan di atas bahwa bahasa Melayu yang aslinya merupakan salah
satu bahasa daerah dari kurang lebih 512 bahasa daerah di wilayah Indonesia
(Irwan Abdullah, 2008), telah lama memiliki peranan penting di bidang ekonomi,
sosial, politik, dan sastra-budaya.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji,
sastrawan istana dari Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus
ekabahasa bahasa Melayu (Kitab Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat
Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang pertama pada pertengahan abad
ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-sarjana Eropa (khususnya
Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara sistematis karena
menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini terjadi
pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan
penggunaan alfabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran
bahasa Melayu di sekolah-sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat
populer bahasa ini.
Kemudian berkembang suatu situasi yang mendorong munculnya suatu
pemikiran akan perbaikan nasib terhadap rakyat pribumi dari pemerintaah
kolonial Belanda melalui kebijakan Politik Etis (Kahin, 1952), yang meliputi:
program edukasi, transmigrasi, dan irigasi. Melalui program edukasi itulah,
sekolah-sekolah bumi putra bermunculan dengan pengantar bahasa daerah, di
mana sekolahan itu berada. Pada perkembangan berikutnya, pemerintah menuntut
agar setiap sekolah menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantarnya.
Tetapi sejak awal abad xx kepentingan daerah jajahan memerlukan tenaga-tenaga
rendahan yang mengerti bahasa Belanda, kemudian muncul sekolah-sekolah
dengan pengantar bahasa Belanda. Di kota-kota, sekolah lebih banyak
mengajarkan bahasa Belanda.
Dengan sistem pendidikan itu, kemudian munculah kelompok elit baru
yang amat peka terhadap perubahan jaman (Pringgodigdo, 1970; Savitri, 1985).
Tanda-tanda kepekaan terhadap perubahan itu dapat dilihat dengan lahirnya
organisasi
yang
bercorak
politik
yang
mencita-citakan
kemajuan
dan
kemerdekaan bangsa, seperti Budi Utomo, Sarekat Islam, dan Indische Partij.
Sangat menarik untuk dicatat ialah mengenai bahasa yang dipakai di dalam
konggres-konggres oleh orgranisasi pergerakan Indonesia pada waktu itu adalah
10
kebanyakan bahasa Melayu, Jawa, dan Belanda. Salah seorang pelajar yang
tergabung dalam Indonesische Verbond van studeerenden di Wageningen,
Belanda, pada tahun 1918 telah mengusulkan agar bahasa Melayu dipakai sebagai
bahasa pengantar di sekolah-sekolah di Indonesia (A. Suryomihardjo, 1979).
Di Indonesia sendiri perkembangan pers berbahasa Melayu dinilai sangat
penting peranannya, karena dapat langsung mencapai penduduk bumi putera. Pada
mulanya pers Melayu adalah milik orang Belanda maupun Cina, tetapi tidak
jarang dewan redaksinya campuran. Umumnya guru bahasa Melayu yang duduk
di dalam dewan redaksi. Kemudian bermunculan mingguan dan surat kabar
berbahasa Melayu, Jawa, dan Belanda, seperti Medan Priyai (1907-1912),
Sarotama (1914), Indonesia Merdeka (1923), Bataviaasch Genootschap, dan lainlain (A. Surjamihardjo, 1979).
Dengan munculnya majalah dan surat kabar - surat kabar berbahasa daerah
itu, pemerintah kolonial Belanda merasa kawatir. Banyak kasus persdelict di
Indonesia pada waktu itu, yaitu larangan terbit bagi brosur dan pers yang
berbahasa daerah. Suatu contoh terbitnya artikel yang berjudul Als ik eens
Nederlander was, dan dalam bahasa Melayu, Jikalau saya sorang Belanda, pada
tahun1913 dilarang untuk diterbitkan. Artikel ini menceriterakan pengecaman
terhadap perayaan seratus tahun kemerdekaan Belanda yang akan di
selenggarakan di Indonesia.
Melalui perkembangan pendidikan dan pengajaran yang semakin maju di
Indonesia, bahasa Melayu menjadi semakin populer dan bersifat egaliter, sehingga
sidang-sidang atau kongres-kongres dari organisasi pergerakan nasional Indonesia
menggunakan
Bahasa
Melayu.
Ini
ternyata
menjadikan
bekal
untuk
11
sangat
besar
Proklamasi kemerdekaan
dalam
Republik
memodernkan
bahasa
Indonesia, 17 Agustus
Indonesia.
1945, telah
12
BAB III
PENUTUP
3.1
Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab-bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
a. Keputusan Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, antara
lain, menyatakan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
b. Bahasa Indonesia lahir pada tanggal 28 Oktober 1928 dalam Sumpah
Pemuda.
c. Bahasa Indonesia dinyatakan kedudukannya sebagai bahasa negara pada
tanggal 18 Agustus 1945 karena pada saat itu Undang-Undang Dasar
1945 disahkan sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 disebutkan bahwa
Bahasa negara ialah bahasa Indonesia (Bab XV, Pasal 36).
13
3.2
Saran
a. Memahami sumber bahasa Indonesia dibutuhkan sedini mungkin,
sehingga tidak terjadi kesimpang siuran informasi.
b.
c.
tidak
sekedar
materi
bahasan,
tetapi
segera
direalisasikan.
14