Anda di halaman 1dari 27

Diebetes Melitus Tipe-2 pada Laki-lai 35 Tahun

Pendahuluan
Diabetes Mellitus (DM) ini adalah suatu pengaykit yang mungkin sudah tidak asing
lagi bagi masyarakat, pengertian dari diabetes ini adalah kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena adanya kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. Hiperglikemia ini bila sudah terjadi kronik akan menyebabkan
kerusakan pada beberapa organ, diantaranya itu mata, ginjal, saraf, jantung, dll, yang di
maksud dengan hiperglikemia itu adalah terjadinya peningkatan kadar gula didalam darah
dari biasanya. Penyakit ini dapat menyerang usia muda maupun usia yang sudah lansia. Akan
tetapi bila terkena pada waktu usia muda mungkin ada hubungan dengan fakor genetik,
karena dari beberapa teori diabtes mellitus ini berhubungan dengan faktor keluarga atau
genetik, lain hal dengan yang terkena pada usia lansia atau tua, biasanya sering dikaitkan
dengan kurang sensitivitasnya target organ dari insulin, misalkan hati dan otot. Hati dan otot
ini merupakan tempat penyimpanan cadangan gula, ketika gula/glukosa kita berlebih di
dalam tubuh maka akan di simpan dalam bentuk glikogen pada kedua organ tadi, dengan
proses glikogenesis.
Indonesia adalah dengan jumlah penderita DM tertinggi di dunia. Tingginya angka
penderita DM ini disebabkan oleh banyak faktor. Salah satunya adalah pola hidup dan pola
makan yang tidak teratur. Selain karena faktor pola makan dan gaya hidup yang tidak diatur
dengan baik, DM bisa timbul karena kelainan yang terjadi pada sistem tubuh yang berfungsi
untuk mengatur pengeluaran insulin.

SKENARIO III
Seorang laki-laki berusia 35 tahun datang ke dokter untuk berkonsultasi karena ia merasa
semakin lemas sejak 2 minggu yang lalu. Pasien memiliki riwayat diabetes sejak 5 tahun
yang lalu dan minum metformin dan glibenklamid secara teratur
PF : Keadaan umum baik, ada reaksi hipopigmentasi pada lipatan leher dan ketiak.
PP :TD: 120/80 mmHg, RR: 16 kali/menit, Nadi: 88 kali/menit, Suhu : 36 IMT: 22,5 m/kg 2,
GDS: 252 mg/dL, HbA1c: 10%.

Anamnesis
Anamnesis merupakan tahap awal dalam pemeriksaan untuk mengetahui riwayat
penyakit dan menegakkan diagnosis dengan cara melakukan wawancara terhadap pasien.
Anamnesis yang baik itu, diantaranya:1

Identitas
Identitas meliputi nama lengkap pasien, umur atau tanggal lahir, alamat,
pendidikan, pekerjaan, suku bangsa, dan agama.
Keluhan Utama
keluhan yang dirasakan pasien yang membawa pasien pergi ke dokter atau mencari
pertolongan. Dalam menuliskan keluhan utama harus disertai dengan indikator waktu,

berapa lama pasien mengalami hal tersebut.


Riwayat Penyakit Sekarang : apakah ada keluhan lainnya, seperti:
o Poliuria. Apakah pasien merasakan volume urin yang meningkat. Biasanya
sering disertai dengan adanya nokturia yang membangunkan pasien dari
tidurnya dan sering menganggu kualitas tidur.
o Polidipsi. Tanyakan apakah pasien sering merasa haus. Polidipsi disebabkan
oleh banyaknya volume urin yang dikeluarkan
o Poliphagia. Tanyakan apakah pasien sering merasa lapar
o Penurunan berat badan
o Neuropati. Tanyakan apakah pasien mengalami kesemutan, hilang rasa pada
bagian distal tubuh seperti kaki.
o Infeksi. Tanyakan apabila pasien mendapat luka, apakah luka tersebut sukar

sembuh, terutama pada bagian kaki


o Retinopati. Tanyakan pada pasien apakah ia mengalami gangguan penglihatan.
Riwayat Penyakit Dahulu
Bertujuan untuk mengetahui kemungkinan-kemungkinan adanya hubungan antara
penyakit yang pernah diderita dengan penyakitnya sekarang.
Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat keluarga juga penting dalam anamnesis karena beberapa penyakit
disebabkan oleh genetik sehingga kecurigaan akan penyakit menahun keluarga juga
wajib ditanyakan.

Riwayat Penyakit Pribadi


Riwayat pribadi meliputi data-data sosial, ekonomi, pendidikan, dan kebiasaan. Perlu
ditanyakan pula apakah pasien mengalami kesulitan dalam sehari-hari seperti masalah
2

keuangan, pekerjaan, dan sebagainya. Kebiasaan pasien juga harus ditanyakan, seperti
makanannya dan aktifitas kesehariannya, lingkungan tempat tinggal pasien, dan
sebagainya.

Riwayat Pengobatan
Sudah mengkonsumsi obat apa saja, atau sudah mendapat pengobatan apa dan
apakah keadaan membaik atau tidak, sedang mengkonsumsi suatu obat atau tidak.

Pemeriksaan
Diagnosis suatu penyakit dapat ditegakkan dengan berdasarkan gejala klinik yang
ditemukan pada pemeriksaan fisik, terutama sekali bagi penyakit yang memiliki gejala klinik
spesifik. Bagi penyakit yang tidak memiliki gejala klinik khas/spesifik, untuk menegakkan
diagnosisnya kadang-kadang diperlukan pemeriksaan laboratorium.1

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik, dilakukan melihat keadaan umum pasiennya, lalu tampak
sakitnya, setelah itu melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital diantaranya suhu,
tekanan darah, denyut nadi, dan frekuensi pernafasan. Pada pemeriksaan fisik, didapat
hasil sebagai berikut:
o Keadaan umum Baik.
o TTV
- Tekanan Darah
: 120/80 mmHg.
- Suhu
: 36oC.
- Tekanan Naadi
: 80x/menit.
- Frekuensi Nafas
: 16x/menit.
Setelah melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital selanjutnya melakukan pemeriksaan

inspeksi, palpasi pada bagian kaki penderita.

Pemeriksaan Laboratorium
Kegunaan dari pemeriksaan penunjang adalah untuk keakuratan diagnosis atau
menunjang diagnosis agar lebih pasti dalam menegakan suatu penyakit. Pemeriksaan

penunjang yang bisa dilakukan untuk kasus ini adalah :


1. Pemeriksaan kadar Glukosa Darah
Pemeriksaan kadar glukosa darah dapat digunakan untuk pemeriksaan
penyaring, pemeriksaan diagnosis, pemantauan hasil pengobatan dan pengendalian
DM. Berdasarkan waktu pengambilan sampel darah, dikenal beberapa jenis
pemeriksaan kadar glukosa darah, yaitu kadar glukosa darah sewaktu, kadar glukosa
3

puasa, kadar glukosa 2 (dua) jam setelah makan (postprandial) dan kadar glukosa jam
ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO).
Pada pemeriksaan kadar glukosa darah sewaku, pengambilan sampel darah
dilakukan tanpa perlu memperhatikan waktu terakhir makan. Sedangkan pemeriksaan
kadar glukosa darah puasa, pengambilan sampel darah dilakukan setelah penderita
berpuasa paling sedikit 8 jam sebelum pemeriksaan. Kedua pemeriksaan ini hanya
untuk pemeriksaan penayaring, memastikan diagnosis, dan memantau hasil
pengobatan. Berikut ini nilai rujukan dari pemeriksaan kadar glukosa sewaktu dan

puasa:
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS)
o Bukan DM : < 110 mg/dL
o Belum pasti DM : 110-199 mg/dL
o DM : 200 mg/dL
Kadar glukosa darah puasa (GDP)
o Bukan DM : < 110 mg/dL
o Belum pasti DM : 110-125 mg/dL
o DM : 126 mg/dL
Pemeriksaan kadar glukosa darah jam ke-2 Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO), merupakan pemeriksaan laboratorium yang dilakukan untuk menegakan
diagnosis DM bila berdasarkan hasil pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau
puasa diagnosis DM masih belum dapat dipastikan. Dengan demikian, pemeriksaan
ini tidak diperlukan bagi penderita dengan gejala klinis khas DM dan kadar glukosa
darah puasa dan sewaktu yang telah memenuhi kriteria diagnostik DM.2

Tabel 1. Penilian Hasil Pemeriksaan TTGO Jam Kedua.


Kadar Glukosa Darah (mg/dL)

Penilian

< 140

TTGO Normal

140 199

Toleransi Glukosa Terganggu (TGT)

> 200

Diabetes Melitus

2. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin A1c (HbA1c)


A1C merupakan hemoglobin terglikosilasi dan dikenal juga sebagai
glikohemoglobin yang merupakan komponen kecil hemoglobin, bersifat stabil dan
terbentuk secara perlahan melalui reaksi non-enzimatik ini berlangsung

terus-

menerus sepanjang umur eritrosit (kira-kira 120 hari), sehingga eritrosit tua
mengandung A1C lebih tinggi daripada eritrsit muda. Nilai normal A1C adalah 5-8%
dari kadar Hb total.
Pada penderita DM dengan hiperglikemia kronik, jumlah protein yang
terglikolisass (A1C) akan meningkat. Pemeriksaan ini digunakan untuk menilai efek
perubahan pengobatan 8-12 minggu sebelumnya tetapi tidak dapat dipakai untuk
menilai hasil pengobatan jangka pendek. Pemeriksaan ini dianjurkan untuk dilakukan
sedikitnya 2x dalam setahun.2
3. Pemeriksaan Glukosa Urin
Pemeriksaan ini dianggap kurang akurat karena peningkatan kadar glukosa di
dalam darah belum tentu diikuti dengan terjadi glukosuria. Oleh karena itu
pemeriksaan ini hanya dilakukan pada penderita yang tidak dapat atau tidak mau
memeriksa kadar glukosa darahnya.2
4. Ketonuria
Dalam keadaan tidak ada insulin dalam jumlah cukup, maka tiga badan
keton" utama dibentuk dan diekskresi ke dalam kemih: asam -hidroksibutirat, asam
asetoasetat. dan aseton. Produk-produk komersil untuk menguji adanya keton dalam
kemih kini tersedia. Tablet Acetest, Ketostix, dan Keto-Diastix menggunakan suatu
reaksi nitroprusida yang hanya mengukur aseton dan asetoasetat. Dengan demikian,
uji-uji ini dapat keliru mengarahkan bila asam -hidroksibutirat merupakan metabolit
yang dominan.
Kondisi-kondisi lain di samping ketoasidosis diabetik dapat menyebabkan badanbadan keton tampil dalam kemih; antara lain kelaparan, diet tinggi lemak,
ketoasidosis alkoholik, demam, dan kondisi lain di mana kebutuhan metabolik meningkat.
5. Proteinuria
Proteinuria seperti yang ditemukan pada pemeriksaan carik celup rutin
seringkali menjadi tanda pertama komplikasi diabetes pada ginjal. Jika proteinuria
terdeteksi, maka perlu dilakukan analisis kumpulan kemih 24 jam untuk menentukan
5

derajat proteinuria (individu normal mengekskresikan < 30 mg protein per hari) dan
laju ekskresi kreatinin kemih; pada saat yang sama, kadar kreatinin serum perlu
ditentukan sehingga bersihan kreatinin (suatu perkiraan dari laju filtrasi glomerulus)
dapat dihitung. Pada beberapa kasus kelak terjadi proteinuria yang berat (3-5 g/hari)
dengan gejala-gejala sindroma nefrotik lain seperti edema, hipoalbuminemia, dan
hiperkolesterolemia.
6. Mikroalbuminuria
Albumin

kemih

kini

dapat

dideteksi

dalam

hitungan

mikrogram

menggunakan metode radioimmunoassay yang lebih peka daripada metode carik


celup yang batas deteksi minimalnya adalah 0,3- 0,5%. Kumpulan kemih 24-jam
konvensional menyebabkan ketidaknyamanan bagi pasien, dan di samping itu juga
memperlihatkan variabilitas ekskresi albumin disebabkan beberapa faktor seperti
berdiri lama protein dalam diet, dan latihan fisik cenderung meninggikan laju
ekskresi albumin. Karena alasan-alasan inilah banyak klinik lebih suka melakukan
pemeriksaan penyaring dengan suatu kumpulan kemih semalam yang diberi batasan
waktu yaitu mulai dari saat menjelang tidur, di mana kemih dibuang dan jam dicatat.
Mikroalbuminuria abnormal yang mungkin merupakan prediktor dini dari
perkembangan nefropati diabetik.3
7. Pemeriksaan C-peptide
Konsentrasi C-peptide proporsional terhadap produksi insulin endogen.
Penentuan C-peptide sangat penting dalam diagnosis dari kondisi hipoglisemia.
Beberapa penggunaan lain adalah dalam kondisi pankreatektomi dan pasien setelah
transplantasi pankreas. Untuk pemeriksaan ini, sebaiknya pasien puasa sebelum
pengambilan spesimen. Manfaat dari pemeriksaan ini adalah membantu dalam
klasifikasi DM : pasien DM tipe-2 biasanya memiliki konsentrasi C-peptide dan
insulin yang normal atau meningkat dan tidak memiliki autoantibody terhadap sel
beta. Pasien DM tipe-1 memiliki konsentrasi C-peptide yang rendah atau tidak
terdeteksi, dan hampir 85-90% pasien DM tipe-1 memiliki autoantibody terhadap sel
beta. Nilai rujukan pemeriksaan ini adalah 0,9 - 7,1 ng/mL.4

Working Diagnosis
6

Berdasarkan dari hasil anamnesis, serta pemeriksaan fisik maupun penunjang,


diagnosisnya itu adalah Diabetes Melitus Tipe-2.
Diabetes mellitus (DM) mengacu pada sekelompok kelainan metabolik dengan gejala
hiperglikemia. Terdapat beberapa jenis DM dan disebabkan oleh interaksi antara faktor
genetic dan lingkungan. Berdasarkan etiologi yang menyebabkan DM, faktor yang ikut
berperan dalam terjadinya hiperglikemia adalah berkurangnya sekresi insulin, pengurangan
kemampuan menggunakan glukosa, dan peningkatan produksi glukosa. Kelainan metabolik
yang menyertai DM dapat menyebabkan perubahan patofisiologik sekunder pada berbagai
sistem organ. Di US, DM adalah penyebab utama terjadinya End-Stage Renal Disease
(ESRD), amputasi ekstremitas bawah non-trauma, kebutaan pada orang dewasa. DM juga
merupakan faktor predisposisi terjadinya kelainan kardiovaskular.4,5
Diabetes mellitus diklasifikasikan berdasarkan proses patogenik yang menyebabkan
terjadinya hipoglikemia. Secara garis besar dibagi menjadi DM tipe 1 dan tipe 2. Kedua jenis
DM ini didahului oleh fase hemostasis glukosa abnormal seiring dengan proses patogenik
berlanjut. Tipe 1 disebabkan oleh defisiensi insulin total atau mendekati total. DM tipe 2
merupakan sekelompok kelainan yang dicirikan dengan berbagai derajat resistensi insulin,
gangguan sekresi insulin, dan peningkatan produksi glukosa. Defek metabolik dan genetic
yang jelas pada fungsi/sekresi insulin merupakan penyebab hiperglikemia yang umum pada
pasien DM tipe 2, dan mempunyai peranan yang penting dalam implikasi terapi karena
sekarang sudah terdapat obat yang dapat memperbaiki gangguan metabolic secara spesifik.
DM tipe 2 didahului oleh homeostasis glukosa abnormal yang disebut sebagai impaired
fasting glucose (IFT) dan impaired glucose tolerance (IGT).4,5
Terdapat dua perbedaan yang membedakan klasifikasi DM dahulu dengan sekarang.
Pertama, istilah Insulin Dependent Diabetes Melitus (IDDM) dan Noninsulin Dependent
Diabetes Melitus (NIDDM) sudah tidak digunakan lagi. Karena terdapat banyak pasien
dengan DM tipe 2 pada akhirnya memerlukan terapi insulin untuk mengatur glikemia.
Perbedaan kedua adalah umur bukan merupakan suatu kriteria klasifikasi. Walaupun pada
umumnya DM tipe 1 tampak pada usia kurang dari 30 tahun, proses autoimun penghancuran
beta-cell dapat terjadi pada usia berapa saja. Sebaliknya, DM tipe 2 lebih sering tampak
seiring dengan penambahan umur, tetapi sekarang lebih banyak didiagnosis pada anak dan
dewasa muda terutama remaja dengan obesitas.4,5

Diagnosis DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah. Dalam


menentukan diagnosis DM harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara
pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan adalah
pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Untuk
memastikan diagnosis DM , pemeriksaan glukosa seyogyanya di laboratorium klinik yang
terpercaya. Waalupun demikian sesuai dengan kondisi setempat dapat juga dipakai bahan
darah utuh (whole blood), vena maupun kapiler dengan memperhatikan angka-angka kriteria
diagnostic yang berbeda sesuai dengan pembakuan oleh WHO. Untuk pemantauan hasil
pengobatan dapat diperiksa kadar glukosa kapiler.4,5
Ada perbedaan uji diagnostic DM pemeriksaan penyaring. Uji diagnostic DM
dilakukan pada mereka yang menunjukkan tanda/gejala DM. sedangkan pemeriksaan
penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala, yang mempunyai
faktor risiko DM. serangkaian uji diagnostic akan dilakukan kemudian pada mereka yang
hasil pemeriksaan penyaringnya positif, untuk memastikan diagnosis definitive.4,5
Pemeriksaan penyaring dikerjakan pada kelompok dengan salah satu risiko DM
sebagai berikut:4,5

Usia > 45 tahun

BB > 110% berat badan ideal atau IMT > 23kg/m2

Hipertensi ( > 140/90 mmHg)

Riwayat DM

Riwayat abortus berulang, melahirkan bayi cacat, atau berat badan lahir bayi > 4 kg.

Kolesterol HDL < 35 mg/dL dan atau trigliserida > 250 mg/dL

Catatan:
Untuk kelompok risiko tinggi yang hasil pemeriksaan penyaringnya negative, pemeriksaan
penyaring ulangan dilakukan tiap tahun; sedangkan bagi mereka yang berusi > 45 tahun tanpa
faktor risiko, pemeriksaan penyaring dapat dilakukan setiap 3 tahun.4,5
Pemeriksaan penyaring yang khusus ditujukan untuk DM pada penduduk umumnya
(mass screening) tidak dianjurkan karena di samping biaya yang mahal, rencana tindak lanjut
8

bagi mereka yang positif belum ada. Bagi mereka yang mendapat kesempatan untuk
pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general check-up) adanya pemeriksaan
penyaring untuk DM dalam rangkaian pemeriksaan tersebut sangat dianjurkan.4,5
Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, toleransi glukosa
terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT), sehingga dapat ditentukan
langkah yang tepat untuk mereka. Pasien dengan TGT dan GDPT merupakan tahapan
sementara menuju DM. setelah 5-10 tahun kemudian 1/3 kelompok TGT akan berkembang
menjadi DM, 1/3 tetap TGT, dan 1/3 lainnya kembali normal. Adanya TGT sering berkaitan
dengan resistensi insulin. Pada kelompok TGT ini risiko terjadinya atherosclerosis lebih
tinggi

dibandingkan

kelompok

normal.

TGT

sering

berkaitan

dengan

penyakit

kardiovaskular, hipertensi, dan dislipidemia. Peran aktif para pengelola kesehatan sangat
diperlukan agar deteksi DM dapat ditegakkan sedini mungkin dan pencegahan primer dan
sekunder dapat segera diterapkan.4,5
Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah
sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa
oral (TTGO) standart (Tabel 2).4,5

Kadar glukosa darah sewaktu


plasma vena
darah kapiler

Bukan DM

Belum pasti DM

DM

< 110
< 90

110 199
90 - 199

>200
> 200

Kadar glukosa darah puasa


plasma vena
< 110
110 125
> 126
darah kapiler
< 90
90 - 109
> 110
Tabel 2. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan
Diagnosis DM (mg/dl)
Langkah-langkah Untuk Menegakkan Diagnosis DM dan Gangguan Toleransi Glukosa.
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa
poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita. Jika keluhan
khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah cukup untuk menegakkan
diagnosis DM. hasl pemeriksaan kadar glukosa darh puasa > 126 mg/dL juga digunakan
untuk patokan diagnosis DM. Untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
9

glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
diagnosis DM. Diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa > 126 mg/dL, kadar glukosa darah sewaktu > 200
mg/dL pada hari yang lain, atau dari hasil tes toleransi glukosa (TTGO) didapatkan kadar
glukosa darah pasca pembebanan > 200 mg/dL.

Differential Diagnosis
1. Diabetes Melitus Tipe-1
Diabetes melitus tipe-1 adalah penyakit autoimun yang ditentukan secara genetik
dengan gejala-gejala yang pada akhirnya menuju proses bertahap perusakan imunologik selsel yang memproduksi insulin. Individu yang peka secara genetik tampaknya memberikan
respons terhadap kejadian-kejadian pemicu yang diduga berupa infeksi virus, dengan
memproduksi auto-antibodi terhadap sel-sel beta, yang akan berakibat berkurangnya sekresi
insulin yang dirangsang oleh glukosa.manifestasi klinis diabetes mellitus terjadi jika lebih
dari 90% sel-sel beta pankreas menjadi rusak. Terjadi defisiensi insulin absolute setelah sel
pankreas dihancurkan oleh proses autoimum pada orang-orang yang memiliki predisposisi
secara genetis. Pasien dengan diabetes tipe 1 sering memperlihatkan awitan gejala yang
aksplosif dengan polidipsia, poliuria, polifagia, turunnya berat badan, lemah, somnolen yang
terjadi selama beberapa hari atau beberapa minggu, dan terdapat infeksi (abses, infeksi jamur,
misalnya kandidiasis). Pasien dapat menjadi sakit berat dan timbul ketoasidosis, disertai
dengan gejala mual, muntah, mengantuk, dan takipnea, serta dapat meninggal kalau tidak
mendapatkan pengobatan segera. Terapi insulin biasanya dibutuhkan untuk mengontrol
metabolisme dan umumnya penderita peka terhadap insulin.6
2. MODY
Maturity onset diabetes of The Yong (MODY) adalah kelainan genetik dan klinik
yang heterogen dan merupakan salah satu tipe dari DM yang ditandai dengan onset yang
cepat, kelainan genetik autosomal dominan dan defek utama pada sekresi insulin Geneticdefects of beta cellfunction. Mutasi pada pada enam gen merupakan penyebab MODY
terbanyak. MODY seperti DM tipe 2 yang disebabkan oleh kelainan gen autosomal dominan
dan terjadi pada usia muda dengan riwayat DM dalam keluarga. MODY merupakan kelainan
genetik diwariskan melalui keturunan. MODY sering dibandingkan dengan DM tipe 2 dan
10

memiliki beberapa kesamaan gejala. Tetapi bagaimanapun, MODY tidak ada hubungannya
dengan obesitas, penderitanya biasanya muda dan tidak ada kaitannya dengan kelebihan berat
badan.
Diperkirakan sekitar 1-2% orang yang teken DM sebenarnya merupakan tipe MODY.
Onset terjadi sebelum usia 25 tahun. Dapat terjadi dari satu generasi ke generasi berikutnya
dalam keluarga. MODY tidak selalu membutuhkan pengobatan insulin. Manifestasi klinis
yang digunakan untuk menegakkan diagnosis MODY:
-

Hiperglikemik ringan sampai sedang (tpically 130250 mg/ dl, atau 714 mmol/ l)
dan ditemukan sebelum usia 30 tahun. Tetapi bagaimanapun, MODY masih dapat
berkembang sampai dibawah usia 50 tahun.

Gejala awal sama seperti gejala DM pada umumnya.

Tidak ada autoantibodi atau kelainan autoimun lainnya.

Tidak ada obesitas atau kelainan lainnya yang berhubungan dengan DM tipe 2.

Resistensi insulin jarang terjadi.

Adanya kista pada ginjal pasien juga sering ditemukan.

Non-transientneonatal DM.

Liver adenoma dan hepatocellular karsinoma sering ditemukan bersama MODY tipe
3.7

3. Latent Autoimun Diabetes of Adult (LADA)


Latent Autoimun Diabetes of Adult pertama kali di identifikasikan pada tahun 1993 untuk
menggambarkan onset yang lambat dari diabetes autoimun tipe 1 pada orang dewasa.
Dewasa yang terkena LADA sering disalah diagnose terkena diabetes mellitus tipe 2
dikarenakan faktor usia. Lada merupakan penghancuran cellular-mediated autoimmune
dari sel beta pancreas. Penghancuran ini memiliki berbagai variasi dengan beberapa
individu terkena serangan yang tergolong cepat dan beberapa ada yang lambat. The
National Institutes of Health (NIDDK) mendefinisikan LADA adalah diabetes tipe 1 yang
berkembang pada orang dewasa. Pasien dengan LADA umumnya memiliki kadar sekresi
insulin yang rendah atau C-peptide yang semakin rendah seiring dengan perjalanan
penyakit ke tingkat yang lebih parah. Penderita LADA juga seringkali memiliki hasil
yang positif terhadap Islet Cell Antibodies (ICA) dimana, pada penderita diabetes tipe 2
jarang sekali mendapatkan hasil yang positif.4
11

Karakteristik LADA yang mungkin dapat digunakan pada diferensial diagnosis:

Onset biasanya umur 25 tahun atau lebih tua.

Bergejala awal seperti DM tipe 2 pada orang yang bukan obese. (pasien LADA
biasanya memiliki berat badan yang ideal.

Sering tetapi tidak selalu, pasien LADA jarang memiliki riwayat DM tipe 2 dalam
keluarganya.

Individu dengan LADA kelihatannya seperti resisten insulin.

HLA gen berhubungan dengan DM tipe 1 bukan DM tipe 2.

Biasanya sekitar 12 tahun setelah salah didiagnosa sebagai DM tipe 2, pasien LADA akan
dependen insulin.

Etiologi
Diabetes Melitus tipe 2 merupakan 90% dari kaaus DM yang dulu dikenal sebagai
non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM). Pada diabetes ini terjadi penurunan
kemampuan insulin bekerja di jaringan perifer (insulin resistance) dan disfungsi sel beta.
Akibatnya, pankreas tidak mampu memproduksi insulin yang cukup untuk mengkompensasi
insulin resistance. Berkembangnya diabetes melitus tipe 2 ini berkaitan dengan faktor gaya
hidup. Gaya hidup santai, kurang berolahrga, kebiasaan mengkonsumsi makanan tinggi kalori
dan rendah serat, serta berat badan berlebih, obesitas merupakan sebagian dari fakor risiko
dan pencetus diabetes melitus.4

Epidemiologi
Pada tahun 2000 menurut WHO diperkirakan sedikitnya 171 juta orang di seluruh
dunia menderita Diabetes Mellitus, atau sekitar 2,8% dari total populasi. Insidensnya terus
meningkat dengan cepat, dan diperkirakan pada tahun 2030, angka ini akan bertambah
menjadi 366 juta atau sekitar 4,4% dari populasi dunia. DM terdapat di seluruh dunia, namun
lebih sering (terutama tipe 2) terjadi di negara berkembang. Peningkatan prevalens terbesar
terjadi di Asia dan Afrika, sebagai akibat dari tren urbanisasi dan perubahan gaya hidup,
12

seperti pola makan Western-style yang tidak sehat. Di Indonesia sendiri, berdasarkan hasil
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, dari 24417 responden berusia >15 tahun,
10,2% mengalami Toleransi Glukosa Terganggu (kadar glukosa 140-200 mg/dl setelah puasa
selama 14 jam dan diberi glukosa oral 75 gram). Sebanyak 1,5% mengalami Diabetes Melitus
yang terdiagnosis dan 4,2% mengalami Diabetes Melitus yang tidak terdiagnosis. Baik DM
maupun TGT lebih banyak ditemukan pada wanita dibandingkan pria, dan lebih sering pada
golongan dengan tingkat pendidikan dan status sosial rendah. Daerah dengan angka penderita
DM paling tinggi yaitu Kalimantan Barat dan Maluku Utara yaitu 11,1 %, sedangkan
kelompok usia penderita DM terbanyak adalah 55-64 tahun yaitu 13,5%. Beberapa hal yang
dihubungkan dengan risiko terkena DM adalah obesitas (sentral), hipertensi, kurangnya
aktivitas fisik dan konsumsi sayur-buah kurang dari 5 porsi perhari.3,7

Patofisiologi
Kasus diabetes terbanyak yang dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2, yang
umumnya mempunyai latar belakang kelainan yang diawali dengan terjadinya resistensi
insulin. Awalnya resistensi insulin masih belum menyebabkan diabetes secara klinis. Pada
saat tersebut sel beta pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu
hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal atau baru sedikit meningkat. Kemudian
setelah terjadi ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru akan terjadi diabetes melitus secara
klinis, yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria
diagnosis diabetes melitus. Kelainan dasar yang terjadi pada diabetes melitus tipe 2:
1

Resistensi insulin pada jaringan lemak, otot dan hati

Kenaikan produksi glukosa oleh hati

Kekurangan sekresi insulin oleh pankreas.


Pada pasien dengan diabetes melitus tipe 2, penyakitnya mempunyai pola familial

yang kuat. Diabetes tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja insulin. Pada
awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja insulin. Insulin mulamula mengikat dirinya kepada reseptor-reseptor permukaan sel-sel tertentu, kemudian terjadi
reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa GLUT 4 glukosa dan
meningkatkan transport glukosa menembus membrane sel. Pada pasien-pasien dengan
diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini
dapat disebabkan oleh berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membrane sel yang sel nya
responsif terhadap insulin atau akibat ketidak normalan responsif insulin yang intrinsik.
13

Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat menggangu kerja insulin.
Pada akhirnya timbul kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin yang
beredar dan tidak lagi memadai untuk mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien
diabetes tipe 2 mengalami obesitas. Karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin,
maka kelihatannya akan timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe
2. Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam sensitivitas insulin
dan pemulihan toleransi glukosa.3,7
Manifestasi Klinis
Gejala klasik DM yakni : 4,8
1. Polidipsi (banyak minum)
2. Poliphagia (banyak makan)

Trias DM (3P)

3. Poliuria (sering buang air kecil)


4. Penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.
Gejala penyerta : 4,8
1. Lemas, cepat lelah, dan mengantuk
2. Kesemutan
3. Hiperpigmentasi (laki-laki : penis, selangkangan, axilla. Wanita : vulva) tidak hilang
dengan dicuci atau obat kulit.
4. Penglihatan kabur
5. Disfungsi ereksi atau impoten (pada pria)
6. Frigiditas (pada wanita) : tidak ada hasrat seks pada wanita atau sakit saat koitus
akibat mukosa vaginal kering.
7. Pruritus ( didaerah vulva pada wanita )
8. Penyembuhan luka yang lambat

Pentalaksanaan
Medikamentosa
Terapi farmakologis ini dapat berupa pemberian insulin maupun ADO (Ant Diabetik
Oral), ADO ini terbagi dalam beberapa golongan, diantaranya :
1. Sulfonil urea
14

Dikenal 2 generasi sulfonilurea, generasi pertama terdiri dari tolbutamid, tolazamid,


asetoheksamid, dan klorpropamid, sedangkan generasi kedua yang potensi
hipoglikemik lebih besar antara lain; glibenklamid, glipizid, gliburid, gliklazid, dan
glimepirid. Mekanisme dari obat ini yaitu merangsang sekresi insulin dari granul selsel beta langerhans pankreas. Obat ini absorpsi oralnya sangat mudah, efek samping
dari obat ini adalah mual, muntah, diare, gejala hepatologik, susunan saraf pusat,
mata, dan sebagainya.
Gangguan saluran cerna ini dapat diatasi dengan cara menurunkan dosisnya.9
2. Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dari golongan biguanid: fenformin, buformin, dan
metformin, tetapi yang pertama telah di tarik dari peredaran karena sering
menyebabkan asidosis asam laktat. Sekarang yang banyak digunakan adalah
metformin. Mekanisme kerja biguanid sebenernya bukan obat hiperglikemik tetapi
suatu antihiperglikemk, tidak menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya
tidak menyebabkan hipoglikemia. Metformin ini

menurunkan produksi glukosa

dihepar dan meningkatkan sensitifitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin. Efek
ini terjadi karena adanya aktifitas dari kinase di sel (AMP-activated protein kinase).
Metformin oral akan mengalami absorpsi di intestin, dalam darah tidak terikat protein
plasma, ekresi melalui urin dalam keadaan utuh. Masa paruhnya sekitar dua jam.
Dosis awal 2x500 mg, umumnya dosis pemeliharaan (maintenance dose) 3x500 mg,
dosis maksimal 2,5 gram dan diminum waktu makan.
Golongan obat dari biguanid ini tidak merangsang ataupun meghambat perubahan
glukosa menjadi lemak. Pada pasien diabetes yang gemuk, biguanid dapat
menurunkan berat badan dengan mekanisme yang belum jelas.9
3. Insulin sensitiziser
Obat ini juga bisa disebut dengan thiazolidinedion, merupakan obat yang masih
tergolong ADO sangat baru, masih dalam taraf uji klinis. Ada beberapa sediaan
preparatnya

diantaranya;

ciglitazone,

englitazone,

proglitazone,

troglitazone,

rosiglitazone. Obat troglitazone sekarang sudah tarik dari peredaran atau dilarang
karena bersifat hepatotoksik.
Mekanisme kerjanya diduga meningkatkan sensitivitas jaringan target terhadap
insulin, menurunkan rsisrensi insulin, menurunkan insulinemia, dan memperbaiki
hiperglikemia. Absorpsinya tidak dipengaruhi oleh makanan.9
15

4. Alfa Glukosidase Inhibtor


Merupakan obat yang bekerja dengan cara menghambat enzim alfa glukosidase secara
lokal di usus halus., memperlambat pemecahan karbohidrat dan menunda penyerapan
glukosa ke dalam darah. Obat ini dikunyah saat mulai makan. Efek samping dari obat
ini adalah kembung, flatulence. Sediaan dari obat ini acarbose dan miglitol.9

Non medika menotsa


Edukasi
Promosi perilaku sehat seperti pola makan sehat dan teratur, melakukan aktivitas fisik dan
latihan jasmani secara rutin, menggunakan obat diabetes atau insulin secara teratur sesuai
dosis yang diberikan, melakukan pemantauan glukosa darah mandiri secara teratur,
melakukan perawatan kaki secara berkala, serta mengerti keadaan hipoglikemik. Edukasi
pada pasien yang perlu disampaikan seperti pengertian tentang perjalanan penyakit DM,
makan pentingnya pengendalian dan pemantauan DM, penyulit DM dan risikonya,
intervensi farmakologis dan non farmakologis serta target perawatan, interaksi asupan
makanan dengan aktivitas fisik dan OHO serta insulin, cara pemantauan glukosa mandiri,
mengatasi keadaan gawat darurat seperti rasa sakit atau hipoglikemik, pentingnya latihan
jasmani teratur, pentingnya perawatan kaki, dan cara mempergunakan fasilitas perawatan
kesehatan. 4,8,10

Terapi Gizi Medis (TGM)


Setiap penderita diabetes harus menyesuaikan TGM dengan kebutuhannya dengan
komposisi makronutrisi (KH, lemak, protein) dan mikronutrisi (vitamin dan mineral)
yang cukup dan seimbang serta dengan jadwal makan yang teratur. Karbohidrat
dianjurkan sebesar 45-65 % total asupan energy. Jenis KH yang diberikan termasuk
karbohidrat kompleks dan berserat tinggi. Jadwal makan penderita DM dibagi menjadi 6
kali setiap 3 jam, dengan 3 kali makan besar dan 3 kali makan kecil seperti buah-buahan
dengan interval setiap 3 jam. Lemak dianjurkan sekitar 20-25 % dari total kebutuhan
kalori dengan lemak tidak jenuh < 10% dan lemak jenuh < 7%. Protein diberikan 10-20%
dari total asupan energy dengan sumber protein yang baik seperti ikan, daging tanpa
lemak, ayam tanpa kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan, tahu, dan tempe.
Sayuran yang dianjurkan buncis dan hindari nangka muda. Untuk buah dianjurkan
16

papaya, kedondong, salak, pisang ambon, tomat, dan semangka. Buah yang harus dihinari
seperti sawo, nanas, rambutan, durian, nangka, dan anggur. 4,8,10
Latihan Jasmani
Latihan jasmani dilakukan secara teratur 3-4 kali seminggu selama rentang waktu 30-60
menit disertai dengan aktivitas fisik sehari-hari. Latihan jasmani bermanfaat untuk
menurunkan atau menjaga berat badan, meningkatkan kebugaran, memperbaiki
sensitivitas insulin sehingga glukosa darah dapat terkontrol. Latihan jasmani yang
dianjurkan yang berintensitas ringan-sedang seperti jalan kaki, bersepeda, jogging, senam
atau berenang hingga didapat maximal heart rate 60-70%. Maximal heart rate (MHR)
didapat dari (220-umur) karena intensitas harus disesuaikan dengan usia dan kemampuan
tubuh.4,8,10
Intervensi Farmakologis
Intervensi farmakologis dilakukan bila sasaran glukosa darah belum tercapai dengan
ketiga pilar diatas. Intervensi farmakologis diberikan dari mulai dosis terendah hingga
memberikan efek pada pasien atau disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Intervensi
farmakologis untuk DM tipe 2 diawali dengan pemberian obat hipoglikemik oral (OHO) dan
apabila tidak responsive, maka diberikan insulin. Intervensi farmakologis dengan obat
hipoglikemik oral (OHO)yang biasa digunakan adalah : 4,8,20

Sulfonilurea
Glinid
Metformin

Penghambat

Cara Kerja Utama

Efek

Meningkatkan sekresi insulin

Utama
BB naik

1,5-2%

Meningkatkan sekresi insulin

Hipoglikemik
BB naik

???

Menekan

produksi

glukosa

Samping Penurunan A1C

Hipoglikemik
dan Diare

menambah sensitivitas terhadap insulin

Dyspepsia

Menghambat absorbsi glukosa

Asidosis laktat
Flatulens

Glukonidase Alfa
Tinja lembek
Tiazolidindion
Menambah sensitivitas terhadap insulin Edema
Insulin
Menekan produksi glukosa hati, Hipoglikemik
stimulasi pemanfaatan glukosa

BB naik

1,5-2%

0,5-1,0%
1,3%
Potensial

sampai

normal
17

Cara pemberian OHO yang benar yakni : 4,8,10


-

OHO dimulai dengn dosis kecil dan ditingkatkan bertahap sesuai respons kadar
glukosa darah, hingga dosis maksimal.

Sulfonylurea I dan II diberikan 15-30 menit sebelum makan.

Glinid diberikan sebelum makan.

Metformin bisa diberikan sebelum/saat/sesudah makan.

Acarbose dapat diberikan bersama makanan suapan pertama.

Tiazolidindion tidak bergantung pada jadwal makan


Insulin diperlukan pada keadaan penurunan berat badan yang cepat, hiperglikemia

berat dsiertai ketosis, ketoasidosis diabetic, hiperglikemia hiperosmolar non ketotik,


hiperglikemia dengan asidosis laktat, gagal dengan kombinasi OHO atau dengan dosis
maksimal, stress berat (infeksi sistemik, operasi besar, IMA, stroke), kehamilan dengan DM/
DM gestasional yang tidak terkendali dengan perencanaan makan, gangguan fungsi ginjal
atau hati yang berta, serta kontraindikasi atau alergi terhadap OHO. Cara kerja insulin adalah
dengan menekan produksi glukosa hati dan menstimulasi pemanfaatan glukosa. Efek
samping dari terapi glukosa seperti dapat terjadinya hipoglikemia serta timbulnya reaksi
imunologi berupa alergi terhadap insulin atau resistensi insulin.

Komplikasi
Komplikasi Akut
Ketoasidosis diabetik
Ketoasidosis diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolik
yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis dan ketosis, terutama disebabkan oleh
defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut
diabetes melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat
diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai
menyebabkan syok. Pada pasien KAD dijumpai pernapasan cepat dan dalam (Kussmaul),
berbagai derajat dehidrasi (turgor kulit berkurang, lidah dan bibir kering), kadang-kadang
disertai hipovolemia sampai syok. Bau aseton dari hawa napas tidak terlalu mudah tercium.
Gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului
18

Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat
pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesisdilatasi lambung. Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium,
atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab
penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alkohol). Infeksi
merupakan faktor pencetus yang paling sering,11
Koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
Keto asidosis diabetik (KAD) dan koma hiperosmolar hiperglikemik non ketotik
(HHNK) merupakan komplikasi akut/ emergensi Diebetes Melitus (DM). Sindrom HHNK
ditandai oleh hiperglikemia, hiperosmolar tanpa disertai adanya ketosis. Gejala klinis utama
adalah dehidrasi berat, hiperglikemia berat dan seringkali disertai gangguan neurologis
dengan atau tanpa adanya ketosis. Perjalanan klinis HHNK biasanya berlangsung dalam
jangka waktu tertentu (beberapa hari sampai beberapa minggu), dengan gejala khas
meningkatnya rasa haus disertai poliuri, polidipsi dan penurunan berat badan. Koma hanya
ditemukan kurang dari 10% kasus. HHNK biasanya terjadi pada orang tua dengan DM, yang
mempunyai penyakit penyerta yang mengakibatkan menurunnya asupan makanan. Keluhan
pasien HHNK ialah: rasa lemah, gangguan penglihatan, atau kaki kejang. Dapat pula
ditemukan keluhan mual dan muntah, namun lebih jarang jika dibandingkan dengan KAD.
Kadang, pasien datang dengan disertai keluhan saraf seperti letargi, disorientasi, hemiparesis,
kejang atau koma. Pada pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda dehidrasi berat seperti
turgor yang buruk, mukosa pipi yang kering, mata cekung, perabaan ekstremitas yang dingin
dan denyut nadi yang cepat dan lemah. Dapat pula ditemukan peningkatan suhu tubuh yang
tak terlalu tinggi. Akibat gastroparesis dapat pula dijumpai distensi abdomen, yang membaik
setelah rehidrasi adekuat. Perubahan pada status mental dapat berkisar dari disorientasi
sampai koma. Derajat gangguan neurologis yang timbul berhubungan secara langsung
dengan osmolaritas efektif serum. Koma terjadi saat osmolaritas serum mencapai lebih dari
350 mOsm per kg (350 mmol per kg). Kejang ditemukan pada 25% pasien, dan dapat berupa
kejang umum, lokal, maupun mioklonik. Dapat juga teijadi hemiparesis yang bersifat
reversibel dengan koreksi defisit cairan.11

Hipoglikemik iatrogenik

19

Hipoglikemia pada pasien diabetes tipe 1 (DMT 1) dan diabetes tipe 2 (DMT 2)
merupakan faktor penghambat utama dalam mencapai sasaran kendali glukosa darah normal
atau mendekati normal. Tidak ada definisi kendali glukosa darah yang baik dan lengkap tanpa
menyebutkan bebas dari hipoglikemia. Risiko hipoglikemia timbul akibat ketidaksempurnaan
terapi saat ini, di mana kadar insulin di antara dua makan dan pada malam hari meningkat
secara tidak proporsional dan kemampuan fisiologis tubuh gagal melindungi batas penurunan
glukosa darah yang aman. Faktor paling utama yang menyebabkan hipoglikemia sangat
penting dalam pengelolaan diabetes adalah ketergantungan jaringan saraf pada asupan
glukosa yang berkelanjutan. Hipoglikemia akut menunjukkan gejala dan Triad Whipple
merupakan panduan klasifikasi klinis hipoglikemia yang bermanfaat. Triad tersebut meliputi:
a), keluhan yang menunjukkan adanya kadar glukosa darah plasma yang rendah, b), kadar
glukosa darah yang rendah (<3 mmol/L hipoglikemia pada diabetes), dan c), hilangnya secara
cepat keluhan-keluhan sesudah kelainan biokimiawi dikorekasi. Akan tetapi pasien diabetes
(dan insulinoma) dapat kehilangan kemampuannya untuk menunjukkan atau mendeteksi
keluhan dini hipoglikemia. Dengan menambah kriteria klinis pada pasien diabetes yang
mendapat terapi, hipoglikemia akut dibagi menjadi hipoglikemia ringan, sedang dan berat.11
Komplikasi Kronik
Retinopati diabetik
Berbagai kelainan akibat DM dapat terjadi pada retina, mulai dari retinopati diabetic
non-proliferatif sampai perdarahan retina dan lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan
kebutaan.11 Retinopati diabetik nonproliperatif merupakan bentuk yang paling ringan dan
sering tidak memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya dengan pemeriksaan
oftalmoskopi langsung maupun tidak langsung. Cara yang paling baik ialah dengan
menggunakan foto fundus dan FFA (Fundal Fluorescein Angiography). Mikroaneurisma
yang terjadi pada kapiler retina merupakan tanda paling awal yang dapat dilihat pada RDNP
(retinopati diabetic nonproliperatif). Kelainan morfologi lain ialah penebalan membrane
basalis , perdarahan ringan, eksudat keras yang tampak sebagai bercak berwarna kuning dan
eksudat lunak yang tampak sebagai cotton wool spot. Retinopati diabetik nonproliperatif
berat sering disebut juga sebagai retinopati diabetic iskemik, obstruktif atau preproliperatif.
Gambaran yang dapat ditemukan yaitu bentuk kapiler yang berkelok tidak teratur akibat
dilatasi yang tidak beraturan dan cotton wool spot, yaitu daerah retina dengan gambaran
bercak berwarna putih pucat dimana kapiler mengalami sumbatan. Retinopati diabetik
20

proliperatif ditandai dengan pembentukan pembuluh darah baru. Pembuluh darah baru
tersebut berbahaya karena bertumbuh secara abnormal keluar dari retina dan meluas sampai
ke vitreus, menyebabkan perdarahan disana dan dapat menimbulkan kebutaan. Apabila
perdarahan terus berulang, dapat terjadi jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina.
Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan paling sering pada retinopati diabetik.
Makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk yaitu makulopati iskemik
(akibat penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral retina), makulopati eksudatif
(karena kebocoran setempat suhingga terbentuk eksudat keras seperti pada RDPN) dan
edema macula (akibat kebocoran yang difus).12
Nefropati diabetik
Kelainan yang terjadi pada ginjal penyandang DM dimulai dengan adanya
mikroalbuminuria, dan kemudian berkembang menjadi proteinuria secara klinis, berlanjut
dengan penurunan fungsi laju filtrasi glomerular dan berakhir dengan keadaan gagal ginjal
yang memerlukan pengelolaan dan pengobatan substitusi. Ditemukannya miroalbuminuria
mendorong dan mengharuskan agar dilakukan pengelolaan DM yang lebih intensif termasuk
pengelolaan berbagai faktor resiko lain untuk terjadinya komplikasi kronik DM seperti
tekanan darah, lipid dan kegemukan serta merokok. Penyandang DM dengan laju filtrasi
glomerulus atau bersihan kretinin < 30 mL/menit seyognyanya sudah dirujuk ke ahli penyakit
ginjal untuk menjajagi kemungkinan dan untuk persiapan terapi pengganti bagi kelainan
ginjalnya, baik nantinya berupa dialisis maupun transplantasi ginjal.12
Neuropati diabetik
Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering
ditemukan pada diabetes melitus (DM). risiko yang dihadapi pasien DM dengan ND antara
lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki.
Polineuropati sensori-motor simetris diatas atau distal symmetrical sensorymotor
polyneuropathy (DPN) merupakan jenis kelainan ND yang paling sering terjadi. DPN
ditandai degan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi motorik (lebih
jarang) yang berlangsung pada bagian diatal yang berkembang kea rah proksimal. Diagnosis
neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat bergantung pada ketelitian
pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Bentuk lain ND yang juga sering sitemukan
ialah neuropati otonom (parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy
(DAN). Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan tes respons denyut jantung
21

terhadap maneuver valsava, variasi denytu jantung (interval PR) selama napas dalam (denyut
jantung maksimum-minimum). Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan respons
tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik), respons tekanan darah terhadap
genggaman (peningkatan diastolik).12

Penyakit Jantung Koroner


Penyebab kematian dan kesakitan utama pada pasien DM (baik DM tipe 1 maupun DM
tipe 2) adalah Penyakit Jantung Koroner, yang merupakan salah satu penyulit makrovaskular
pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini bermanifestasi sebagai aterosklerosis dini
yang dapat mengenai organ-organ vital (jantung dan otak. Penyebab aterosklerosis pada
pasien DM tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari berbagai
keadaan

seperti

hiperglikemia,

hiperlipidemia,

stress

oksidatif,

penuaan

dini,

hiperinsulinemia dan/atau hiperproinsulinemia serta perubahan-perubahan dalam proses


koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien DM, risiko payah jantung meningkat 4 sampai 8 kali.
Peningkatan risiko ini tidak hanya disebabkan karena penyakit jantung iskemik. Dalam
beberapa tahun terakhir ini diketahui bahwa pasien DM dapat pula mempengaruhi otot
jantung secara independen. Selain melalui keterlibatan aterosklerosis dini arteri koroner yang
menyebabkan penyakit jantung iskemik juga dapat terjadi perubahan-perubahan berupa
fibrosis interstitial, pembentukan kolagen dan hipertrofi sel-sel otot jantung. Pada tingkat
selular terjadi gangguan pengeluaran kalsium dari sitoplasma, perubahan struktur troponin T
dan peningkatan aktivitas piruvat kinase. Perubahan-perubahan ini akan menyebabkan
gangguan kontraksi dan relaksasi otot jantung dan peningkatan tekanan end-diastolik
sehingga dapat menimbulkan kardiomiopati restriktif.12

Pencegahan
Dalam menyelenggarakan upaya pencegahan ini diperlukan suatu strategi yang efisien
dan efektif untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Ada 2 macam strategi untuk dijalankan,
antara lain:
1. Pendekatan populasi / masyarakat. Semua upaya yang bertujuan untuk mengubah
perilaku masyarakat umum. Yang dimaksud adalah mendidik masyarakat agar
menjalankan cara hidup sehat dan menghindari cara hidup berisiko. Upaya ini
22

ditujukan tidak hanya untuk mencegah diabetes tetapi juga unuk mencegah penyakit
lain sekaligus. Upaya ini sangat berat karena target populasinya sangat luas, oleh
karena itu harus dilakukan tidak hanya oleh profesi tetapi harus oleh segala lapisan
masyarakat termasuk pemerintah dan swasta (LSM, pemuka masyarakat dan agama)
2. Pendekatan individu berisiko tinggi. Semua upaya pencegahan yang dilakukan
pada individu-individu yang berisiko untuk menderita diabetes pada suatu saat kelak.
Pada golongan ini termasuk individu yang: berumur > 40 tahun, gemuk, hipertensi,
riwayat keluarga DM, riwayat melahirkan bayi > 4 kg, riwayat DM pada saat
kehamilan, dislipidemia.
Pencegahan primer. Pencegahan primer adalah cara yang paling sulit karena

yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang belum sakit artinya mereka masih
sehat. Cakupannya menjadi sangat luas. Yang bertanggung jawab bukan hanya profesi
tetapi

seluruh

masyarakat

termasuk

pemerintah.

Semua

pihak

harus

mempropagandakan pola hidup sehat dan menghindari pola hidup berisiko.


Menjelaskan kepada masyarakat bahwa mencegah penyakit jauh lebih baik daripada
mengobatinya. Kampanye pola makan sehat dengan pola tradisional yang
mengandung lemak rendah atau pola makanan seimbang adalah alternatif terbaik dan
harus sudah mulai ditanamkan pada anak-anak sekolah sejak taman kanak-kanak.
Tempe misalnya adalah makanan tradisional kita yang selain sangat bergizi, ternyata
juga banyak khasiatnya misalnya sifat anti bakteri dan menurunkan kadar kolesterol.
Caranya bisa lewat guru-guru atau lewat acara radio atau televisi. Selain makanan
juga cara hidup berisiko lainnya harus dihindari. Jaga berat badan agar tidak gemuk,
dengan olahraga teratur. Dengan menganjurkan olah raga kepada kelompok resiko
tinggi, misalnya anak-anak pasien diabetes, merupakan salah satu upaya pencegahan
primer yang sangat efektif dan murah. Motto memasyarakatkan olah raga dan
mengolahragakan masyarakat sangat menunjang upaya pencegahan primer. Hal ini
tentu saja akan menimbulkan konsekuensi, yaitu penyediaan sarana olah raga yang
merata sampai ke pelosok, misalnya di tiap sekolahan harus ada sarana olah raga yang
memadai.
o

Pencegahan sekunder. Mencegah timbulnya komplikasi, menurut logika


lebih mudah karena populasinya lebih kecil, yaitu pasien diabetes yang sudah

23

diketahui dan sudah berobat, tetapi kenyataanya tidak demikian. Tidak gampang
memotivasi pasien untuk berobat teratur, dan bisa menerima kenyataan bahwa
penyakitnya tidak bisa sembuh. Syarat untuk mencegah komplikasi adalah kadar
glukosa darah harus selalu terkendali mendekati angka normal sepanjang hari
sepanjang tahun. Di samping itu seperti tadi sudah dibicarakan, tekanan darah dan
kadar lipid juga harus normal. Dan supaya tidak ada resistensi insulin, dalam upaya
pengendalian kadar glukosa darah dan lipid itu harus diutamakan cara-cara non
farmakologis dulu secara maksimal, misalnya dengan diet dan olah raga, tidak
merokok dan lain-lain. Bila tidak berhasil baru menggunakan obat baik oral maupun
insulin. Pada pencegahan sekunder pun, penyuluhan tentang perilaku sehat seperti
pada pencegahan primer harus dilaksanakan, ditambah dengan peningkatan pelayanan
kesehatan primer di pusat-pusat pelayanan kesehatan mulai dari rumah sakit kelas A
sampai ke unit paling depan yaitu puskesmas. Di samping itu juga diperlukan
penyuluhan kepada pasien dan keluarganya tentang berbagai hal mengenai
penatalaksanaan dan pencegahan komplikasi. Penyuluhan ini dilakukan oleh tenaga
yang terampil baik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain yang sudah dapat pelatihan
untuk itu (diabetes educator). Usaha ini akan lebih berhasil bila cakupan pasien
diabetesnya juga luas, artinya selain pasien yang selama ini sudah berobat juga harus
dapat mencakup pasien diabetes yang belum berobat atau terdiagnosis, misalnya
kelompok penduduk dengan resiko tinggi. Kelompok yang tidak terdiagnosis ini
rupanya tidak sedikit. Oleh karena itu pada tahun 1994 WHO menyatakan bahwa
pendeteksian pasien baru dengan cara skrining dimasukkan ke dalam upaya
pencegahan sekunder agar supaya bila diketahui lebih dini komplikasi dapat dicegah
karena masih reversibel. Peran profesi sangat ditantang untuk menekan angka pasien
yang tidak terdiagnosis ini, supaya pasien jangan datang minta pertolongan kalau
sudah sangat terlambat dengan berbagai komplikasi yang dapat mengakibatkan
kematian yang sangat tinggi. Dari sekarang harus sudah dilakukan upaya bagaimana
caranya menjaring pasien yang tidak terdiagnosis itu agar mereka dapat melakukan
upaya pencegahan baik primer maupun sekunder.
o

Pencegahan tersier. Upaya mencegah komplikasi dan kecacatan yang


diakibatkannya termasuk ke dalam pencegahan tersier. Upaya ini terdiri dari 3 tahap :

24

Pencegahan komplikasi diabetes, yang pada konsensus dimasukkan sebagai


pencegahan sekunder

Mencegah berlanjutnya (progresi) komplikasi untuk tidak menjurus kepada


penyakit organ

Mencegah terjadinya kecacatan disebabkan oleh karena kegagalan organ atau


jaringan.

Dalam upaya ini diperlukan kerja sama yang baik sekali baik antara pasien dengan dokter
maupun antara dokter ahli diabetes dengan dokter-dokter yang terkait dengan komplikasinya.
Dalam hal ini peran penyuluhan sangat dibutuhkan untuk meningkatkan motivasi pasien
untuk mengendalikan diabetesnya. Peran ini tentu saja akan merepotkan dokter yang
jumlahnya terbatas. Oleh karena itu dia harus dibantu oleh orang yang sudah dididik untuk
keperluan itu yaitu penyuluhan diabetes (diabetes educator).13
Prognosis
Prognosis pada penderita diabetes melitus tipe 2 bervariasi. Namun pada pasien
diabetes melitus tipe 2 prognosisnya dapat baik apabila pasien bisa memodifikasi
(meminimalkan) risiko timbulnya komplikasi dengan baik.

Kesimpulan
Jadi, pada skenario ini pasien menderita penyakit diabetes mellitus tipe 2, diabetes
mellitus itu adala suatu penyakit metabolik yang karakteristiknya ditandai dengan
hiperglikemia kronik, dengan gejala 3P yaitu poliuri, polidipsi, polifagi, dan juga berat badan
yang menurun, itu semua merupakan gejala kha dari penyakit ini. Penyebabnya karena
terjadinya resistensi insulin.

25

Daftar pustaka
1. Gleadle J. At a glance anamnesis dan pemeriksaan fisik. Jakarta: Erlangga; 2007.
h.11-177.
2. Halim SL, Iskandar I, Edward H, Kosasih R, Sudiono H. Patologi klinik: Kimia
klinik. Edisi kedua. Jakarta: Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Ukrida;
2013.h.51-62.
3. Karam JH, Forsham PH. Hormon-hormon pancreas dan diabetes melitus. Dalam:
Greenspan FS, Baxter JD, editors. Endokrinologi dasar dan klinis. Edisi ke-4. Jakarta:
EGC, 1998.h.754-72.
4. Powers CA. Diabetes mellitus. In: Longo DL, Fauci AS, Kasper DL, Hauser SL,
Jameson JL, Loscalzo J [editor].Harrisonsprinciples of internal medicine. 18 th Ed.
Vol. II Philadelphia: The McGraw-HillCompanies, 2011: 2968-3002.
5. Purnamasari D. Diagnosis dan klasifikasi diabetes melitus. Dalam: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit
Dalam.

Jilid

3.

Edisi

ke-5.

Jakarta:

Pusat

Penerbitan

Ilmu

Penyakit

Dalam,2009.h.1880-82.

26

6. Setiati S, Alwi I, Sudoyo A, Simadribata M, Setiyohadi B, dkk. Ilmu penyakit dalam.


Edisi ke-6. Jakarta: Internal publishing; 2014. h. 2323-9.
7. Velho G, Robert JJ. Maturity-onset diabetes of the Yong (MODY): genetis and
clinical characteristics. HormRes 2002; 57(suppl 1): 29-33.
8. Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Subekti I, BPranoto A, Arsana PM, dkk.
Consensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus tipe 2 di Indonesia. Jakarta :
PB. Perkeni; 2008 .h. 1-33.
9. Sulistia G, Rianto S, Elysabeth ( dkk ). Farmakologi dan terapi. Obat otonom. Edisi5. FKUI. Jakarta ; 2005.
10. Masharani U. Diabetes mellitus&hypoglycemia. In: Papadakis MA, Mcphee SJ
[editor].Current Medical diagnosis &treatment 2013. Philadelphia: The McGrawHillCompanies, 2013: 1992-1244.
11. Soewondo P. Ketoasidosis diabetik. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,
Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5.
Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1906-8.
12. Waspadji S. Komplikasi kronik diabetes: mekanisme terjadinya, diagnosis dan strategi
pengelolaan. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S,
editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3. Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbitan
Ilmu Penyakit Dalam,2009.h.1925-6
13.

Suyono S. Diabetes melitus di Indonesia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,

Alwi I, Simadibrata MK, Setiati S, editor. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3.
Edisi ke-5. Jakarta: Pusat Penerbita

27

Anda mungkin juga menyukai