Anda di halaman 1dari 11

1.

Bagaimana hokum ekonomi syariah melalui pendekatan filsafat hokum islam bias
mengangkat kesejahteraan masyarakat ?

Ekonomi Islam adalah ilmu pengetahuan yang normatif. Artinya ekonomi Islam berusaha
mengarahkan apa yang seharusnya (das sollen) dilakukan manusia dalam kegiatan ekonomi.
Karena kelemahan dan kekurangannya seringkali manusia tidak mengetahui apa yang harus
dilakukannya itu sehingga membutuhkan pedoman. Pedoman itu termaktub dalam al-Quran dan
as-Sunnah. Dengan demikian, normativitas ekonomi Islam bersumber pada wahyu dan suri
tauladan Rasulullah SAW. Secara metodologis, al-Quran memberikan pedoman dan prinsip
umum untuk kegiatan ekonomi agar berjalan sesuai dengan koridor kemanusiaannya. Dalam
kerangka normatif ini muncul serangkaian konsep seperti urgensi kerja, keseimbangan
(tawazzun), profesionalitas (itqan), kerja sama (taawwun), larangan merusak kelestarian alam,
dan lain sebagainya. Di samping itu, kerangka normatif ini juga bersifat universal yaitu dapat
diberlakukan dalam semua konteks waktu dan zaman karena memiliki kesesuaian dengan hukum
alam. Bukankah orang jujur akan disenangi orang! Walau tinggal di Bandung atau Tokyo,
walaupun hidup tahun 1938 atau 2008. Bukankah manusia yang suka kerja keras akan dihormati
orang? Tak peduli orang Yaman atau Sleman, tak peduli hidup zaman Rasulullah atau era
postmodern.
Atas dasar itu, ekonomi Islam berupaya mempengaruhi kegiatan produksi melalui ketentuan
dan norma Islam sebagai variabel independen yang tak terpisahkan. Variabel itu biasanya
berbentuk prinsip-prinsip moral, aturan, dan sistem yang mengatur bagaimana seharusnya
manusia bertindak dan bertingkah laku serta mencegah eksploitasi ekonomi dan ketidakadilan.
Misalnya larangan merusak kelestarian alam dalam surat Hud: 61 adalah perintah moral sebagai
kategori imperatif karena berkenaan dengan salah satu tugas manusia sebagai hamba Allah.
Begitu juga dengan perbedaan kapasitas dan kemampuan antar manusia satu dengan manusia
lain sebagaimana terangkum dalam surat al-Anam: 165. Implikasi moral yang terkandung dalam
ayat ini menyuruh manusia untuk saling membantu dan bekerja sama untuk memecahkan
persoalan kehidupan sehari-hari.

Larangan terhadap riba, tindakan spekulatif, dan perjudian dapat dilihat dalam konteks untuk
mencegah manusia meng-eksploitasi kemampuan dan kepemilikan manusia lain, memperoleh
keuntungan tanpa kerja keras (unearned gain), atau mengajarkan manusia bahwa dalam
kehidupan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Kepemilikan harta kekayaan mengandung
implikasi sosial karena ada bagian dari masyarakat sehingga ada kewajiban berzakat. Bagi
anggota masyarakat yang mempunyai harta ada kewajiban untuk mendistribusikannya dalam
bentuk investasi sehingga tidak menjadi idle asset. Jika tidak maka harta itu akan berkurang
karena kewajiban membayar zakat. Untuk menjaga nilainya, investasi adalah solusi di samping
membantu individu lain yang membutuhkan modal.
Satu hal yang menarik dari normativitas ekonomi Islam adalah keterkaitannya dengan
realitas Ilahiyah (sebagaimana juga ilmu pengetahuan Islam yang lain). Secara epistemologis,
Islam tidak memisahkan antara ekonomi dengan sistem nilai. Ajaran Islam menjadi kategori
moral imperatif untuk mengendalikan perilaku ekonomi manusia. Pandangan dunia Islam
menyebutkan bahwa asal, cara, dan tujuan manusia mempunyai konsekuensi eskatologis yaitu
bermula dari dan bermuara pada keimanan pada Allah SWT. Dengan keterkaitan ini, kegiatan
ekonomi tidak semata-mata akumulasi perilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan hidup dan
meningkatkan kesejahteraannya tapi juga manifestasi ibadah dan bentuk ketundukan manusia
pada Sang Khalik. Kesejahteraan ekonomi bersifat holistik dan seimbang antara dimensi ruhanijasmani, fisik material-metafisik spiritual, kepentingan individu-masyarakat, dunia-akhirat, dan
lain sebagainya. Dengan demikian keuntungannya ganda: kesejahteraan hidup (profit) dan pahala
di sisi Allah (benefit). Tingkah laku ekonomi manusia dipengaruhi oleh keinginan untuk
melaksanakan perintah Allah SWT dan jika dijalankan secara benar akan mendapatkan tingkat
kesejahteraan yang maksimal.
Berdasarkan rasionalitas ekonomi, ekonomi Islam adalah sebuah pendekatan untuk
menginterpretasi dan memecahkan masalah ekonomi berdasarkan nilai, norma, hukum, dan
institusi yang diderivasi dari al-Quran dan as-Sunnah. Dengan kata lain, realitas empiris
ekonomi adalah bagian yang tak terpisahkan dari pewahyuan al-Quran. Misalnya kewajiban
manusia untuk bekerja dalam rangka mencukupi kebutuhan hidup dan mengaktualisasikan
kemampuannya (QS at-Taubah:105; Yunus:61,67; Hud:121,123). Dengan bekerja, manusia
mampu mengubah kejumudan hidup dan meningkatkan kesejahteraannya. Konsep ini sangat

empiris di mana manusia yang bekerja keraslah akhirnya yang mencapai kesejahteraan hidup.
Uniknya tidak ada satu agama pun (selain Islam) yang membicarakan tentang pentingnya kerja
dalam sistem ajarannya.
Religiusitas ekonomi adalah proyeksi akidah, syariah, dan moral dalam kegiatan ekonomi. K
etiga dimensi itu menyatu dalam pandangan dunia Islam yang mengatakan bahwa pemilik sumbe
r daya ekonomi adalah Allah SWT (QS al-Baqarah: 284; al-Maidah: 17; alHadid: 7). Manusia ha
nya diberi amanat untuk mengelola, mengambil manfaat, dan menjaga kelestariannya. Dari pema
nfaatan ini tercukupi kebutuhan hidupnya dan meningkat kesejahteraannya tapi mengandung ke
wajiban mendistribusikannya dalam bentuk zakat, infak, sedekah, investasi karenadalam hartany
a ada bagian orang lain (fakir miskin dan orang yang membutuhkan, baik yang meminta maupun
tidak). Dengan demikian, kegiatan ekonomi merupakan bentuk ketundukan manusia pada Allah
SWT dengan asumsi untuk mencari kebahagiaan dunia dan akhirat, dan kesejahteraan total bagi
umat manusia. Pandangan dunia Islam ini menentang anggapan perilaku ekonomi hanya sebatas
reaksi alamiah manusia untuk bertahan hidup.
Religiusitas ekonomi mengatakan manusia adalah mahluk moral.

Toshihiko Isutzu

menyebutkan bahwa diskursus moralitas dalam al-Quran bertujuan memberikan pedoman bagi
manusia dalam bertingkah laku yang berimplikasi sosial karena menegaskan gambaran manusia
sebagai mahluk religius. Karakter religius ini berimbas pada perilaku ekonominya. Misalnya
seorang pengusaha mengetahui bahwa keuntungan usahanya harus didistribusikan dalam bentuk
zakat, infak, dan sedekah karena pemahaman manusia hanya pemilik relatif dari sumber
kekayaan itu. Pemberian zakat, infak, dan sedekah merupakan suruhan agama (moral) yang tidak
dapat dielakkan. Secara individu, pemberian ini akan mengendalikan sifat tamak dan
mementingkan diri sendiri. Secara kolektif, bentuk distribusi kesejahteraan sebagai kewajiban
sosial dan sikap altruisme. Melalui konfigurasi moralitasnya, manusia memiliki kemampuan
untuk mengetahui yang baik dan yang buruk, mampu membedakannya, serta menyadari
konsekuensi dari pilihannya. Moralitas mengarahkan manusia pada tujuan tertentu dengan cara
dan instrumen yang benar. Di samping itu, kaidah moral yang tertanam dalam diri manusia
merupakan tantangan yang membuat hidupnya menjadi arena perjuangan moral untuk
mempertahankan eksistensinya sebagai hamba Allah dan khalifah-Nya. Dengan demikian, Islam
adalah kekuatan moral yang mengarahkan perilaku ekonomi manusia untuk mencapai

keseimbangan dalam hidup, merekayasa tata masyarakat etis, serta menyediakan orientasi untuk
selamat menjalani kehidupan di dunia dan akhirat.

Dalam Islam, rangkaian kegiatan ekonomi diawali dengan moralitas sehingga tujuannya dapat
dijalankan secara optimal. Tujuannya adalah a) memahami perilaku dan permasalahan ekonomi,
b) mengarahkan perilaku manusia untuk mengatasi permasalahan ekonomi tersebut. Yang
pertama memberikan pengertian dasar tentang realitas ekonomi dan aspek permasalahan yang
muncul darinya. Sedangkan yang kedua memberikan pedoman tentang tata cara melaksanakan
kegiatan ekonomi dan solusi untuk mengatasi permasalahan itu. Karena moralitas merupakan
landasan ontologis kegiatan ekonomi maka setiap perilaku ekonomi harus berangkat dari
landasan normatif ini yaitu perilaku yang benar akan mengarah pada hasil yang maksimal serta
risiko dapat dihindari.

Bagaimana filsafat mengenai ibadah ?

Filsafat hukum islam pada bidang ibadah


a)

Pengertian ibadah

Kata ibadah terambil dari kata abada yang artinya mengabdi, tunduk, taat. Sedangkan menurut
Mahmud syaltut dalm formasi yang singkat mengemukakan arti ibadah sebagai:

ketundukan yang tidak terbatas bagi (pemilik) keagungan yang tidak terbatas pula.
Hal ini menurut syaltut lebih jauh menunjukkan puncak tertinggi dan kerendahan hati kecintaan
batin, serta peleburan diri kepada keagungan dan kecantikan siapa yang kepadanya seseorang
beribadat, peleburan yang tidak dicapai oleh peleburan apapun.

Oleh syekh jafar subhani mengemukakan tiga formulasi ibadat yaitu ketundukkan dan ketaatan
yang berbentuk lisan dan praktek yang timbul akibat keyakinan tentang ketuhanan siapa yang
kepadanya seseorang tunduk.

Menurut m. al-ghazali hakikat ibadah akan terwujud apabila memenuhio tiga hal: 1. Tidak
menganggap apa yang berada dibawah kekuasaan atau wewenangnya sebagai milki pribadinya,
karena yang dinamai (hamba sahaya) tidak memiliki sesuatu, 2. Menjadikan segala aktifitasnya
berkisar pada pelaksanaanya apa yang diperintahkan kepadanya, serta ,menjauhi apa yang
dilarangnya, 3. Tidak mendahuluinya dalam mengambil suatu keputusan atau dengan kata lain
mengaitkan segala apa yang hendak dilakukannya dengan seizing dan restu siapa yang
kepadanya ia mengabdi. [12]
Perintah ibadah dalam al-quran selalu dikaitkan dengan :
a. Sifat rububiyah (pemeliharaan tuhan) seperti dalam surat al-baqarah:21
Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang
sebelummu, agar kamu bertakwa
b. Tawakkal kepada allah (penyerahan diri kepada Allah setelah usaha maksimal) terdapat
dalam surat al-fatihah ayat 5-6
Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan Hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan
tunjukilah kami jalan yang lurus
Ibadah dalam pengertian sempit
ibadah dalam pengertian sempit menurut Muh. Al-Ghazali adalah:

apa yang ditetapkan hakikat dan bentuknya oleh Allah dan Rasulullah sehingga tidak diketahui
kecuali melalui jalan tersebut seperti shalat, puasa dan yang lainnya.

Arti ibadah dalam pengertian yang sempit inilah yang sering digunakan oleh orang dalam
memahami ibadah. Tata cara ibadah yang telah ditetapkan itu harus diterima dan diamalkan
sebagaimana adanya, karena keberatan tentang bentuk atau cara tertentu dengan maksud
mengubahnya dengan cara lain, tidak menghalangi adanya keberatan baru bagi cara yang telah
diubah itu.
Dalam masalah ibadat nampak secara jelas manfaat wahyu dan kebutuhan manusia
terhadap bimbingan-Nya, yakni dalam hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal manusia,
sebab seandainya hal-hal tersebut dapat dijangkau maka itupun di dukung oleh para nabi dan
wahyu Allah.

b)

Tujuan ibadah

Abbas Al-Aqqad menyimpulkan dua tujuan pokok ibadah yaitu:


a. Mengingatkan manusia akan unsur rohani di dalam dirinya, yang juga memiliki
kebutuhan yang berbeda dengan kebutuhan- kebutuhan jasmaniahnya.
b. Mengingatkannya bahwa di balik kehidupan yang fana ini, masih ada lagi kehidupan
berikut yang bersifat abadi.
Dan kita akan mencoba membahas filasat ibadah tersebut.
1.

Falsafah shalat

Shalat merupakan tiang agama serta kewajiban pokok yang diletakkan Tuhan di atas pundak
hamba-hambanya. Mengapa demikian?

Pertama: dari satu sisi kebesaran dan keagungan Tuhan, shalat merupakan konsekuensi dari
keyakinan-keyakinan tentang sifat-sifat Allah yang menguasai alam raya ini, termasuk manusia
serta yang kepadanya bergantuing segala sesuatu.
Kedua: dari sisis lain yakni sisi manusia, ia adalah makhluk yang memiliki naluri antara lain
cemas dan mengharap, sehingga ia membutuhkan sandaran dan pegangan dalam hidupnya.
Ketiga: alam raya ini berjalan di bawah satu kesatuan sistem yang dikendalikan oleh satu
kekuatan yang maha dashyat yaitu Allah. Manusia lebih-lebih lagi ilmuan-ilmuan, membutuhkan
kepastian tentang tat kerja ala mini dalam rangka pengembangan ilmu dan penerapannya.
Kepastian tersebut tidak dapat diperolehnya kecuali dengan keyakinan tentang adanya
pengendali dan pengatur alam raya ini yang bersifat esa tidak berbilang.
Jadi shalat kepada penguasa yang esa itu menggambarkan pemahaman seseorang tentang
tata kerja alam raya.
Keempat: terlepas apakah shalat mengakibatkan terpenuhinya permohonan seseorang atau tidak,
namun paling tidak shalat merupakan hubungan manusia dengan tuhan.

2.

Falsafat zakat

Ada tiga alasan menggambarkan landasan pilosofis dan kewajiban zakat


Pertama: istiklaf (penugasan sebagai khalifah di muka bumi)
Konsekuensi terhadap harta benda yang dimiliki adalah bahwa manusia yang dititipkan harat
harus memenuhi ketetapan tuhan baik dalam pengembangan maupun dalam penggunaannya,
antara lain kewajiban dalam mengeluarkan zakat. Karena sejak semula Allah menetapkan bahwa
harta tersebut dijadikannya untuk kepentiongan bersama.
Kedua: solidaritas social
Karena manusia adalah makhluk social maka ia diharuskan juga untuk membantu sesama yang
bertujuan untuk sosialisasi.

Ketiga: persaudaraan
Manusia berasal dari adam dan hawa maka sesame manusia itu bersaudara.
Dampak positif zakat:
a) Mengikis sifat-sifat kekikiran dalam jiwa seseorang.
b) Zakat menciptakan ketenangan dan ketentramam bukan hanya kepada penerimanya tapi juga
pemberinya.
c) Zakat mengembangkan harta benda, pengembangan tersebut dapat ditinjau dari segi spiritual
keagamaan berdasarkan:
Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah

3.

Falsafat puasa

a.

Aspek kejiwaan

Seseorang yang berpuasa dengan penuh kesabara menanti saat berbuka bahkan lebih jauh
bersabar dalam menghadapi gangguan dan caci maki yang mungkin ditunjukkan kepadanya.
Kesabaran ini akibat dorongan ketaatan kepada Tuhan yang memerintahkan berlaku demikian.
b.

Aspek-aspek social

Karena diwajibkan puasa secara serentak maka manusia akan hidup dalam satu kondisi yang
sama antara yang kaya dan miskin akan merasakan hal yang sama. Dan pada waktu malam
bersama-sama pula pergi ke masjid.
c.

Aspek kesehatan

Puasa secara umum membatasi aktivitas pencernaan. Dan hal ini mempunyai dampak positif
bagi kesehatan, sehingga puasa dapat menjadi terapi bagi banyak penyakit, bahkan dapat
merupakan faktor penyembuhan bagi penyakit-penyakit tertentu.

4.

Falsafat haji

a.

Aspek social politik

Berkumpulnya umat islam dari seluruh penjuru dunia, dengan berbagai ras, bangsa, merupakan
satu cara untuk mempererat tali persaudaraan sesame muslim. Dan manampakkan pada dunia
luar syiar islam.
b.

Aspek ekonomi

Al-quran secara tegas menyatakan bahwa berjual beli dibolehkan pada musim haji, sehingga
berkumpulnya umat muslim dalam satu keadaan tertentu akan memberikan kesempatan untuk
mengadakan hubungan perdagangan baik secara langsung maupun tidak.
c.

Aspek kejiwaan

Haji adalah salah satu cara untuk membersihkan jiwa, karena seseorang berada dalam
lingkungan kabah, yang merupakan tempat untuk menyampaikan keluh kesah kepada Allah.
d.

Aspek ibadah

Dalam ibadah haji nampak sekali ibadah di dalamnya yang dapat dilihat dari tata cara yang
ditetapkan. Tata cara tersebut apabila ditinjau secara lahiriah tanpa memperhatikan makna-makna
yang terkandung di dalamnya, dapat menimbulkan kesalahpahaman, seperti berkeliling di
kabah, syaI dan sebagainya, namun walaupun hal-hal tersebut tidak dipahami dia harus
melaksanakannya sebagai tanda tunduk kepada Allah.

Setelah saya lulus kuliah dan menyandang gelar S1 sarjana syariah saya berencana akan
berkecimpung di dunia usaha seperti membuka toko bangunan, mebuka rumah makan, dan
membuat koperasi. Dalam menjalankan usaha saya, saya akan menjalankannya berdasarkan
prinsip-prinsip hukum islam. Kata Prinsip berarti asas yakni kebenaran yang menjadi pokok
dasar orang berfikir, bertindak dan sebagainya. Yang dimaksud dengan prinsip-prinsip hukum
Islam ialah cita-cita yang menjadi pokok dasar dan landasan hukum Islam, yang antara lain :
1.

Tauhid.
Tauhid (Ketuhanan Yang Maha Esa), ialah yang menghimpun seluruh umat manusia kepada

Tuhan Yang Maha esa.


2. Berkomunikasi Langsung.
Berkomunikasi langsung dengan Allah tanpa perantara.
3. Menghargai Fungsi Akal
Menghargai fungsi akal, sehingga seseorang menjadi mukallaf (dibebani kewajiban) atau tidak
tergantung kepada sehat/tidaknya akal pikirannya.
4. Menyempurnakan Iman.
Menyempurnakan akidah/iman dengan akhlak yang mulia yang dapat membersihkan jiwa dan
5.

meluruskan kepribadian seorang.


Menjadikan Kewajiban untuk Membersihkan Jiwa.
Menjadikan segala macam beban (kewajiban) agama demi memperbaiki dan mensucikan jiwa

manusia dan bukan untuk menghancurkan dan menundukkan badan.


Memperhatikan Kepentingan Agama dan Dunia.
Memperhatikan kepentingan agama dan dunia dalam membuat hukum.
7. Persamaan dan Keadilan.
Prinsip persamaan dan Keadilan, yang memperlakukan semua manusia sama dihadapan Allah,
6.

dan diahadapan hukum dan pemerintahan. Tidak ada diskriminasi karena perbedaan bangsa,
suku, bangsa, bahasa, jenis kelamin, agama dan kepercayaan, adat-istiadat, dan sebagainya.
Amar, Maruf Nahi Munkar.
Prinsip amar maruf (mengajak kebaikan) dan nahi munkar (mencegah kejahatan).
9. Musyawarah.
Prinsip Musyawarah merupakan sdalah satu prinsip hukum Islam yang penting, karena melalui
8.

musyawarah para ulama dapat mencapai, kesepakatan mengenai hukum suatu masalah, yang
disebut ijma bayani dan ijma itu merupakan salah satu sumber hukum Islam yang penting.
10. Toleransi.
Prinsip toleransi yang menjamin kemerdekaan dan kebebasan beragama dan kepercayaan, dan
menjamin kebebasan beribadah menurut agama dan kepercayaan masing-masing.
11. Kemerdekaan dan Kebebasan.
Prinsip kemerdekaan dan kebebasan, baik mengenai keyakinan/kepercayaan, kehendak,
pendapat/pikiran.

12. Hidup Gotong royong.


Prinsip hidup gotong royong dalam masyarakat, dan dengan prinsip ini, Islam mewajibkan
orang kaya mengeluarkan zakat harta bendanya untuk diberikan kepada mustahiq-nya, terutama
fakir miskin. Zakat itu merupakan hak fakir miskin dan mustahiqin lainnya, sehingga kalau si
kaya tidak mau memberikan zakatnya, Pemerintah berhak mengambilnya secara paksa untuk
diteruskan kepada para mustahiqnya.

Dengan berlandaskan pada ke dua belas prinsip tersebut, walaupun tidak semuanya
terrealisasikan dalam keseharian saya setidaknya ada beberapa prinsip yang saya terapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Dengan demikian saya akan menjalani kehidupan saya sesuai syariat
Islam, dan yang paling penting adalah saya menjalankan usaha tidak hanya untuk mencari
keuntungan untuk memenuhi kebutuhan hidup saja tetapi dengan berlandaskan pada prinsipprinsip hukum Islam saya pun mencari jalan menuju syurga.

Anda mungkin juga menyukai