Anda di halaman 1dari 2

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan kota-kota besar seringkali diikuti dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi.
Hal ini disebabkan oleh aktivitas di berbagai sektor dalam perkotaan yang menarik mobilitas
penduduk dari wilayah perkotaan (urban), wilayah pinggiran (suburban) maupun wilayah
penyanggah (rural) dari suatu kota. Pertumbuhan penduduk yang tinggi kemudian diikuti oleh
peningkatan kebutuhan lahan untuk permukiman. Hal ini menghasilkan pertumbuhan kawasan
permukiman di wilayah suburban akibat wilayah pusat kota yang sudah padat. Sehingga
pemanfaatan guna lahan di wilayah suburban sebagian besar berfungsi sebagai permukiman.
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan
perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagagai lingkungan tempat tinggal atau
lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (UU
no.4 tahun 1992, tentang Perumahan dan Permukiman). Fenomena terjadinya monofungsi lahan
yang merembet dikawasan suburban kemudian disebut sebagai Urban Sprawl.
Kota Makassar sebagai salah satu kota yang berkembang pesat di Indonesia juga megalami
fenomena Urban Sprawl. Hal ini ditandai dengan terjadinya beberapa permasalahan diantaranya,
single use zoning, low density zoning yang menghasilkan car-dependent community (Rahmi,
2012). Pusat kota yang padat memaksa perkembangan permukiman ke arah suburban. Salah satu
wilayah yang mengalami hal tersebut adalah Kecamatan Tamalanrea. Berdasarkan RTRW Kota
Makassar 2010-2030, Kecamatan Tamalanrea termasuk dalam kawasan permukiman terpadu,
namun perkembangan permukiman pada kecamatan ini tidak terkendali dan tidak didukung oleh
fasilitas penunjang sehingga terjadi single-use zoning dan low density. Sebagian besar
pengembang telah melakukan pembangunan perumahan permukiman secara horizontal yang
belum dilengkapi sarana prasarana kawasan sehingga terjadi inefisiensi dalam penggunaan lahan.
Menurut Veronica (2010) sarana prasarana (fasilitas sosial dan fasilitas ekonomi) di kawasan
suburban Makassar khususnya pada Kecamatan Biringkanaya dan Kecamatan Tamalanrea,
tersebar pada lokasi-lokasi dengan fungsi lahan tunggal, sehingga cukup sulit untuk melakukan
2-3 aktifitas pada satu area fasilitas. Sehingga masyarakat yang bermukim di Kecamatan
Tamalanrea melakukan perjalanan ke pusat kota untuk melaksanakan aktifitas bekerja, belanja,
dll. Hal ini mendorong terjadinya car-dependent community

atau ketergantungan terhadap

kendaraan pribadi. Kawasan permukiman yang terdapat di wilayah suburban tersebut

menghasilkan bangkitan transportasi yang besar, sehingga terjadi mobilitas tinggi pada jalur-jalur
transportasi dari suburban menuju pusat kota.
Munculnya mobilitas dengan intensitas tinggi dari suburban menuju perkotaan berujung pada
permasalahan kemacetan. Hal ini terjadi akibat tidak adanya dukungan pengambangan sistem
transportasi yang memadai. Salah satu konsep yang berkembang saat ini dalam mengatasi
permasalahan transportasi perkotaan kepadatan tinggi tersebut ialah pengembangan sistem transit
intermoda yang terintegrasi dengan pemanfaatan guna lahan yang dikenal dengan konsep Transit
Oriented Development (TOD). Konsep TOD dinilai cocok dikembangkan dalam mengatasan
permasalahan perkotaan kepadatan tinggi. Konsep TOD yang akrab dengan penggunaan sarana
angkutan umum massal (SAUM) akan meminimalisir bangkitan pergerakan dengan kendaraan
pribadi seperti yang terjadi pada Jalan Perintis Kemerdekaan. Konsep TOD dengan penggunaan
lahan campuran juga mampu mengurangi jarak perjalanan sehingga bangkitan pergerakan
menuju ke pusat kota dapat dikurangi.
B. Rumusan Masalah

Anda mungkin juga menyukai