(misalnya
sungai
atau
danau).
Apabila
tergugat
gagal
merugikam
penggugat.
Pihak-pihak
yang
bekerja
sama
dan
secara
pasti
satu
dari
sekian
banyak
pihak
yang
ini
hanya
dapat
mengatasi
permasalahan
yang
bersumber
pada
terbalik. UU ini hanya mengenal strict liability dimana penggugat tidak perlu lagi
membuktikan unsur kesalahan tergugat. Namun beban pembuktian tentang
kuasalitas (kerugian yang dikemukakan merupakan akibat dari terguggat) lebih
berada pada penggugat. Dengan demikian, penyelesaian sengketa lingkungan
hidup secara perdata, terjadi karena pada satu sisi masyarakat dirugikan atas
pengelolaan lingkungan hidup yang menyimpang dari aturan yang sebenarnya.
Dalam Pasal 34 UU Nomor 23 Tahun 1997, yang dapat mengajukan gugatan
apabila terjadi perbuatan melanggar hukum lungkungan adalah (1) subjek hukum
(orang atau masyarakat yang dirugikan oleh adanya aktivitas proyek atau kegiatan
terhadap lingkungan); (2) lingkungan itu sendiri (lingkungan dewasa ini telah
menjadi subjek hukum, sehingga kalau terjadi perusakan atau pencemaran
lingkungan, lingkungan dapat mengajukan gugatan yang diwakili ileh lembaga
swadaya masyarakat (LSM), atau masayarakat dengan kelas action).
Penyelesaian sengketa perdata melalui pengadilan merupakan salah satu
penyelesaian
yang
bermuara
pada
efektivitas
penegakan
hukum,
karena
(schuld)
agar
yang
bersangkutan
dapat
Perdata,
lazim
dikenal
(dua)
teori,
yaitu
pertama
seseorang.
Kesalahan
ini
mencakup
arti
kelalaian
dan
jenis
kegiatan
yang
dapat
digolongkan
sebagai
atau
kerugian
tersebut,
dan
walaupun
kerugian
itu,
yang
tidak
(shifting)
beban
pembuktian.
Dalam
strict
di
pundak
yang
mengendalikan
adanya
kerugian.
Beban
pembuktian pada penggugat ini sejalan dengan Pasal 163 HIR dan Pasall
1865 BW yang berbunyi
setiap orang yang mengaku mempunyai suatu hak, atau menunjuk
suatu peristiwa untuk mengukuhkan haknya itu atau untuk membantah
suatu hak orang lain, wajib membuktikan adanya hak itu dan kejadian
yang dikemukakan itu.
Sejalan
dengan
pendapat
menyatakan bahwa:
Kewajiban tergugat
untuk
di
atas,
Munadjat
memikul
tanggung
Danusaputro
jawab
atas
pertanggungjawaban
pembuktian,
hal
ini
tergantung
dari
pada
tingkat
daerah.
Khusus
untuk
Indonesia,
sejak
lingkungan
(ayat
(1)).
Penanggung
jawab
usaha
lingkungan
hidup
disebabkan
salah
satu
alasan
dibawah ini, (a) adanya bencana alam atau peperangan; atau (b)
adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia; atau (c)
adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Sementara itu, dalam kenyataan yang terjadi di lapangan,
terjadinya pencemaran dan perusakan terhadap lingkungan yang
dilakukan
oleh
para
industriawan,
apabila
kasusnya
sampai
para
korban
melalui
perluasan
interpretasi
atas
terhadap
suatu
peraturan
mengenai
standar
liability
Kebutuhan akan tersedianya asuransi lingkungan
pertangungjawaban
membayar
kerugian,
sebab
yang
menimbulkan
kerugian,
maka
semakin
luas
pertanggungjawabannya
e. Kerugian karena kematian atau luka-luka diperhitungkan lebih
f.
Penyebab
terhambatnya
penyelesaian
sengketa
lingkungan
dari
terdapatnya
kelembagaan
khusus,
terutama
ditingkat
meninaklanjuti
pengaduan
masyarakat
terhadap
kasus-kasus
lingkungan
2. Tidak adanya prosedur-prosedur serta mekaniame pengaduan,
penelitian dan penuntutan ganti kerugian dalam kasus pencemaran
dan kerusakan lingkungan
3. Tidak adanya wadah penyedia jasa penyelesaian sengket di luar
pengadilan melalui mediasi, konsolidasi, atau arbitrase seperti yang
dimiliki oleh Filipina, Jepang, Taiwan, dan Korea Selatan
4. Keterbatasan akses masyarakat korban maupun
kelompok
Unsur-unsur
perbuatan
melawan
hukum
(onrechtsmatigedaad)
UUPLH).
Dasar pertanggungjawaban yang bersifat khusus (Pasal 35 ayat 1
UUPLH).
UUPLH
1997
menentukan
environmental
responsibility
maupun
biaya
permulihan
lingkungan
(public
compensation).
Disini perlu diterangkan bahwa meskipun UUPLH1982 sudah
tidak berlaku lagi sebagai bahan bahasan, namun perlu disinggung
prinsip yang diatur pasal 20 ayat (3) UUPLH 1982.
Dalam pasal 20 ayat (3) UUPLH 1982 Ditentukan secara tegas
tentang siapa yan merusak atau mencemarkan lingkungan hidup
bertanggungjawab untuk membayar biaya pemulihan lingkungan
hidup kepada Negara.
OECD
membayar
menekankan
akibat
supaya
pencemar
kerusakan-kerusakan
dibebani
lingkungan
kewajiban
hidup
yang
Pengendalian langsung
perpajakan
pembayaran
subsidi
macam-macam kebijakan yang bersifat insentif seperti keuntungan
pajak, fasilitas kredit, dan amortisasi atau pelunasan hutang yang dipercepat
(Accelerated Amortization).
6.
Pelelangan hak-hak pencemaran (The Action of Pollution Right)
7.
pungutan-pungutan (charges).
Sistem pengelolaan PPP dapat dilihat dalam UUPLH 1997,
khusunya Pasal 10 butir b, c, d, e, f, g, I, Pasal 17, Pasal 34 dan Pasal
35. Pasal 6 ayat (1) menyatakan: Setiap orang berkewajiban
memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan
menanggulangi pencemaran serta perusakan lingkungan hidup.
Dalam
rangka
penerapan
PPP
ini,
dijelaskan
bahwa
selain
dan
seketika
pada
saat
pencemaran/perusakan lingkungan.
hanya
kepada
jenis-jenis
kegiatan
tertentu
saja
akan
diberlakukan strict liability. Meurut Pasal 35 UUPLH 199, kegiatankegiatan tersebut adalah kegiatan yang berdampak besar dan penting
terhadap lingkungan (1). yang menggunakan bahan berbahaya dan
beracun; (2). menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun; dan
(3). Menurut penjelasan pasal 35 ketentuan strict liability merupakan
lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melawan hukum pada
umuumnya.
Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan
a. Perlunya Badan Penyelesaian Sengketa Lingkungan
Berkaitan dengan penyelesaian sengketa pencemaran/kerusakan lingkungan,
hingga saat ini dinegara kita belum ada semacam badan The Settlement of
Environmental Disputes. Sebetulnya badan semacam ini penting, di mana
tugas khususnya adalah menyelesaikan sengketa-sengketa
pencemaran/kerusakan lingkungan dalam bentuk konsiliasi, mediasi atau
arbitrasi. Badan ini harus bersifat privat dan harus terhindar dari campur
tangan pemerintah.
Penjelasan Pasal 20 ayat 2 UUPLH 1982 mengatakan, penelitian tentang
bentuk, jenis, dan besarnya kerugian dilakukan oleh tim yang dibentuk
pemerintah. Penelitian ini meliputi bidang ekologi, medis, social, budaya, dan
lain-lain yang diperlukan. Tim yang terdiri dari pihak penderita atau
kuasanya, pihak pencemar atau kuasanya, dan unsur pemerintah dibentuk
untuk tiap-tiap kasus. Tim ini lazim disebut dengan Tripartite atau tripihak.
Sedangkan untuk sengketa/kasus-kasus lainnya, di tiap-tiap provinsi
(prefecture) dibentuk sebuah badan Environmental Disputes Coordination
Commision. Badan ini dibentuk berdasarkan Law concerning the Settlement
of environment Pollution Disputes, dan bertugas untuk menyelesaikan
sengketa pencemaran melalui konsiliasi, mediasi, atau arbitrasi.