Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Daerah lumbal terdiri atas L1 sampai L5 dan L5 S1 yang paling besar
menerima beban atau berat tubuh sehingga daerah lumbal menerima gaya dan stress
mekanikal paling besar sepanjang vertebra (Bellenir K, 2008). Menurut The Healthy
Back Institute (2010), daerah lumbal merupakan daerah vertebra yang sangat peka
terhadap terjadinya nyeri pinggang karena daerah lumbal paling besar menerima
beban saat tubuh bergerak dan saat menumpuh berat badan. Disamping itu, gerakan
membawa atau mengangkat objek yang sangat berat biasanya dapat menyebabkan
terjadinya cidera pada lumbar spine.
Nyeri pinggang dapat disebabkan oleh berbagai kondisi. Kondisi-kondisi
yang umumnya menyebabkan nyeri pinggang adalah strain lumbar, iritasi saraf,
radiculopathy lumbar, gangguan pada tulang (stenosis spinal, spondylolisthesis),
kondisi-kondisi sendi dan tulang (spondylosis), dan kondisi-kondisi tulang
kongenital (spina bifida dan skoliosis) (William C. Shiel Jr, 2009). Diantara kondisi
tersebut, telah diobservasi bahwa sekitar 90% pasien nyeri pinggang mengalami
spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009). Sedangkan menurut Kelly Redden
(2009), nyeri pinggang dibagi atas 2 bagian yaitu mekanikal nyeri pinggang dan nonmekanikal nyeri pinggang. Mekanikal nyeri pinggang terdiri dari lumbar
strain/sprain, spondylosis lumbal, piriformis syndrome, herniasi diskus, spinal
stenosis, fraktur kompresi osteoporotik, spondylolisthesis, fraktur traumatik, dan

penyakit kongenital (skoliosis). Diantara kondisi tersebut, spondylosis lumbal


menduduki peringkat kedua dengan persentase 10% dari mekanikal nyeri pinggang
sedangkan lumbar strain/sprain memiliki persentase terbanyak yaitu 70% dari
mekanikal nyeri pinggang.
Spondylosis lumbal merupakan penyakit degeneratif pada corpus vertebra
atau diskus intervertebralis. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita. Faktor
utama yang bertanggung jawab terhadap perkembangan spondylosis lumbal adalah
usia, obesitas, duduk dalam waktu yang lama dan kebiasaan postur yang jelek. Pada
faktor usia menunjukkan bahwa kondisi ini banyak dialami oleh orang yang berusia
40 tahun keatas. Faktor obesitas juga berperan dalam menyebabkan perkembangan
spondylosis lumbar (Jupiter Infomedia, 2009).
Spondylosis lumbal merupakan kelompok kondisi Osteoarthritis yang
menyebabkan perubahan degeneratif pada intervertebral joint dan apophyseal joint
(facet joint). Kondisi ini terjadi pada usia 30 45 tahun namun paling banyak terjadi
pada usia 45 tahun dan lebih banyak terjadi pada wanita daripada laki-laki.
Sedangkan faktor resiko terjadinya spondylosis lumbar adalah faktor kebiasaan
postur yang jelek, stress mekanikal dalam aktivitas pekerjaan, dan tipe tubuh.
Perubahan degeneratif pada lumbar dapat bersifat asimptomatik (tanpa gejala) dan
simptomatik (muncul gejala/keluhan). Gejala yang sering muncul adalah nyeri
pinggang, spasme otot, dan keterbatasan gerak kesegala arah (Ann Thomson, 1991).
Problem nyeri, spasme dan keterbatasan gerak dapat ditangani dengan
intervensi fisioterapi. Berbagai modalitas dapat digunakan untuk mengatasi problem
tersebut. Pemberian Short Wave Diathermy yang menghasilkan efek thermal dapat

menurunkan nyeri dan spasme otot. Adanya efek panas yang sedatif dapat
merangsang ujung saraf sensorik dan proprioseptor sehingga nyeri dan spasme otot
lambat laun akan menurun (Hilary Wadsworth, 1988). Kemudian pemberian William
Flexion Exercise dapat menghasilkan peningkatan stabilitas lumbal dan menambah
luas gerak sendi pada lumbal melalui peningkatan fleksibilitas dan elastisitas otot
(Paul Hooper, 1999). Kondisi ini juga banyak ditemukan disetiap Rumah Sakit Kota
Makassar dan di RSUD. Syekh Yusuf Gowa. Berdasarkan pengamatan peneliti,
beberapa pasien yang berusia 40 tahun keatas dan umumnya wanita mengalami
kondisi spondylosis lumbal dengan problem nyeri pinggang serta gangguan gerak
dan fungsi pada lumbal. Keadaan ini biasanya membatasi aktivitas kegiatan seharihari penderita dan setelah beberapa kali ditangani oleh fisioterapi kondisinya menjadi
membaik. Hal ini yang mendorong peneliti tertarik mengambil topik penelitian ini.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka dapat dirumuskan masalah
penelitian ini yaitu Bagaimana penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi spondylosis
lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa ?.

B.

Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada gangguan fungsional
lumbal akibat spondylosis lumbal di RSUD. Syekh Yusuf Gowa.
2. Tujuan Khusus
a.

Untuk mengetahui perubahan nilai VAS (intensitas nyeri) setelah diberikan

Short Wave Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.


b.

Untuk mengetahui perubahan fleksibilitas setelah diberikan Short Wave


Diathermy (SWD) dan William Flexion Exercise.

C. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Ilmiah
a.

Dapat menambah pengetahuan dan pengalaman peneliti dalam


penatalaksanaan kasus spondylosis lumbaldengan menggunakan SWD dan
William Flexion Exercise.

b.

Sebagai bahan bacaan dan masukan bagi para mahasiswa, staf pengajar dan
lainnya yang ingin membuat tugas, makalah atau menyusun diktat.

c. Sebagai bahan referensi atau rujukan bagi mahasiswa dan staf pengajar dalam
melakukan penelitian lanjut.
2. Manfaat Praktis
Sebagai bahan masukan bagi fisioterapis di Rumah Sakit atau Lahan
Praktek dalam penanganan kasus spondylosis menggunakanSWD dan William
Flexion Exercise.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Spondylosis Lumbal


1. Pengertian
Spondylosis merupakan kondisi dimana terjadi perubahan degeneratif pada
sendi intervertebralis antara corpus dan diskus. Spondylosis merupakan kelompok
osteoarthritis yang juga dapat menghasilkan perubahan degeneratif pada sendisendi sinovial sehingga dapat terjadi pada sendi-sendi apophyseal tulang
belakang. Secara klinis, kedua perubahan degeneratif tersebut seringkali terjadi
secara bersamaan (Ann Thomson et al, 1991).
Spondylosis lumbal merupakan gangguan degeneratif yang terjadi pada
corpus dan diskus intervertebralis, yang ditandai dengan pertumbuhan osteofit
pada corpus vertebra tepatnya pada tepi inferior dan superior corpus. Osteofit
pada lumbal dalam waktu yang lama dapat menyebabkan nyeri pinggang karena
ukuran osteofit yang semakin tajam (Bruce M. Rothschild, 2009). Menurut
Statement of Principles Concerning (2005), spondylosis lumbar didefinisikan
sebagai perubahan degeneratif yang menyerang vertebra lumbar atau diskus
intervertebralis, sehingga menyebabkan nyeri lokal dan kekakuan, atau dapat
menimbulkan gejala-gejala spinal cord lumbar, cauda equina atau kompresi akar
saraf lumbosacral.
Spondylosis lumbal seringkali merupakan hasil dari osteoarthritis atau spur
tulang yang terbentuk karena adanya proses penuaan atau degenerasi. Proses
degenerasi umumnya terjadi pada segmen L4 L5 dan L5 S1. Komponenkomponen vertebra yang seringkali mengalami spondylosis adalah diskus
intervertebralis, facet joint, corpus vertebra dan ligamen (terutama ligamen

flavum) (John J. Regan, 2010).


2. Etiologi
Spondylosis lumbal muncul karena adanya fenomena proses penuaan atau
perubahan degeneratif. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa kondisi ini tidak
berkaitan dengan gaya hidup, tinggi-berat badan, massa tubuh, aktivitas fisik,
merokok dan konsumsi alkohol (Bruce M. Rothschild, 2009).
Spondylosis lumbal banyak pada usia 30 45 tahun dan paling banyak
pada usia 45 tahun. Kondisi ini lebih banyak menyerang pada wanita daripada
laki-laki. Faktor-faktor resiko yang dapat menyebabkan spondylosis lumbal
adalah (Ann Thomson et al, 1991) :
a. Kebiasaan postur yang jelek
b. Stress mekanikal akibat pekerjaan seperti aktivitas pekerjaan yang melibatkan
gerakan mengangkat, twisting dan membawa/memindahkan barang.
c. Tipe tubuh
Ada beberapa faktor yang memudahkan terjadinya progresi degenerasi
pada vertebra lumbal yaitu (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009) :

a. Faktor usia
Beberapa penelitian pada osteoarthritis telah menjelaskan bahwa proses
penuaan merupakan faktor resiko yang sangat kuat untuk degenerasi tulang
khususnya pada tulang vertebra. Suatu penelitian otopsi menunjukkan bahwa
spondylitis deformans atau spondylosis meningkat secara linear sekitar 0% 72% antara usia 39 70 tahun. Begitu pula, degenerasi diskus terjadi sekitar
16% pada usia 20 tahun dan sekitar 98% pada usia 70 tahun.

b. Stress akibat aktivitas dan pekerjaan


Degenerasi diskus juga berkaitan dengan aktivitas-aktivitas tertentu.
Penelitian retrospektif menunjukkan bahwa insiden trauma pada lumbar, indeks
massa tubuh, beban pada lumbal setiap hari (twisting, mengangkat,
membungkuk, postur jelek yang terus menerus), dan vibrasi seluruh tubuh
(seperti berkendaraan), semuanya merupakan faktor yang dapat meningkatkan
kemungkinan spondylosis dan keparahan spondylosis.
c. Peran herediter
Faktor genetik mungkin mempengaruhi formasi osteofit dan degenerasi
diskus. Penelitian Spector and MacGregor menjelaskan bahwa 50% variabilitas
yang ditemukan pada osteoarthritis berkaitan dengan faktor herediter. Kedua
penelitian tersebut telah mengevaluasi progresi dari perubahan degeneratif
yang menunjukkan bahwa sekitar (47 66%) spondylosis berkaitan dengan
faktor genetik dan lingkungan, sedangkan hanya 2 10% berkaitan dengan
beban fisik dan resistance training.
d. Adaptasi fungsional
Penelitian Humzah and Soames menjelaskan bahwa perubahan
degeneratif pada diskus berkaitan dengan beban mekanikal dan kinematik
vertebra. Osteofit mungkin terbentuk dalam proses degenerasi dan kerusakan
cartilaginous mungkin terjadi tanpa pertumbuhan osteofit. Osteofit dapat
terbentuk akibat adanya adaptasi fungsional terhadap instabilitas atau
perubahan tuntutan pada vertebra lumbar.
3. Patologi Terapan

Salah satu aspek yang penting dari proses penuaan adalah hilangnya
kekuatan tulang. Perubahan ini menyebabkan modifikasi kapasitas penerimaan
beban (load-bearing) pada vertebra. Setelah usia 40 tahun, kapasitas penerimaan
beban pada tulang cancellous/trabecular berubah secara dramatis. Sebelum usia 40
tahun, sekitar 55% kapasitas penerimaan beban terjadi pada tulang cancellous/
trabecular. Setelah usia 40 tahun penurunan terjadi sekitar 35%. Kekuatan tulang
menurun dengan lebih cepat dibandingkan kuantitas tulang. Hal ini menurunkan
kekuatan pada end-plates yang melebar jauh dari diskus, sehingga terjadi fraktur
pada tepi corpus vertebra dan fraktur end-plate umumnya terjadi pada vertebra
yang osteoporosis (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Cartilaginous end-plate dari corpus vertebra merupakan titik lemah dari
diskus sehingga adanya beban kompresi yang berlebihan dapat menyebabkan
kerusakan pada cartilaginous end-plate. Pada usia 23 tahun sampai 40 tahun,
terjadi demineralisasi secara bertahap pada cartilago end-plate. Pada usia 60
tahun, hanya lapisan tipis tulang yang memisahkan diskus dari channel vaskular,
dan channel nutrisi lambat laun akan hilang dengan penebalan pada pembuluh
arteriole dan venules. Perubahan yang terjadi akan memberikan peluang
terjadinya patogenesis penyakit degenerasi pada diskus lumbar. Disamping itu,
diskus intervertebralis orang dewasa tidak mendapatkan suplai darah dan harus
mengandalkan difusi untuk nutrisi (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler,
2006).
Menurut Kirkaldy-Willis (dalam Darlene Hertling and Randolph M.
Kessler, 2006), terdapat sistem yang berdasarkan pada pemahaman segment gerak

yang mengalami degenerasi. Perubahan degeneratif pada segmen gerak dapat


dibagi kedalam 3 fase kemunduran yaitu :
a. Fase disfungsi awal (level I) : proses patologik kecil yang menghasilkan fungsi
abnormal pada komponen posterior dan diskus intervertebralis. Kerusakan
yang terjadi pada segmen gerak masih bersifat sementara (reversible).
Perubahan yang terjadi pada facet joint selama fase ini sama dengan yang
terjadi pada sendi sinovial lainnya. Kronik sinovitis dan efusi sendi dapat
menyebabkan stretch pada kapsul sendi. Membran synovial yang inflamasi
dapat membentuk suatu lipatan didalam sendi sehingga menghasilkan
penguncian didalam sendi antara permukaan cartilago dan kerusakan cartilago
awal. Paling sering terjadi pada fase disfungsi awal selain melibatkan kapsul
dan synovium juga melibatkan permukaan cartilago atau tulang penopang
(corpus vertebra). Disfungsi diskus pada fase ini masih kurang jelas tetapi
kemungkinan melibatkan beberapa kerobekan circumferential pada annulus
fibrosus. Jika kerobekannya pada lapisan paling luar maka penyembuhannya
mungkin terjadi karena adanya beberapa suplai darah. Pada lapisan paling
dalam, mungkin kurang terjadi penyembuhan karena sudah tidak ada lagi
suplai darah. Secara perlahan akan terjadi pelebaran yang progresif pada area
circumferential yang robek dimana bergabung kedalam kerobekan radial.
Nukleus

mulai

mengalami

perubahan

dengan

hilangnya

kandungan

proteoglycan.
b.

Fase instabilitas intermediate (level II) : fase ini menghasilkan laxitas


(kelenturan yang berlebihan) pada kapsul sendi bagian posterior dan annulus

fibrosus. Perubahan permanen dari instabilitas dapat berkembang karena


kronisitas dan disfungsi yang terus menerus pada tahun-tahun awal. Restabilisasi segmen posterior dapat membentuk formasi tulang subperiosteal
atau formasi tulang (ossifikasi) sepanjang ligamen dan serabut kapsul sendi,
sehingga menghasilkan osteofit perifacetal dan traksi spur. Pada akhirnya,
diskus membentuk jangkar oleh adanya osteofit perifer yang berjalan disekitar
circumferentianya, sehingga menghasilkan segmen gerak yang stabil.
c.

Fase stabilisasi akhir (level III) : fase ini menghasilkan fibrosis pada sendi
bagian posterior dan kapsul sendi, hilangnya material diskus, dan formasi
osteofit. Osteofit membentuk respon terhadap gerak abnormal untuk
menstabilisasi segmen gerak yang terlibat. Formasi osteofit yang terbentuk
disekitar three joint dapat meningkatkan permukaan penumpuan beban dan
penurunan gerakan, sehingga menghasilkan suatu kekakuan segmen gerak dan
menurunnya nyeri hebat pada segmen gerak.
Pada lumbar spine bagian atas, degenerasi mulai terlihat pada awal level I

dengan fraktur end-plate dan herniasi diskus, kaitannya dengan beban vertikal
yang esensial terhadap segmen tersebut. Penyakit facet mulai terjadi pada lumbar
spine bagian atas. Pada lumbal spine bagian bawah, perubahan diskus mulai
terjadi pada usia belasan tahun terakhir, dan perubahan facet terjadi pada middle
usia 20-an. Secara khas, lesi pertama kali terjadi pada L 5 S1 dan pada L4 L5.
Perubahan degenerasi pada synovial dan intervertebral joint dapat terjadi secara
bersamaan, dan paling sering terjadi pada lumbosacral joint. Spondylosis dan
perubahan arthrosis yang melibatkan seluruh segmen gerak sangat berkaitan

dengan faktor usia dan terjadi sekitar 60% pada orang-orang yang lebih tua dari
usia 45 tahun (Darlene Hertling and Randolph M. Kessler, 2006).
Schneck menjelaskan adanya progresi mekanikal yang lebih jauh akibat
perubahan degeneratif pada diskus intervertebralis, untuk menjelaskan adanya
perubahan degeneratif lainnya pada axial spine. Dia menjelaskan beberapa
implikasi dari penyempitan space diskus. Pedicle didekatnya akan mengalami
aproksimasi

dengan

penyempitan

dimensi

superior-inferior

dari

canalis

intervertebralis. Laxitas akibat penipisan ligamen longitudinal posterior yang


berlebihan dapat memungkinkan bulging (penonjolan) pada ligamen flavum dan
potensial terjadinya instabilitas spine. Peningkatan gerakan spine dapat
memberikan peluang terjadinya subluksasi dari processus articular superior
sehingga menyebabkan penyempitan dimensi anteroposterior dari intervertebral
joint dan canalis akar saraf bagian atas. Laxitas juga dapat menyebabkan
perubahan mekanisme berat dan tekanan kaitannya dengan corpus vertebra dan
space sendi yang mempengaruhi terbentuknya formasi osteofit dan hipertropi
facet pada processus articular inferior superior, dengan resiko terjadinya
proyeksi kedalam canalis intervertebralis dan canalis sentral secara berurutan
(Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Keluhan nyeri pinggang pada kondisi spondylosis lumbal disebabkan oleh
adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis.
Adanya penurunan space diskus dan penyempitan foramen intervertebralis dapat
menghasilkan iritasi pada radiks saraf sehingga menimbulkan nyeri pinggang
yang menjalar. Disamping itu, osteofit pada facet joint dapat mengiritasi saraf

spinal pada vertebra sehingga dapat menimbulkan nyeri pinggang (S.E. Smith,
2009).
4. Gambaran Klinis
Perubahan degeneratif dapat menghasilkan nyeri pada axial spine akibat
iritasi nociceptive yang diidentifikasi terdapat didalam facet joint, diskus
intervertebralis, sacroiliaca joint, akar saraf duramater, dan struktur myofascial
didalam axial spine (Kimberley Middleton and David E. Fish, 2009).
Perubahan degenerasi anatomis tersebut dapat mencapai puncaknya dalam
gambaran klinis dari stenosis spinalis, atau penyempitan didalam canalis spinal
melalui pertumbuhan osteofit yang progresif, hipertropi processus articular
inferior, herniasi diskus, bulging (penonjolan) dari ligamen flavum, atau
spondylolisthesis. Gambaran klinis yang muncul berupa neurogenik claudication,
yang mencakup nyeri pinggang, nyeri tungkai, serta rasa kebas dan kelemahan
motorik pada ekstremitas bawah yang dapat diperburuk saat berdiri dan berjalan,
dan diperingan saat duduk dan tidur terlentang (Kimberley Middleton and David
E. Fish, 2009).
Karakteristik dari spondylosis lumbal adalah nyeri dan kekakuan gerak
pada pagi hari. Biasanya segmen yang terlibat lebih dari satu segmen. Pada saat
aktivitas, biasa timbul nyeri karena gerakan dapat merangsang serabut nyeri
dilapisan luar annulus fibrosus dan facet joint. Duduk dalam waktu yang lama
dapat menyebabkan nyeri dan gejala-gejala lain akibat tekanan pada vertebra
lumbar. Gerakan yang berulang seperti mengangkat beban dan membungkuk
(seperti pekerjaan manual dipabrik) dapat meningkatkan nyeri (John J. Regan,

2010).
5. Anatomi Biomekanik Lumbal
Vertebra lumbal merupakan columna vertebra paling bawah sebelum
sacrum. Pada regio lumbal tidak mempunyai foramen transversum dan facet
articular costalis. Corpus vertebra lumbal berbentuk besar dan sedikit lebih tebal
seperti ginjal.
Seluruh struktur vertebra lumbal dihubungkan dengan arcus vertebra yang
tumpul dan kuat. Processus tranversusnya datar dan seperti sayap pada 4 segmen
lumbal bagian atas, tetapi pada L5 processus tranversusnya tebal dan bulat
puntung. Diantara segmen gerak lumbal terdapat foramen intervertebralis yang
terbentuk dari pedicle yang berhubungan dengan lamina bagian atas dan bawah.
Vertebra lumbal mempunyai processus articularis yang berhubungan
dengan pedicles dan lamina, yang terdiri dari processus articularis superior yang
terletak dalam bidang oblique kearah posterior dan lateral dimana facet
articularisnya konkaf dan mengarah ke dorsomedial sehingga hampir saling
berhadapan satu sama lain, serta processus articularis inferior yang muncul dari
tepi inferior arcus vertebra yang dekat antara lamina dan processus spinosus,
menghadap kearah inferior dan medial, dan permukaan sendinya mengarah ke
ventrolateral. Dengan demikian antara facet articularis superior vertebra bagian
bawah dan facet articularis inferior pada vertebra bagian atas dapat saling
mengunci dalam bentuk mortise and tenon (kunci dan cerat). Jelaslah bahwa
susunan ini akan membatasi gerakan rotasi dan lateral fleksi pada regio lumbal.
Karena susunan anatomis dan fungsi yang berbeda pada regio lumbal,

maka dapat dipilah dalam segmentasi regional sebagai berikut :


a. Thoracolumbal junction
Merupakan daerah perbatasan fungsi antara lumbar dengan thorac spine
dimana th12 arah superior facet pada bidang frontalis dg gerak terbatas, sedang
arah inferior facet pada bidang sagital gerakan utamanya flexion-extension yg
luas. Pada gerak lumbar spine memaksa th 12 hingga Th10 mengikuti. Pada atlit
senam pada daerah ini dapat mencapai ROM fleksi 550 dan ekstensi 250.
b. Lumbal spine
Vertebra lumbalis lebih besar dan tebal membentuk kurva lordosis
dengan puncak L3 sebesar 24 cm, menerima beban sangat besar dalam bentuk
kompresi maupun momen. Stabilitas dan gerakannya ditentukan oleh facet,
diskus, ligament dan otot disamping corpus itu sendiri.
Berdasarkan arah permukaan facet joint maka facet joint cenderung
dalam posisi bidang sagital sehingga pada regio lumbal menghasilkan dominan
gerak yang luas yaitu fleksi - ekstensi lumbal.
c. Lumbosacral joint
L5-S1 merupakan daerah yg menerima beban sangat berat mengingat
lumbal mempunyai gerak yang luas sementara sacrum rigid (kaku). Akibatnya
lumbosacral joint menerima beban gerakan dan berat badan paling besar pada
regio lumbal.
Segmen Junghans (Segmen Gerak) Pada Lumbal
Segmen gerak diperkenalkan oleh Tn. Junghans (1956). Segmen gerak
terdapat pada setiap level vertebra dengan three joint yang berperan penting

sebagai elemen fungsional tunggal. Three joint dibentuk oleh satu sendi bagian
anterior (diskus intervertebralis yang membentuk symphisis joint), dan 2 sendi
bagian posterior (apophyseal/facet joint). Sedangkan segmen transitional adalah
segmen gerak yang terbentuk dari level regio vertebral lain. Pada regio lumbal
terdapat 2 segmen transitional yaitu segmen gerak Th12-L1 (thoracolumbal
junction) dan segmen gerak L5-S1 (lumbosacral joint). Dibawah ini akan
dijelaskan tentang three joint kompleks.
a. Diskus Intervertebralis
Diantara dua corpus vertebra dihubungkan oleh diskus intervertebralis,
merupakan fibrocartilago compleks yang membentuk articulasio antara corpus
vertebra, dikenal sebagai symphisis joint. Diskus intervertebralis pada orang
dewasa memberikan kontribusi sekitar dari tinggi spine. Diskus
intervertebralis memberikan penyatuan yang sangat kuat, derajat fiksasi
intervertebralis yang penting untuk aksi yang efektif dan proteksi alignmen dari
canal neural. Diskus juga dapat memungkinkan gerak yang luas pada vertebra.
Setiap diskus terdiri atas 2 komponen yaitu :
1) Nukleus pulposus ; merupakan substansia gelatinosa yang berbentuk jelly
transparan, mengandung 90% air, dan sisanya adalah collagen dan
proteoglycans yang merupakan unsur-unsur khusus yang bersifat mengikat
atau menarik air. Nukleus pulposus merupakan hidrophilic yang sangat kuat
& secara kimiawi di susun oleh matriks mucopolysaccharida yang
mengandung ikatan protein, chondroitin sulfat, hyaluronic acid & keratin
sulfat. Nukleus pulposus tidak mempunyai pembuluh darah dan saraf.

Nukleus pulposus mempunyai kandungan cairan yang sangat tinggi maka


dia dapat menahan beban kompresi serta berfungsi untuk mentransmisikan
beberapa gaya ke annulus & sebagai shock absorber.
2)

Annulus fibrosus ; tersusun oleh sekitar 90 serabut konsentrik jaringan


collagen yang nampak menyilang satu sama lainnya secara oblique &
menjadi lebih oblique kearah sentral. Karena serabutnya saling menyilang
secara vertikal sekitar 30o satu sama lainnya maka struktur ini lebih sensitif
pada strain rotasi daripada beban kompresi, tension, dan shear. Serabutserabutnya

sangat

penting

dalam

fungsi

mekanikal

dari

diskus

intervertebralis, memperlihatkan suatu perubahan organisasi dan orientasi


saat pembebanan pada diskus dan saat degenerasi diskus. Susunan
serabutnya yang kuat melindungi nukleus di dalamnya & mencegah
terjadinya prolapsus nukleus. Secara mekanis, annulus fibrosus berperan
sebagai coiled spring (gulungan pegas) terhadap beban tension dengan
mempertahankan corpus vertebra secara bersamaan melawan tahanan dari
nukleus pulposus yang bekerja seperti bola.
Diskus intervetebralis akan mengalami pembebanan pada setiap
perubahan postur tubuh. Tekanan yang timbul pada pembebanan diskus
intervertebralis disebut tekanan intradiskal. Menurut Nachemson (1964),
tekanan intradiskal berhubungan erat dengan perubahan postur tubuh.
Nachemson meneliti tekanan intradiskal pada lumbal yaitu pada L3-L4 karena
L3-L4 menerima beban intradiskal yang terbesar pada regio lumbal. Dari
penelitian Nachemson menunjukan bahwa tekanan intradiskal saat berbaring

antara 15 25 kp dan tidur miring menjadi 2 x lebih besar dari berbaring. Pada
saat berdiri tekanan intradiskal sekitar 100 kp dan tekanan tersebut menjadi
lebih besar saat duduk tegak yaitu 150 kp. Peningkatan tekanan terjadi saat
berdiri membungkuk dari 100 kp menjadi 140 kp, begitu pula saat duduk
membungkuk tekanan intradiskal meningkat menjadi 160 kp. Peningkatan
tekanan dapat mencapai 200 kp lebih jika mengangkat barang dalam posisi
berdiri membungkuk dan duduk membungkuk.
b. Facet Joint
Sendi facet dibentuk oleh processus articularis superior dari vertebra
bawah dengan processus articularis inferior dari vertebra atas. Sendi facet
termasuk dalam non-axial diarthrodial joint. Setiap sendi facet mempunyai
cavitas articular dan terbungkus oleh sebuah kapsul. Gerakan yang terjadi pada
sendi facet adalah gliding yang cukup kecil. Besarnya gerakan pada setiap
vertebra sangat ditentukan oleh arah permukaan facet articular.
Pada regio lumbal kecuali lumbosacral joint, facet articularisnya
terletak lebih dekat kedalam bidang sagital. Facet bagian atas menghadap
kearah medial dan sedikit posterior, sedangkan facet bagian bawah menghadap
kearah lateral dan sedikit anterior. Kemudian, facet bagian atas mempunyai
permukaan sedikit konkaf dan facet bagian bawah adalah konveks. Karena
bentuk facet ini, maka vertebra lumbal sebenarnya terkunci melawan gerakan
rotasi sehingga rotasi lumbal sangat terbatas. Facet artikularis lumbosacral
terletak sedikit lebih kearah bidang frontal daripada sebenarnya pada sendisendi lumbal lainnya.

Sendi facet dan diskus memberikan sekitar 80% kemampuan spine


untuk menahan gaya rotasi torsion dan shear, dimana -nya diberikan oleh
sendi facet. Sendi facet juga menopang sekitar 30% beban kompresi pada
spine, terutama pada saat spine hiperekstensi. Gaya kontak yang paling besar
terjadi pada sendi facet L5-S1.
Struktur pendukung lainnya dalam segmen gerak adalah ligament dan otot.
Ligamen-ligamen yang memperkuat segmen gerak adalah :
a. Ligamen longitudinal anterior
Ligamen longitudinal anterior merupakan ikatan padat yang panjang
dari basis occiput ke sacrum pada bagian anterior vertebra. Dalam
perjalanannya ke sacrum, ligamen ini masuk ke dalam bagian anterior diskus
intervertebralis dan melekat pada antero-superior corpus vertebra. Ligamen
longitudinal anterior merupakan ligamen yang tebal dan kuat, dan berperan
sebagai stabilisator pasif saat gerakan ektensi lumbal.
b. Ligamen longitudinal posterior
Ligamen longitudinal posterior memanjang dari basis occiput ke canal
sacral pada bagian posterior vertebra, tetapi ligamen ini tidak melekat pada
permukaan posterior vertebra. Pada regio lumbal, ligamen ini mulai menyempit
dan semakin sempit pada lumbosacral, sehingga ligamen ini lebih lemah
daripada

ligamen

longitudinal

anterior.

Dengan

demikian

diskus

intervertebralis lumbal pada bagian posterolateral tidak terlindungi oleh


ligamen longitudinal posterior. Ligamen ini sangat sensitif karena banyak
mengandung serabut saraf afferent nyeri (A delta dan tipe C) dan memiliki

sirkulasi darah yang banyak. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif
saat gerakan fleksi lumbal.
c. Ligamen flavum
Ligamen ini sangat elastis dan melekat pada arcus vertebra tepatnya
pada setiap lamina vertebra. Ke arah anterior dan lateral, ligamen ini menutup
capsular dan ligamen anteriomedial sendi facet. Ligamen ini mengandung lebih
banyak serabut elastin daripada serabut kolagen dibandingkan dengan ligamenligamen lainnya pada vertebra. Ligamen ini mengontrol gerakan fleksi lumbal.
d. Ligamen interspinosus
Ligamen ini sangat kuat yang melekat pada setiap processus spinosus
dan memanjang kearah posterior dengan ligamen supraspinosus. Ligamen ini
berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi lumbal.
e. Ligamen supraspinosus
Ligamen ini melekat pada setiap ujung processus spinosus. Pada regio
lumbal, ligamen ini kurang jelas karena menyatu dengan serabut insersio otot
lumbodorsal. Ligamen ini berperan sebagai stabilisator pasif saat gerakan fleksi
lumbal.

f. Ligamen intertransversalis
Ligamen ini melekat pada tuberculum asesori dari processus transversus
dan berkembang baik pada regio lumbal. Ligamen ini mengontrol gerakan
lateral fleksi kearah kontralateral.

Sedangkan otot-otot yang memperkuat segmen gerak lumbal adalah:


a. Erector Spine, merupakan group otot yang luas dan terletak dalam pada facia
lumbodorsal, serta muncul dari suatu aponeurosis pada sacrum, crista illiaca
dan procesus spinosus thoraco lumbal. Group otot ini terbagi atas beberapa otot
yaitu:
1) M. Transverso spinalis
2) M. Longissimus
3) M. Iliocostalis
4) M. Spinalis
5)

Paravertebral muscle (deep muscle) seperti m. intraspinalis dan m.


intrasversaris

Group otot ini merupakan penggerak utama pada gerakan extensi lumbal dan
sebagai stabilisator vertebra lumbal saat tubuh dalam keadaan tegak.
b. Abdominal, merupakan group otot extrinsik yang membentuk dan memperkuat
dinding abdominal. Pada group otot ini ada 4 otot abdominal yang penting
dalam fungsi spine, yaitu m. rectus abdominis, m. obliqus external, m. obliqus
internal dan m. transversalis abdominis. Group otot ini merupakan fleksor
trunk yang sangat kuat dan berperan dalam mendatarkan kurva lumbal. Di
samping itu m.obliqus internal dan external berperan pada rotasi trunk.
Didalam memperkuat dinding abdominal, m. abdominal bekerja sebagai direct
brace, m. obliqus internal bekerja sebagai oblique brace kearah inferior dan
posterior sedangkan m. obliqus external bekerja sebagai brace kearah anterior.
c.

Deep lateral muscle, merupakan group otot intrinstik pada bagian lateral

lumbal yang terdiri dari :


1) M. Quadratus Lumborum
2) M. Psoas
Group otot ini berperan pada gerakan lateral fleksi dan rotasi lumbal.
Segmen gerak sangat berperan pada setiap gerakan vertebra lumbal. Pada
saat fleksi lumbal, nukleus pulposus akan bergerak kearah posterior sehingga
mengulur serabut annulus fibrosus bagian posterior. Pada saat yang sama,
processus articularis inferior dari vertebra bagian atas akan bergeser kearah
superior dan cenderung bergerak menjauhi processus articularis superior dari
vertebra bagian bawah sehingga kapsular-ligamenter sendi facet akan mengalami
peregangan secara maksimal serta ligamen pada arcus vertebra (ligamen flavum),
ligamen interspinosus, ligamen supraspinosus dan ligamen longitudinal posterior.
Pada saat ekstensi lumbal, nukleus pulposus akan mendorong serabut
annulus fibrosus bagian anterior sehingga terjadi penguluran dan ligamen
longitudinal anterior juga mengalami penguluran sementara ligamen longitudinal
posterior relaks. Pada saat yang sama, processus articularis dari vertebra bagian
bawah dan atas menjadi saling terkunci, dan processus spinosus dapat saling
bersentuhan satu sama lain.
Pada saat lateral fleksi lumbal, corpus vertebra bagian atas akan bergerak
kearah ipsilateral sementara diskus sisi kontralateral mengalami ketegangan
karena nukleus bergeser kearah kontralateral. Ligamen intertransversal sisi
kontralateral mengalami peregangan sementara sisi ipsilateral relaks. Pada saat
yang sama, processus articular relatif bergeser satu sama lain sehingga processus

articularis inferior sisi ipsilateral dari vertebra atas akan bergerak naik sementara
sisi kontralateral akan bergerak turun.
Pada saat rotasi lumbal, vertebra bagian atas berotasi terhadap vertebra
bagian bawah, tetapi gerakan rotasi ini hanya terjadi disekitar pusat rotasi antara
processus spinosus dengan processus articularis. Diskus intervertebralis tidak
berperan dalam gerakan axial rotasi, sehingga gerakan rotasi sangat dibatasi oleh
orientasi sendi facet vertebra lumbal. Menurut Gregersen dan D.B. Lucas, axial
rotasi pada vertebra lumbal mempunyai total ROM secara bilateral sekitar 10 o dan
ROM segmental sekitar 2o dan segmental unilateral sekitar 1o.

Anda mungkin juga menyukai