Anda di halaman 1dari 9

sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan

organ khusus pada suatu organisme. ika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini
akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker
dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi
tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan
demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan
pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan
meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker. fungsi sistem imun :
1. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit; menghancurkan & menghilangkan
mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang
masuk ke dalam tubuh
2. Menghilangkan jaringan atau sel yg mati atau rusak
untuk perbaikan jaringan.
3. Mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal
Sasaran utama: bakteri patogen & virus
Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, & sel mast)
Respons Imun Tahap:
1. Deteksi & mengenali benda asing
2. Komunikasi dgn sel lain untuk berespons
3. Rekruitmen bantuan & koordinasi respons
4. Destruksi atau supresi penginvasi
Pertahanan tubuh ada 2 yaitu :
1. Non spesifik ,natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan )
merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme disebut nonspesifik
karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu meliputi :
a. pertahanan fisik ; kulit, selaput lendir , silia saluran pernafasan
b. pertahanan kimia ; bahan yang disekresi mukosa saluran nafas, kelenjar sebaseus kulit,
kel kulit, telinga, asam HCL dalam cairan lambung , lisosim yang dikeluarkan oleh
makrofag menghancurkan kuman gram dengan bantuan komplemen, keringat, ludah , air
mata dan air susu

( melawan kuman gram + )


c. pertahanan humoral
komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit
( menghancurkan sel membran bakteri, faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ke
tempat bakteri, diikat pada permukaan bakteri yg memudahkan makrofag untuk mengenal
dan memakannya- interferon suatu glikoprotein yg dihasilkan sel manusia yg
mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadap infeksi virus.2. adaptasi atau
yang muncul ( diperoleh) atau spesifik
mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing.
sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang
berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen ,
fagosit dan antara sel T makrofag.
sistem imun spesifik ada 2 yaitu;
a. sistem imun spesifik humoral
b. sistem imun spesifik selular

Di sudut kota kecil Maguanurwa inilah aku dilahirkan dan dibesarkan, oleh keluarga yang
menyayangiku. Mereka (Orang tuaku) memberi nama Nandira Nur Adiba, Dira begitulah
biasanya aku dipanggil. Aku adalah anak pertama dari hasil pernikahan ayah dan ibuku, ibuku
Nur Adiba sangat menyayangiku sejak aku masih dalam kandungan, buaian hingga sekarang.
Dan ayahku bernama Irwan, kata ibu diapun teramat sangat menyayangi dan mencintaiku.
Kehidupan masa kecil aku lewati dengan beraneka macam kisah yang hingga kini tak jua aku
mengerti akannya.
Saat ini aku sudah berusia 20 tahun, usia yang mulai memasuki tahap bernama
kedewasaan. Sejak lulus dari SMA aku langsung bekerja sebagaiOffice Girl, di sebuah
perusahaan swasta yang ada di daerah perkotaan Jogyakarta. Beruntungnya aku, memiliki rekan
kerja yang baik terhadapku dan juga seorang pemimpin yang ramah terhadap bawahannya. Hal
itulah yang membuatku tetap bertahan bekerja di sana selama bertahun-tahun.
Di sini, di kota ini aku tak mengenal siapapun. Kedatanganku kemari adalah sebuah
kenekatan yang ku lakukan karena tidak betah dengan keadaan rumah yang sepertinya tak
memberi nafas bebas untukku. Kesabaran yang aku pupuk selama ini sudah pupus bersama

dengan meninggalnya ibu 2 tahun yang lalu. Masih lekat dalam benakku kejadian beberapa tahun
yang lalu, yang membuatku redup memandang hidupku sendiri.
Mereka bilang, aku adalah orang yang beruntung Begitukah??? semoga saja memang
seperti itu. Masa itu benar-benar aku rindu, masa kecil yang indah dalam buaian kasih sang
Bunda. Fajar itu, tepat tanggal 30 Oktober 1990 tangisku pecah seiring dengan rasa haru Ibu
yang menangis bahagia melihat aku lahir dengan sehat tanpa kurang satu apapun.
Setelah dimandikan, Dira kecil langsung diadzanin oleh Paman Abduh. Kenapa bukan
Ayah yang mengadzaniku? Aku membatin. Apakah Ayah tidak menyayangi aku? Atau mungkin
dia membenci kehadiranku saat itu? Pikiran negatif memenuhi pikiranku yang memang
berkecamuk. Dan betapa sedihnya aku Ayah andai engkau tau, saat mulut-mulut mereka berkata
bahwa engkau menginginkan anak pertamamu adalah seorang laki-laki. Rasa kecewa yang
engkau tunjukan dengan adanya aku dikehidupanmu secara perlahan menyakitiku Ayah, tidakkah
engkau tau itu?.
Ku kira kekecewaan Ayah dengan tidak lahirnya seorang anak laki-laki akan cepat sirna
siring bergulirnya sang waktu, nyatanya tidak. Saat Dira kecil menjalani kehidupan masa
kecilnya, dia tampak tidak seceria anak yang lain. dia pemalu dan lebih suka menyendiri, teman
sepermainannya hanya terbatas tetangga belakang rumahnya saja. Namanya Doni, Dira kecil
memanggilnya kak Doni dengan kak Donilah Dira kecil biasa bermain dan belajar. Saat itu usia
Dira mencapai 3 tahun, seperti biasanya bila malam tiba dia tidur bersama neneknya. Setiap
malam ibu harus berjualan kopi di warung dekat terminal kota, membantu mencari nafkah
sampingan karena pekerjaan ayah tidak menetap, kadang-kadang ada dan berpenghasilan,
kadang kalapun tidak.
Saat malam mencapai puncaknya, tangis Dira memecah keheningan. Badannya panas dan
hidungnya menegluarkan darah. Nenek Birah bangun dari tidurnya yang lelap dan menghampiri
Dira yang sedang menangis kesakitan itu. Beliau kebingungan harus berbuat seperti apa agar
cucunya itu bisa diam dan sakitnya reda. Yang ada dipikirannya Nenek saat itu hanya Pak Tion,
tukang becak langganannya, tanpa pikir panjang lagi Nenek keluar rumah dan meninggalkan
Dira menangis sendiri dalam kamar. Ayah yang terlelap tidurnya melepas lelah setelah seharian
bekerja itupun terbangun dari tidurnya. Wajahnya tampak sangat marah mendengar tangisan
Dira. Dan tiba-tiba Bluk, hua huaa dengan emosi yang meledak Ayah melempar tubuh mungil
Dira keluar jendela kamar. Ya Allah, malang sekali nasibmu Dira kecilku. Tangis itu semakin
menjadi, makin lama makin mengeras hingga akhirnya diam tak bersuara sedikitpun. Setelah
melakukan hal itu, Ayah kembali ke atas kasur dan melanjutkan tidurnya tak ada dosa sekecil
apapun yang terlihat darinya. Sementara Dira sudah pingsan tak kuat menahan sakit yang dia
derita saat tubuh mmungilnya itu menyentuh tanah.
Beberapa menit kemudian, Nenek Birah datang bersama Pak tion dan becaknya. Nenek
mencari Dira sambil memanggil-manggil namanya.

Dira, cucuku Dira... ucapnya.


Saat melihat tempat tidur Dira kosong, nenek menghampiri Ayah dan menanyakan keberadaan
cucunya itu. Dengan santainya Ayah menjawab sudah aku lempar dia keluar, sudah reda
tangisnya tidak usah panik jwaban yang membuat sakit di telinga yang samar ku dengar kala
itu.
Dalam keadaan masih marah karena sikap Ayah. Nenek menghampiriku dengan ekpresi
iba dan tangisan yang menjadi-jadi, Pak Tion yang menggotong tubuhku yang tak sadarkan diri
itu ke atas becaknya. Nafas Pak Tion yang terengah-engah mengayuh becak membuat suasana
gundah yang dialami Nenek semakin menjadi. Dalam dekapan sang Nenek yang menangis itulah
aku terkulai lemah, angin dan petang menjadi saksi bisu yang diam ketika peristiwa pahit
menggores luka itu terjadi kepadaku.
Sesampainya di Rumah Sakit, suster langsung menanganiku. Menurut Dokter kepalaku
mengalami cidera, tetapi beruntung tidak sampai parah. Beberapa hari aku dirawat di Rumah
Sakit. Dan selama itu aku tidak melihat sosok Ayah, entah karena dia merasa bersalah dan tidak
siap bertemu aku (anaknya) atau kerena memang sudah lupa mempunyai anak seperti aku. Hanya
Ibu dan beberapa orang kerabat yang datang menjengukku di Rumah Sakit.
Selang berapa hari, aku sudah keluar dari Rumah Sakit. Tidak mengerti mengapa Dira
kecil waktu itu sangat merindukan sang Ayah. Saat sampai di rumah, dengan polosnya Dira
bertanya kepada Ibu dan Neneknya tentang keberadaan Ayahnya itu.
Ibu, Ayah di mana? Dari sejak Dira sakit kog gak pernah liat??? tanya Dira dengan polosnya.
Mendengar ucapku itu, nenek langsung pergi masuk ke dalam rumah tanpa sepatah katapun yang
terlontar. Sedangkan Ibu merangkulku dan mengatakan :
Ayah Dira sedang bekerja nanti kalau Ayah pulang Dira Ibu bangunin, sekarang waktunya Dira
istirahat ya biar cepat sembuh sayang.
iya dah buu!!!
Dan beristirahatlah Dira kecil dalam kamarnya, wajahnya yang polos tampak sangat letih.
Beruntunglah dia cepat keluar dari Rumah Sakit, rasanya seisi rumah sudah merindukan
kehadirannya yang menggemaskan itu.
Menjelang malam tiba, Ayah tak kunjung datang jua. Dira mulai rewel dengan
menanyakan terus-menerus tentang keberadaan Ayahnya itu. Dari cara dia bertanya tentang
Ayahnya itu, nampak jelas bahwa ia sudah sangat merindukan Ayah yang telah membuatnya
masuk rumah sakit. Hingga kelarutan malam yang membuatnya lelap dan tidur melupakan
kerinduan kepada sang Ayah.

Tepat jam 11.26 WIB tangisku kembali memecah keheningan malam, semua orang
mungkin terbangun karenanya. Begitupula Ayah, senyumku mengembang melihat sosok itu.
Akhirnya aku berada dalam gendongannya sampai terlelap kembali. Andai engkau tau Ayah,
ingin rasanya aku menghentikan waktu detik itu juga. Berada dalam buaianmu adalah sebuah
kehangatan yang sangat aku rindu. Rasa tenang itu seketika menghampiriku, padahal yang
membuatku terbaring kaku d rumah sakit adalah beliau, harusnya rasa takut yang membatin
dalam batiku. Tapi, semua sudah tertepis begitu saja melihat mata Ayah yang berbinar penuh
makna itu.
Masa-masa yang indah itu berlalu begitu cepat, Dira kecil telah beranjak menjadi seorang
anak-anak yang siap menimpa bangku sekolah. Tepat pada tahun 1995, aku didaftrakan masuk
sekolah dasar karena saat itu di desa kami belum ada Taman kanak-kanak. Sebenarnya Ibu belum
setuju kalau aku harus secepat itu masuk bangku sekolah, selain karena usiaku masih 5 tahun
juga aku mau bersekolah karena kak Doni teman sepermainanku bersekolah juga.
Akhirnya aku terdaftar juga sebagai siswa sekolah dasar pada waktu itu. Belajar bersama
kak Doni dalam satu kelas sangat menyenangkan, apalagi dia adalah satu-satunya orang yang
paling dekat denganku dibandingkan dengan teman-teman lain yang belum aku kenal. Bermain
dan belajar bersama dengannya, adalah hal yang menyenangkan waktu itu. Kak Doni sudah
seperti kakakku sendiri, menyayangi dan begitu menjagaku. Bahkan disaat aku menyerah dengan
ketidakmampuanku terhadap matematika, dialah yang membantuku memahami pelajaran yang
ku nilai rumit itu. Semangat Dira dalam menuntut ilmu sangat membara dan menggebu-gebu,
dan hal itupun membuahkan hasil yang tidak begitu mengecewakan. Dira mendapat peringkat 3
dalam kelasnya, walau usianya paling muda di antara anak-anak yang lain.
Dira bisa kan, jadi jangan suka menyerah sebelum berusaha ya!
hehe... iya kak, makasi ya sudah banyak membantu Dira selama ini dalam hal belajar.
hmm... ada bayarannya loo, gak ada yang gratis dir. Kak Doni menggodaku.
waduuu, kebalik itu kak haursnya yang dapat traktiran itu Dira bukannya kak Doni yang
dapet juara 1 dalam kelas?
bisa saja ngelesnya ni anak, yuda ayuk beli es cream
Kak Doni pinter hampir dalam segala hal, apalagi yang namanya matematika dia sangat
menguasai pelajaran itu. Dan juga dia sangat suka memasak, mau jadi koki katanya dia.
Hahaha... aku hanya tertawa kalu dia sudah berkhayal tentang masa depannya itu. Seorang kak
Doni jadi koki ya ngak cocok kak, cocokan jadi profesor matematika yang botak tuch, ucapku
suatu waktu menggodanya.
Sekolah, pelajaran dan kak Doni mampu membuatku melupakan orang yang sangat aku
sayangi itu (Ayah). Aku hampir tak pernah menemukannya di rumah, dia jarang berada di rumah.

Semakin hari akupun semakin tak mempedulikan dia atau tidak, karena selama ini tak secuilpun
dia mau menoleh sekedar bertanya keadaanku ataupun sekolahku. Aku sangat kasian pada ibu
yang harus banting tulang sendirian mencari nafkah untuk makan dan sekolahku.
Hingga tiba saat waktu terburuk itu datang ke hari di hidupku. Saat itu aku sudah kelas 3
SD, usia yang sangat dini bisa tegar menghadapi kenyataan yang tak bisa terelakkan. Sepulang
dari sekolah, aku mencari-cari Ibu tapi tak ku temui juga. Tiba-tiba Pak Tion menghampiriku dan
bekata:
nak Dira, Ayah dan Ibunya masih ada perlu dan pulang agak lama, nak Dira ganti baju
setelah itu maen saja sama kak Doninya ya.
ia Pakde, jawabku.
Pak Tion sangat baik terhadapku, mungkin kebaikan pak Tion sudah menular kepada Kak Doni
yang merupakan anaknya sehingga kak Doni sangat menyayangi aku layaknya saudara sendiri.
Dan ketika malam menjemput, akhirnya Nenek dan Ibu pulang juga ke rumah, wajah
mereka tampak sangat lesu. Tapi tak ku lihat Ayah bersama mereka, padahal kata Pak Tion Ayah
bersama meraka juga. Tapi pertanyaan itu hanya ku pendam, kasian Ibu tampaknya sudah begitu
lelah.
Sejak saat itu aku lebih sering melihat Ibu murung dan juga Ayah tak muncul sedikitpun.
Dan keadaan ini telah berlangsung selama 1 bulan. Pernah sesekali aku bertanya mengenai
keberadaan Ayah pada Nenek, tapi jwaban nenek sama saja seperti Ibu yang menyuruh aku
supaya fokus saja sama ujian akhir semester yang akan segera berlangsung 1 minggu lagi. Kak
Doni pun senada dengan jawaban mereka saat aku bertanya akan hal itu.
Setelah ujian berlangsung dan pembagian rapot tiba, aku kembali merengek kepada Ibu
supaya Ayah saja yang mengambilkan rapot untukku. Karena selam ini yang mengambil rapot
kenaikan kelasku selalu Ibu, Ibu dan Ibu. Tapi Ibu hanya tersenyum dan berucap Ayah sedang
sibuk sayang, gak pap ya Ibu yang mengambilkannya. Kecewa dan tanda tanya menyeruak
dalam benak, tentang keberadaan Ayah yang sengaja mereka sembunyikan dariku.
Saat liburan semester tiba, Ibu berjanji mau mengajak aku untuk mengunjungi Ayah di
tempat kerjanya. Aku menurut saja, hingga waktu yang ditunggu itu datang juga. Aku dandan
dengan sangat cantik, senyum tak henti-hentinya mengembang dari bibirku. Senang banget
rasanya mau bertemu dengan Ayah, rapot yang menandakan rangking 2 mau aku pamerka
padanya nanti sudah aku masukkan tas.
Setibanya di tempat yang Ibu dan Nenek bilang adalah tempat kerja Ayah, bukannya
senang aku merasa takut dan semakin terpuruk pada keadaan hati yang kacau tak ku mengerti.
Rasanya seperti mimpi buruk, yang membuatku ingin segara bangun dari tidur itu. Ayahku
berada dalam sel tahanan, ya Allah Dira kecewa sama Ayah. Sewaktu Ayah keluar dari ruang

tahanannya dan mendekatiku, akupun lari ketakutan. Rasa benci menyeruak begitu saja, tanpa
menoleh sedikitpun aku langsung keluar dari buih yang kemudian disusul oleh Nenek.
Dira mau pulang nek, Dira gak mau di sini, Dira takut. (sambil menangis dalam
pelukan Nenek)
ia sayang, ayuk Dira pulang sama nenek, biar Ibu yang nemenin Ayah di dalam.(seraya
menggendongku)
Aku menangis, menjadi sangat sedih sejak saat itu. Kata tetangga rumah yakni ibu-ibu
yang tiap hari hobinya ngegosip itu, Ayah dipenjara selama 5 tahun karena ketahuan mencuri di
Rumah paman Gali, pamanku sendiri yang masih punya hubungan saudara dengan Ayah. Ya
Allah, ini sangat mengganggu dan menyita sebagian besar semangat hidup yang akan kujalani.
Mereka semua tak henti-hentinya menghiburku, terutama kak Doni yang sangat
memperhatiakan kesehatanku. Waktu kelas 5 SD, nilaiku turun drastis. Tapi, Ibu satu-satunya
alasan yang membuatku tegar dan kembali semangat mengahdapi hari. Kelas 6 dan UNAS di
depan mata, aku semakin giat belajar dibantu oleh kak Doni. Akhirnya kita sama-sama lulus, dan
kak Doni bisa mempertahankan rangkingnya sampai kelas 6. Rangking 3 kayaknya sudah harga
mati buatku (sambil senyum-senyum).
Setelah lulus SD sebenarnya aku sudah tidak mau melanjutkan sekolah, selain karena
biaya sekolah yang mahal juga kasian Ibu harus bekerja sendirian sejak Ayah berada dalam
penjara. Tapi, Ibu menyuruhku untuk tetap melanjutkan ke SMP. Bersama kak Doni pula
akhirnya aku melanjutkan ke SMP, selama di SMP, kak Doni memang anak yang sangat pintar,
dia selalu menjadi juara kelas bahkan paralel dari semua kelas. Kelas 2 SMP dia juga terpilih
sebagai ketua osis. Dengan kesibukan-kesibukan yang dilakukan kak Doni, akibatnya kami
jarang bersama. Jadi merasa kehilangan aku waktu itu. Sekarang benar-benar sendiri. Selepas
menjabat sebagai ketua osis, kak Doni kembali lagi menjadi kak Doni yang sangat perhatian. Dia
bilang sangat merinduku saat perhatiannya tersita oleh oraganisasi kesiswaan itu.
Selam 3 tahun di SMP kak Doni membuat Pak Tion sangat bangga, dengan prestasi yang
dia punya dia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan ke SMA. Sejak itulah kami berpisah
sekolah, aku melanjutkan ke SMK mengambil jurusan komputer. Sedangkan kak Doni masuk
SMA favorit dengan jurusan IPA yang ditekuninya. Cita-citanya menjadi seorang dokter harus
tercapai katanya, makanya ia begitu serius sekolah untuk mencapai keinginannya itu.
Saat hari pertama memasuki bangku sekolah SMK, rasanya hambar tanpa kak Doni yang
menemani. Tapi, semua harus aku jalani aku tidak mau mengecewakan Ibu dan Nenek yang
berharap banyak pada kesuksesanku. Stelah pulang sekolah, rumah tampak ramai sekali.
Rupanya Ayah sudah dibebaskan dari penjara dan Ibu mengadakan syukuran kecil-kecilan
menyambut kedatangannya. Aku masuk rumah melaui pintu belakang rumah, dan langsung
mengunci diri di kamar. Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu, rupanya Nenek. Nenek menyuruh

aku untuk keluar menemui Ayah, dengan setengah terpaksa akhirnya aku keluar juga dan
bersalaman dengannya. Ayah tampak lebih kurus dari sebelumnya dan kelihatan lebih bersih,
mungkin selama di dalam penjara dia jarang berhadapan langsung dengan sianar matahari.
Semua tampak gembira dan senang menyambut kedatangan Ayah, tapi mengapa aku
begitu membencinya. Sudahlah, memang seharusnya aku bersikap lebih dewasa sekarang dengan
melupakan kesalahannya yang telah lalu, lagipula dia sudah menerima hukunaman atas
tindakannya itu.
Tak seperti yang tampak, waktu kelas 2 SMK Nenek meninggalkanku dan semua orang
untuk selama-lamanya. Ya Allah, sedih banget rasanya menghadapi hal seperti itu. Nenek yang
selama ini begitu menyayangi dan mengasihiku telah engkau panggil menghadap ke
kehadiratmu. Dan itupun berlanjut dengan engkau panggil pula Ibuku menghadapmu ya Allah,
padahal itu tak lama hanya selang beberapa bula dari meninggalnya nenek. Dan ya Allah siapa
orang yang akan menemaniku menghadiri wisudaku nanti. Dua orang yang sangat aku cintai di
dunia ini telah engakau panggil menemuimu. Mengapa tak kau ambil saja aku ya Allah, biar
beban ini tak harus ku pikul seorang diri.
Kak Doni cukup membantu aku melewati masa-masa sulit itu. Rasanya saat itu, aku tak
memiliki alasan yang kuat untuk tetap hidup di dunia ini. Ya Allah bantu aku menghadapi masamasa sulit ini. Aku benar-benar tidak sanggup rabb, ujianmu terlalu berat untuk ku pikul.
Hari itu tiba, aku di wisuda dan betapa terpuruknya aku datang seorang diri. Tak ada lagi
Ibu dan Nenek yang biasanya hebih dengan segala macam persiapan wisudaku. Aku menyiapkan
semuanya sendiri dan benar-benar sendiri. Aku diminta datang lebih awal oleh wali kelasku,
beliau bilang aku menjadi lulusan terbaik tahun ini. Senang atau sedihkah aku? Saat ibu guru
menanyakan siapa yang akan menemani kamu menaiki panggung Dir? Dira sendiri bu, Ayah
Dira lagi sibuk kerja, jawabku singkat.
Ingin rasanya aku teriak yang sangat keras waktu itu, melihat teman-teman bersama
dengan orang tuanya sementara aku hanya seorang diri. Tak lama waktu yang dinanti itupun tiba,
saat pengumuman siswa terbaik diumumkan. Dan benar akulah siswa terbaik yang mereka
panggil Nandira Nur Adiba Binti Irwan. Aku melangkah menuju panggung untuk menerima
ijazah itu, untuk wali murid dimohon untuk mendampungi. Rasanya hatiku sudah bernanah
mendengar permintaan itu. Mata yang sedari tadi sudah berkaca-kaca akhirnya menetes dan
mengalir juga, sembari aku menundukkan wajah. Tiba-tiba hadir sosok yang tak asing di
sebelahku. Ya Allah Ayah, gumamku. Dia melirik ke arahku seraya mengedipkan mata da
senyum yang seakan-akan menggodaku.
Tanpa berpikir panjang lagi aku peluk Ayah di depan ribuan pasang mata yang hadir saat
acara wisuda berlangsung. Tangis pecah memecah keheningan yang mengharu. Ya Allah, ini
pertama kalinya sejak 10 tahun yang lalu aku berada dalam pelukannya. Terdengar Ayah berucap
Maafkan Ayah Dira, Ayah sangat sayang sama Dira, Maafkan Ayah nak.

Dira juga minta maaf yah, Dira sangat menyayangi Ayah.


Wisuda saat itu menjadi wisuda terindah sepanjang umurku, setelah apa yang terjadi selama ini
di antara aku dan Ayah akhirnya cair begitu saja. Ayah juga sudah berubah, dia lebih rajin bekerja
dan menyayangiku. Sepercik kasihmu adalah samudra hidup bagiku yah, karena di dunia ini
hanya Ayah yang ku punya. Terima kasih Ayah untuk kasih sayangmu yang tiada hingga.

Anda mungkin juga menyukai