Anda di halaman 1dari 8

TUGAS HUKUM PERIKATAN

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN YANG DIBUAT OLEH PARA


PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT

OLEH :
I MADE ADI SURYAWAN (1303005080)
IDA PURNAMA SARI

(1303005098)

I PUTU OKA SUYASA

(1303005211)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

AKIBAT HUKUM PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN KREDIT


A. Pengertian
Dalam rumusan pasal 1 angka 11 Undang Undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang
Perbankan, yang dimaksud kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat
dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
B. Unsur Unsur
Dari pengertian diatas dapat ditarik unsur unsur dari kredit yakni :
1.
Kepercayaan, yakni keyakinan dari si pemberi kredit bahwa kredit tersebut akan
dibayar kembali oleh si penerima kredit dalam jangka waktu tertentu yang telah
2.

diperjanjikan
Waktu, adanya jangka waktu yang telah disepakati bersama mengenai pemberian

3.

kredit oleh pihak bank dan pelunasan kredit oleh pihak nasabah debitur
Resiko, untuk menghindari resiko buruk perjanjian kredit, diadakan pengikatan
agunan atau jaminan yang dibebankan kepada pihak nasabah debitur atau

4.

peminjam
Prestasi, boleh dikatakan sebagai objek berupa bunga atau imbalan yang telah
disepakati bank dan nasabah debitur.

C. Akibat Hukum
Dalam Hal Debitur Wanprestasi
Suatu perbuatan hukum tentunya akan melahirkan akibat hukum, begitu pula
dalam perjanjian kredit, dalam hal dimana pihak debitur melakukan sesuatu hal
yang tidak sesuai dengan apa yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit, maka
debitur dikatakan telah melakukan wanprestasi. Wanprestasi adalah suatu
keadaan dimana salah satu pihak tidak melakukan atau tidak memenuhi suatu
prestasi. Dalam pasal 1234 KUH Perdata, ada 3 macam bentuk prestasi yaitu
1. Untuk memberikan sesuatu;
2. Untuk berbuat sesuatu; dan
3. Untuk tidak berbuat sesuatu.

Melihat bentuk bentuk prestasi pada pasal 1234 KUH Per serta pendapat J. Satrio
dalam bukunya yang berjudul Hukum Perikatan dapat kita lihat bahwa wujud
wanprestasi bisa berupa :
1. Debitur sama sekali tidak berprestasi
2. Debitur keliru berprestasi
3. Debitur terlambat berprestasi
Terhadap perbuatan wanprestasi ini oleh hukum perdata pasal 1243 1252, maka
yang melakukan perbuatan wanprestasi dibebani akibat akibat yaitu

berupa

peralihan resiko, membayar biaya perkara. Menurut Subekti kreditur dapat memilih
antara tuntutan tuntutan sebagai berikut yakni :

pemenuhan perjanjian, pemenuhan perjanjian disertai ganti rugi,


ganti rugi saja,
pembatalan perjanjian,
pembatalan disertai ganti rugi.

Dalam perjanjian kredit khususnya dalam kasus kredit macet, maka kreditur dapat
mengeksekusi benda jaminan debitur, namun sebelum itu debitur harus dinyatakan
wanprestasi yang dilakukan melalui putusan pengadilan. Namun sebelum kreditur
menggugat debitur, upaya yang dapat dilakukan yakni kreditur harus melakukan
somasi dengan mengirim surat peringatan yang isinya agar debitur memenuhi
prestasinya, apabila debitur tidak juga memenuhi prestasinya maka kreditur dapat
menggugat debitur atas dasar wanprestasi, dengan mana apabila pengadilan
memutuskan bahwa debitur telah wanprestasi, maka kreditur dapat melakukan
eksekusi atas barang jaminan yang diberikan oleh debitur.
Upaya lain yang dapat ditempuh sebelum membawa perkara kredit yang bermasalah
ke jalur hukum adalah melalui upaya secara administrasi yakni :
1. Penjadwalan kembali (rescheduling) yaitu perubahan syarat kredit yang
menyangkut jadwal pembayaran dan atau jangka waktu termasuk masa
tenggang, baik meliputi perubahan besarnya angsuran maupun tidak;
2. Persyaratan kembali (reconditioning) yaitu perubahan sebagian atau seluruh
syarat syarat kredit yang tidak terbatas pada perubahan jadwal pembayaran,
jangka waktu, dan atau persyaratan lainnya sepanjang tidak menyangkut

perubahan maksimum saldo kredit dan konversi seluruh atau sebagian dari
pinjaman menjadi penyertaan bank;
3. Penataan kembali (restructuring) yaitu perubahan syarat syarat kredit berupa
penambahan dana bank dan atau konversi seluruh atau sebagaian tunggakan
bunga menjadi pokok kredit baru, dan atau konversi seluruh atau sebagian dari
kredit menjadi penyertaan dalam perusahaan.
Dalam Hal Debitur Meninggal Dunia
Meninggalnya salah satu pihak dalam perjanjian tidak serta merta membuat
kewajiban pihak tersebut hilang atau tidak perlu dilakukan. J. satrio dalam
bukunya yang berjudul Hukum Waris mengatakan bahwa hak saisine adalah hak
daripada ahli waris untuk tanpa berbuat sesuatu apa, otomatis /demi hukum
menggantikan kedudukan si pewaris dalam lapangan hukum kekayaan. Hak dan
kewajiban pewaris secara otomatis menjadi hak dan kewajiban ahli waris,
sekalipun ahli waris belum/tidak mengetahui adanya pewarisan. Sehubungan
dengan hal itu maka dalam hal adanya suatu hubungan hukum antara dua orang
yang terlah ditetapkan oleh suatu putusan pengadilan, maka matinya salah satu
pihak tidak menghilangkan atau membatalkan hubungan hukum tersebut, tetapi
hak hak dan kewajiban hukum tersebut beralih kepada para ahli waris. Sehingga
hal ini dapat disimpulkan bahwa ahli waris dengan sendirinya karena hukum
memperoleh hak milik atas segala barang, segala hak, dan segala piutang dari
pewaris, sekaligus berkewajiban membayar utang dan kewajiban kewajiban
pewaris (pasal 833 dan 1100 KUHPer).

CONTOH KASUS :
PT Dhiva Inter Sarana (DIS) merupakan perusahaan yang bergerak di bidang
perdagangan pipa untuk sektor minyak dan gas. Perusahaan ini dimiliki Richard Setiawan,
yang sekaligus menjabat sebagai direktur utama perusahaan tersebut. Pada awal Januari
2015 media digemparkan dengan berita mengenai Manajemen Bank Internasional Tbk yang
menggugat pailit PT Dhiva Inter Sarana pada akhir Desember 2014, Hal ini dikarenakan
terhitung per tanggal 5 Juni 2014 PT Dhiva berutang kepada BII-Maybank dengan total

utang senilai US$ 67,669 juta atau setara Rp 812,03 miliar, dengan asumsi Rp 12.000,00
per dolar AS, yang beberapa bulan macet atau tidak membayar angsuran. Utang tersebut
jatuh tempo per Desember 2014. Adapun jumlah utang ini terdiri dari utang pokok senilai
US$ 53,587 juta, bunga US$ 2,667 juta, dan denda US$ 11,415 juta. Total utang dari BII itu
sendiri didapat dari beberapa skema, di antaranya fasilitas pinjaman rekening koran senilai
Rp 2,7 miliar, fasilitas demand loan US$ 44 juta, dan L/C Line 1 US$ 8,7 juta yang jatuh
tempo 7 Mei 2014, serta fasilitas L/C Line 2 sebesar US$ 6 juta yang jatuh tempo pada 12
Juni 2014. Pihak BII telah beberapa kali mengirimkan surat dan melakukan pertemuan
dengan pihak PT Dhiva untuk meminta pelunasan kewajiban. Namun demikian, Dhiva
Inter tidak kunjung memenuhi kewajibannya membayar atas fasilitas kredit yang
diterimanya. BII akhirnya memutuskan memberi surat peringatan kepada termohon
sebanyak dua kali pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan ancaman akan
melakukan tindakan hukum bila tidak membayar. PT Dhiva pun tetap enggan membayar,
hingga ujungnya pihak BII menempuh jalur hukum terhadap masalah ini. Dan pada Rabu
pagi, tanggal 7 Januari 2015, perkara ini disidangkan di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Dalam surat panggilan pengadilan tanggal 31 Desember 2014, tertera bahwa perkara ini
adalah permohonan kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
terkait dengan masalah kredit macet oleh PT Dhiva. Di mana dalam hal ini PT Bank
Internasional Indonesia Tbk bertindak sebagai pemohon, sedangkan PT Dhiva dan
pemiliknya, Richard Setiawan selaku personel guarantee atau penjamin, sebagai termohon.
Dengan adanya kasus kredit macet ini, pihak BII mengalami penurunan pada tahun berjalan
yang cukup signifikan dibandingkan tahun sebelumnya. Sepanjang Januari hingga
September 2014 BII hanya membukukan laba Rp 340 miliar, jauh lebih rendah
dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar Rp 1,09 triliun. Menurut
Direktur Pengawas Perbankan 2 OJK, Riyanti A.Y. Sali, halini disebabkan terjadinya
penurunan laba tahun berjalan yang cukup besar. Laba tahun berjalan turun karena
pembentukan cadangan penghapusan kredit macet. Dalam catatan laporan keuangan BIIMaybank akhir tahun 2013, disebutkan terdapat kenaikan kredit yang masuk dalam kategori
kredit bermasalah (non-performing loan atau NPL), senilai Rp 675 miliar. Angka ini
tercantum pada kategori utang dalam dolar AS di sektor perdagangan, restoran dan hotel.

Namun pada laporan keuangan per akhir September 2014, kredit bermasalah di pos tersebut
tersisa Rp 7 miliar. Sementara itu, nilai write off atau kredit yang dihapus bukukan dari
neraca bertambah menjadi Rp 1 triliun. Kredit bermasalah BII ini mulai melonjak per akhir
tahun 2013 menjadi Rp 2 triliun, dibandingkan pada akhir tahun sebelumnya yang berada di
level Rp 1,27 triliun. Dan setahun kemudian, pada posisi akhir September 2014, angkanya
membengkak lagi menjadi Rp 2,43 triliun.
Dilihat dari besarannya, nilai kredit bermasalah PT Dhiva tersebut memang cukup
signifikan dibandingkan dengan total kredit bermasalah BII-Maybank per akhir tahun 2013.
Kredit macet PT Dhiva ini menyumbang kontribusi mencapai 32%. Atas kredit bermasalah
di tahun 2013 ini, pada laporan laba rugi Januari sampai dengan Desember 2013 telah
disisihkan provisi senilai Rp 787,55 miliar. Dan pada kurun waktu Januari sampai
September 2014, juga telah disisihkan provisi sebesar Rp 1,46 triliun.
ANALISIS KASUS
Sebagaimana telah disebutkan di atas, pada dasarnya setiap bank yang akan
memberikan kredit tentunya telah melakukan analisis terhadap calon nasabahnya. Begitu
pula yang dilakukan BII terhadap PT Dhiva Inter Sarana. Di samping itu juga didasarkan
pada salah satu ketentuan yang terdapat dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 7 Tahun
1992 tentang Perbankan, yang berbunyi :
Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan
dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Ini menunjukkan bahwa pada saat BII memberikan pinjaman, ia yakin PT Dhiva akan
mampu mengembalikan pinjaman tersebut melalui analisis yang dilakukan. Namun seiring
berjalannya masa perkreditan, dalam suatu waktu bank ini bisa dikatakan mengalami
kecolongan. Selain itu, dalam kasus ini penyebab kredit macet juga berasal dari faktor
ekstern bank, yakni terletak pada si nasabah. Dalam hal ini, PT Dhiva tidak memiliki
kemampuan untuk mengembalikan pinjaman kredit hingga jatuh tempo, yakni per
Desember 2014. Sedang ia juga telah menunggak pembayaran angsuran pokok beserta
bunganya terhitung sejak beberapa bulan sebelum pengumuman pihak BII terkait jumlah

utang PT Dhiva per 5 Juni 2014. Sehingga dalam hal ini PT Dhiva dikatakan wanprestasi
terhadap kewajibannya. Sebagaimana ketentuan Pasal 27 ayat (3) Peraturan Bank Indonesia
Nomor 7/3/PBI/2005 tentang BMPK sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank
Indonesia Nomor 8/13/PBI/2006, menyebutkan:
Peminjam dianggap wanprestasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) apabila:
a. Terjadi tunggakan pokok dan atau bunga dan atau tagihan lainnya selama 90
(sembilan puluh hari);
b. Tidak diterimanya pembayaran pokok dan atau bunga dan/atau tagihan lainnya pada
saat Penyediaan Dana jatuh tempo; atau
c. Tidak dipenuhinya persyaratan lainnya selain pembayaran pokok dan/atau bunga
yang dapat mengakibatkan terjadinya wanprestasi.
d. Apabila dipadankan dengan ketentuan-ketentuan di atas dan ketentuan lainnya
terkait dengan pemberian kredit, maka alasan PT Dhiva dikatakan wanprestasi,
antara lain:
PT Dhiva telah menunggak pembayaran angsuran pokok beserta bunga selama
beberapa bulan dan lebih dari 3 bulan atau 90 hari;
Hingga saat jatuh tempo per Desember 2014, PT Dhiva tetap belum melunasi
pinjaman yang diberikan. Padahal BII juga telah mengirimkan surat dan
melakukan pertemuan dengan pihak PT Dhiva untuk meminta pelunasan
kewajiban, bahkan memberi surat peringatan kepada termohon sebanyak dua
kali pada 24 Oktober dan 28 November 2014 dengan ancaman akan melakukan
tindakan hukum bila tidak membayar. Naumn sekali lagi ini tidak ditanggapi
lanjut oleh PT Dhiva.
Tidak dipenuhinya surat peringatan oleh PT Dhiva juga dapat mengindikasikan
bahwa perusahaan ini beritikad tidak baik atau wanprestasi.
Di samping itu, sang pemilik perusahaan yang justru berinvestasi di luar bisnis
inti perusahaan menunjukkan bahwa pinjaman kredit tidak digunakan untuk
tujuan yang diarahkan, tidak untuk kegiatan operasional PT Dhiva
menunjukkan pemberian kredit tidak tepat sasaran.
Sebab-sebab seperti inilah yang menyebabkan pihak BII menempuh jalur hukum untuk
penyelesaian kasus.

Anda mungkin juga menyukai