Anda di halaman 1dari 7

1.

Meganthropus

Meganthropus berasal dari kata-kata; Megan artinya besar, Anthropus artinya


manusia, Paleo berarti tua, Javanicus artinya dari Jawa. Jadi bisa disimpulkan bahwa
Meganthropus paleojavanicus adalah manusia purba bertubuh besar tertua di Jawa. Fosil
manusia purba ini ditemukan di daerah Sangiran, Jawa tengah antara tahun 1936-1941 oleh
seorang peneliti Belanda bernama Von Koeningswald. Fosil tersebut tidak ditemukan dalam
keadaan lengkap, melainkan hanya berupa beberapa bagian tengkorak, rahang bawah, serta
gigi-gigi yang telah lepas. Fosil yang ditemukan di Sangiran ini diperkirakan telah berumur
1-2 Juta tahun.
Ciri-Ciri Meganthropus paleojavanicus :

Mempunyai tonjolan tajam di belakang kepala.

Bertulang pipi tebal dengan tonjolan kening yang mencolok.

Tidak mempunyai dagu, sehingga lebih menyerupai kera.

Mempunyai otot kunyah, gigi, dan rahang yang besar dan kuat.

Makanannya berupa daging dan tumbuh-tumbuhan.

2. Pithecanthropus

Fosil manusia purba jenis Pithecanthrophus adalah jenis fosil manusia purba yang
paling banyak ditemukan di Indonesia. Pithecanthropus sendiri berarti manusia kera yang
berjalan tegak. Fosil Pithecanthropus berasal dari Pleistosen lapisan bawah dan tengah.
Mereka hidup dengan cara berburu dan mengumpulkan makanan Mereka sudah memakan
segala, tetapi makanannya belum dimasak. Terdapat tiga jenis manusia Pithecanthropus yang
ditemukan

di

Indonesia,

yaituPithecanthrophus

erectus,

Pithecanthropus

mojokertensis, dan Pithecanthropus soloensis. Berdasarkan pengukuran umur lapisan tanah,


fosil Pithecanthropus yang ditemukan di Indonesia mempunyai umur yang bervariasi, yaitu
antara 30.000 sampai 1 juta tahun yang lalu.

3. Pithecanthropus erectus

ditemukan oleh Eugene Dubois pada tahun 1891 di sekitar lembah sungai Bengawan Solo,
Trinil, Jawa Tengah. Mereka hidup sekitar satu juta sampai satu setengah juta tahun yang
lalu. Pithecanthropus Erectus berjalan tegak dengan badan yang tegap dan alat pengunyah
yang kuat. Volume otak Pithecanthropus mencapai 900 cc. Volume otak manusia modern
lebih dari 1000 cc, sedangkan volume otak kera hanya 600 cc. (Pithecanthropus erectus)
Pithecanthropus mojokertensis, disebut juga dengan Pithecanthropus robustus. Fosil
manusia purba ini ditemukan oleh Von Koeningswald pada tahun 1936 di Mojokerto, Jawa
Timur. Temuan tersebut berupa fosil anak-anak berusia sekitar 5 tahun. Makhluk ini
diperkirakan hidup sekitar 2,5 sampai 2,25 juta tahun yang lalu. Pithecanthropus
Mojokertensis berbadan tegap, mukanya menonjol ke depan dengan kening yang tebal dan
tulang pipi yang kuat.
Pithecanthropus soloensis, ditemukan di dua tempat terpisah oleh Von Koeningswald dan
Oppernoorth di Ngandong dan Sangiran antara tahun 1931-1933. Fosil yang ditemukan
berupa tengkorak dan juga tulang kering.
Ciri-ciri Pithecanthropus :

Memiliki tinggi tubuh antara 165-180 cm.

Badan tegap, namun tidak setegap Meganthrophus.

Volume otak berkisar antara 750 1350 cc.

Tonjolan kening tebal dan melintang sepanjang pelipis.

Hidung lebar dan tidak berdagu.

Mempunyai rahang yang kuat dan geraham yang besar.

Makanan berupa tumbuhan dan daging hewan buruan.

4. Homo Sapiens ( Manusia purba yang Cerdas )

Homo Sapiens
Homo Sapiens adalah jenis manusia purba yang memiliki bentuk tubuh yang sama dengan
manusia sekarang. Mereka telah memiliki sifat seperti manusia sekarang. Kehidupan mereka
sangat sederhana, dan hidupnya mengembara.Jenis fosil Homo Sapiens yang ditemukan di
Indonesia terdiri dari:
Fosil manusia yang ditemukan di daerah Ngandong Blora di Sangiran dan Sambung Macan,
Sragen, lembah Sungai Bengawan Solo tahun 1931 - 1934. Fosil ini setelah diteliti oleh Von
Koenigswald dan Weidenreich diberi nama Homo Sapien Soloensis dan Homo Sapiens
Wajakensis.
Tempat penemuan kedua fosil manusia di atas adalah lapisan Ngandong atau Pleistocen Atas
dan hidupnya diperkirakan 100.000 - 50.000 tahun yang lalu. Untuk memudahkan Anda
memahami lokasi penemuan jenis manusia purba di Indonesia, maka perhatikanlah gambar
peta berikut ini.

5. Homo Wajakensis

Homo Wajakensis merupakan jeni-jenis manusia purba jenis homo dengan ciri-ciri homo
wajakensis agar kita lebih mudah membedakan manusia purba jenis homo. Pada tahun 1889,
von Reitschoten menemukan fosil manusia purba jenis Homo di daerah Wajak dekat Campur
Darat, Tulungagung (Jawa Timur). Temuan ini diselidiki pertama kali oleh Eugene Dubois
yang berupa ruas leher dan tengkorak yang mempunyai isi kurang lebih 1.630 cc.
Selain itu, Eugene Dubois pada tahun 1890 menemukan fosil di daerah Wajak yang terdiri
atas fragmen tengkorak, rahang atas dan bawah, tulang kering, serta tulang paha. Penemuan
fosil manusia purba di daerah Wajak ini dinamakan Homo Wajakensis atau Manusia dari
Wajak. Homo Wajakensis ini mempunyai tingkatan lebih tinggi daripada Pithecanthropus
Erectusdan tergolong dalam jenis Homo Sapiens
Ciri-Ciri Manusia jenis Homo dari Wajak termasuk ras yang masih sulit ditentukan karena ia
memiliki ciri-ciri ras Mongoloid dan juga Austromelanesoid atau mungkin berasal dari subras
Melayu Indonesia dan turut berevolusi menjadi ras Austromelanesoid sekarang. Ras Wajak
ini mungkin meliputih juga manusia yang hidup sekitar 25.000-40.000 tahun yang lalu di
Asia Tenggara, seperti manusia Niah di Serawak (Malaysia) dan manusia Tabon di Pulau
Palawan (Filipina). Di Cina Selatan juga pernah ditemukan fragmen rahang atas yang
menyerupai manusia Wajak. Temuan manusia Wajak menunjukkan bahwa sekitar 40.000
tahun yang lalu di Indonesia sudah didiami oleh manusia jenis Homo Sapiens. Dengan
demikian, manusia Wajak dapat dianggap sebagai ras tersendiri, yaitu subras Melayu
Indonesia.

6. Homo Florensiesis, Manusia Purba Kerdil dari Flores

Homo floresiensis (Manusia Flores, dijuluki Hobbit) adalah nama yang diberikan
oleh kelompok peneliti untuk spesies dari genus Homo, yang memiliki tubuh dan
volume otak kecil, berdasarkan serial subfosil (sisa-sisa tubuh yang belum sepenuhnya
membatu) dari sembilan individu yang ditemukan di Liang Bua, Pulau Flores, pada tahun
2001. Kesembilan sisa-sisa tulang itu (diberi kode LB1 sampai LB9) menunjukkan postur
paling
tinggi
sepinggang
manusia
moderen
(sekitar
100
cm).
Para pakar antropologi dari tim gabungan Australia dan Indonesia berargumen menggunakan
berbagai ciri-ciri, baik ukuran tengkorak, ukuran tulang, kondisi kerangka yang tidak
memfosil, serta temuan-temuan sisa tulang hewan dan alat-alat di sekitarnya. Usia seri
kerangka ini diperkirakan berasal dari 94.000 hingga 13.000 tahun yang lalu.
Liang Bua, tempat ditemukannya seri fosil H. floresiensis.
Liang Bua, tempat ditemukannya sisa-sisa kerangka ini, sudah sejak masa penjajahan
menjadi tempat ekskavasi arkeologi dan paleontologi. Hingga 1989, telah ditemukan banyak
kerangkaHomo
sapiens dan
berbagai mamalia (seperti
makhluk
mirip gajah Stegodon, biawak, serta tikusbesar) yang barangkali menjadi bahan makanan
mereka. Di samping itu ditemukan pula alat-alat batu seperti pisau, beliung, mata panah,
arang, serta tulang yang terbakar, yang menunjukkan tingkat peradaban penghuninya.
Kerja sama penggalian Indonesia-Australia dimulai tahun 2001 untuk mencari jejak
peninggalan migrasi nenek moyang orang Aborigin Australia di Indonesia. Tim Indonesia
dipimpin oleh Raden Pandji Soejono dari Puslitbang Arkeologi Nasional (dulu Puslit
Arkenas) dan tim Australia dipimpin oleh Mike Morwood dari Universitas New England.
Pada bulan September 2003, setelah penggalian pada kedalaman lima meter (ekspedisi
sebelumnya tidak pernah mencapai kedalaman itu), ditemukan kerangka mirip manusia tetapi
luar biasa kerdil, yang kemudian disebut H. floresiensis. Tulang-tulang itu tidak membatu
(bukan fosil) tetapi rapuh dan lembab. Terdapat sembilan individu namun tidak ada yang
lengkap. Diperkirakan, Liang Bua dipakai sebagai tempat pekuburan. Untuk pemindahan,
dilakukan pengeringan dan perekatan terlebih dahulu.
Individu terlengkap, LB1, diperkirakan adalah betina, ditemukan pada lapisan berusia sekitar
18.000 tahun, terdiri dari tengkorak, tiga tungkai (tidak ada lengan kiri), serta beberapa tulang
badan. Individu-individu lainnya berusia antara 94.000 dan 13.000 tahun. Walaupun tidak
membatu, tidak dapat diperoleh sisa material genetik, sehingga tidak memungkinkan
analisisDNA untuk dilakukan. Perlu disadari bahwa pendugaan usia ini dilakukan
berdasarkan usia lapisan tanah bukan dari tulangnya sendiri, sehingga dimungkinkan usia
lapisan lebih tua daripada usia kerangka. Pendugaan usia kerangka dengan radiokarbon sulit
dilakukan karena metode konservasi tulang tidak memungkinkan teknik itu untuk dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai