Audit
Pos
diskusi
Data Pasien
Nama: Ny DL
Nama Puskesmas
Puskesmas Kecamatan Tambora
Data utama untuk bahan diskusi:
1. Anamnesa
Sejak 1 minggu SMRS, pasien mengeluh gatal di lipatan payudara kiri dan perut. Gatal
disertai dengan bercak kemerahan disekitar lipatan payudara kiri dan perut. Gatal
dirasakan terutama saat berkeringat. Karena gatal yang dirasakan semakin hebat, pasien
sering menggaruk hingga kulit didaerah tersebut terkelupas dan terasa perih.
Sejak 1 minggu SMRS, Sebelumnya pasien belom mengobati keluhan tersebut.
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat sakit diabetes dan sakit hipertensi.
Riwayat alergi terhadap makanan atau obat obatan tertentu disangkal. Riwayat kontak
dengan hewan peliharaan disangkal. Riwayat bertukar pakaian atau handuk dengan
anggota keluarga lainnya disangkal.
2. Riwayat Pengobatan
Pasien mengatakan belum melakukan pengobatan sebelumnya
3. Riwayat Kesehatan/ Penyakit
Pasien mengatakan tidak memiliki riwayat sakit diabetes dan sakit hipertensi.
4. Riwayat Keluarga
Tidak ada
5. Riwayat Pekerjaan
Ibu rumah tangga
6. Kondisi Lingkungan
Pasien tinggal dengan anak dan suami
1
7. Lain-lain: DaftarPustaka:
1. Unandar, Budimulja. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. Editors. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 6th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2010. h.89-100.
2. Wiederkehr, Michael. Tinea Corporis. Medscape Reference. [Online] Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1091806-overview.
3. Wolff K. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffel DJ. Fitzpatricks
dermatology in general medicine. 7th ed. Vol 2. USA: Mcgraw hill companies; 2008.
h.1087-22.
4. James Mark, Jeffrey Miller. Principle of Dermatology. USA: Elsevier, 2006.
5. Richard Aston, Barbara Leppard. Differential Diagnosis in Dermatology. United
Kingdom: Radcliffe, 2005.
Hasil Pembelajaran :
1 Diagnosis Tinea Corporis
2 Tata laksana Tinea Corporis
Rangkuman hasil pembelajaran portofolio:
1. Subyektif
- Wanita 40 tahun datang dengan keluhan gatal dan bercak kemerahan di lipatan payudara
-
2. Obyektif
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran
: Compos mentis
Berat Badan
: 70 kg
Tinggi Badan
: 160 cm
Tanda tanda vital :
Tekanan darah
: 110/70 mmHg
Nadi
: 88 x/ menit
Suhu
: 36.7oC
RR
: 20 x/ menit
Kepala
: Normocephali
Mata
: Conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/Tenggorok
: Faring tidak hiperemis, Tonsil T1 T1 tenang
Leher
: Tidak teraba pembesaran KGB dan tiroid
Thorak
:
Pulmo: suara nafas dasar vesikuler, Rhonki -/-, Whezzing -/2
Status Dermatologikus
Lokasi
: Lipat Payudara kiri
Efloresensi
: gambaran bercak hiperpigmentasai disertai eritematosa, ukuran plakat,
bentuk tidak teratur, batas tegas, dan terdapat papul papul di sekitar tepi lesi. Terdapat
skuama halus pada tepi lesi.
Lokasi
Efloresensi
: Lipatan Perut
: gambaran bercak hiperpigmentasi disertai eritematosa, ukuran plakat,
bentuk tidak teratur, batas tegas dan terdapat papul papul disekitar tepi lesi. Terdapat
ekskoriasi di bagian tengah lesi.
3. Pemeriksaan Darah dan Urin Lengkap
Tidak dilakukan.
4. Assesment
Tinea Corporis
5. Plan
Non Medika Mentosa
a. Menjaga agar daerah lesi tetap kering dan menjaga kebersihan diri.
b. Menggunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat seperti
katun, tidak ketat, dan diganti setiap hari.
c. Untuk menghindari penularan penyakit, sebaiknya tidak menggunakan handuk bersama
dengan anggota keluarga lain.
d. Menurunkan berat badan.
Medika mentosa
a. Sistemik
b. Topikal
Tinjauan pustaka
I.
Pendahuluan
Mikosis superfisialis merupakan infeksi jamur pada kulit yang disebabkan oleh
kolonisasi jamur atau ragi. Penyakit yang termasuk mikosis superfisialis adalah
dermatofitosis, pitiriasis versikolor, dan kandidiasis superfisialis. Mikosis superfisialis
cukup banyak diderita penduduk negara tropis. Indonesia merupakan salah satu negara
beriklim tropis yang memiliki suhu dan kelembaban tinggi, merupakan suasana yang baik
bagi pertumbuhan jamur, sehingga jamur dapat ditemukan hampir di semua tempat.
Mikosis superfisial mengenai lebih dari 20% hingga 25% populasi sehingga menjadi
bentuk infeksi yang tersering.
Dermatofitosis adalah penyakit pada jaringan tubuh yang mengandung zat tanduk,
misalnya stratum korneum pada epidermis, rambut, serta kuku yang disebabkan oleh
golongan jamur dermatofita, yang mampu mencernakan keratin. Insiden dan prevalensi
dermatofitosis cukup tinggi di dalam masyarakat baik di dalam maupun diluar negeri. Di
Indonesia, dermatofitosis merupakan 52% dari seluruh dermatomikosis dan tinea corporis
dan tinea korporis merupakan dermatofitosis terbanyak. Dermatofit tersebar di seluruh
dunia dan menjadi masalah terutama di negara berkembang. Berdasarkan urutan kejadian
dermatofitosis, tinea korporis (57%), tinea unguinum (20%), tinea kruris (10%), tinea
pedis dan tinea barbae (6%), dan sebanyak 1% tipe lainnya.
Tinea corporis sebagai salah satu dermatofitosis, disebabkan oleh jamur golongan
dermatofita, terutama suatu kelas Fungi imperfecti, yaitu Genus Microsporum,
Trichophyton, dan Epidermophyton. Tinea corporis adalah dermatofitosis pada lipat paha,
daerah perineum, dan sekitar anus. Kelainan kulit yang tampak pada sela paha merupakan
lesi berbatas dan peradangan pada tepi lebih nyata dari pada tengahnya. Efloresensi
terdiri atas berbagai macam bentuk yang sekunder dan primer (polimorf). Bila penyakit
ini menjadi menahun dapat berupa bercak hitam disertai sisik. Tinea corporis mempunyai
nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of the groin.
Faktor penting yang berperan dalam penyebaran tinea corporis adalah kondisi
kebersihan lingkungan yang buruk, daerah pedesaan yang padat, dan kebiasaan
menggunakan pakaian yang ketat atau lembab. Obesitas dan diabetes melitus juga
merupakan faktor resiko tambahan oleh karena keadaan tersebut menurunkan imunitas
4
untuk melawan infeksi. Penyakit ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsung seumur hidup.
II.
Epidemiologi
Tinea corporis dapat ditemukan di seluruh dunia, terutama di negara beriklim
hangat dan lembab. Tina corporis lebih sering ditemukan pada rentang usia 51 60 tahun
dan sering terjadi pada laki laki daripada perempuan dengan ratio 3:1. Dewasa dan
remaja paling sering terkena infeksi terutama dengan faktor prevalensi seperti obesitas
dan diabetes melitus.
III.
Etiologi
Penyebab tersering dari tinea corporis adalah Trichophyton rubrum dan
Epidermophyton fluccosum. Epidermophton fluccosum paling sering menyebabkan
epidemi. Selain itu trichophyton mentagrophytes dan trichophyton verrucosum juga bisa
menyebabkan walaupun jarang.
Tinea corporis menyebar melalui kontak langsung ataupun kontak dengan
peralatan yang terkontaminasi, dan dapat mengalami eksaserbasi karena adanya oklusi
dan lingkungan yang hangat, serta iklim yang lembab.
IV.
Patogenesis
Tinea corporis adalah infeksi menular yang ditularkan oleh fomites, seperti
handuk yang terkontaminasi atau sprei tempat tidur, atau dengan autoinokulasi dari
reservoir pada tangan atau kaki (tinea manum, tinea pedis, tine unguium). Jamur dalam
tinea corporis menghasilkan keratinases, yang memungkinkan invasi dari lapisan
korneum dari epidermis. Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang cabangnya
didalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang
berdifusi ke jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan.
Respon kekebalan tubuh dapat mencegah invasi lebih dalam. Faktor resiko infeksi
awal tinea corporis atau infeksi ulang termasuk mengenakan pakaian ketat atau basah.
Pertumbuhan dengan pola radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit
dengan batas yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula
yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit adalah:
5
Manifestasi Klinis
Tinea corporis biasanya muncul sebagai beberapa papulovesikel eritematosa
dengan batas tegas dan tepi yang meninggi. Pruritus umum terjadi, nyeri biasanya terjadi
karena infeksi sekunder. Infeksi E. Fluccossum sering muncul dengan lesi khas yaitu
central healing dan yang paling sering terbatas pada lipatan genitocrural dan paha atas
bagian medial. Sebaliknya, infeksi T. Rubrum sering muncul dengan ekstensi ke pantat,
kemaluan, perianal, dan daerah perut bagian bawah.
Bercak eritema besar dengan central healing yang berpusat pada lipatan inguinal
dan memanjang ke bawah
distal aspek medial paha dan proksimal ke perut bagian bawah dan daerah
kemaluan.
Sisik berbatas tegas di tepi. Pada infeksi akut tinea corporis, ruam mungkin
lembab dan eksudatif. Infeksi kronis biasanya kering dengan papular annular dengan
batas tidak tegas. Penis dan skrotum biasanya tidak terkena tinea corporis, namun infeksi
dapat meluas ke perineum dan bokong. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, lichenifikasi,
dan impetiginasi mungkin ada sebagai akibat pruritus. Infeksi kronis yang sudah diterapi
dengan kortikosteroid topikal lebih eritematosa, kurang bersisik, dan mungkin memiliki
pustula folikular.
VI.
VII.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri atas
pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan mikologik untuk
mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan kulit yang sebelumnya
dibersihkan dengan alkohol 70%.
1. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% korek dari bagian tepi lesi (sisik dan
kulit) hingga sedikit di luar lesi dengan scalpel tumpul steril taruh di obyek
glass tetesi KOH 10 15% 1 2 tetes tunggu 10 15 menit untuk
melarutkan jaringan atau dilewatkan di atas api kecil lihat di mikroskop
dengan pembesaran 10x kemudian 40x, akan didapatkan hifa, sebagai dua garis
sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, atau spora berderet (artrospora) pada
kelainan kulit yang lama atau sudah diobati.
2. Pemeriksaan kultur dengan Saboraud agar
7
VIII. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tinea corporis berupa terapi medika mentosa dan non medika
mentosa. Penatalaksanaan medika mentosa tinea corporis sendiri tersedia dalam bentuk
pemberian topikal dan sistemik. Penatalaksanaan medika mentosa sendiri dapat dimulai
berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopik langsung pada sampel kulit. Pemeriksaan
mikroskopik tidak dapat membedakan spesies namun umumnya semua spesies dermatofit
diyakini memberikan respon yang sama terhadap terapi anti jamur sistemik dan topikal
yang ada.
Pengobatan anti jamur untuk tinea corporis dapat digolongkan dalam empat
golongan yaitu: golongan poliene, golongan azol, golongan alilamin,
dan golongan
Golongan Poliene
Mekanisme kerja golongan poliene yaitu berikatan dengan ergosterol secara
irreversibel. Ergosterol merupakan komponen yang sangat penting dari membran
sel jamur. Golongan poliene tidak efektif terhadap dermatofit dan penggunaannya
secara klinis juga terbatas yaitu untuk pengobatan infeksi yang disebabkan Candida
2
fungisid
terhadap
Epidermophyton,
Pityrosporum,
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk lesi yang luas atau gagal
dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang digunakan dalam
pengobatan tinea corporis.
1
Griseofulvin
Mekanisme kerja
Griseofulvin merupakan antijamur yang berasal dari spesies Penicilium
mold yang bersifat fungistatik, berikatan dengan protein mikrotubular dan
penghancuran jamur.
Dosis
Pada kasus resisten terhadap griseovulfin dapat diberikan obat tersebut
sebanyak 200 mg perhari selama 10 hari 2 minggu pada pagi hari setelah
makan. Sedangkan dosis untuk anak - anak 3,3 6,6 mg per kg berat badan,
dosis tunggal.
Efek samping
Ketokonazole merupakan kontraindikasi untuk penderita kelainan hepar.
Anoreksia, mual, dan muntah merupakan efek samping yang sering di
jumpai.
10
Itrakonazol
Mekanisme kerja
Merupakan sintesis derivat triazol yang berspektrum luas yang bekerja
menghambat pertumbuhan sel jamur dengan menghambat sitokrom P450
dependent sintesis dari ergosterol yang merupakan komponen penting pada
Pengobatan tinea corporis tidak berbatas pada medika mentosa saja. Beberapa
pengobatan non medika mentosa yang dapat dianjurkan, yaitu:
a. Anjuran agar menjaga daerah lesi tetap kering.
b. Bila gatal, jangan digaruk, karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
11
c. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat, keringkan dengan haduk dan
mengganti pakaian yang lembab.
d. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat
seperti katun, tidak ketat dan diganti setiap hari.
e. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang digunakan
penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.
f. Dianjurkan menurunkan berat badan pada penderita obesitas.
Golongan Azol
Poliene
Nystatin
Imidazole
Klotrimazol
Benzilamin
Naftifin
Siklopiroks(topikal)
Ekonazol
Terbinafin
Haloprogin(topikal)
Mikonazol
Butenafin(benzilamin
Tolnaftat(topikal)
Ketokonazol
Griseofulvin(sistemik
Sulkonazol
Oksinazol
Terkonazol
Tiokonazol
Sertakonazol
Itrakonazol(sistemik)
Flukonazol(sistemik)
IX.
Komplikasi
Tinea corporis dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang lain. Pada
infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan hiperpigmentasi kulit.
X.
Prognosis
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat asalkan
kelembaban dan kebersihan kulit selalu dijaga.
12
13