3 Votes
I. Pendahuluan
Indonesia memiliki lebih dari 5.590 sungai yang sebagian besar di antaranya memiliki
kapasitas tampung yang kurang memadai sehingga tidak bisa terhindar dari bencana alam
banjir, kecuali sungai-sungai di Pulau Kalimantan dan beberapa sungai di Jawa. Secara
umum sungai-sungai yang berasal dari gunung berapi (volcanic) mempunyai perbedaan slope
dasar sungai yang besar antara daerah hulu (upstream), tengah (middlestream) dan hilir
(downstream) sehingga curah hujan yang tinggi dan erosi di bagian hulu akan menyebabkan
jumlah sedimen yang masuk ke sungai sangat tinggi. Tingginya sedimen yang masuk
akhirnya menimbulkan masalah pendangkalan sungai terutama di daerah hilir yang relatif
lebih landai dan rata, sehingga sering terjadi banjir di dataran rendah. Sungai-sungai tersebut
dikelompokkan menjadi 90 (sembilan puluh) Satuan Wilayah Sungai (SWS) yang terdiri dari
73 SWS propinsi dan 17 SWS pusat yang berlokasi dilintas propinsi.
Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan pengelolaan sungai, meliputi: (i)
ketidakjelasan peran dan batasan wewenang antara kabupaten, kota, propinsi, dan pusat
dalam penanganan, pengelolaan dan pembiayaan sungai; (ii) kecenderungan peningkatan
potensi konflik pemanfaatan air di daerah dan wilayah sungai; (iii) tidak terkendalinya
penambangan galian c (pasir) di badan sungai sehingga menurunkan fungsi bangunan
pengambilan air; (iv) sedimentasi tinggi akibat rusaknya daerah hulu/catchment area; (v)
makin cepatnya penurunan kapasitas pengaliran air sungai dan bangunan pengendali banjir;
(vi) makin besarnya perbedaan aliran dasar sungai pada musim hujan dan musim kemarau
(Qmax-Qmin); (vii) makin menurunnya kualitas air sungai, khususnya di daerah aliran tengah
dan hilir; (viii) tidak terkendalinya permukiman penduduk di daerah bantaran sungai
sehingga meningkatkan risiko banjir; (ix) belum memadainya database sungai.
II. Hidrolika Sungai
Sungai atau saluran terbuka menurut Triatmodjo (1996:103) adalah saluran dimana air
mengalir dengan muka air bebas. Pada saluran terbuka, misalnya sungai (saluran alam),
variabel aliran sangat tidak teratur terhadap ruang dan waktu. Variabel tersebut adalah
tampang lintang saluran, kekasaran, kemiringan dasar, belokan, debit aliran dan sebagainya.
Tipe aliran saluran terbuka menurut Triatmodjo (1996:104) adalah turbulen, karena kecepatan
aliran dan kekasaran dinding relatif besar. Aliran melalui saluran terbuka akan turbulen
apabila angka Reynolds Re > 1.000, dan laminer apabila Re < 500. Aliran melalui saluran
terbuka dianggap seragam (uniform) apabila berbagai variabel aliran seperti kedalaman,
tampang basah, kecepatan, dan debit pada setiap tampang saluran terbuka adalah konstan.
Aliran melalui saluran terbuka disebut tidak seragam atau berubah (non uniform flow atau
varied flow), apabila variabel aliran seperti kedalaman, tampang basah, kecepatan di
sepanjang saluran tidak konstan. Apabila perubahan aliran terjadi pada jarak yang pendek
maka disebut aliran berubah cepat, sedang apabila terjadi pada jarak yang panjang disebut
aliran berubah tidak beraturan. Aliran disebut mantap apabila variabel aliran di suatu titik
seperti kedalaman dan kecepatan tidak berubah terhadap waktu, dan apabila berubah terhadap
waktu disebut aliran tidak mantap. Selain itu aliran melalui saluran terbuka juga dapat
dibedakan menjadi aliran sub kritis (mengalir) jika Fr <1, dan super kritis (meluncur) jika Fr
>1. Diantara kedua tipe tersebut aliran adalah kritis ( Fr =1).
III. Bentuk Daerah Aliran Sungai (DAS)
Bentuk DAS akan berpengaruh pada banyaknya dan kecepatan aliran air berkaitan dengan
kemungkinan terjadinya variabilitas pada sifat-sifat tanah, kemiringan, topografi, vegetasi
serta sistem drainase yang ada. Secara umum bentuk DAS dapat di golongkan ke dalam tiga
bentuk (Sudarsono dan Takeda, 1980) yaitu: (i) sempit memanjang dengan sistem
percabangan sungai tersusun seperti bulu burung, (ii) melebar (membulat atau persegi
empat) dengan sistem percabangan akan terpusat pada tempat-tempat tertentu, dan (iii) segi
tiga dengan sistem percabangan sungai yang juga akan terpusat di dekat out-let. Pada DAS
yang berbentuk sempit memanjang, sedimen yang tinggi juga akan merusak sarana dan
fasilitas irigasi dan instalasi air minum yang ada. Sedimentasi juga akan mendangkalkan
sungai dan waduk. Kapasitas tampung sungai dan waduk akan berkurang dan kemampuan
transportasi sungai juga terhambat.
IV. Transpor Sedimen
Gerusan yang terjadi pada suatu sungai terlepas dari ada dan tidaknya bangunan sungai
selalu berkaitan dengan peristiwa transpor sedimen. Transpor sedimen merupakan suatu
peristiwa terangkutnya material dasar sungai yang terbawa aliran sungai. Kironoto (1997)
dalam Mira (2004:13), menyebutkan bahwa akibat adanya aliran air timbul gaya-gaya aliran
yang bekerja pada material sedimen. Gaya-gaya tersebut mempunyai kecenderungan untuk
menggerakkan/ menyeret material sedimen. Untuk material sedimen kasar (pasir dan batuan /
granuler), gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut tergantung dari besar butiran
sedimen. Untuk material sedimen halus yang mengandung fraksi lanau (silt) atau lempung
(clay) yang cenderung bersifat kohesif, gaya untuk melawan gaya-gaya aliran tersebut lebih
disebabkan kohesi daripada berat material (butiran) sedimen.
V. Muara Sungai (Estuaria)
Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga
air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar (Pickard, 1967). Kombinasi
pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas,
dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain 1. tempat bertemunya arus sungai
dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada
sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar
pada biotanya. 2. pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika
lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut. 3.
perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan
penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya. 4. tingkat kadar garam di
daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arusarus lain, serta topografi daerah estuaria tersebut.
Secara umum estuaria mempunyai peran ekologis penting antara lain : sebagai sumber zat
hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation),
penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat
berlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk
bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies
ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum dimanfaatkan manusia untuk tempat
pemukiman, tempat penangkapan dan budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi,
pelabuhan dan kawasan industri (Bengen, 2004).
Aktifitas yang ada dalam rangka memanfaatkan potensi yang terkandung di wilayah pesisir,
seringkali saling tumpang tindih, sehingga tidak jarang pemanfaatan sumberdaya tersebut
justru menurunkan atau merusak potensi yang ada. Hal ini karena aktifitas-aktifitas tersebut,
baik secara langsung maupun tidak langsung, mempengaruhi kehidupan organisme di
wilayah pesisir, melalui perubahan lingkungan di wilayah tersebut. Sebagai contoh, adanya
buangan baik dari pemukiman maupun aktifitas industri, walaupun limbah ini mungkin tidak
mempengaruhi tumbuhan atau hewan utama penyusun ekosistem pesisir di atas, namun
kemungkinan akan mempengaruhi biota penyusun lainnya. Logam berat, misalnya mungkin
tidak berpengaruh terhadap kehidupan tumbuhan bakau (mangrove), akan tetapi sangat
berbahaya bagi kehidupan ikan dan udang-udangnya (krustasea) yang hidup di hutan tersebut
(Bryan, 1976).
VI. Fluvial
Proses fluvial terdiri dari gerakan sedimen dan erosi atau endapan di sungai. Erosi oleh air
bergerak terjadi dalam dua cara. Pertama, gerakan air di ranjang ini memiliki efek (Hal ini
disebut sebagai tindakan hidrolik). Kedua, sedimen diangkut di sungai itu memakai tempat
tidur (Abrasion) dan fragmen sendiri tanah turun menjadi lebih kecil dan lebih bundar
(Gesekan).
Sedimen diangkut baik sebagai bedload (The kasar fragmen yang bergerak dekat dengan
tempat tidur) dan beban yang ditangguhkan (Finer fragmen dibawa dalam air). Ada juga
sebuah komponen dibawa sebagai bahan dibubarkan.
Untuk setiap ukuran butir ada kecepatan tertentu di mana butir mulai bergerak, yang disebut
Entrainment kecepatan. Namun butir akan terus diangkut bahkan jika kecepatan turun di
bawah kecepatan entrainment akibat berkurangnya (atau dihapus) gesekan antara butir dan
sungai tempat tidur. Akhirnya akan jatuh kecepatan cukup rendah untuk butir yang akan
didepositkan. Hal ini diperlihatkan oleh Kurva hjulstrom. Sebuah sungai terus mengambil
dan menjatuhkan partikel padat batu dan tanah dari tempat tidur di seluruh panjangnya. Mana
aliran sungai cepat, lebih partikel mengambil daripada menjatuhkan. Mana aliran sungai
lambat, lebih partikel yang dijatuhkan daripada mengambil. Daerah di mana lebih partikel
yang dijatuhkan disebut dataran aluvial atau banjir, dan partikel menjatuhkan disebut
aluvium.
Bahkan sungai kecil membuat endapan aluvial, tetapi di dataran banjir dan delta-delta sungai
yang besar besar, secara geologis-endapan aluvial yang signifikan ditemukan.
Jumlah materi yang dibawa oleh sungai besar sangat besar. Nama-nama dari banyak sungai
yang berasal dari warna bahwa masalah yang diangkut memberikan air. Sebagai contoh,
Huang He di Cina adalah secara harfiah diterjemahkan Sungai Kuning, dan Sungai
Mississippi di Amerika Serikat juga disebut Big Muddy. Diperkirakan bahwa setiap tahunnya
Sungai Mississippi membawa 406 juta ton endapan ke laut,Huang Dia 796 juta ton, dan
Sungai Po di Italia 67 juta ton.
VII. Karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS)
Data yang diperlukan dalam penyusunan Karakteristik DAS diambil dari data yang telah ada
(data sekunder) dan dilengkapi data yang dirasa masih kurang dalam rangka mendukung
analisis pemahaman dan pengetahuan mengenai Karakteristik DAS yang diteliti. Data data
yang diperlukan dalam rangka penyusunan Karakteristik DAS terdiri dari :
Morphologi DAS yang meliputi :
a. Bentuk DAS.
b. Relief/ topografi/ land form.
c. Bentuk drainase ( drainage pettern ).
Morphometri DAS yang Meliputi :
a. Kepadatan drainase ( drainage density ).
b. Keliling DAS.
c. Kemiringan DAS.
d. Gradien sungai utama.
e. Panjang sungai utama.
f. Perbedaan tinggi maksimum.
Hidro- orologi DAS :
a. Debit sungai.
b. Curah Hujan.
c. Erosi.
d. Kandungan lumpur.
Geologi :
Luas DAS dapat diukur pada potret udara, peta topografi atau dengan peta peta planimetri
yang telah didelineasi batas batas yang akan diukur luasnya, dengan menggunakan planimeter
atau dot grid atau dengan fasilitas komputer GIS.
2. Bentuk ( Shape )
Bentuk DAS mempunyai pengaruh pada pola aliran sungai dan ketajaman puncak discharge
banjir. Bentuk daerah aliran sungai ini sulit untuk dinyatakan secara kuantitatif. Dengan
membandingkan konfigurasi basin, dapat dibuat suatu indeks yang didasarkan pada derajat
kekasaran atau circularity dari DAS.
3. Lereng ( Slope )
Kecepatan dan tenaga erosif dari overland flow sangat dipengaruhi oleh tingkat kelerengan
lapangan. Untuk mengukur lereng dapat dilakukan dengan menggunakan alat Abney Level
atau clinometer. Pada potret udara pengukuran lereng dapat dilakukan dengan menggunakan
slope meter atau dengan mencari beda tinggi dengan paralaks meter.
4. Ketinggian ( Elevation ) DAS
Elevasi rata rata dan variasi ketinggian pada suatu DAS merupakan faktor penting yang
berpengaruh terhadap temperatur dan pola hujan, khususnya pada daerah daerah dengan
topografi bergunung. Ketinggian suatu tempat dapat diketahui dari peta topografi, diukur
dilapangan atau melalui foto udara, jika terdapat salah satu titik kontrol sebagai titik ikat.
Hubungan antara elevasi dengan luas DAS dapat dinyatakan dalam bentuk hipsometrik
(Hypsometric Curve).
5. Orientasi DAS (Aspect)
Transpirasi, evaporasi dan faktor faktor yang berpengaruh pada jumlah air yang tersedia
untuk aliran sungai, seluruhnya dipengaruhi oleh orientasi umum atau arah dari DAS.
Orientasi DAS secara normal dinyatakan dalam derajat azimuth atau arah kompas seperti
arah utara, timur laut, timur dan sebagainya. Tanda arah anak panah yang menunjukkan arah
DAS dapat dipakai sebagai muka DAS (faces). Arah aliran sungai utama dapat juga dipakai
sebagai prtunjuk umum orientasi DAS. LEE (1963) menyatakan bahwa arah DAS dapat
dinyatakan sebagi azimuth dari garis utara searah jarum jam.
6. Jaringan Sungai ( Drainage network )
Pola aliran atau susunan sungai pada suatu DAS merupakankarakteristik fisik setiap drainase
basin yang penting karena pola aliran sungai mempengaruhi efisiensi sistem drainase serta
karakteristik hidrografis dan pola aliran menentukan bagi pengelola DAS untuk mengetahui
kondisi tanah dan permukaan DAS khususnya tenaga erosi.
7. Pola Aliran ( Drainage Pattern )
Bentuk pola aliran (drainage pattern) ada bermacam macam yang masing masing
dicirikan oleh kondisi yang dilewati oleh sungai tersebut. Bentuk pola aliran yang biasa
dijumpai ada delapan jenis yaitu :
Dendritik.
Paralel.
Trelis.
Rectangular.
Radial.
Annural.
Multibasional.
Contorted.
Bentuk pola aliran pada sebagian besar sungai sungai di Indonesia adalah dendritik dengan
kondisi yang berbeda beda menurut batuannya.
Batuan limestone dan shale teranyam bertopografi solusional dapat memiliki pola aliran
dendritik. Pada topografi dengan lereng seragam, pola aliran yang terbentuk adalah dendritik
medium, sedang pada topografi berteras kecil, pola lairan dendritik yang terbentuk adalah
dendritik halus.
8. Kerapatan Pengaliran ( Drainage Density )
Metode kuantitatif lain dalam jaringan sungai suatu DAS adalah penentuan kerapatan aliran
(drainage density). Lynsley (1949) menyatakan bahwa jika nilai kepadatan aliran lebih kecil
dari 1 mile/mile2 (0,62 Km/ Km2), DAS akan mengalami penggenangan, sedangkan jika
nilai kerapatan aliran lebih besar dari 5 mile/mile2 (3,10 Km/Km2), DAS sering mengalami
kekeringan.
9. Evapotranspirasi
Disamping karakteristik DAS yang telah disebutkan diatas, faktor lain yang juga penting
adalah cuaca dan iklim. Karakteristik ini meliputi curah hujan (presipitasi) dan unsur cuaca
yang lain (temperatur udara, kelembaban relatif, angin, evaporasi dan jumlah penyinaran
matahari).
10. Pusat Gravitasi DAS
Penentuan pusat gravitasi DAS ialah dengan meletakkan grid pada seluruh DAS, kemudian
dihitung secara sistematik banyaknya knot dari grid pada sumbu xi dan yi, menurut sistem
koordinat x, y.
11. Gradien Sungai
Salah satu cara menghitung gradien sungai rata rata adalah dengan slope faktor yang
dikembangkan oleh Benson (1962) yaitu dengan menghitung lereng saluran antara 10 % dan
85 % jarak dari outlet.
X. Eko-Hidraulik
Sejarah ekohirdolik tidak terlepas dari eksplotasi sungai, ekspolitasi itu antara lain
Koreksi sungai (Rver correction)
Transpotasi sungai (WaterWay)
Bangunan tenaga air (Hydropower Plant
Sungai termasuk salah satu wilayah keairan , sungai bisa dibagi menjadi beberapa bagian
yaitu sungai kecil, menegah dan sungai besar. Secara ekologi sungai terbagi menjadi wilyah
keairan diam atau wilayah keairan dinamis. Wilayah keairan diam misalnya danau dimana
pendukung ekosistem merupakan ekosistem yang tertutup. Sedangkan wilayah keairan
mengalir merupakan suatu ekosistem yang terbuka dengan factor dominan adalah wilayah air,
dari hulu hingga hilir.
Sungai dapat terbagi menjadi beberapa bagian dan dapat diklasifikasikan dengan
menggunakan zona memenjang sungai. Zona memanjang pada umumnya diawali dengan kali
kecil dari mata air didaerah pegunungan , kemudian sungai menengaha di daerah peralihan
antara pegunungan dan dataran rendah, dan selanjutnya sunngai besar pada dataran rendah
sampai daerah pantai. Dari literature pada umumnya diketemukan 3 zona sungai yaitu bagian
hulu upstrem , bagian tengah midle-strem dan bagian hilir downsteram dari hilir kehulu
dapat dailihat perubahan kemiringan seperti tampak pada gambar potongan memanjang
sungai juga dapat terbagi menjadi zona melintang dimana dpat dibedakan menjadi 3 yaitu
zona akuatik , zona amphibi, dan zona teras sungai.
Sungai juga mempunyai morfologi dimana morfologi sungai menggambarkan keterpaduan
antara karakteristik abiotik dan karakteristik biotik daerah yang dilaluinya. Adapun
keseimbangan morfologi sungai dapat dibedakan menjadi 4 yaitu :
1. Keseimbangan statis (tidak ada perubahan sama sekali dalam kurun waktu tak
terbatas)
2. Keseimbangan seragam, yaitu kesetimbngan dimana ada satu atau lebih factor
penyusun kondisi memiliki tedensi statis
3. Keseimbangan dinamis, kesetimbangan yang berbagai factor penyusun suatu kondisi
berubah secara bersama-sama
4. Keseimbanggan dinamis metastabil seragam, kesetimbanggan yang faktor
berfluktuasi secara dinamis seragam serta berubah ekstrim secara kontinu.
Seluruh komponen yang membentuk sungai memiliki skala perubahan waktu dan ruang yang
berbeda tergantung kekuatan ekologinya dan fisik-hidrauliknya masing-masing. Perubahan
skala ruang waktu menurut kern sangatlah penting guna memahami perubahan alami yang
biasa terjadi pada sungai dan perubahan yang terjadi karena suatu aktifitas tertentu di sungai.
Sebagai contoh adalah jika suatu sungai diluruskan maka dampak dari aktifitas ini akan
berpengaruh terhadap seluruh komponen sungai sungai tersebut. Hal ini yang nantinya akan
dibahas lebih lanjut pada bahasan tentang ekohidraulik. Selain itu sungai juga akan
terpengaruh pada struktur dasar sungai yang mempengaruhi pembentukan sungai itu sendiri.
XI. Eko-Hidraulika sungai
Fungsi sungai sebagai saluran eko-drainase (suatu usaha membuang /mengalirkan air
kelebihan ke sungai dengan waktu seoptimal mungkin sehingga tidak menyebabkan
terjadinya masalah kesehatan dan banjir di sungai yang terkait, maryono,2001). Selain itu
juga bisa sebagi saluran irigasi dan sebagi fungsi ekologi dimana sebagai tempat hidupnya
flora dan fauna. Dengan pengetahuan itu perlu diterapkan konsep yang menyentuh semua
fungsi sungai di atas maka salah satunya dengan konsep eko-hidrolik dimana konsep ini
mempertahankan kondisi sungai tersebut semaksimal mungkin masih seperti semula. Dalam
konsep eko-hidraulik tidak ada satu factor apapun yang tidak penting. Maka diperlukan
banyak data pendukung seperti data social, fisik hidraulik , ekologi.
Konsep hidraulik murni hanya memperhatikan dua unsure yaitu aliran air dan aliran sedimen,
sedangkan pada konsep eko-hidraulik disamping dua itu juga memperhatikan pula komponen
vegetasi.
Eko-Engineering dalam Eko-hidraulik
Dalam perkembanganya eko-hidraulik telah menghasilkan rekayasa-rekayasa baru yang dapat
digunakan dalam penyelesaian maslah keairan dengan memanfaatkan faktor ekologi yang ada
( misalanya menangani longsor yang ada dengan mengunkan vegetasi yang ada). Penerapan
eko-engineering dengan konsep Eko-hidraulik dapat diterapkan misalnya pada penanganan
longsoran tebing dengan melakukan penanaman bambu, rumput dan karangkungan atau
perlindungan tebing dengan menggunakan ikatan batang atau dengan batu tanah yang ada.
Dan bisa juga dengan menggunakan bending rendah pada dasr sungai dengan kayu mati yang
akan membuat turunya erosi di dasar sungai.
Konservasi dan pemeliharaan sungai integratif
Konservasi atau pemeliharaan sungai didefinisikan sebagai upaya untuk menjaga
keberlangsungan mekanisme ekosistem sungai (perpaduan antara habitat dan organisme
sungai) secara mikro maupun secara makro dari hulu hingga hilir, sehingga sungai dapat
bermanfaat dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Komponen yang menjadi dasar dalam
pemeliharaan sungai terdiri dari:
a) Komponen hidraulik
Meliputi berbagai hal yang berhubungan dengan aliran air dan sedimen. Yang dominan
misalnya debit aliran, kecepatan aliran, tinggi permukaan, tekanan air, turbulensi makro,
distribusi kecepatan mikro pada lokasi tertentu dan lai-lain.dalam konsep eko hidraulik aliran
bukan hanya berhububungan energy potensial tapi juga dengan flora dan fauna di sekiar
sungai. Dan yang penting juga adalah mata air disekitar sungai
b) Komponen sedimen dan morfologi sungai
semua sedimen yang ada disungai termasuk sedimen organic dan anorganik
c) Komponen ekologi
segala komponen biotic yang hidup di sungai (flora dan fauna )
d) Komponen sosial
persepsi masyarakat yang ada disekitar bantaran sungai terhadap komponen-komponen di
atas
Pemeliharaan sungai intergratif
1. Mempertahankan kondisi abiotik dan biotik
koreksi kontruksi perkerasan tebing sungai kecil dengan mengganti perkersan tebing
dengan batu atau cor dengan menggunkan vegetasi misalnya bamboo
koreksi abutmen jembatan bisa dengan cara mempelebar atau pembanguna sempadan
untuk jembatan yang lebar
Geometri dari alur sungai tergantung pada fenomena hidrologi, geologi, dan sedimentasi di
DAS. Bentuk tipikal alur sungai adalah hasil dari proses alamiah yang panjang yang
dilakukan oleh interaksi yang kompleks dari beberapa variabel sehingga menghasilkan
planform sungai yang kita lihat sekarang ini. Variabel yang dimaksud adalah waktu, geologi,
iklim, tipe dan kepadatan vegetasi, catatan panjang debit dan angkutan sedimen di sungai,
geometri bantaran sungai, debit rata-rata, karakteristik aliran (kedalaman, kecepatan,
turbulensi, dsb). Jika variabel-variabel tersebut berada dalam kondisi relatif konstan maka
sungai akan membentuk planform yang relatif konstan pula atau mengalami kondisi yang
disebut equilibrium condition. Pada kondisi ini sungai tetap mengalami perubahan bentuk
yang dinamis (quasi-quilibrium) namun perubahan tersebut tidak ekstrim dan sangat lambat.
Dalam tinjauan skala waktu geologi yang panjang, morfologi sungai difokuskan pada evolusi
landscape yang dipengaruhi oleh iklim, base level (formasi batuan di dasar sungai), dan
stabilitas tektonik.
Perubahan karakteristik DAS Sesayap akibat pembukaan lahan yang terus menerus
belakangan ini mengakibatkan kondisi morfologi sungai tidak stabil. Distribusi angkutan
sedimen sangat bervariasi dalam ukuran waktu dan ruang. Debit, pola aliran, angkutan
sedimen, kecepatan arus dapat berubah dalam waktu yang singkat dan sungai secara reaktif
mengalami perubahan planform. Hingga kini belum ada catatan yang merekam riwayat
perubahan planform Sungai Sesayap, namun dari besarnya angkutan sedimen, proses
sedimentasi dan erosi yang cukup intensif di floodplain dan tebing sungai terutama di ruas
Sungai Malinau, dapat dikatakan planform Sungai Sesayap akan terus berubah secara dinamis
hingga ditemukan suatu kondisi quasi-equilibrium yang baru. Fenomena ini dapat terlihat jika
ada rekaman planform sungai dalam waktu 10 hingga 100 tahun (dalam skala waktu
menengah). Jika tinjauan dilakukan dalam skala waktu yang lebih singkat lagi, maka dapat
dilihat perubahan topografi dasar sungai (bed topography) yang tersusun dari formasi seperti
ripple, dan dune yang ditentukan oleh variasi debit harian dan karakteristik partikel sedimen.
Mengingat usia guna infrastruktur sungai, maka tinjauan morfologi sungai dalam rentang
waktu menengah dan singkat lebih relevan untuk ditinjau.
Yang menjadi titik tekan dalam meninjau planform sungai ini adalah :
Kelengkungan
Radius tikungan
Tingginya kecepatan di bagian hulu tidak terlepas dari bentuk planform sungai yang
cenderung lurus sehingga resistensi sungai terhadap arus cukup rendah. Selain itu
kemiringan/ slope dasar sungai yang curam juga menyebabkan kecepatan aliran tinggi.
Bagian ruas tengah (middlestream) hingga ke hilir (downstream) sungai umumnya berkelokkelok atau bermeander. Semakin ke hilir, kecepatan aliran semakin berkurang sehingga
ukuran sedimen yang terangkut pun semakin kecil. Dengan membentuk planform meander,
secara alamiah sungai telah meningkatkan resistensi terhadap aliran sehingga mengurangi
intensitas gerusan terhadap tebimg dan dasar sungai. Meander membuat slope dasar sungai
menjadi lebih landai dan kecepatan aliran secara umum berkurang. Terbentuknya meander
di sungai dapat dijelaskan sebagai hasil interaksi antara pola aliran, pengangkutan sedimen,
serta karakteristik sedimen di dasar sungai.
Dengan membayangkan suatu sungai berplanform lurus (straight channel), gravitasi
mendorong air mengalir kearah hilir yang besarnya berbanding lurus dengan kemiringan
dasar saluran. Saat debit mulai rendah (kondisi setelah banjir) sedimen memilih mengendap
di zona penampang sungai yang kecepatan alirannya rendah yakni di dasar tebing kiri dan
kanan .
Perlahan-lahan bar mulai tumbuh seiring dengan mengendapnya sedimen yang terangkut
dari hulu. Setelah ukuran bar cukup besar, aliran terdefleksi ke sisi yang lain dari sungai
dengan vektor kecepatan yang terkonsentrasi sehingga kapasitas angkut sedimen menjadi
tinggi di sisi tersebut dan mengakibatkan gerusan di sisi tersebut.
Kecepatan arus yang terkonsentrasi ke arah tebing mengakibatkan gaya sentrifugal (Fc) yang
kemudian mengangkat elevasi muka air. Naiknya elevasi muka air dalam arah melintang.
Pertambahan elevasi muka air menimbulkan gaya hidrostatis (Fp) yang berlawanan arah
dengan Fc. Di permukaan sungai nilai Fc lebih besar dari Fp sehingga arus mengalir searah
Fc ke arah luar, sedangkan di bagian bawah ( semakin mendekati dasar sungai nilai Fp
semakin besar), Fp lebih besar dari Fc sehingga aliran di bagian bawah bergerak ke arah
dalam. Mekanisme ini menghasilkan helical flow.
Helical flow mulai menggerus dasar tebing luar sehingga stabilitas tebing luar terganggu,
kemudian terjadi keruntuhan dan gerusan terhadap tebing luar menghasilkan planform
cekungan (concave bank). Hasil gerusan tebing terangkut ke bagian hilir cekungan dan
mengendap membentuk formasi bar yang baru tepat di ujung hilir cekungan. Adanya bar
tersebut mengakibatkan vektor kecepatan kembali terdefleksi ke arah tebing yang lain.
Kemudian mekanisme yang sama terulang lagi hingga terbentuk cekungan baru dan bar baru
kemudian alur sungai mulai tampak berkelok.
Akibat gerusan terus menerus, cekungan bermigrasi dalam arah lateral dan produk
gerusannya mengendap di sisi yang lain (lateral migration of bend) sehingga mempertegas
kelengkungan meander sungai.
Menurut Planformnya, sungai dikategorikan sebagai berikut :
Pertama, sungai lurus (straight river) yang kelengkungan (sinuosity) tikungannya kurang dari
1,5.
Kedua, sungai braided yang ditandai dengan banyaknya bar di tengah sungai sehingga
terbentuk multi-channel saat kondisi muka air rendah.
Ketiga, sungai bermeander yang mempunyai kelengkungan tikungan lebih dari 1,5.
Geometri tikungan dicirikan oleh radius, amplitudo, dan panjang gelombang tikungan
(valley wavelength). Kelengkungan (sinuosity) adalah jarak antara dua titik diukur mengikuti
alur sungai (Ls) dibagi dengan jarak lurus antara kedua titik tersebut (Lv). Sinuosity =
Ls/Lv.
About these ads
Perkuatan lereng
Filed under: Sipilian Leave a comment
July 20, 2010
3 Votes
Pengenalan perkuatan lereng dan tujuannya
Perkuatan lereng/Revetments merupakan struktur perkuatan yang ditempatkan di tebing
sungai untuk menyerap energi air yang masuk guna melindungi suatu tebing alur sungai atau
permukaan lereng tanggul terhadap erosi dan limpasan gelombang (overtopping) ke darat dan
secara kesuluruhan berperan meningkatkan stabilitas alur sungai atau tubuh tanggul yang
dilindungi.
Disamping digunakan untuk melindungi lereng sungai, revertment juga biasanya digunakan
untuk melindungi tanggul, ataupun pantai. Daerah yang dilindungi revertment adalah daratan
tepat di belakang bangunan. Permukaan bangunan yang menghadap arah datangnya
gelombang dapat berupa sisi vertikal atau miring. Bangunan ini bisa terbuat dari pasangan
batu, beton, tumpukan pipa (buis) beton, turap, kayu atau tumpukan batu ataupun beberapa
jenis revertment yang di produksi oleh pabrik. Namun yang sering di jumpai di lapangan
adalah revertment yang terbuat dari tumpukan batu dengan lapis luarnya terdiri dari batu
dengan ukuran yang lebih besar.
Faktor-faktor perkuatan lereng pada sungai
Perlindungan atau pengamanan terhadap tebing sungai dimaksudkan untuk melindungi lereng
ataupun tebing di sepanjang sungai dari perubahan-perubahan yang tidak diinginkan, seperti
erosi ataupun sedimentasi di alur pelayaran atau pelabuhan.
Secara umum, ada 2 faktor yang menyebabkan ketidakstabilan lereng, yaitu :
1. Faktor-faktor yang menyebabkan naiknya tegangan, meliputi naiknya berat unit tanah
karena pembasahan, adanya tambahan beban eksternal (bangunan), bertambahnya
kecuraman lereng kaena erosi alami atau pengalian, dan berkerjanya beban
goncangan.
2. Faktor-faktor yang menyebabkan turunnya kekuatan, meliputi adsorpsi air, kenaikan
tekanan pori, beban goncangan/beban berulang, pengaruh pembekuan atau pencairan,
hilangnya sementasi material, proses pelapukan, dan tengangan berlebihan pada
lempung yang sensitif.
Upaya yang dapat dilakukan untuk melindungi tebing sungai antara lain adalah secara
natural, alam menyediakan tumbuhan seperti pohon bakau, pohon api-api atau pohon nipah
sebagai pelindung tebing. Tumbuhan ini akan memecahkan energi gelombang dan memacu
pertumbuhan sungai. Gerakan air yang lambat diantara akar-akar pohon tersebut di atas dapat
mendukung proses pengendapan dan merupakan tempat yang baik untuk berkembang
biaknya kehidupan air, misalnya ikan.
Dan fungsi dari perkuatan lereng berkaitan dengan faktor kelemahan dari sungai yaitu:
1. Mengubah laju sedimentasi yang masuk ke daerah tebing sungai
2. Mengurangi energi gelombang yang sampai ke tepi sungai.
3. Memperkuat tebing sungai sehingga tahan terhadap gempuran gelombang. Misalnya
dengan pembuatan bangunan revetment
1. Gebalan rumput merupakan suatu perlindungan lereng yang umum digunakan untuk
melindungi tanggul dari hempasan air hujan agar tidak terjadi erosi atau gusuran dari
rumput.
2. Hamparan anyaman dahan willow merupakan penahan sungai yang cocok untuk
arus sungai yang tidak deras dengan kemirinagn lereng yang lebih landai dari 1:2 dari
anyaman dahan willow.
3. Hamparan anyaman berisi batu merupakan perkuatan lereng yang digunakan pada
bagian sungai yang senantiasa terjadi pukulan air tetapi arusnya tidak deras.
4. Bronjong kawat silinder merupakan batu kali yang didapat dari sungai atau batu
belah dapat ditempatkan di atas permukaan lereng yang akan dilindungi, kelebihan
dari bronjong kawat selinder adalah kekasarannya yang tinggi, fleksibel, dapat
dikerjakan dengan cepat dan cukup ekonomis terutama untuk pelindung lereng secara
darurat atau sementara.
5. Blok beton merupakan perlindungan lereng yang menghubungkan antara balokbalok beton yang berdekatan
6. Pasangan batu merupakan perlindungan lereng yang terbuat dari batu yang biayanya
paling murah daripada perlindungan lereng lainya.
7. Pasangan blok beton merupakan perlindungan lereng yang tebuat dari pasangan
blok-blok beton yang telah dibuat sebelumnya.
8. Perkerasan dengan beton merupakan perkuatan lereng dengan beton yang dicorkan
langsung pada lereng sungai yang telah disiapkan tulangannya. Dan petakan-petakan
ini dibatasi dengan beton bertulang.
Perencanaan perkuatan lereng
Perkuatan lereng yang dilakukan pada tebing sungai sangatlah penting, terutama sungai yang
memiliki karakteristik arus yang kuat atau pun yang membawa banyak bahan sedimen. Oleh
karena itu perencanaan perkuatan lereng dalam rangka pemeliharaan sungai tidak boleh
dilakukan dengan sembarangan. Jika dilakukan dengan sembarangan yang akan terjadi
hanyalah pemborosan dan perkuatan tidak berfungsi dengan baik sebagaimana mestinya.
Ada beberapa hal yang penting dalam pertimbangan dan perencanaan perkuatan lereng, halhal tersebut juga merupakan tahapan yang sistematis agar perkuatan lereng ini dapat
berfungsi sebagaimana mestinya setelah dibangun.
Proses perubahan alur sungai
Proses perubahan alur sungai dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu perubahahan
menyeluruh dan perubahan setempat. Perubahan- perubahan setempat adalah gejala longsor
tebing sungai, pembentukan gosong- gosong pasir, pengendapan-pengendapan pada belokan
dalam dan gerusan pada belokan luar serta perpindahan mendadak alur sungai.
Merencanakan perbaikan sungai: yang paling utama adalah pembuatan rencana denah dan
penampang memanjang serta lintang sungai, sedemikian agar mencapai bentuk sungai yang
paling stabil.
1. Gejala meander
Gejala meander dapat menyebabkan tergogosnya kaki tanggul yang lambat laun dapat
menjebolkan tanggul dan menimbulkan malapetaka yang besar.
Agar dapat dicapai kondisi sungai yang stabil haruslah direncanakan suatu trase alur sungai
dengan belokan-belokan yang tidak terlalu tajam, dengan panjang dan amplitudo tertentu.
Selanjutnya dapat ditetapkan trase perkuatan lereng pada lereng tanggul, tebing sungai dan
lain-lain dengan segala perlengkapannnya seperti pondasi, pelindung pondasi, dan krib-krib.
2.Rencana trase perkuatan lereng
Rencana trase perkuatan lereng didasarkan pada: karakteristik sungai dan data yang tercatat
serta pangalaman di masa yang lalu
Hal- hal yang perlu diperhatikan dalam tahap ini yaitu :
Untuk menetapkan metode pelaksanaan yang cocok dengan kondisi setempat, maka
diperlukan suatu investigasi yang lengkap dan teliti.
Trase perkuatan lereng supaya direncanakan dengan kurva yang sebesar mungkin.
Trase perkuatan tebing alur sungai agar dapat ditempatkan lebih ke belakang.
Biaya pembuatan lebih ekonomis jika dibangun pada daerah yang memiliki batuan
Batuan dirasakan dapat lebih tahan dan dengan mengandalkan gaya berat posisinya
dapat menetap dengan sedikit atau tanpa mempengaruhi nilai perlindungan pada
mereka.
1. Revertment pabrikasi
a. Filter Hiddrostatis
Lapisan Permukaan Beton Filter Hidrostatis dari REVETMENT SYSTEMS
INTERNATIONAL ini merupakan penanganan erosi monolitik kuat yang terdiri dari
pembungkusan tanah berlapis ganda diisi dengan beton yang seluruhnya padat.
Proses pembentukan multi-arah khusus yang diterapkan memungkinkan lapisan-lapisan
bahan yang berbeda dibentuk bersama-sama pada pusat tertentu untuk membentuk filter
hidrostatis yang memungkinkan perlindungan lapisan untuk bernafas, mengeluarkan
tekanan hidrostatis di belakang struktur terpasang.
Lapisan Permukaan Beton FILTER HIDROSTATIS berbiaya rendah, permanen dan
merupakan alternatif utama dalam metode tradisional pengendalian erosi seperti beton castin-situ atau beton shot-in-situ, pemasangan batu, penutupan atau pelapisan dengan batu. Oleh
karena keunikan konstruksi yang dibungkus bahan ini, Lapisan Permukaan Beton FILTER
HIDROSTATIS dapat dipasang baik di atas maupun di bawah permukaan air.
Keberagaman fungsi rancangan dan pemasangan Lapisan Permukaan Beton FILTER
HIDROSTATIS membuatnya sesuai untuk berbagai proyek yang tak terbatas.
b. Flexbox
Sementara mempertahankan semua sifat sistem Lapisan permukaan Beton Filter Hidrostatis,
sistem lapisan FLEXBLOCK dirancang untuk mengakomodasi pergerakan di tanah yang
mendasari. Sifat ini benar-benar mengembangkan konsep perlindungan erosi dengan beton
lapisan tersusun. Proses pembentukan yang dipatenkan ini yang dikembangkan oleh
Revetment Systems International ini menciptakan sebuah lapisan yang terbagi menjadi panelpanel yang saling berhubungan dengan tabung grout.
Tabung-tabung tersebut memungkinkan adanya keseragaman inflasi lapisan. Setiap tabung
grout dirancang untuk berfungsi sebagai titik potong yang memungkinkan setiap panel
bergerak secara bebas sewaktu lapisan tersusun mempertahankan kelengkapan perlindungan.
Seperti halnya dengan berbagai macam sistem perlindungan yang ditawarkan oleh Revetment
Systems International, sistem FLEXBLOCK dapat dipasang baik di atas maupun di bawah
permukaan air. Sifat unik sistem FLEXBLOCK ini menawarkan solusi efektif terhadap
masalah pengendalian erosi yang memerlukan sistem perlindungan yang fleksibel dengan
biaya kompetitif.
c. Growth Matt
Produk ini telah dirancang dengan memanfaatkan efek-efek pengikatan dan kamuflase
tumbuh-tumbuhan, dengan stabilitas dan perlindungan tanggung yang dijaga melalui
gabungan jaringan yang berkelanjutan dari susunan yang dimasuki tabung grout.
Growth Matt diletakkan di atas permukaan yang ada atau yang bagian atasnya tanah dengan
grout berkekuatan tinggi. Ulir susunan antara jaringan tabung bertujuan untuk
mempertahankan tanah sebelum penanaman tumbuhan.
Jika area yang diberi benih telah terbentuk dengan sendirinya, ulir-ulir susunan dapat
membantu mengikat tanahan ke struktur jaringan, dan kemudian membentuk perisai
pelindung yang terpadu terhadap erosi. Seperti yang dijelaskan di atas, susunan tersebut dapat
diwarnai di lokasi atau di mill untuk mengkamuflasekan produk lebih lanjut.
Aplikasi produknya beragam dari pengaliran dengan garis keliling hingga saluran pengalihan,
aliran air banjir dengan kekentalan rendah, perlindungan tanggul dan pekerjaan lapangan
(batu kerikil dapat disebarkan di atas area untuk menggantikan tumbuhan).
Penggunaan grout yang efisien di seluruh sistem merupakan alternatif yang efektif dengan
5 Votes
Usaha untuk memperlambat proses sedimentasi adalah dengan mengadakan pekerjaan teknik
sipil untuk mengendalikan gerakannya menuju bagian sungai di sebelah hilir. Pekerjaan
teknik sipil tersebut berupa pembangunan bendung penahan (check dam), kantong lahar,
bendung pengatur (sabo dam), bendung konsolidasi serta pekerjaan normalisasi alur sungai
dan pengendalian erosi di lereng-lereng pegunungan.
1. Bendung Penahan (check dam)
Bendung-bendung penahan dibangun di sebelah hulu yang berfungsi memperlambat gerakan
dan berangsur-angsur mengurangi volume banjir lahar. Untuk menghadapi gaya-gaya yang
terdapat pada banjir lahar maka diperlukan bendung penahan yang cukup kuat. Selain itu
untuk menampung benturan batu-batu besar, maka mercu dan sayap bendung harus dibuat
dari beton atau pasangan yang cukup tebal dan dianjurkan sama dengan diameter maksimum
batu-batu yang diperkirakan akan melintasi. Sangat sering runtuhnya bendung penahan
disebabkan adanya kelemahan pada sambungan konstruksinya, oleh sebab ini sambungansambungan harus dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Walaupun terdapat sedikit perbedaan perilaku gerakan sedimen, tetapi metode pembuatan
desain untuk pengendaliannya hampir sama, kecuali perbedaan pada konstruksi sayap mercu
serta ukuran pelimpah dan bahan tubuh bendung. Untuk bendung pengendali gerakan
sedimen secara fluvial yang bahannya berbutir halus, mercunya dapat dibuat lebih tipis.
Bahan untuk tubuh beton selain beton dan pasangan batu dapat juga dari kayu, bronjong
kawat, atau tumpukan batu. Sedangkan untuk bendung penahan gerakan massa biasanya
digunakan beton dan pasangan batu. Tipe bendung yang dipakai adalah tipe gravitasi yang
lebih rendah dari 15 m.
1. Bendung Pengatur (sabo dam)
Di samping dapat pula menahan sebagian gerakan sedimen, fungsi utama bendung pengatur
adalah untuk mengatur jumlah sedimen yang bergerak secara fluvial dalam kepekatan yang
tinggi, sehingga jumlah sedimen yang meluap ke hilir tidak berlebihan. Dengan demikian
besarnya sedimen yang masuk akan seimbang dengan kemampuan daya angkut aliran air
sungainya, sehingga sedimentasi pada daerah kipas pengendapan dapat dihindarkan.
Pada sungai-sungai yang diperkirakan tidak akan terjadi banjir lahar, tetapi banyak
menghanyutkan sedimen dalam bentuk gerakan fluvial, maka bendung-bendung pengatur
dibangun berderet-deret di sebelah hulu daerah kipas pengendapan. Untuk sungai-sungai
yang berpotensi banjir lahar, maka bendung-bendung ini dibangun di antara lokasi sistem
pengendalian lahar dan daerah kipas pengendapan.
Jika tanah pondasi terdiri dari batuan yang lunak, maka gerusan tersebut dapat dicegah
dengan pembuatan bendung anakan (sub dam). Kadang-kadang sebuah bendung memerlukan
beberapa buah sub-dam, sehingga dapat dicapai kelandaian yang stabil pada dasar alur sungai
di hilirnya. Stabilitas dasar alur sungai tersebut dapat diketahui dari ukuran butiran sedimen,
debit sungai dan daya angkut sedimen, kemudian barulah jumlah sub-dam dapat ditetapkan.
Selanjutnya harus pula diketahui kedalaman gerusan di saat terjadi banjir besar dan
menetapkan jumlah sub-dam yang diperlukan, agar dapat dihindarkan terjadinya keruntuhan
bendung-bendung secara beruntun.
Penentuan tempat kedudukan bendung, biasanya didasarkan pada tujuan pembangunannya
sebagaimana tertera di bawah ini:
Untuk tujuan pencegahan terjadinya sedimentasi yang mendadak dengan jurnlah yang
sangat besar yang dapat timbul akibat terjadinya tanah longsor, sedimen luruh, banjir lahar
dan lain-lain maka tempat kedudukan bendung haruslah diusahakan pada lokasi di sebelah
hilir dari daerah sumber sedimen yang labil tersebut, yaitu pada alur sungai yang dalam, agar
dasar sungai naik dengan adanya bendung tersebut
Untuk tujuan memperoleh kapasitas tampung yang besar, maka tempat kedudukan
bendung supaya diusahakan pada lokasi di sebelah hilir ruas sungai yang lebar sehingga
dapat terbentuk semacam kantong. Kadang-kadang bendung ditempatkan pada sungai utama
di sebelah hilir muara anak-anak sungai yang biasanya berupa sungai arus deras (torrent)
dapat berfungsi sebagai bendung untuk penahan sedimen baik dari sungai utama maupun dari
anak-anak sungainya.
1. Bendung Konsolidasi
Peningkatan agradasi dasar sungai di daerah kipas pengendapan dapat dikendalikan dan
dengan demikian alur sungai di daerah ini tidak mudah berpindah-pindah. Guna lebih
memantapkan serta mencegah terjadinya degradasi alur sungai di daerah kipas pengendapan
ini, maka dibangun bendung-bendung konsolidasi (consolidation dam). Jadi bendung
konsolidasi tidak berfungsi untuk menahan atau menampung sedimen yang berlebihan.
Apabila elevasi dasar sungai telah dimanfaatkan oleh adanya bendung-bendung konsolidasi,
maka degradasi dasar sungai yang diakibatkan oleh gerusan dapat dicegah. Dengan demikian
dapat dicegah pula keruntuhan bangunan perkuatan lereng yang ada pada bagian sungai
Untuk tujuan pencegahan gerusan pada lapisan tanah pondasi suatu bangunan sungai,
bendung-bendung konsolidasi ditempatkan di sebelah hilir bangunan tersebut.
Untuk menghindarkan tergerus dan jebolnya tanggul pada sungai-sungai arus deras
serta mencegah keruntuhan lereng dan tanah longsor, bendung-bendung konsolidasi
ditempatkan langsung pada kaki-kaki tanggul, kaki lereng dan kaki tebing bukit yang akan
diamankan.
terus-menerus tanpa berakhir, maka kantong-kantong lahar akan sangat berperanan guna
menahan masuknya sedimen yang berlebihan ke dalam alur sungai, khususnya ke dalam alur
sungai-sungai di daerah kipas pengendapan. Guna meningkatkan fungsi kantong-kantong
lahar biasanya diusahakan supaya kantong senantiasa dalam keadaan kosong, yaitu menggali
endapan yang sudah masuk ke dalamnya. Hasil galiannya biasanya dapat dimanfaatkan
sebagai bahan bangunan, yang kualitasnya cukup baik , Pada gunung berapi yang masih aktif
dengan periode letusan yang panjang, diperlukan adanya kantong yang cukup besar, jika
perlu dengan membebaskan tanah-tanah yang akan digunakan sebagai kantong secara
permanen. Pada saat aliran lahar terhenti dan sambil menunggu periode letusan selanjutnya,
kantong dapat dimanfaatkan untuk berbagai usaha pertanian.
Pertemuan Sungai
Filed under: Sipilian Leave a comment
July 20, 2010
Rate This
Sungai merupakan aliran air permukaan yang mengalir ke tempat yang lebih rendah,
jumlahnya tergantung dari tinggi muka air, luas catchment area, perkolasi, infiltrasi dan
besarnya curah hujan. Pada satu catchment area terdiri dari induk sungai dan anak sungai.
Pertemuan antara dua aliran disebut junction, pertemuan dua junction merupakan river
stretch.
Pada river stretch banyaknya air mengalir sama dengan air yang berasal dari hulu dan air
yang berasal dari surface run off dan ground water drainage yang ditambahkan pada stream
sepanjang sungai. Pada pendidikan Teknik Sipil, fenomena tentang pertemuan sungai, baik
junction maupun river stretch perlu dibahas yang mencakup kajian hidraulik pertemuan
saluran, fenomena yang terjadi, dan kasus lainnya.
1. Sekilas Tentang Sungai dan Pertemuan Sungai
a. Sungai
Sungai merupakan aliran air permukaan yang mengalir ke tempat yang lebih rendah,
jumlahnya tergantung dari tinggi muka air, luas catchment area, perkolasi, infiltrasi dan
besarnya curah hujan.
Sungai dapat kita bagi menjadi beberapa jenis berdasarkan pembentukannya, yaitu :
1. Sungai Hujan
Sungai hujan adalah sungai yang sumber airnya berasal dari air hujan yang berkumpul
membuat suatu aliran besar. Sungai-sungai yang ada di Indonesia umumnya adalah
termasuk ke dalam jenis sungai hujan.
2. Sungai Gletser
Sungai gletser adalah sungai yang sumber airnya berasal dari salju yang mencair berkumpul
menjadi kumpulan air besar yang mengalir. Sungai membramo / memberamo di daerah papua
/ irian jaya adalah salah satu contoh dari sungai gletser yang ada di Indonesia.
3. Sungai Campuran
Sungai campuran adalah sungai di mana air sungai itu adalah pencampuran antara air hujan
dengan air salju yang mencair. Contoh sungai campuran adalah sungai digul di pulau papua /
irian jaya.
Perilaku Sungai
Sungai yang mengalirkan alirannya secara terus-menerus akan menggerus tanah dasarnya
sepanjang masa yang akan mengakibatkan terbentuknya lembah-lembah sungai. Karena di
daerah pegunungan kemiringan sungai curam, gaya tarik alirannya cukup besar, setelah aliran
sungai mencapai daratan gaya tariknya akan menurun. Dengan demikian beban yang terdapat
dalam arus sungai berangsur-angsur diendapkan, sehingga butiran sedimen yang mengendap
dibagian hulu sungai lebih besar dari pada dibagian hilirnya. Fenomena ini mengakibatkan
terjadinya kemiringan sungai dari pegunungan (hulu) sampai memasuki dataran yang lebih
landai. Pada lokasi landai, terjadi proses pengendapan yang sangat intensif yang
menyebabkan mudah berpindahnya alur sungai dan terbentuk kipas pengendapan. Sungai
bertambah lebar dan dangkal erosi dasar sungai tidak lagi terjadi. pada daerah ini alur sungai
tidak lagi stabil, apabila alur sungai membelok, terjadilah erosi pada tebing belokan luar
secara intensif.
b. Pertemuan sungai
Pada satu catchment area terdiri dari induk sungai dan anak sungai. Pertemuan antara dua
aliran disebut junction, pertemuan dua junction merupakan river stretch. Lokasi anak sungai
dalam suatu daerah pengaliran ditentukan oleh keadaan daerahnya. Ada sungai mempunyai
dua anak sungai yang mengalir bersama-sama dan bertemu setelah mendekati muara yang
disebut sungai tipe sejajar. Sebaliknya ada pula sungai-sungai yang anak-anak sungainya
mengalir menuju suatu titik pusat yang disebut dengan tipe kipas. Pada river stretch
banyaknya air mengalir sama dengan air yang berasal dari hulu dan air yang berasal dari
surface run off dan ground water drainage yang ditambahkan pada stream sepanjang sungai.
2. Kajian Hidraulik Pertemuan Saluran
Debit atau laju volume aliran sungai umumnya dinyatakan dalam satuan volum per satuan
waktu, dan diukur pada suatu titik atau outlet yang terletak pada alur sungai yang akan
diukur. Besar debit atau aliran sungai diperoleh dari hasil pengukuran kecepatan aliran yang
melalui suatu luasan penampang basah. Metode pengukuran debit ini dikenal dengan istilah
metode kecepatan-luas (velocity-area method).
Bentuk persamaan ini dapat diekspresikan sebagai berikut:
Q = Av
di mana:
Q = laju volume aliran (cfs atau m3/detik)
A = luas penampang melintang alur sungai (m2)
v = kecepatan rata-rata pada penampang melintang alur sungai (ft/sec atau m/detik)
Kecepatan aliran tersebut dapat diukur secara manual ataupun dengan alat current meter.
Pengukuran kecepatan aliran sungai dengan current meter umumnya harus memperhatikan
karakteristik alur sungai terutama lebar dan dalamnya alur.
Data debit sungai dengan menggunakan hasil pengukuran luas penampang basah dan
kecepatan aliran umumnya telah direkap dan diformulasikan dalam suatu persamaan dan
kurva tinggi muka air-debit aliran sungai atau lebih dikenal dengan istilah stage-discharge
rating cuve yang senantiasa dikoreksi untuk setiap kurun waktu atau peristiwa tertentu.
Berdasarkan persamaan atau kurva tersebut maka pengukuran di lapangan hanya mencakup
tinggi muka air sungai tiap waktu (stage-hydrograph). Penggabungan dan analisis kedua
kurva tersebut akan menghasilkan kurva hidrograf aliran (discharge hydrograph) yang sangat
bermanfaat dalam analisis hidrologi lebih lanjut. Namun, umumnya data debit hasil
pengukuran hanya terdapat pada DAS besar sehingga untuk analisis pada DAS kecil sering
kali kesulitan. Untuk mengatasinya maka dikembangkan metode prediksi limpasan dan aliran
sungai yang identik atau pengembangan lebih jauh dari analisis debit.
Untuk daerah pertemuan sungai, secara hidrolika berlaku hokum kontinuitas:
Q=Q1+Q2
yang setingkat adalah orde 2, dan segmen sungai sebagai hasil pertemuan dari dua orde
sungai yang tidak setingkat adalah orde sungai yang lebih tinggi.
Metode Horton, Shreve, dan Scheideger.
Panjang sungai utama sebagai morfometri ketiga dalam kajian ini akan menunjukkan besar
atau kecilnya suatu DAS serta kemiringan sungai utama yang lebih-kurang identik dengan
kemiringan DAS. Kemiringan sungai utama akan berpengaruh terhadap kecepatan aliran,
maksudnya semakin tinggi kemiringan sungai utama maka semakin cepat aliran air di saluran
untuk mencapai outlet atau waktu konsentrasinya semakin pendek.
Sungai utama beserta anak-anak sungainya membentuk pola aliran tertentu. Jumlah panjang
seluruh alur sungai dibagi dengan luas DAS disebut kerapatan drainase. Menurut Linsley
(1982 dalam Tikno, 1996) menyatakan bahwa kerapatan drainase atau drainage density
mempunyai hubungan dengan tingkat penggenangan. Nilai kerapatan kurang dari 1
menunjukkan bahwa DAS tersebut sering tergenang atau drainasenya buruk, sedangkan
kerapatan drainase 1 5 mengindikasikan bahwa DAS tersebut tidak pernah tergenang atau
drainsenya baik.
c. Klasifikasi Menurut Leopold et al. (1964)
Leopold et al. (1964) mengklasifikasikan sungai kecil dan sungai atau sungai besar
berdasarkan lebar sungai, tinggi sungai, kecepatan aliran sungai, dan debit sungai. Ini terlihat
jika lebar sungai cukup besar tapi debit air kecil maka sungai tersebut merupakan sungai
kecil. Sedangkan sebaliknya jika lebar sungai tidak terlalu besar namun debitnya besar maka
biasanya disebut sebagai sungai atau sungai besar, karena kedalaman maupun kecepatan
aliran sungai tersebut besar. Untuk penggunaan di Indonesia, dimana ditemukan jenis sungai
dengan berbagai variasi lebar dan kedalaman serta debit alirannya, maka klasifikasi menurut
Leopold et al. (1964) ini sangat cocok.
4. Fenomena Pertemuan Air Sungai
Adapun hal-hal yang dapat kita ketahui dari pertemuan sungai ini antara lain yaitu :
1. Adanya pencampuran air sejenis,
2. Kondisi air tidak tercampur, karena perbedaan suhu, salinitas, kandungan sedimen,
ataupun bahan terlarut,
3. Pertambahan debit,
Dengan perhitungan debit dan skema matematik pertambahan debit pada pertemuan sungai,
dengan metode ODonnel dan Muskingum-Cunge ODonnel (1985), ODonnel (1985)
menganggap bahwa jika ada aliran lateral yang masuk sebesar aI, pada penelusuran banjir
sungai, pertambahan aliran lateral tersebut dapat langsung dijumlahkan pada aliran masukan
(I), sehingga alirannya menjadi I(1+ a).
IS hi i = IS hu i + IAS i
dengan Ihi I = debit aliran sungai di hilir pertemuan sungai pada waktu ke i, Ihu I = debit
aliran sungai di hulu pertemuan sungai pada waktu ke i, dan IAs I = debit aliran anak sungai
yang masuk ke sungai pada waktu ke i. Rumus-rumus yang digunakan dalam penelusuran
sama dengan penelusuran banjir cara Muskingum-Cunge pada suatu penggal sungai. Metode
ini memasukkan parameter kecepatan aliran untuk setiap debit yang ditelusur. Penerapan
metode ini pada DAS Goseng memberikan hasil yang cukup baik
4. Peningkatan pencemaran air, karena kualitas air yang berubah.
Hal ini bisa terjadi kerena anak-anak sungai yang bertemu dengan sungai induk berada di
kawasan industri dan membawa limbah-limbah industri.