Anda di halaman 1dari 13

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kitosan

Kitosan adalah senyawa polimer alam turunan kitin yang diisolasi dari limbah perikanan,
seperti kulit. udang dan cangkang kepiting dengan kandungan kitin antara 65-70 persen.
Sumber bahan baku kitosan yang lain di antaranya kalajengking, jamur, cumi, gurita,
serangga, laba - laba dan ulat sutera dengan kandungan kitin antara 5-45 persen. Kitosan
merupakan bahan kimia multiguna berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk
lembaran tipis, berwarna putih atau kuning, tidak berbau. Kitosan merupakan produk
deasetilasi kitin melalui proses kimia menggunakan basa natrium bidroksida atau proses
enzimatis menggunakan enzim chitin deacetylase. Serat ini bersifat tidak dicerna dan
tidak diserap tubuh. Sifat menonjol kitosan adalah kemampuan mengabsorpsi lemak
hingga 4-5 kali beratnya (Rismana, 2006).

Kitosan adalah senyawa kimia yang berasal dari bahan hayati kitin, suatu senyawa
organik yang melimpah di alam ini setelah selulosa. Kitin ini umumnya diperoleh dari
kerangka hewan invertebrata dari kelompok Arthopoda sp, Molusca sp, Coelenterata sp,
Annelida sp, Nematoda sp, dan beberapa dari kelompok jamur Selain dari kerangka
hewan invertebrata, juga banyak ditemukan pada bagian insang ikan, trakea, dinding usus
dan pada kulit cumi-cumi. Sebagai sumber utamanya ialah cangkang Crustaceae sp, yaitu
udang, lobster, kepiting, dan hewan yang bercangkang lainnya, terutama asal laut.
Sumber ini diutamakan karena bertujuan untuk memberdayakan limbah udang (Hawab,
2005).

Universitas Sumatera Utara

Kitosan adalah produk terdeasetilasi dari kitin yang merupakan biopolimer alami
kedua terbanyak di alam setelah selulosa, yang banyak terdapat pada serangga, krustasea,
dan fungi (Sanford and Hutchings, 1987). Diperkirakan lebih dari 109-1.010 ton kitosan
diproduksi di alam tiap tahun. Sebagai negara maritim, Indonesia sangat berpotensi
menghasilkan kitin dan produk turunannya. Limbah cangkang rajungan di Cirebon saja
berkisar 10 ton perhari yang berasal dari sekurangnya 20 industri kecil. Kitosan tersebut
masih menjadi limbah yang dibuang dan menimbulkan masalah lingkungan. Data statistik
menunjukkan negara yang memiliki industri pengolahan kerang menghasilkan sekitar
56.200 ton limbah. Pasar dunia untuk produk turunan kitin menunjukkan bahwa oligomer
kitosan adalah produk yang termahal, yaitu senilai $ 60.000/ton.

Kitosan merupakan senyawa turunan kitin, senyawa penyusun rangka luar hewan
berkaki banyak seperti kepiting, ketam, udang dan serangga. Kitosan dan kitin termasuk
senyawa kelompok polisakarida. Senyawa senyawa lain yang termasuk kelompok
polisakarida yang sudah tidak asing bagi kita adalah pati dan sellulosa. Polisakarida
polisakarida ini berbeda dalam jenis monosakarida penyusunnya dan cara monosakarida
monosakarida berikatan membentuk polisakarida (Rismana, 2006).

2.1.1. Struktur Kitosan


Kitosan adalah jenis polimer rantai yang tidak linier yang mempunyai rumus umum (C6H11O4)n

atau disebut sebagai (1,4)-2-Amino-2-Deoksi--D-Glukosa, dimana strukturnya

dapat dilihat sebagai berikut :

Gambar 2.1. Struktur kitosan (Thate, 2004)

Universitas Sumatera Utara

2.1.2. Sifat Sifat Kimia dan biologi Kitosan

Sebagian besar polisakarida yang terdapat secara alami seperti sellulosa, dekstran, pektin,
asam alginat, agar, karangenan bersifat netral atau asam di alam, sedangkan kitosan
merupakan polisakarida yang bersifat basa (Kumar, 2000).

Menurut Rismana (2006) sifat alami kitosan dapat dibagi menjadi dua sifat besar
yaitu, sifat kimia dan biologi. Sifat kimia kitosan antara lain :

Merupakan polimer poliamin berbentuk linear.

Mempunyai gugus amino aktif.

Mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam.

Sifat biologi kitosan antara lain:

Bersifat biokompatibel artinya sebagai polimer alami sifatnya tidak mempunyai


akibat samping, tidak beracun, tidak dapat dicerna, mudah diuraikan oleh mikroba
(biodegradable).

Dapat berikatan dengan sel mamalia dan mikroba secara agresif.

Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolesterol.

Bersifat sebagai depresan pada sistem saraf pusat. Berdasarkan kedua sifat
tersebut maka kitosan mempunyai sifat fisik khas yaitu mudah dibentuk menjadi
spons, larutan, pasta, membran, dan serat. yang sangat bermanfaat.
(Rismana, 2006)

Kitosan dengan bentuk amino bebas tidak selalu larut dalam air pada pH lebih dari
6,5 sehingga memerlukan asam untuk melarutkannya. Kitosan larut dalam asam asetat
dam asam formiat encer. Adanya dua gugus hidroksil pada kitin sedangkan kitosan
dengan 1 gugus amino dan 2 gugus hidroksil merupakan target dalam modifikasi kimiawi
(Hirano, dkk.,1987).

Universitas Sumatera Utara

Sifat kation kitosan adalah linier polielektrolit, bermuatan positif, flokulan yang
sangat baik, pengkelat ion ion logam. Sifat biologi kitosan adalah non toksik, polimer
alami, sedangkan sifat kimia seperti linier poliamin, gugus amino dan gugus hidroksil
yang reaktif. Aplikasi kitosan dalam berbagai bidang tergantung sifat sifat kationik,
biologi dan kimianya (Sandford dan Hutchings, 1987).

2.1.3. Kelarutan Kitosan


Kitosan yang disebut juga dengan -1,4-2 amino-2-dioksi-D-glukosa merupakan senyawa
yang sedikit larut dalam HCl, HNO3, dan H3PO4 dan tidak larut dalam H2SO4. Kitosan
tidak beracun, mudah mengalami biodegradasi dan bersifat polielektrolitik. Disamping itu
kitosan dapat dengan mudah berinteraksi dengan zat-zat organik lainnya seperti protein.
Oleh karena itu, kitosan relatif lebih banyak digunakan pada berbagai bidang industri
terapan dan industri kesehatan. Kitosan tidak larut dalam air, pelarut-pelarut organik, juga
tidak larut dalam alkali dan asam-asam mineral pada pH di atas 6,5. Dengan adanya
sejumlah asam, maka dapat larut dalam air-metanol, air-etanol, air-aseton, dan campuran
lainnya. Kitosan larut dalam asam formiat dan asam asetat dan menurut Peniston dalam
20% asam sitrat juga dapat larut. Asam organik lainnya juga tidak dapat melarutkan
kitosan, asam-asam anorganik lainnya pada pH tertentu setelah distirer dan dipanaskan
dan asam sitrat juga dapat melarutkan kitosan pada sebagian kecil setelah beberapa waktu
akan terbentuk endapan putih yang menyerupai jelly. ( Widodo. A, 2005 )

2.2. Glutaraldehide

Glutaraldehide adalah suatu senyawa organik dengan Rumus Molekul C5H8O2 /


CH2(CH2CHO)2, dengan Massa molar 100.12 g mol1 dan densitasnya adalah 1.06 g/mL.
Glutaraldehid merupakan salah satu desinfektan yang populer pada kedokteran gigi, baik
tunggal maupun dalam bentuk kombinasi.

Universitas Sumatera Utara

Aldehid merupakan desinfektan yang kuat. Glutaraldehid 2% dapat dipakai untuk


mendesinfeksi alat-alat yang tidak dapat disterilkan, diulas dengan kasa steril kemudian
diulas kembali dengan kasa steril yang dibasahi dengan akuades, karena glutaraldehid
yang tersisa pada instrumen dapat mengiritasi kulit/mukosa, operator harus memakai
masker, kacamata pelindung dan sarung tangan heavy duty. Larutan glutaraldehid 2%
efektif terhadap bakteri vegetatif seperti M. tuberculosis, fungi, dan virus akan mati
dalam waktu 10-20 menit, sedang spora baru akan mati setelah 10 jam.
http://signaterdadie.wordpress.com/2009/10/08/desinfektan/

2.2.1. Struktur Glutaraldehide

Gambar 2.2. Struktur Glutarakdehide

Dilihat dari strukturnya, glutaraldehida mempunyai 2 gugus aldehida yang reaktif.


Gugus aldehide tersebut sangat reaktif terhadap gugus amina pada kitosan sehingga
apabila direaksikan, gugus aldehida akan berikatan kovalen dengan gugus amina dan
membentuk jembatan yang menghubungkan polimer kitosan yang satu dengan yang
lainnnya. Dengan penambahan agen crosslinking ini dipercaya dapat meningkatkan
kekuatan mekanik membran.
http://en.wikipedia.org/wiki/Glutaraldehyde

2.3. Logam Tembaga (Cu)


2.3.1. Logam

Logam juga dapat menyebabkan timbulnya suatu bahaya pada makhluk hidup. Hal ini
terjadi jika sejumlah logam mencemari lingkungan. Logam-logam tertentu sangat

Universitas Sumatera Utara

berbahaya jika ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam lingkungan, karena logam
tersebut mempuyai sifat merusak tubuh makhluk hidup. Disamping hal tersebut, beberapa
logam sangat diperlukan dalam proses kehidupan makhluk hidup (Darmono,1995).

Logam berat dapat menimbulkan efek gangguan terhadap kesehatan manusia,


tergantung pada bagian mana dari logam berat tersebut yang terikat dalam tubuh serta
besarnya dosis paparan. Efek toksik dari logam berat mampu menghalangi kerja enzim
sehingga mengganggu metabolisme tubuh, menyebabkan alergi, bersifat mutagen,
tetratogen, atau karsinogen bagi manusia maupun hewan (Widowati, W. 2008).

2.3.2. Tembaga (Cu)

Tembaga adalah logam merah muda, yang lunak, dapat ditempa dan liat. Ia melebur pada
suhu 10380C. Karena potensial elektroda standarnya positif, (+0,34 V untuk pasangan
Cu/Cu2+), ia tak larut dalam asam klorida dan asam sulfat encer, meskipun dengan adanya
oksigen ia dapat larut sedikit. Asam Nitrat yang sedang pekatnya (8M) dengan mudah
melarutkan tembaga. (Widowati, 2008)

Tembaga

yang

tidak

berikatan dengan protein

merupakan zat

racun.

Mengkonsumsi sejumlah kecil tembaga yang tidak berikatan dengan protein dapat
menyebabkan mual dan muntah.

Makanan atau minuman yang diasamkan, yang bersentuhan dengan pembuluh,


selang atau katup tembaga dalam waktu yang lama, dapat tercemar oleh sejumlah kecil
tembaga. Jika sejumlah besar garam tembaga, yang tidak terikat dalam protein, secara
tidak sengaja tertelan atau jika pembebatan larutan garam tembaga digunakan untuk
mengobati daerah kulit yang terbakar luas, sejumlah tembaga bisa terserap dan merusak
ginjal, menghambat pembentuklan air kemih dan menyebabkan anemia karena pecahnya
sel-sel darah merah (hemolisis). Keracunan tembaga dapat diobati dengan penisilamin
yang dapat mengikat tembaga dan memudahkan pengeluaran/ pembuangannya.

Universitas Sumatera Utara

Kekurangan tembaga jarang terjadi pada orang sehat. Ini sering terjadi pada bayibayi prematur atau bayi-bayi yang sedang dalam masa penyembuhan dari malnutrisi yang
berat.Orang-orang yang menerima makanan secara intravena (parenteral) dalam waktu
lama

juga

memiliki

resiko

menderita

kekurangan

tembaga.

(http://indonesiaindonesia.com)

2.3.3. Efek Toksik Tembaga

Unsur Tembaga (Cu) bisa ditemukan pada berbagai jenis makanan, air dan udara
sehingga manusia bisa terpapar Tembaga(Cu) melalui jalur makanan, minuman dan saat
bernafas. Tembaga (Cu) merupakan unsur yang dibutuhkan dalam jumlah kecil. Apabila
jumlah Tembaga (Cu) telah melampaui batas aman, akan muncul toksisitas. Manusia
biasanya terpapar Tembaga (Cu) dari tanah, debu, makanan, serta minuman yang
tercemar Tembaga(Cu) yang berasal dari pipa bocor pada penambangan Tembaga (Cu)
atau industri yang menghasilkan limbah tembaga (Cu). Kira-kira 75%-99% total intake
Tembaga (Cu) berasal dari makanan dan minuman. Setiap hari manusia bisa terpapar
Tembaga (Cu) yang antara lain berasal dari peralatan dapur ataupun koin.

Keracunan logam berat bersifat kronis dan dampaknya baru terlihat setelah
beberapa tahun. Logam berat bersifat akumulatif didalam tubuh organisme dan
konsentrasi

mengalami

peningkatan

(biomagnifikasi)

dalam

rantai

makanan.

Biomagnifikasi berhubungan langsung dengan manusi yang menempati posisi top level
dalam rantai makanan karena konsentrasi logam berat yang dikandung dalam makanan
manusia telah mengalami peningkatan mulai dari komponen tingkat dasar (produsen).
Keracunan kronis Tembaga (Cu) dapat mengurangi umur, menimbulkan berbagai
masalah reproduksi dan menurunkan fertilitas. (Widowati, 2008)

Universitas Sumatera Utara

2.4. Adsorbsi
2.4.1. Pengertian Adsorbsi

Peristiwa penyerapan suatu zat pada permukaan zat lain disebut adsorbsi. Zat yang
terserap disebut fase terserap sedangkan zat yang diserap disebut adsorben. Kecuali zat
padat, adsorben dapat pula berupa zat cair. Karena itu adsorbsi dapat terjadi antara: zat
padat dan zat cair, zat padat dan gas, zat cair dan zat cair, atau gas dan zat cair.

Proses adsorbsi ini disebabkan oleh gaya tarik molekul permukaan adsorben.
Adsorbsi berbeda dengan absorbsi, karena pada absorbsi zat yang diserap masuk kedalam
absorbens.

Berkat selektivitasnya yang tinggi, proses adsorbsi sangat sesuai untuk


memisahkan bahan dengan konsentrasi yang kecil dari campuran yang mengandung
bahan lain yang berkonsentrasi tinggi. Adsorbsi digunakan dalam pengolahan air buangan
industri, terutama untuk mengurangi komponen-komponen organik misalnya warna,
fenol, detergen, zat-zat toksik dan zat-zat organik yang sukar diuraikan (nonbiodeyadable). (Mc. Cabe dkk., 1999)

Kecepatan adsorbsi tidak hanya tergantung pada perbedaan konsentrasi dan pada
luas permukaan adsorben, melainkan juga pada suhu, tekanan (untuk gas), ukuran partikel
dan porositas adsorben. Juga tergantung pada ukuran molekul bahan yang akan diadsorbsi
dan pada viskositas campur yang akan dipisahkan (cairan, gas). Pemilihan proses adsorbsi
yang akan digunakan untuk pemisahan disesuaikan dengan kondisi agregasi campuran
yang akan dipisahkan (padat, cair, gas), konsentrasi bahan yang akan dipisahkan,
adsorben yang paling cocok, metode regenerasi yang diperlukan maupun pertimbangan
ekonominya.

Proses adsorbsi meliputi tiga tahap mekanisme yaitu :


-

Pergerakan molekul adsorbat menuju permukaan adsorben

Penyebaran molekul-molekul adsorbat kedalam rongga-rongga adsorben.

Universitas Sumatera Utara

Penarikan molekul-molekul adsorbat oleh permukaan aktif membentuk


ikatan, yang berlangsung sangat cepat (Metcalf and Eddy, 1979).

2.4.2. Adsorben

Adsorben (untuk adsorbsi fisik) adalah bahan padat dengan luas permukaan dalam yang
sangat besar. Permukaan yang luas ini terbentuk karena banyaknya pori yang halus pada
padatan tersebut. Biasanya luasnya berada dalam orde 200 - 1000 m2/g adsorben.
Diameter pori sebesar 0,0003 0,002 m.

Disamping luas spesifik dan diameter pori, maka kerapatan unggun, distribusi
ukuran partikel maupun kekerasannya merupakan data karakterisitik yang penting dari
suatu adsorben. Tergantung pada tujuan penggunaannya, adsorben dapat berupa granulat
(dengan ukuran butir sebesar beberapa mm) atau serbuk (khusus untuk adsorbsi campuran
cair) (Mc.Cabe dkk.,1999)

2.5. Spektrofotometri Serapan Atom


2.5.1. Definisi Spektrofotometri Serapan Atom
Spektrofotometri Serapan Atom adalah suatu metode pengukuran kuantitatif suatu unsur
yang terdapat dalam suatu cuplikan berdasarkan penyerapan cahaya pada panjang
gelombang tertentu oleh atom-atom bentuk gas dalam keadaan dasar.

2.5.2. Prinsip dan Dasar Teori

Jika cahaya dengan panjang gelombang tertentu dilewatkan pada nyala yang mengandung
atom-atom bersangkutan, maka sebagian cahaya itu akan diserap, dan jauhnya

Universitas Sumatera Utara

penyerapan akan berbanding lurus dengan banyaknya atom dalam keadaan dasar yang
berada dalam nyala. Hal ini merupakan dasar penentuan kuantitatif logam-logam dengan
menggunakan SSA (Walsh,A., 1955).

2.5.3. Peralatan Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)

Komponen penting yang membentuk spektrofotometer serapan atom dapat diperlihatkan


secara skematis pada gambar berikut:
Tabung
katoda
cekung

Sum ber
tenaga

Pemotong
berputar

M otor

B ahan
bakar

M onokrom ator

D etektor

Penguat arus
searah

Pencatat

Nyala

C ontoh

O ksigen

Gambar 2.3. Komponen-komponen spektrofotometer serapan atom


(Day, R.A.Jr.,Underwood A.L. 1988).

1. Sumber Tenaga
Suatu sumber radiasi yang digunakan harus memancarkan spektrum atom dari unsur yang
ditentukan. Spektrum atom yang dipancarkan harus terdiri dari garis tajam yang
mempunyai setengah lebar yang sama dengan garis serapan yang dibutuhkan oleh atomatom dalam contoh. Sumber sinar yang lazim dipakai adalah lampu katoda berongga
(hallow chatode lamp) (Bassett dkk, 1994).

2. Nyala dan Sistem Pembakar- Pengabut


Nyala digunakan untuk mengubah sampel yang berupa padatan atau cairan menjadi
bentuk uap atomnya, dan juga berfungsi untuk atomisasi. Untuk spektroskopi nyala suatu

Universitas Sumatera Utara

persyaratan yang penting adalah bahwa nyala yang dipakai hendaknya menghasilkan
temperature lebih dari 2000oK. Untuk memenuhi persyaratan ini digunakan suatu gas
pembakar bersama-sama dengan suatu gas pengoksidasi / oksidator, seperti udara ataupun
gas dinitrogen oksida (N2O) (Haswell,S.J, 1991). Tujuan sistem pembakar pengabut
adalah untuk mengubah larutan uji menjadi atom-atom dalam bentuk gas. Fungsi
pengabut adalah menghasilkan kabut atau aerosol larutan uji. Larutan yang akan
dikabutkan ditarik kedalam pipa kapiler oleh aksi semprotan udara yang ditiupkan
melalui ujung kapiler, diperlukan aliran gas bertekanan tinggi untuk menghasilkan
aerosol yang halus (Basset dkk, 1994).

3. Monokromator
Dalam spektroskopi serapan atom fungsi monokromator adalah untuk memisahkan garis
resonansi dari semua garis yang tak diserap yang dipancarkan oleh sumber radiasi. (
Braun, R.D, 1982).

4. Detektor
Detektor pada spektrofotometer serapan atom berfungsi mengunggah intensitas radiasi
yang datang menjadi arus listrik. Pada spektrofotometer serapan atom yang umum dipakai
sebagai detektor adalah tabung penggandaan foton (PMT = Photo Multiplier Tube
Detector). (Mulja, 1997).

5. Pencatat
Pencatat merupakan sistem pencatatan hasil. Hasil pembacaan dapat berupa angka atau
berupa kurva dari suatu recorder yang menggambarkan absorbansi atau intensitas emisi
(Braun, R.D, 1982).

Universitas Sumatera Utara

2.5.4. Optimasi peralatan Spektrofotometri Serapan Atom

Pada peralatan optimasi Spektrofotometri Serapan Atom agar memberikan wacana dan
sejauh mana sensitivitas dan batas deteksi alat terhadap sampel yang akan dianalisis,
optimasi pada peralatan SSA meliputi:

Pemilihan persen (%) pada transmisi

Lebar celah (slith width)

Kedudukan lampu terhadap focus slit

Kemampuan arus lampu Hallow Cathode

Kedudukan panjang gelombang ()

Set monokromator untuk memberikan sinyal maksimum

Pemilihan nyala udara tekanan asetilen

Kedudukan burner agar memberikan absorbansi maksimum

Kedudukan atas kecepatan udara tekan

Kedudukan atas kecepatan asetilen

2.5.5. Gangguan-gangguan pada Spektrofotometri Serapan Atom

Yang dimaksud dengan gangguan pada Spektrofotometri Serapan Atom adalah peristiwaperistiwa yang menyebabkan pembacaan absorbansi unsur yang dianalisis menjadi lebih
kecil atau lebih besar dari nilai yang sesuai dengan konsentrasinya dalam sampel.
Gangguan-gangguan yang terjadi adalah sebagai berikut:

Universitas Sumatera Utara

1. Gangguan yang berasal dari sampel yang mana dapat mempengaruhi banyaknya
sampel yang mencapai nyala. Hal tersebut dapat berpengaruh terhadap laju aliran
bahan bakar / gas pengoksidasi. Sifat-sifat tersebut meliputi viskositas, tegangan
permukaan, berat jenis, dan tekanan uap. Gangguan yang lain adalah pengendapan
unsur yang dianalisis sehingga jumlah atom yang mencapai nyala menjadi lebih
sedikit dari konsentrasi yang seharusnya terdapat dalam sampel.

2. Gangguan kimia yang dapat mempengaruhi jumlah / banyaknya atom yag terjadi
didalam nyala. Meliputi disosiasi senyawa yang tidak sempurna dan ionisasi
atom-atom dalam nyala. Disosiasi tidak sempurna disebabkan oleh terbentuknya
senyawa yang bersifat refraktorik ( sukar diuraikan didalam nyala api ), misal
oksida garam-garam fosfat, silikat, aluminat dari logam alkali tanah. Ionisasi ion
dalam nyala dapat terjadi jika suhu yang digunakan untuk atomisasi tinggi. Jika
suhu yang digunakan terlalu tinggi maka akan mengganggu pengukuran
absorbansi karena spektrum atom tersebut mengalami ionisasi yang tidak sama
dengan spektrum atom dalam keadaan netral.
3. Gangguan oleh absorbansi yang disebabkan bukan oleh absorbansi atom yang
dianalisis, yakni absorbansi oleh molekul-molekul yang tidak terdisosiasi dalam
nyala. Hal ini juga dapat terjadi karena suhu atomisasi terlalu tinggi, penambahan
senyawa penyangga, dan pengektraksian unsur yang akan dianalisis

4. Gangguan oleh penyerapan non-atomik ( non atomic absorption )


Gangguan jenis ini berarti terjadinya penyerapan cahaya dari sumber sinar yang
bukan berasal dari atom-atom yang akan dianalisis. Penyerapan tersebut terjadi
karena penyerapan cahaya oleh partikel-partikel padat yang berada didalam nyala
( Rohman, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai