Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
Korteks visual berhubungan dengan hampir 55% dari keseluruhan area
kortikal otak. Sebagai perbandingan, korteks hanya berhubungan 3% dengan
sistem auditori dan 11% berhubungan dengan sistem somatosensori. 1 Informasi
mengenai dunia luar diteruskan ke susunan saraf pusat dari reseptor sensorik suatu
indra khusus. Salah satu indra khusus di antaranya adalah mata. Mata merupakan
suatu organ fotosensitif yang sangat berkembang dan rumit, yang menganalisa
bentuk, intensitas, dan warna cahata yang dipantulkan objek dan menimbulkan
sensasi penglihatan. Setiap bola mata terdiri atas sebuah bola mata fibrosa yang
kuat untuk mempertahankan bentuknya, suatu sistem jaringan transparan yang
membiaskan cahaya untuk memfokuskan bayangan, selapis sel fotosensitif, dan
suatu sistem neuron yang berfungsi mengumpulkan, memproses, dan meneruskan
informasi visual ke otak.2
Neurofisiologi organ indra khusus mata memperlihatkan prinsip jaras
penglihatan dari kedua retina ke korteks penglihatan. Sinyal saraf penglihatan
meninggalkan retina melalui nervus optikus untuk kemudian melalui kiasma
optikum di mana serabut nervus optikus dari bagian nasal retina menyeberangi
garis tengah, tempat serabut nervus optikus bergabung dengan serabut-serabut
yang berasal dari bagian temporal retina mata yang lain sehingga terbentuklah
traktus optikus. Serabut-serabut dari setiap traktus optikus bersinaps di nukleus
genikulatum lateralis dorsalis pada talamus, dan dari sini, serabut-serabut
genikulokalkalarina berjalan melalui radiasi optikus, menuju korteks penglihatan
primer yang terletak di fisura kalkarina lobus oksipitalis. Suatu jaras penglihatan
ini penting untuk mengetahui letak lesi yang dapat terjadi baik itu pada daerah
prekiasma, kiasma, dan post kiasma.3
Lesi pada jaras penglihatan diklasifikasikan berdasarkan tiga lokasi utama,
di antaranya lesi prekiasma (lesi pada nervus optikus) yang mengakibatkan defek
lapang pandang pada sisi yang sama. Kemudian, lesi kiasma (lesi pada kiasma
optikum), biasanya menyebebkan bilateral hemanopsia temporal namun dapat
juga unilateral atau bilateral defek lapang pandang. Selanjutnya, lesi
retrokiasma/postkiasma (lesi pada jaras penglihatan yang letaknya posterior dari
1

kiasma optikum, dari traktus optikus hingga korteks visual) menyebkan defek
lapangan pandang homonim.4
Etiologi tersering dari lesi pada daerah kiasma optikum di antaranya
adalah adenoma hipofisis, parasella meningioma, craniopharyngioma, dan
parasellar aneurisma arteri karotis interna. Lesi akibat massa pada sistem saraf
pusat dapat pula menyebabkan dilatasi ventrikel ketiga dan penekanan
retrokiasma sekunder.5
Jaras penglihatan kiasma optik dan retrokiasma rentan terhadap berbagai
macam trauma, yang dapat menyebabkan suatu pola hilangnya penglihatan yang
dapat dengan tepat dilokalisasi dengan temuan neuroimaging. Lokalisasi yang
akurat, yang dapat pula didukung dengan gambaran klinis, dengan berbagai
macam diagnosis banding yang sesuai yang tentunya dapat dikonfirmasi dengan
tepat melalui aplikasi diagnostik yang sesuai. Lokalisasi yang akurat, diagnosis,
dan pengawasan klinis yang tepat tentunya terbilang penting dalam tindakan serta
tatalaksana efektif gangguan penglihatan. Pentingnya evaluasi lesi pada jaras
penglihatan baik itu prekiasma, kiasma, serta retrokiasma untuk fungsi indra
penglihatan yang optimal menuntut kita untuk mengetahui lebih lanjut serta
menatalaksana dengan tepat.6

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Prekiasma
Nervus kranialis II yaitu nervus optikus merupakan indera khusus yang
berfungsi sebagai indera penglihatan. Retina merupakan pangkal dari jaras
penglihatan aferen dimana pada bagian pigmen dari epitel retina memiliki
hubungan langsung dengan sel-sel fotoreseptor retina, seperti sel batang dan sel
kerucut. Tidak adanya reseptor retina pada diskus optikus akan menyebabkan
terjadinya skotoma fisiologis (blind spot), dimana skotoma fisiologis (blind spot)
ini terletak sekitar 17o dari fovea dan berukuran berkisar 5o x 7o. Fovea berukuran
sekitar 1,5 mm, atau berdiameter 1 diskus. Fovea terletak sekitar 4 mm atau 2,5
diameter diskus dan 0,8 mm lebih kecil dibandingkan diskus optikus.1
Retina memiliki sebuah sinyal yang dimulai dari sel batang dan sel kerucut
yang pertama kali diproses oleh sel bipolar yang berikatan dengan fotoreseptor sel
ganglion retina. Sel ganglion retina ini memiliki kandungan melanopsin yang
secara intrinsik fotosensitif dan berperan secara primer pada fungsi cahaya
nonvisual seperti refleks cahaya pada pupil.1 Jaras neuronal dari retina dapat
dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Jaras Neuronal Retina.2


(Sumber: Wilkinson, 1992)

Lapisan retina mendapatkan sinyal-sinyal dari sel horizontal, amakrin, dan


sel interplexiform (pleksiform dalam dan pleksiform luar) yang berhubungan satu
sama lain. Sel-sel pendukung glia seperti sel Muller dan astrosit juga akan
mempengaruhi proses visual dan kemungkinan memiliki peran metabolik.1
Setiap daerah dari retina terdapat rasio yang bervariasi antara sel-sel
fotoreseptor dan sel ganglion. Rasio yang tertinggi terdapat pada daerah perifer,
dimana sel-sel fotoreseptor lebih banyak dibandingkan sel ganglion dengan
perbandingan 1000:1, sedangkan rasio terendah berada pada fovea, di mana sel
ganglion hanya menerima sinyal dari satu sel kerucut karena adanya peningkatan
kepadatan sel-sel ganglion didaerah daerah sentral (69% pada bagian sentral 30o),
sel-sel bipolar dengan pola radial (membulat) pada makula. Susunan radial dari
axon dan sel bipolar ini (lapisan Henle) berperan penting dalam akumulasi cairan
dengan pola yang berbentuk menyerupai bintang dan merupakan lokasi dari
diskus optikus dan awal nervus optikus bagian nasal yang akan menuju ke fovea.
Sehingga, walaupun serat-serat sel ganglion datang dari retina bagian nasal dapat
menjalar menuju diskus optikus tanpa adanya halangan, sedangkan serat sel
ganglion dari retina bagian temporal harus menjauhi makula yang secara anatomis
berpisah untuk dapat masuk ke diskus baik itu kutup superior dan kutub inferior.1
Nervus optikus merupakan saraf yang membawa rangsangan dan retina
menuju ke otak. Saraf optikus terdiri dari 1 juta lebih akson-akson yang berasal
dari lapisan sel ganglion retina yang memanjang ke arah korteks oksipital.
Panjang saraf optik berkisar antara 35-55 mm (rata-rata 40 mm) dan secara
anatomis terbagi menjadi segmen intaokular, intraorbital, intrakanalikular dan
intakranial yang berakhir sebagai kiasma optik.3

Gambar 2. Nervus Optik3


(Sumber: Misbach, 1992)

Segmen intraokular saraf optik memiliki panjang 1 mm yang terbagi


menjadi lapisan serabut-serabut saraf superfisial, bagian prelaminar, laminar
(lamina kribosa) dan retrolaminar. Papil saraf optik (diskus optik) merupakan
bagian prelaminar dari saraf optik yang berbentuk oval dengan bagian horizontal
sepanjang 1,5 mm dan bagian vertikal sepanjang 1,75 mm dengan cekungan (cup
shaped depression) yang mengarah lebih ke temporal. Papil saraf optik
merupakan daerah tempat keluarnya akson-akson dari sel ganglion yang terletak
sekitar 3-4 mm disebelah nasal dari fovea. Bagian prelaminar dan laminar terdiri
dari akson-akson sel ganglion retina yang tak bermielin, astrosit dan arteri-vena
retina sentralis yang keluar dari bagian tengah papil saraf optik. Akson-akson akan
bergabung menjadi fasikulus dan menembus sklera 200-300 lubang pada lamina
5

kribosa. Setelah melewati lamina kribosa (bagian retrolaminar), diameter dari


saraf optik bertambah menjadi 3-4 mm akibat pembentukan mielin akson-akson
sel ganglion retina, adanya oligodendroglia (yang membentuk mielin akson) dan
selubung meningeal yang terdiri dari piamater, arakhnoid dan duramater. Bagian
prelaminar dan laminar diperdarahi terutama oleh arteri siliaris posterior brevis
yang beranastomosis dengan pleksus pial dan pembuluh darah koroid peripapilar
membentuk siklus Zinn-Haller.3,4
Segmen intraorbita saraf optik memiliki panjang 25-30 mm, lebih panjang
dari jarak antara belakang bola mata dan apeks orbita sehingga dapat bebas
bergerak pada pergerakan bola mata. Pada apeks orbita segmen saraf optik
dikelilingi oleh anulus Zinn sebelum berlanjut ke kanal optik. Saraf optik berjalan
kearah posteromedial dan meninggalkan orbita melalui foramen optik (optic ring)
menuju kanal optik. Nervus optikus pars intraorbita diperdarahi oleh cabangcabang intraneural dan cabang-cabang pial dari arteri retina sentral.3,4
Segmen intrakanalikular yang terdapat di dalam kanalis optik memiliki
panjang 4-10 mm. Kanalis optik dibentuk oleh tulang sphenoid parva minor.
Bagian ini diperdarahi oleh cabang pial arteri oftalmika.3,4
Segmen Intrakranial memiliki panjang sekitar 10 mm, antara kanalis optik
sampai kiasma optikum. Bagian ini berjalan di atas arteri oftalmika, sebelah
superomedial arteri karotis interna sehingga diperdarahi langsung oleh cabangcabang arteri tersebut.3,4

Gambar 3:Schematic representation of blood supply of: (A) the optic nerve head and (B)
the optic nerve. Abbreviations: A = arachnoid; C = choroid; CRA = central retinal
artery; Col. Br. = Collateral branches; CRV = central retinal vein; D = dura; LC = lamina
cribrosa; NFL = surface nerve fiber layer of the disc; OD = optic disc; ON = optic nerve;
P = pia; PCA = posterior ciliary artery; PR and PLR = prelaminar region; R = retina; RA
= retinal arteriole; S = sclera; SAS = subarachnoid space.
(Sumber: Netter, 2013)5

2.2 Anatomi dan Fisiologi Kiasma Optikum


Ditinjau dari lokasinya, kiasma optikum merupakan suatu bagian yang
dikelilingi oleh bermacam struktur penting. Berkisar 10 mm dari bagian bawah
kiasma optikum terdapat sella turcica yang berisi kelenjar hipofisis, sedangkan
pada bagian atas dari kiasma terdapat lobus frontalis otak yang dibelakangnya
terdapat dasar dari ventrikel tiga. Pada sisi samping dari kiasma optikum terdapat
vena sinus kavernosus dan beberapa saraf kranial. Kiasma optikum memiliki
panjang 12 mm, lebar anteroposterior 8 mm, ketebalan 4 mm, dan membentuk
sudut hampir 45o.6

Gambar 4. Hubungan kiasma optikum secara anatomis.7


(Sumber: Lang, 2000)

Sebagian dari serabut-serabut saraf pada kiasma optikum mengalami


persilangan, dimana serabut-serabut yang berasal dari hemiretina kiri masingmasing mata berakhir pada traktus optikus kiri, sedangkan serabut-serabut dari
hemiretina kanan berakhir pada traktus optikus kanan. Kiasma optikum
mendapatkan suplai darah melalui arteri serebral anterior dan arteri karotid
internal, dimana melalui pial pleksus pembuluh darah tersebut dapat langsung
masuk ke dalam kiasma. Aspek superior dari kiasma disuplai oleh cabang dari
arteri serebral anterior dan arteri anterior komunikan dan didrainase oleh vena
kiasma superior yang berakhir di vena cerebral anterior, sedangkan aspek inferior
dari kiasma disuplai oleh cabang internal dari arteri karotis dan arteri posterior
komunikan dan didrainase oleh vena preinfundibular yang mengalir ke dalam
vena.8

Gambar 5. Potongan anatomi dari kiasma optik dan struktur di sekitarnya A. Tampak Sagital, dan
B. Tampak Superior.1
(Sumber: Cantor, 2014)

2.3 Anatomi dan Fisiologi Retrokiasma


Setelah melewati kiasma optikum, serabut saraf ini akan melanjutkan
perjalanannya sebagai traktus optikum. Traktus optikus ini selanjutnya menuju ke
thalamus sebagai kumpulan sel-sel saraf yang mengolah dan bertindak sebagai
stasiun informasi. Bagian thalamus yang berhubungan dengan fungsi visual
disebut sebagai Corpus Geniculaturn Laterale (CGL).9
Corpus geniculatum laterale (CGL) merupakan terminal dari seluruh serabut
saraf aferen jaras visual, dan merupakan bagian dari thalamus. Pada CGL terjadi
rotasi 90 dari serabut saraf, sehingga serabut saraf yang berasal dari retina bagian
superior akan berada di bagian medial CGL, sedangkan yang berasal dan bagian
inferior retina akan berada di bagian lateral. Perputaran akan terjadi lagi ketika
serabut saraf meninggalkan CGL sehingga retina bagian superior dan inferior

terletak superior dan inferior dalam radiasio optika dan korteks serebri.9
Radiasio optika mengandung 3 kelompok besar serabut yaitu (1) bagian
superior (berisi serabut yang mengurus lapangan pandang inferior), (2) bagian
inferior (berisi serabut yang mengurus lapang pandang superior), (3) bagian
sentral (berisi serabut makula).9
Jadi pada radiasio optika (traktus genikulo-kalkarina) terjadi pemutaran,
sehingga posisi serabut penglihatan kembali seperti sebelum memasuki CGL yaitu
bagian atas retina berjalan dan diproyeksikan di bagian atas korteks serebri dan
sebaliknya. Korteks proyeksi penglihatan disebut juga korteks striata (area 17),
berada di sepanjang bibir superior dan fissure kalkarina. Ketika impuls sampai di
area 17, maka akan terbentuk sensasi visual sederhana. Impuls ini akan
rnempunyai arti dan bentuk dengan perantaraan korteks asosiasi area 18 dan 19.3
Radiasi optik (pada traktus genikulokalkarin) berada pada bagian
retrolentiform pada kapsul internal. Serabut-serabut melewati korteks visual
primer yang berada di atas sulkus kalkarin yang keluar melalui kornu posterior
ventrikel lateral. Serabut-serabut melewati korteks visual di bawah sulcus loop
menuju lobus temporal, lateral menuju kornu inferior ventrikel (Meyer's loop).
Radiasi optik juga termasuk proyeksi serabut dari korteks oksipital menuju
nukelus genikulatum lateral dan superior kolikulus.7

Gambar 3. Radiasi optik kiri dilihat dari aspek lateral.7


(Sumber: Wilkinsin, 1992)

10

Korteks visual primer (aread Broadmann 17) berada pada dinding dan
kedalaman sulkus kalkarin. Korteks asosiasi viasual (area 18, 19) berada pada
lobus oksipital di sekitar area 17, yang berfungsi memproses informasi yang
diterima dari area 17 dan berhubungan dengan aspek komplek dari persepsi visual
yang memiliki input dari puvinar thalamus dan merupakan sumber serabut
kortikokolikular yang memediasi refleks akomodasi pupil, refleks genggaman
visual dan scanning otomatis. Permukaan posteroinferior lainnya dari lobus
temporal (area 20) berhubungan dengan pola pengenalan visual dan tempat
penyimpanan memori visual. Mengingat posisi suatu objek juga merupakan fungsi
dari lobulus parietal superior yang terletak pada area Broadmann 7.7

Gambar 4. Sebagian nervus optikus berdekusasio; proyeksi gambar secara bertahap


direkonstruksi pada jaras korteks visual.7

11

(Sumber: Wilkinson, 1992)

BAB III
KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA

12

13

Anda mungkin juga menyukai