Anda di halaman 1dari 28

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Rhinitis berasal dari dua kata bahasa Greek rhin/rhino (hidung) dan itis
(radang). Demikian rhinitis berarti radang hidung atau tepatnya radang selaput
lendir (membran mukosa) hidung.1
Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau kronik.
Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan oleh
infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai reaksi
sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya adalah
rhinitis simpleks, rhinitis influenza, dan rhinitis bakteri akut supuratif. 1
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,
atrofi, sifilis, tuberkulosa, dan jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh
peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis
medikamentosa. 1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Anatomi Nasal
Hidung terdiri dari hidung bagian luar atau piramid hidung dan rongga
hidung dengan pendarahan serta persarafannya, serta fisiologi hidung. Hidung
luar berbentuk piramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah: 2
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (hip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Lubang hidung ( nares anterior )
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Lubang masuk kavum nasi bagian depan disebut nares anterior,
tepat dibelakang disebut dengan vestibulum. Vestibulum dilapisi oleh kulit yang
mempunyai banyak kelenjar subasea dan rambut panjang yang disebut vibrise.
Sedangkan nares posterior (koana) yang menghubungkan kavum nasi dengan
nasofaring. Tiap kavum nasi mempunyai empat buah dinding, yaitu dinding
lateral, medial, inferior, dan superior.2

Gambar 1 Anatomi Hidung

Gambar 2. Batas lateral kavum nasi (lubang hidung)


Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum dibentuk oleh tulang dan
tulang rawan. Bagian tulang adalah 1) lamina perpendikularis os etmoid, 2)
vomer, 3) krista nasalis os maksila dan 4) krista nasalis os palatine. Bagian tulang
rawan adalah 1) kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan 2) kolumela. 2

Gambar 3. Kartilago septum nasi sisi lateral


Dinding lateral terdapat 4 buah konka yaitu yang terbesar bagian bawah
konka inferior kemudian lebih kecil adalah konka media dan lebih kecil lagi
konka superior dan yang terkecil disebut konka suprema yang biasanya
rudimenter. Diantara konka dan dinding lateral hidung terdapat meatus nasi yang
jumlahnya tiga buah, yaitu meatus inferior, meatus media, dan meatus superior.
Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding
lateral rongga hidung. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak di antara konka media dan dinding lateral
rongga hidung yang bermuara pada sinus frontalis, sinus etmoid anterior dan sinus
maksilaris. Pada meatus superior yang merupakan ruang di antara konka superior
dan konka media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sphenoid.2

Gambar 4. Konka nasi


Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os
maksila dan os palatum. Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan
dibentuk oleh lamina kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari
rongga hidung. Lamina kribriformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa=saringan) tempat masuknya
serabut-serabut saraf olfaktorius. Di bagian posterior, atap rongga hidung dibentuk
oleh os sphenoid.2
Rongga hidung dilapisi oleh mukosa secara histologi dan fungsional dibagi
atas mukosa pernafasan (mukosa respiratori) dan mukosa penghidu (mukosa
olfaktori). Mukosa pernafasan dilapisi oleh epitel pseudokolumnar berlapis yang
mempunyai silia dan terdapat sel-sel goblet. Dalam keadaan normal warna
mukosa adalah merah muda dan selalu basah karena diliputi oleh palut lendir.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul dan
menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia dapat
disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang, sekret kental, dan
obat-obatan. Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior,
dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel pseudostratified
columnar tidak bersilia. Daerah mukosa penghidu berwarna coklat kekuningan.2
Rongga hidung bagian bawah mendapat perdarahan dari cabang arteri
maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a. palatina mayor dan a.
splenopalatina yang keluar dari foramen splenopalatina bersama n. splenopalatina.
Hidung bagian depan mendapat perdarahan dari a. fasialis. Pada bagian depan
septum terdapat anastomosis cabang a. splenopalatina, a. etmoidalis anterior, a.
4

palatina mayor, dan a. labialis superior yang membentuk Pleksus Kiesselbach


yang mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis
anterior. Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari
n. etmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n. nasosiliaris yang berasal
dari n. ophtalmicus. Rongga hidung lainnya sebagian lainnya mendapat persarafan
sensoris

dari

n.

maksilaris

melalui

ganglion

spenopalatina.

Ganglion

spenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan


vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut
sensoris dari n. maksilaris (N V2), serabut parasimpatis dari n. petrosus
superfisialis mayor dan serabut simpatis dari n. petrosus profunda.2
Ganglion spenopalatina terletak di belakang dan sedikit di atas ujung
posterior konka media. N. olfaktorius turun melalui lamina kribrosa dari
permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor
penghidu pada mukosa olfaktorius di sepertiga atas hidung.2
2.2. Fisiologi Hidung
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional. Fungsi
hidung dan sinus paranasal adalah 1) fungsi respirasi untuk mengatur kondisi
udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam
pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal, 2) fungsi penghidu karena
terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus
penghidu, 3) fungsi fonetik berguna untuk resonansi suara, membantu proses
bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang, 4) fungsi
statis dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma,
dan pelindung panas, 5) refleks nasal.2

2.3. Rhinitis Kronik


2.3.1. Rhinitis Hipertrofi
a.

Etiologi
Rhinitis hipertrofi dapat timbul akibat infeksi berulang dalam hidung dan

sinus atau sebagai lanjutan dari rinitis alergi dan vasomotor.3


b. Manifestasi Klinis

Gejala

utama

adalah sumbatan hidung. Sekret

biasanya

banyak,

mukopurulen dan sering ada keluhan nyeri kepala. Konka inferior hipertrofi,
permukaannya berbenjol-benjol ditutupi oleh mukosa yang juga hipertrofi.3
c. Terapi
Pengobatan yang tepat adalah mengobati faktor penyebab timbulnya rhinitis
hipertrofi. Kauterisasi konka dengan zat kimia (nitras argenti atau asam
trikloroasetat) atau dengan kauter listrik dan bila tidak menolong perlu dilakukan
konkotomi.3
2.3.2. Rhinitis Sika
a. Etiologi
Penyakit ini biasanya ditemukan pada orang tua dan pada orang yang bekerja
di lingkungan yang berdebu, panas, dan kering. Juga pada pasien dengan
anemia, peminum alkohol, dan gizi buruk.1
b. Manifestasi Klinis
Pada rhinitis sika mukosa hidung kering, krusta biasanya sedikit atau tidak
ada. Pasien mengeluh rasa iritasi atau rasa kering di hidung dan kadangkadang disertai epitaksis.1
c. Terapi
Pengobatan tergantung penyebabnya. Dapat diberikan obat cuci hidung.1
2.3.3. Rinitis Spesifik
Yang termasuk ke dalam rhinitis spesifik adalah:4
a. Rhinitis Difteri
1. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae. 4
2. Manifestasi klinis
Gejala rhinitis difteri akut adalah demam, toksemia, limfadenitis, paralisis,
sekret hidung bercampur darah, ditemukan pseudomembran putih yang
mudah berdarah, terdapat krusta coklat di nares dan kavum nasi.
Sedangkan rhinitis difteri kronik gejalanya lebih ringan.4
3. Terapi
Terapi rhinitis difteri kronis adalah ADS (anti difteri serum), penisilin
lokal, dan intramuskular. 4
b. Rhinitis Atrofi
1. Etiologi

Ada beberapa hal yang dianggap sebagai penyebab rhinitis atrofi, yaitu
infeksi kuman Klebsiela, defisiensi Fe, defisiensi vitamin A, sinusitis
kronis, kelainan hormonal, dan penyakit kolagen. 4
2. Manifestasi Klinis
Rhinitis atrofi ditandai dengan adanya atrofi progresif mukosa dan tulang
hidung. Mukosa hidung menghasilkan sekret kental dan cepat mengering,
sehingga terbentuk krusta yang berbau busuk. Keluhan biasanya nafas
berbau, ingus kental berwarna hijau, ada krusta hijau, gangguan penghidu,
sakit kepala, dan hidung tersumbat. 4
3. Terapi
Pengobatan dapat diberikan secara konservatif dengan memberikan
antibiotika berspektrum luas, obat cuci hidung, vitamin A, dan preparat Fe.
Jika tidak ada perbaikan, maka dilakukan operasi penutupan lubang
hidung untuk mengistirahatkan mukosa hidung sehingga mukosa menjadi
normal kembali. 4
c. Rhinitis Sifilis5
1. Etiologi
Penyebab rhinitis sifilis adalah kuman Treponema pallidum. 4
2. Manifestasi Klinis
Gejala rhinitis sifilis yang primer dan sekunder serupa dengan rhinitis akut
lainnya. Hanya pada rhinitis sifilis terdapat bercak pada mukosa.
Sedangkan pada rhinitis sifilis tertier ditemukan gumma atau ulkus yang
dapat mengakibatkan perforasi septum. Sekret yang dihasilkan merupakan
sekret mukopurulen yang berbau.4
3. Terapi
Sebagai pengobatan diberikan penisilin dan obat cuci hidung.4
d. Rhinitis Tuberkulosa5
1. Etiologi
Penyebab rhinitis tuberkulosa adalah kuman Mycobacterium tuberculosis.4
2. Manifestasi Klinis
Terdapat keluhan hidung tersumbat karena dihasilkannya sekret yang
mukopurulen dan krusta. Tuberkulosis pada hidung dapat berbentuk
noduler atau ulkus, jika mengenai tulang rawan septum dapat
mengakibatkan perforasi.4
7

3. Terapi
Pengobatannya diberikan antituberkulosis dan obat cuci hidung.4
e. Rhinitis Lepra
1. Etiologi
Rhinitis lepra disebabkan oleh Mycobacterium leprae.4
2. Manifestasi Klinis
Gejala yang timbul diantaranya adalah hidung tersumbat, gangguan bau,
dan produksi sekret yang sangat infeksius. Deformitas dapat terjadi karena
adanya destruksi tulang dan kartilago hidung.4
3. Terapi
Pengobatan rhinitis lepra adalah dengan pemberian dapson, rifampisin,
dan clofazimin selama beberapa tahun atau dapat pula seumur hidup.4
f. Rhinitis Jamur
1. Etiologi
Penyebab rhinitis
menyebabkan

jamur

aspergilosis,

diantaranya
Rhizopus

adalah
oryzae

Aspergillus
yang

yang

menyebabkan

mukormikosis, dan Candida yang menyebabkan kandidiasis.4


2. Manifestasi Klinis
Pada aspergilosis yang khas adalah sekret mukopurulen yang berwarna
hijau kecoklatan. Pada mukomikosis biasanya pasien datang dengan
keluhan nyeri kepala, demam, oftalmoplegia interna dan eksterna, sinusitis
paranasalis, dan sekret hidung yang pekat, gelap, dan berdarah.4
3. Terapi
Untuk terapinya diberikan obat anti jamur, yaitu amfoterisin B dan obat
cuci hidung. 4
2.3.4.

Rhinitis Alergi

a. Definisi
Rhinitis alergi merupakan penyakit inflamasi pada mukosa hidung yang
disebabkan oleh reaksi yang dimediasi IgE terhadap paparan alergen. 2,3
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin,
rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung yang terpapar alergen
yang diperantarai oleh IgE. 2,3
b. Epidemiologi
8

Rhinitis alergi merupakan bentuk yang paling sering dari semua penyakit
atopi, diperkirakan mencapai prevalensi 5-22%. Dimana dalam dekade terakhir ini
peningkatan prevalensi rhinitis alergi di seluruh dunia sekitar 6%-8%. Namun,
prevalensi ini bisa menjadi lebih tinggi, dikarenakan banyaknya pasien yang
mengobati diri sendiri tanpa berkonsultasi ke dokter, maupun penderita yang tidak
terhitung pada survei resmi. Disebutkan bahwa di Indonesia pravalensi rhinitis
alergi pada anak berkisar antar 9%-27% dan dewasa 22%.2,3
c. Etiologi
Rhinitis alergi dan atopi secara umum disebabkan oleh interaksi dari pasien
yang secara genetik memiliki potensi alergi dengan lingkungan. Genetik secara
jelas memiliki peran penting. Pada 20 30% semua populasi dan pada 10 15%
anak semuanya atopi. Apabila kedua orang tua atopi, maka risiko atopi menjadi 4
kali lebih besar atau mencapai 50%. Beberapa penelitian menunjukan hubungan
gambaran polimorfik pada kromosom 5q pada penderita atopi. Peran lingkungan
dalam dalam rhinitis alergi yaitu alergen, yang terdapat di seluruh lingkungan,
terpapar dan merangsang respon imun yang secara genetik telah memiliki
kecenderungan alergi. 2,3
Adapun alergen yang biasa dijumpai berupa alergen inhalan yang masuk
bersama udara pernapasan yaitu debu rumah, tungau, kotoran serangga, kutu
binatang, jamur, serbuk sari, dan lain-lain. 2,3
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas: 2,3
1.

Alergen inhalan, yang masuk bersama udara pernapasan, misalnya tungau


debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang (anjing dan kucing),

2.

3.
4.

rerumputan (bermuda grass), serta jamur (Aspergillus, Alternaria).


Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang, kepiting, kacang-kacangan.
Alergen injektan, misalnya penisilin dan sengatan lebah.
Alergen kontaktan, misalnya bahan perhiasan dan kosmetik.
Satu macam alergen dapat merangsang lebih dari satu organ sasaran

sehingga memberi gejala campuran misalnya tungau debu rumah yang


menimbulkan gejala asma bronkial dan rhinitis alergi. 2,3
d. Klasifikasi
Rhinitis alergi menurut guideline ARIA (2001) rhinitis alergi menurut
guideline ARIA (2001). Berdasarkan lamanya terjadi gejala: 2,3
9

1. Intermiten. Seorang pasien dengan rhinitis alergi intermiten menunjukkan


gejala kurang dari empat hari per minggu atau kurang dari empat minggu.
2. Persisten. Pasien dengan rhinitis alergi persisten menunjukkan gejala yang
lebih dari empat hari per minggu atau selama lebih dari empat minggu.
Berdasarkan keparahan dan kualitas hidup: 2,3
1. Ringan. Seorang pasien dengan diagnosis gejala ringan yaitu jika gejalagejalanya tidak mempengaruhi tidur, kegiatan sehari-hari, pekerjaan, sekolah,
olahraga atau bersantai.
2. Sedang sampai berat. Seorang pasien dengan diagnosis gejala rhinitis alergi
sedang sampai berat adalah jika penyakitnya berdampak terhadap gejala tidur,
kegiatan sehari-hari, kerja, sekolah, olahraga atau bersantai, serta jika ada
gejala merepotkan. pasien dengan rhinitis alergi yang berlangsung selama
enam minggu dengan gejala mengganggu aktivitas normal akan dapat
didiagnosis dengan moderat sampai parah dan persisten.
e. Gejala Klinis
Produksi mukus berlebihan, kongesti, Rhinorrhea (hidung meler), hidung
tersumbat, mata berair, gatal serta bersin, bersifat reversibel secara spontan atau
sebagai akibat pengobatan. Rhinitis mempunyai jenis yang bervariasi, hampir
semua jenis rhinitis yang non infeksi disebut alergi. 2,3
f. Patofisiologi
Secara klasik, rhinitis alergi dianggap sebagai inflamasi nasal yang terjadi
dengan perantaraan IgE. Pada pemeriksaan patologi, ditemukan infiltrat inflamasi
yang terdiri dari berbagai macam sel. Pada rhinitis alergi selain granulosit,
perubahan kualitatif monosit merupakan hal penting dan ternyata IgE rupanya
tidak saja diproduksi lokal pada mukosa hidung. Tetapi terjadi respons selular
yang meliputi: kemotaksis, pergerakan selektif, dan migrasi sel-sel transendotel.
Pelepasan sitokin dan kemokin antara lain IL-8, IL-13 dan eotaxin berpengaruh
pada penarikan sel-sel radang yang selanjutnya menyebabkan inflamasi alergi. 2,3
Aktivasi dan deferensiasi bermacam-macam tipe sel termasuk: eosinofil, sel
T CD4+, sel mast, dan sel epitel. Alergen menginduksi Sel Th-2, selanjutnya
terjadi peningkatan ekspresi sitokin termasuk di dalamnya adalah IL-3, IL-4, IL-5,

10

IL-9, IL-10 yang merangsang IgE, dan sel mast. Selanjutnya sel mast
menghasilkan IL-4, IL-5, IL-6, dan tryptase pada epitel. Mediator dan sitokin
akan mengadakan upregulasi ICAM-1. Khemoattractant IL-5 menyebabkan
infiltrasi eosinofil, basofil, sel Th-2, dan sel mast. Perpanjangan masa hidup sel
terutama dipengaruhi oleh IL-5. 2,3
Pelepasan mediator oleh sel-sel yang diaktifkan, di antaranya histamin dan
cystenil-leukotrien yang merupakan mediator utama dalam rhinitis alergi
menyebabkan gejala rinorea dan gatal. Penyusupan eosinofil menyebabkan
kerusakan mukosa sehingga memungkinkan terjadinya iritasi langsung polutan
dan alergen pada syaraf parasimpatik, bersama mediator Eosinophil Derivative
Neurotoxin (EDN) dan histamin menyebabkan gejala bersin. 2,3
Terdapat hubungan antara sistem imun dan sumsum tulang. Fakta ini
membuktikan bahwa epitel mukosa hidung memproduksi Stem Cell Factor (SCF)
dan berperan dalam atraksi, proliferasi, dan aktivasi sel mast dalam inflamasi
alergi pada mukosa hidung. Hipereaktivitas nasal merupakan akibat dari respons
imun di atas adalah tanda penting rhinitis alergi. 2,3
Pada sensitisasi awal, alergen spesifik IgE terikat pada reseptor sel mast dan
basofil diikuti oleh respon inflamasi dan alergi pada alergen yang terpapar. Pada
mukosa nasal proses ini menyebabkan cross-linking pada IgE di permukaan
mukosa sel, sel mast, dan basofil, diikuti dengan granulasi dari sel-sel inflamasi
menyebabkan lepasnya mediator inflamasi seperti histamin lima menit, setelah
terpapar alergen (respon fase awal). Respon yang berikutnya biasanya 15 menit.
Sintetis dari mediator (misal leukotrin, prostaglandin, aktivasi faktor platelet), dan
beberapa sitokin) menyebabkan vasodilatasi, peningkatan sekresi glandula, dan
stimulasi nervus sensoris menyebabkan symptom immediate berupa bersin,
rhinorrhea, gatal, dan kongesti nasal. Respons fase lambat terjadi setelah 4 sampai
24 jam setelah terpapar alergen dicirikan recruitment sel inflamasi dari darah
misal basofil, monosit, limfosit, dan monosit, melepaskan mediator inflamasi
tambahan dan kerusakan jaringan. Mengakibatkan peningkatan simptom berupa
nasal kongesti. 2,3
Diagnosis rhinitis alergi didasarkan pada anamnesa (riwayat individu dan
riwayat keluarga yang didapatkan secara terperinci, riwayat klinis dari gejala

11

tipikal), pemeriksaan fisik (nasal examination/anterior rhinoscopy), dan


pemeriksaan penunjang (skin prick test atau pengukuran antibody spesifik
alergen IgE, fibreoptic rhinoscopy, cytology of nasal secretions, nasal challenge
with allergen andrhinomanometry, conventional radiography (RX); and CT scan).
2,3

1. Anamnesis
Dimulai dengan menanyakan riwayat penyakit alergi dalam keluarga. Perlu
ditanya gejala spesifik; pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan
keparahannya, identifikasi faktor predisposisi, respon terhadap pengobatan,
kondisi lingkungan dan pekerjaan. 2,3
Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process).
Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap serangan,
terutama merupakan gejala pada RAFC (Reaksi Alergi Fase Cepat) dan kadangkadang pada RAFL (Reaksi Alergi Fase Lambat) sebagai akibat dilepaskannya
histamin. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air
mata keluar (lakrimasi). Rhinitis alergi sering disertai oleh gejala konjungtivitis
alergi. Sering kali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada anak. Kadangkadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yang diutarakan oleh pasien. 2,3
2. Pemeriksaan Fisik
Pada rinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
disertai adanya sekret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa inferior
tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila fasilitas
tersedia. Gejala spesifik lain pada anak adalah terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
menggosok-gosok hidung, karena gatal, dengan punggung tangan. Keadaan ini
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan

12

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsum nasi bagian sepertiga bawah,


yang disebut sebagai allergic crease. Mulut sering terbuka, sehingga akan
menyebabkan gangguan pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding
posterior faring tampak granuler dan edema (cobblestone appearance), serta
dinding lateral faring menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic
tongue). 2,3
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Sitologi Hidung
Apabila pada pemeriksaan sitologi sekret hidung didapatkan lebih dari
10% eosinofil maka dapat diindikasikan rhinitis alergi. Namun kadangkala adanya
eosinofil dalam sekret hidung dapat dijumpai pada non-rhinitis alergi. Eosinofil
tidak dapat ditemukan pada penderita yang mengalami perbaikan, infeksi, dan
mendapat terapi kortikosteroid fokal atau sistemik. 2,3
b. IgE Total
IgE total dianggap meningkat bila lebih dari 100-159 kU/I, ini dapat
terjadi pada penderita alergi atau pada penderita dengan infestasi parasit dan 50%
penderita rhinitis alergi musiman (RAS) kadar IgEnya normal, jadi pemeriksaan
igE total terbatas manfaatnya. 2,3
c. Tes Kulit
Tes kulit terhadap suatu alergen diindikasikan untuk memberikan bukti
adanya dasar alergi pada gejala penderita, untuk mengkonfirmasi penyebab
keluhan yang dicurigai atau untuk melihat derajat sensitifitas untuk alergi
terrtentu. Tes kulit ini lebih disukai karena sederhana, cepat, mudah, relatif murah,
dan sensitifitas tinggi. Pada saat pemeriksaan kulit, harus dikerjakan dengan
teknik yang benar untuk mendapatkan hasil yang akurat. Intepretasi hasil tes kulit
yang tepat perlu pengetahuan, aeroallergen apa yang penting secara lokal dan
klinis penting memungkinkan adanya reaksi silang. 2,3
Tes kulit melibatkan perkenalan yang dikendalikan alergen dan zat kontrol
ke dalam kulit. Test Percutaneous adalah jenis yang paling umum yang di uji pada
kulit dan lebih disukai dalam primer care karena nyaman, aman, dan luas, dapat
diterima. Kadang-kadang test intradermal digunakan (kebanyakan oleh peneliti

13

dan subspesialis alergi), adalah lebih sensitif tetapi kurang spesifik daripada tes
percutaneous. Tidak jelas metode mana lebih unggul, namun terdapat
peningkatan kekhawatiran keamanan menggunakan tes kulit intradermal. 2,3
Rhinitis alergi memiliki respon immediate atau respon delayed. Tes kulit
(Skin test) dapat ditimbulkan dari kedua respon tersebut. Namun tujuan utama
skin test adalah untuk mendeteksi langsung respon alergi yang ditimbulkan oleh
pelepasan sel mast atau basofil mediator spesifik Ig E. yang mana menyebabkan
reaksi setelah 15 menit. Pada respon delayed terjadi empat sampai delapan jam
setelah terpapar alergen tersensitiasasi dan kurang berguna dalam diagnos klinis.
2,3

Tes kulit (skin-test) alergi dilakukan dengan uji tusukan yaitu dengan
menempatkan setetes larutan uji pada kulit dan menusuk melalui drop dengan alat
yang tajam, atau melalui uji intracutaneous (intradermal) dimana sejumlah kecil
larutan uji disuntikkan ke dalam kulit. Menurut literature uji tusukan lebih disukai
untuk pengujian awal, karena lebih murah, lebih cepat, kurang nyaman, dan
kepekaan klinisnya lebih baik daripada uji intrakutaneus. 2,3
d. Tes Provokasi
Tes provokasi hidung dengan alergen sangat bermanfaat pada penelitian,
namun potensi terjadinya serangan alergi, sehingga tidak dilakukan untuk
pemeriksaan rutin. Dalam tes provokasi hidung mukosa hidung dipaparkan
dengan alergen atau bahan iritan dan kemudian reaksi dipantau. Provokasi adalah
alat yang berguna dalam pekerjaan penelitian dan dalam kasus untuk verifikasi
diagnosis alergi dibutuhkan. Dalam pekerjaan klinis, mayoritas pengujian
provokasi dilakukan dengan alergen. Selain itu digunakan untuk menilai
reaktivitas non-spesifik pada hidung dan reaksi yang telah diinduksi dengan
beberapa zat kimia dan juga dengan rangsangan fisik. 2,3
Ada beberapa teknik provokasi hidung yaitu dengan agen larut yang
ditetes kedalam hidung, dengan disemprot atau dinebul ke dalam hidung
(diuapkan) atau rongga hidung dicuci dengan larutan uji untuk aplikasi topikal
dapat dilakukan dengan kertas disk. 2,3
Hasil dari provokasi dapat dinilai dengan pengamatan berupa bersin,
discharge hidung dan pembengkakkan mukosa dengan rhinoscopy. Sensasi
14

sekresi hidung subjek, gatal-gatal dan kongesti pada semiquantitative skor atau
skala analog visual. Menghitung bersin merupakan cara yang sederhana untuk
menilai respon iritasi. 2,3
Metode lain yang sederhana adalah dengan mengukur volume sekresi yang
timbul, dikumpulkan dengan membiarkan menetes ke dalam saluran dengan
mengisap. Ditimbang disaputangan, sekresi ke disk kertas preweighed dan
reweighed. Perbedaan bobot mencerminkan jumlah sekresi dikumpulkan dalam
jangka waktu yang tetap. Rinomanometri diterima secara luas sebagai metode
objektif yang akurat sebagai respon dalam mengukur perubahan dalam saluran
napas hidung resistensi (NAR). 2,3
e. Immunoassay
Pemeriksaan rasioallergo test (RAST) dan enzyme link immune sorbent
test (ELISA), untuk memeriksa pelepasan mediator selama reaksi alergi dengan
mengukur mediator/enzim yang dilepaskan dalam darah. 2,3
Test alergen antibody spesifik IgE radioallergosorbent testing (RAST])
adalah bermanfaat pada primary care, jika tes perkutaneus tidak praktis misalnya,
masalah dengan penyimpanan reagen, keahlian, frekuensi penggunaan, staf
pelatihan) atau jika pasien menjalani pengobatan yang terganggu dengan adanya
test pada kulit (skin test) misalnya, antidepresan trisiklik, antihistamin. RAST
sangat spesifik namun umumnya tidak sensitif seperti skin test. 2,3
RAST berguna untuk mengidentifikasi alergen umum (misalnya, bulu
hewan peliharaan, tungau debu, serbuk sari), tetapi kurang berguna dalam
mengidentifikasi makanan, racun, atau alergi obat. Tes alergi pada anak-anak
memiliki tantangan tersendiri. Banyak literatur memberikan rekomendasi
berdasarkan bukti untuk test alergi pada anak dengan berbagai penyakit alergi
(misalnya, rhinitis, asma, alergi makanan). Tes perkutaneus sesuai untuk anakanak tiga tahun dan lebih tua dan RAST biasanya tepat pada usia berapa pun.
Beberapa literatur merekomendasikan bahwa dasar keputusan melakukan test oleh
sang dokter adalah berdasarkan riwayat klinis, rekomendasi usia dewasa;
melakukan tes hanya bila diperlukan untuk mengubah terapi atau untuk
memperjelas diagnosis. 2,3

15

g. Diagnosa banding
1.
Rhinitis non-alergi : 2,3

Infeksi dan rhinitis diinduksi obat

Rhinitis hormonal

Rhinitis dari penyebab lainnya

Gastro-oesophageal reflux

Rinitis vasomotor dan idiopatik


2.
Polyposis
3.
Ciliary defects
4.
Cerebrospinal rhinorrhea
5.
Tumor benigna/maligna
6.
Deviasi septum
7.
Foreign bodies
8.
Blocked nostril (choanal atresia)
9.
Penyakit granulomatous
h. Penatalaksanaan
1. Non Farmakoterapi
Menghindari faktor alergen merupakan terapi yang pertama kali perlu
dilakukan. Menghindari alergen kausal merupakan dasar pendekatan untuk
mencegah munculnya gejala alergi. 2,3
2. Farmakoterapi
Saat memilih terapi yang cocok bagi rhinitis alergi, beberapa hal yang
menjadi pertimbangan adalah keadaan penyakit penderita saat itu, gejala yang
paling dominan, umur, gejala saluran pernafasan lain yang ada di penderita serta
riwayat, riwayat pengobatan yang sebelumnya. 2,3
a. Antihistamin
Antihistamin banyak dipilih sebagai terapi lini pertama dan banyak dari
tipe antihistamin bisa dibeli tanpa resep dokter. Obat ini memblokir reseptor
H1 menghalangi terjadinya reaksi histamin seperti mencegah peningkatan
permeabilitas vaskuler, mencegah kontraksi otot polos, meningkatkan
produksi mukus dan mencegah pruritus. Oleh karena obat ini menghilangkan
gejala

reaksi

histamin

di

kulit,

penderita

tidak

dianjurkan

untuk

mengkonsumsinya beberapa hari sebelum dilakukan tes cukit kulit karena


hasilnya dapat menjadi negatif. Pada tes in vitro, mengkonsumsi antihistamin
tidak akan berpengaruh pada hasil tes. Antihistamin sangat efektif pada reaksi
alergi fase cepat (RAFC) sehingga dapat mencegah gejala bersin, rinore, dan

16

pruritus namun kurang berpengaruh pada reaksi alergi fase lambat (RAFL)
contohnya sumbatan hidung (nasal congestion/blockers). Antihistamin
generasi pertama yang banyak bisa dibeli tanpa resep mempunyai efek sedasi
sehingga berpengaruh terhadap penurunan prestasi dan tumpuan penderita
Efek samping yang lain adalah efek antikolinergik yang dapat mengakibatkan
mulut kering contohnnya difenhidramin, hidroksizin, klorfeniramin dan
bromfeniramin. 2,3
Generasi kedua sangat kecil sekali kemungkinan mengikat reseptor H1
sentral, sehingga mengurangi efek sedasi serta tidak berefek antikolinergik.
Golongan ini diabsorpsi secara baik, kerja cepat dan menghilangkan gejala
dalam waktu sejam. Pemakaiannya cukup sekali sehari dan tidak
menimbulkan efek penggunaan jangka panjang contohnya loratadin dan
levosetirisin. 2,3
b. Kortikosteroid intranasal
Kortikosteroid intranasal mungkin adalah terapi yang paling efektif bagi
tiap tingkat gejala rhinitis alergi. Keberhasilan maksimal timbul pada minggu
pertama sampai kedua dari hari pertama penggunaan. Efektifitasnya tergantung
pemakaian yang sering dan keadaan hidung yang adekuat untuk inhalasi obat.
Obat ini turut bekerja pada RAFL sehingga mencegah terjadinya peningkatan sel
inflamasi yang mendadak. Formulasi mutakhir seperti triamsinolon, budesonid
dan flutikason mempunyai ciri absorpsi sistemik yang minimal dengan hampir
tiada efek samping sistemik sehingga aman pada tiap golongan umur termasuk
anak-anak. Efek samping lokal seperti hidung kering dan epistaksis dapat
diregulasi dengan instruksi pemakaian yang benar. 2,3
c. Kortikosteroid sistemik
Preparat ini sesuai bagi gejala sangat berat yang menetap. Pemberiannya
adalah melalui intramuskular atau per oral. Jika lewat oral, penurunan dosis secara
tapering off diberikan dalam tiga sampai tujuh hari. Obat ini bertindak terhadap
inflamasi justru menurunkan gejala rhinitis alergi secara signifikan. Namun pada
penggunaan jangka panjang dapat timbul efek samping yang serius seperti

17

penekaan aksis HPA dan efek samping kortikosteroid sistemik lain yang lazim
ditemukan. 2,3
d. Dekongestan
Dekongestan bekerja pada reseptor -adrenergik di hidung, menimbulkan
efek vasokonstriksi sehingga kongesti nasal dikurangi. Kongesti rongga hidung
berkurang namun obat ini tidak mengatasi gejala lainnya seperti rinore, bersin,
dan pruritus. Obat ini banyak ditemukan dalam preparat flu yang bisa dibeli tanpa
resep namun pemakaian pada penderita dengan kelainan jantung dan hipertensi
harus dengan berhati-hati. Dekongestan intranasal seperti oksimetazolin dapat
menimbulkan kekambuhan kongesti nasal serta menimbulkan ketergantungan
pada pemakaian lebih dari tiga hari (rhinitis medikamentosa). 2,3
e. Antikolinergik intranasal
Obat ini berpengaruh dalam mengurangi gejala rinore namun tidak gejala
lainnya. Contohnya adalah ipatrium bromida dan obat ini dapat digunakan dengan
obat alergi lainnya terutama bagi penderita dengan rhinitis alergi tipe sepanjang
tahun (perennial). 2,3
f. Kromolin intranasal
Preparat ini harus digunakan sebelum munculnya gejala untuk menjadi
efektif. Penggunaannya harus sepanjang paparan terhadap alergen dengan dosis
sehingga empat kali sehari dan cukup aman bagi penderita. 2,3
g. Inhibitor leukotrien
Obat ini mengatasi kelebihan plasebo dalam menangani rhinitis alergi
namun

masih

jauh

ketinggalan

efeknya

berbanding

antihistamin

dan

kortikosteroid intranasal. 2,3


3. Imunoterapi
Tujuan terapi ini adalah untuk meningkatkan ambang batas (threshold)
sebelum munculnya gejala pada penderita yang terpapar pada alergen. Mekanisme
kerja terapi imun ini masih belum jelas dimengerti. Indikasi imunoterapi adalah

18

penggunaan farmakoterapi jangka panjang, terapi farmakologi yang tidak adekuat


dan tidak dapat ditoleransi oleh penderita serta sensitifitas signifikan terhadap
alergen. Sebelum memulai imunoterapi, harus ditentukan alergen yang tepat pada
penderita. Di Amerika Serikat yang biasa dilakukan adalah penyuntikan alergen
secara subkutan yang gradual sehingga timbul reaksi sistemik yang ringan atau
reaksi lokal yang berat. Teknik lain adalah pemberian secara sublingual yang
terutama dianuti di Eropa. Teknik ini lebih aman dan mudah dilakukan sendiri
oleh penderita di rumah. 2,3
4 . Operatif
Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25% atau triklor asetat. 2,3
i. Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ialah: 2,3
1. Polip hidung
Beberapa peneliti mendapatkan, bahwa alergi hidung merupakan salah
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media efusi yang sering residif, terutama pada anak-anak.
3. Sinusitis paranasal.
Kedua komplikasi yang terakhir bukanlah sebagai akibat langsung dari rhinitis
alergi, tetapi karena adanya sumbatan hidung, sehingga menghambat drainase.
j. Prognosis
Sebagian besar pasien dapat hidup normal. Hanya pasien yang mendapat
imunoterapi untuk alergen spesifik yang dapat sembuh dari penyakitnya dan
banyak juga pasien yang melakukan pengobatan simtomatik saja secara intermiten
dengan baik. Rhinitis alergi mungkin dapat timbul kembali dalam 2-3 tahun
setelah pemberhentian imunoterapi. Gejala rhinitis alergi akan menurun pada
pasien bila mencapai umur 4 dekade. 2,3
2.3.5. Rhinitis Vasomotor
a. Definisi
19

Rhinitis vasomotor adalah suatu keadaan idiopatik yang didiagnosis tanpa


adanya infeksi, alergi, eosinofilia, perubahan hormonal (kehamilan, hipertiroid),
dan pajanan obat (kontrasepsi oral, antihipertensi, B-bloker, aspirin, klorpromazin
dan obat topikal hidung dekongestan). 2,3
b. Etiologi8,9
Penyebab pasti rhinitis vasomotor ini belum diketahui secara pasti, diduga
akibat gangguan keseimbangan vasomotor. Keseimbangan vasomotor ini
dipengaruhi berbagai hal, antara lain: 2,3
1. Obat-obatan yang menekan dan menghambat kerja saraf simpatis, misal
ergotamin, clorpromazin, obat antihipertensi, dan obat vasokonstriktor lokal.
2. Faktor fisik, seperti asap rokok, udara dingin, kelembaban udara yang tinggi,
dan bau yang merangsang.
3. Faktor endokrine, seperti kehamilan, pubertas, dan hipotiroidisme.
4. Faktor psikis seperti cemas, tegang.
c. Manifestasi Klinis
Gejala penderita rhinitis alergi atau rhinitis vasomotor kadang-kadang sulit
dibedakan karena gejala-gejalanya mirip, yaitu obstruksi hidung, rinorea dan
bersin. Biasanya penderita rhinitis alergik lebih merasakan gatal dan bersin
berulang seperti staccato. Biasanya ia tidak ditemukan atau tidak jelas pada
rinitis vasomotor. Reaksi bisa disebabkan oleh disfungsi sistem saraf autonom,
tetapi disamping itu, obstruksi hidung, rinorea dan bersin dapat disebabkan oleh
faktor iritasi, fisik, endokrin dan faktor lain. Hidung mungkin sensitif terhadap
pengaruh hormon, oleh karena itu reaksi rhinitis vasomotor mungkin berhubungan
dengan kehamilan atau kontrasepsi per oral, tetapi rhinitis vasomotor pada
kehamilan segera menyembuh setelah melahirkan dan mungkin berhubungan
dengan keseimbangan hormon. 2,3
Biasanya penderita rhinitis vasomotor tidak mempunyai riwayat alergi
pada keluarganya. Mereka menjelaskan fenomena iritatifnya dimulai di usia
dewasa. Jarang terjadi bersin dan rasa gatal. 2,3
Hidung tersumbat, bergantian kiri dan kanan, tergantung pada posisi
pasien. Terdapat rinorea yang mukus atau serosa, kadang agak banyak. Jarang
disertai bersin dan tidak disertai gatal di mata. Gejala memburuk pada pagi hari
20

waktu bangun tidur karena perubahan suhu yang ekstrim, udara lembab, juga
karena asap rokok dan sebagainya. 2,3
d. Patogenesis
Ada beberapa mekanisme yang berinteraksi dengan hidung yang
menyebabkan terjadinya rhinitis vasomotor pada berbagai kondisi lingkungan.
Sistem saraf otonom mengontrol suplai darah ke dalam mukosa nasal dan sekresi
mukus. Diameter dari arteri hidung diatur oleh saraf simpatis sedangkan saraf
parasimpatis mengontrol sekresi glandula dan mengurangi tingkat kekentalannya,
serta menekan efek dari pembuluh darah (kapiler). Efek dari hipoaktivitas saraf
simpatis atau hiperaktivitas saraf parasimpatis bisa berpengaruh pada pembuluh
darah tersebut yaitu menyebabkan terjadinya peningkatan edema interstisial dan
akhirnya terjadi kongesti yang bermanifestasi klinis sebagai hidung tersumbat.
Aktivasi dari saraf parasimpatis juga meningkatkan sekresi mukus yang
menyebabkan terjadinya rinorea yang eksesif. 2,3
Teori lain menyebutkan adanya peningkatan peptida vasoaktif yang
dikeluarkan sel-sel seperti sel mast. Peptida ini termasuk histamin, leukotrien,
prostaglandin, dan kinin. Peningkatan peptida vasoaktif ini tidak hanya
mengontrol diameter pembuluh darah yang menyebabkan kongesti, hidung
tersumbat, juga meningkatkan efek dari asetilkolin pada sistem saraf parasimpatis
pada sekresi nasal, yang meningkatkan terjadinya rinorea. Pelepasan dari peptida
ini bukan diperantarai oleh IgE seperti pada rhinitis alergik. Pada beberapa kasus
rhinitis vasomotor, eosinofil atau sel mast kemungkinan didapati meningkat pada
mukosa hidung. Terlalu hiperaktifnya reseptor iritans yang berperan pada
terjadinya rhinitis vasomotor. Banyak kasus rhinitis vasomotor berkaitan dengan
agen spesifik atau kondisi tertentu. Contoh beberapa agen atau kondisi yag
mempengaruhi kondisi tersebut adalah perubahan temperatur, kelembaban udara,
parfum, aroma masakan yang terlalu kuat, asap rokok, debu, polusi udara, dan
stres (fisik dan psikis). 2,3
Mekanisme terjadinya rhinitis vasomotor oleh karena aroma dan emosi
secara langsung melibatkan kerja dari hipotalamus. Aroma yang kuat akan
merangsang sel-sel olfaktorius terdapat pada mukosa olfaktori. Kemudian berjalan

21

melalui traktus olfaktorius dan berakhir secara primer maupun sesudah merelay
neuron pada dua daerah utama otak, yaitu daerah olfaktoris medial dan olfaktoris
lateral. Daerah olfaktoris medial terletak pada bagian anterior hipotalamus. Jika
bagian anterior hipotalamus teraktivasi misalnya oleh aroma yang kuat serta
emosi, maka akan menimbulkan reaksi parasimpatetik di perifer sehingga terjadi
dominasi fungsi syaraf parasimpatis di perifer, termasuk di hidung yang dapat
menimbulkan manifestasi klinis berupa rhinitis vasomotor. 2,3
Dari penelitian telah diketahui bahwa vaskularisasi hidung dipersarafi
sistem adrenergik maupun oleh kolinergik. Sistem saraf otonom ini yang
mengontrol vaskularisasi pada umumnya dan sinusoid vena pada khususnya,
memungkinan kita memahami mekanisme bendungan koana. Stimulasi kolinergik
menimbulkan vasodilatasi sehingga koana membengkak atau terbendung, hasilnya
terjadi obstruksi saluran hidung. Stimulasi simpatis servikalis menimbulkan
vasokonstriksi hidung. 2,3
Dianggap bahwa sistem saraf otonom, karena pengaruh dan kontrolnya
atas mekanisme hidung, dapat menimbulkan gejala yang mirip rhinitis alergika.
Rinopati vasomotor disebabkan oleh gangguan sistem saraf autonom dan dikenal
sebagai disfungsi vasomotor. Reaksi vasomotor ini terutama akibat stimulasi
parasimpatis (atau inhibisi simpatis) yang menyebabkan vasodilatasi, peningkatan
permeabilitas vaskular disertai edema dan peningkatan sekresi kelenjar. Bila
dibandingkan mekanisme kerja pada rhinitis alergik dengan rhinitis vasomotor,
maka reaksi alergi merupakan akibat interaksi antigen antibodi dengan pelepasan
mediator yang menyebabkan dilatasi arteriola dan kapiler disertai peningkatan
permeabilitas yang menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta
gejala bersin dan rasa gatal. Pelepasan mediator juga meningkatan aktivitas
kelenjar dan meningkatkan sekresi, sehingga mengakibatkan gejala rinorea. Pada
reaksi vasomotor yang khas, terdapat disfungsi sistem saraf autonom yang
menimbulkan peningkatan kerja parasimpatis (penurunan kerja simpatis) yang
akhirnya menimbulkan peningkatan dilatasi arteriola dan kapiler disertai
peningkatan permeabilitas yang menyebabkan transudasi cairan dan edema. Hal
ini menimbulkan gejala obstruksi saluran pernafasan hidung serta gejala bersin
dan gatal. Peningkatan aktivitas parasimpatis meningkatkan aktivitas kelenjar dan
22

menimbulkan peningkatan sekresi hidung yang menyebabkan gejala rinorea. Pada


reaksi alergi dan disfungsi vasomotor menghasilkan gejala yang sama melalui
mekanisme yang berbeda. Pada reaksi alergi, ia disebabkan interaksi antigenantibodi, sedangkan pada reaksi vasomotor ia disebabkan oleh disfungsi sistem
saraf autonom. 2,3
e. Diagnosis
Diagnosis

umumnya

ditegakkan

dengan

cara

eksklusi,

yaitu

menyingkirkan adanya rhinitis infeksi, alergi, okupasi, hormonal dan akibat obat.
Dalam anamnesa dicari faktor yang mempengaruhi timbunya gejala. Rhinitis
vasomotor dibuat dengan menyingkirkan kemungkinan lainnya dengan anamnesa,
pemeriksaan fisik pada hidung dengan rinoskopi anterior didapatkan konka
nasalis berwarna merah gelap atau merah tua, tetapi dapat pula pucat, edema
mukosa hidung dan permukaan konka dapat licin atau berbenjol-benjol
(hipertrofi). Pada rongga hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit. Akan
tetapi pada golongan rinore sekret yang ditemukan serosa yang banyak
jumlahnya. Pada pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menyingkirkan
rhinitis alergik karena dapat ditemukan eosinofil di dalam sekresi hidung, akan
tetapi dalam jumlah sedikit. Tes cukit kulit biasanya negative, kadar IgE spesifik
tidak meningkat. Perubahan foto rontgen, penebalan membrana mukosa sinus
tidaklah spesifik dan tidak bernilai untuk diagnosis. Rhinitis vasomotor bisa
terjadi bersama-sama dengan rhinitis alergik.2,3
f. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang digunakan pada rhinitis vasomotor bervariasi,
tergantung pada faktor penyebab dan gejala yang menonjol. Secara garis besar
penatalaksanaan dibagi menjadi tiga macam, yaitu: 2,3
1. Non Farmakologik
Menghindari penyebab. Jika agen iritan diketahui, terapi terbaik adalah
dengan pencegahan dan menghindari. Jika tidak diketahui, pembersihan
mukosa nasal secara periodik mungkin bisa membantu. Bisa dilakukan dengan

23

menggunakan semprotan larutan saline atau alat irigator seperti Grossan


irigator. 2,3
2. Farmakologik
Antihistamin mempunyai respon yang beragam. Membantu pada pasien
dengan gejala utama rinorea. Selain antihistamin, pemakaian antikolinergik
juga efektif pada pasien dengan gejala utama rinorea. Obat ini adalah
antagonis muskarinik. Obat yang disarankan seperti Ipratropium bromida, juga
terdapat formula topikal dan atrovent, yang mempunyai efek sistemik lebih
sedikit. Penggunaan obat ini harus dihindari pada pasien dengan takikardi dan
glaukom sudut sempit. 2,3
Steroid topikal membantu pada pasien dengan gejala utama kongesti,
rinorea dan bersin. Obat ini menekan respon inflamasi lokal yang disebabkan
oleh vasoaktif mediator yang dapat menghambat Phospolipase A2,
mengurangi aktivitas reseptor asetilkolin, menurunkan basofil, sel mast dan
eosinofil. Efek dari kortikostreroid tidak bisa segera, tapi dengan penggunaan
jangka panjang, minimal sampai 2 gr sebelum hasil yang diinginkan tercapai.
Steroid topikal yang dianjurkan seperti Beclomethason, Flunisolide dan
Fluticasone. Efek samping dengan steroid yaitu edem mukosa dan eritema
ringan. 2,3
Dekongestan atau simpatomimetik agen digunakan pada gejala utama
hidung tersumbat. Untuk gejala yang multipel, penggunan dekongestan yang
diformulasikan dengan antihistamin dapat digunakan. Obat yang disarankan
seperti

Pseudoefedrin,

Phenilprophanolamin

dan

Phenilephrin

serta

Oxymetazoline (semprot hidung). Obat ini merupakan agonis reseptor dan


baik untuk meringankan serangan akut. Pada penggunaan topikal yang terlalu
lama (> 5 hari) dapat terjadi rhinitis medikamentosa yaitu rebound kongesti
yang terjadi setelah penggunaan obat topikal > 5 hari. Kontraindikasi
pemakaian dekongestan adalah penderita dengan hipertensi yang berat serta
tekanan darah yang labil. 2,3
Pemberian preparat Kalsium seperti Dumocalsin atau preparat Kalk dapat
juga digunakan. Pada rhinitis vasomotor terjadi peningkatan acetilkholin
sebagai akibat dari dominasi parasimpatis untuk menurunkan kadar asetil
24

cholin maka diperlukan adanya enzyme asetilcholin esterase. Dengan


pemberian prerat Kalk dapat meningkatkan kerja enzyme asetil cholin esterase
sehingga dapat memecah asetilkolin yang menumpuk tersebut. 2,3
3. Bedah
Jika rhinitis vasomotor tidak berkurang dengan terapi diatas, prosedur
pembedahan dapat dilakukan antara lain dengan Cryosurgery / Bedah Cryo
yang berpengaruh pada mukosa dan submukosa. Operasi ini merupakan
tindakan yang cukup sukses untuk mengatasi kongesti, tetapi ada
kemungkinan untuk terjadinya hidung tersumbat post operasi yang
berlangsung lama dan kerusakan dari septum nasi. Neurectomi n.vidianus
merusak baik hantaran simpatis and parasimpatis ke mukosa sehingga dapat
menghilangkan gejala rinorea. Kauterisasi dengan AgNO3 atau elektrik cauter
dapat dilakukan tetapi hanya pada lapisan mukosa. Cryosurgery lebih
dipertimbangkan daripada kauterisasi karena dapat mencapai lapisan
submukosa. Reseksi total atau parsial pada konka inferior berhasil baik. 2,3
Dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan melakukan olahraga
dapat meningkatkan daya tahan dan kondisi penderita rhinitis vasomotor.
Peningkatan aktivitas fisik berpengaruh pada pengurangan produksi dari protein
yang memacu timbulnya mukus. Penjelasan lain menyebutkan dengan olahraga
dapat menyebabkan terjadinya vasokonstriksi membran, karena dengan olahraga
dapat meningkatkan kadar adrenalin sehinggga dapat mengurangi sekresi mukus.
Juga dengan olahraga akan membentuk reflek nasopulmonal yaitu dengan
meningkatkan Volume Tidal (VT) paru dan diharapkan bila paru terbuka
maksimal maka hidung juga akan lebih terbuka, sehingga dapat mengurangi
sumbatan hidung. Ini bukanlah suatu solusi permanen dalam menangani rhinitis
vasomotor, tetapi dapat dipertimbangkan sebagai salah satu bentuk pencegahan
terjadinya eksaserbasi gejala. 2,3
g.
Komplikasi
Biasanya komplikasi yang sering terjadi dari rinitis vasomotor ini adalah
polip hidung dan terjadinya sinusitis. 2,3
2.3.6. Rhinitis Medikamentosa

25

a. Definisi
Rhinitis medikamentosa adalah kelainan hidung berupa gangguan respon
normal vasomotor sebagai akibat pemakaian vasokontriktor topikal dalam waktu
lama dan berlebihan sehingga menyebabkan sumbatan hidung yang menetap. 2,3
b. Etiologi
Obat vasokonstriktor topikal dari golongan simpatomimetik akan
menyebabkan siklus nasal terganggu dan dakan berfungsi kembali bila pemakaian
dihentikan. Pemakaian vasokontriktor topikal yang berulang dan waktu lama akan
menyebabkan terjadinya fase dilatasi ulang (rebound dilatation) setelah
vasokontriksi, sehingga timbul obstruksi. Bila pemakaian obat diteruskan maka
akan terjadi dilatasi dan kongesti jaringan, perttambahan mukosa jaringan dan
rangsangan sel-sel mukoid sehingga sumbatan akan menetap dan produksi sekret
berlebihan. 2,3
Selain vasokontriktor topikal, obat-obatan yang dapat menyebabkan edema
mukosa diantaranya adalah asam salisilat, kontrasepsi oral, hydantoin, estrogen,
fenotiazin, dan guanetidin. Sedangkan obat-obatan yang menyebabkan kekeringan
pada mukosa hidung adalah atropin, beladona, kortikosteroid dan derivat
katekolamin. 2,3
c. Gambaran Klinis
Pada rhinitis medikamentosa terdapat gejala hidung tersumbat terus
menerus, berair. Pada pemeriksaan edema/hipertrofi konka dengan secret hidung
berlebihan. Apabila diberi tampon adrenalin, edema konka tidak berkurang. 2,3

d. Terapi
Pengobatan rhinitis medikamentosa adalah dengan menghentikan obat
tetes/semprot hidung, kortikosteroid secara penurunan bertahap untuk mengatasi
sumbatan berulang, dekongestan oral. 2,3

26

BAB III
KESIMPULAN
Rhinitis adalah suatu inflamasi (peradangan) pada membran mukosa di
hidung. Rhinitis tergolong infeksi saluran napas yang dapat muncul akut atau
kronik. Rhinitis akut adalah radang akut pada mukosa hidung yang disebabkan
oleh infeksi virus atau bakteri. Selain itu, rhinitis akut dapat juga timbul sebagai
reaksi sekunder akibat iritasi lokal atau trauma. Penyakit ini seringkali ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari. Yang termasuk ke dalam rhinitis akut diantaranya
adalah rhinitis simpleks, rhinitis influenza dan rhinitis bakteri akut supuratif.
Rhinitis disebut kronik bila radang berlangsung lebih dari 1 bulan.
Pembagian rhinitis kronis berdasarkan ada tidaknya peradangan sebagai
penyebabnya. Rhinitis kronis yang disebabkan oleh peradangan dapat kita
temukan pada rhinitis hipertrofi, rhinitis sika (sicca), dan rhinitis spesifik (difteri,
atrofi, sifilis, tuberkulosa & jamur). Rhinitis kronis yang tidak disebabkan oleh
peradangan dapat kita jumpai pada rhinitis alergi, rhinitis vasomotor, dan rhinitis
medikamentosa.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Settipane RA, Lieberman P. Update on nonallergic rhinitis. Annals of Allergy,
Asthma & Immunology 2001; 86; 494-508
2. Soepardi A., Iskandar N., Bashiruddin J., dan Restuti D. 2007. Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Edisi 6. Jakarta, Hal: 118-22, 128-38,
3. Adams G., Boies L., Higler P., 1997. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi ke enam.
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta: 196-222
4. Maran., Diseases of the Nose, Throat and Ear. Singapore.

28

Anda mungkin juga menyukai