A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat terlepasnya
lapisan endometrium uterus. Usia normal seorang wanita mengalami
menstruasi untuk pertama kalinya (menarche) yaitu sekitar 12-13 tahun.
Namun ada pula beberapa wanita yang mengalaminya lebih awal pada usia 8
tahun atau lebih lambat pada usia 18 tahun (Sukarni et al, 2013).
Siklus menstruasi merupakan waktu yang dihitung sejak hari pertama
menstruasi hingga hari pertama menstruasi berikutnya. Siklus menstruasi pada
setiap wanita berbeda, berkisar antara 21-32 hari. dengan lama menstruasi
(periode) 3-5 hari atau 7-8 hari (Proverawati et al, 2009). Panjang atau
pendeknya siklus menstruasi dapat ditentukan oleh beberapa hal, salah satunya
yaitu dengan berolahraga. Namun hal ini bergantung pada intensitas dan
frekuensi olahraga, semakin tinggi frekuensi dan intensitas olahraga semakin
panjang pula siklus menstruasi seorang wanita (Asmarani et al, 2010;
Proverawati et al, 2009).
Menurut Dusek (2001) dalam Mulyani (2008), atlet wanita yang
memiliki intensitas dan frekuensi olahraga yang sangat tinggi mengalami
gangguan yang dikenal dengan istilah female athlete triad, dimana para atlet
wanita mengalami 3 gangguan utama yaitu gangguan nafsu makan,
amenorrhea, dan osteoporosis. Amenorrhea adalah keadaan dimana seorang
wanita sangat jarang bahkan tidak mengalami menstruasi sama sekali.
Fenomena inilah yang sebenarnya merupakan awal
olahraga dapat
olahraga
dapat
mempengaruhi
gangguan
dysmenorrhea.
B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Mentruasi
a. Pengertian Menstruasi
Menstruasi adalah perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita
secara berkala dan diperngaruh oleh hormon-hormon reproduksi.
Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat deskuamasi
atau terlepasnya lapisan endometrium uterus. Usia normal seorang wanita
mengalami menstruasi untuk pertama kalinya (menarche) yaitu sekitar 1213 tahun. Namun ada pula beberapa wanita yang mengalaminya lebih awal
pada usia 8 tahun atau lebih lambat pada usia 18 tahun. Menstruasi ini
tidak akan berlangsung seumur hidup, namun akan berhenti ketika seorang
wanita sudah menginjak usia sekitar 40-50 tahun, yang dikenal dengan
istilah menopause (Sukarni et al, 2013; Proverawati et al, 2009; Joseph,
2010).
Volume darah yang dikeluarkan saat menstruasi bervariasi tergantung
beberapa faktor seperti ketebalan endometrium, pengobatan, serta penyakit
terkait pembekuan darah. Jumlah darah yang dikeluarkan saat menstruasi
sekitar 35-45 mL (Hand, 2010), sedangkan menurut Barret et al (2008)
jumlah darah yang dikeluarkan sekitar 80 mL, dan apabila lebih dari itu
dianggap abnormal.
Siklus menstruasi merupakan waktu yang dihitung sejak hari
pertama menstruasi hingga hari pertama menstruasi berikutnya. Siklus
mentruasi pada wanita normal berkisar antara 21-32 hari. Dan hanya
sekitar 10-15% wanita memiliki siklus menstruasi 28 hari dengan lama
menstruasi (periode) sekitar 3 sampai 5 hari atau 7 sampai 8 hari
(Proverawati et al, 2009). Siklus menstruasi terdiri dari dua siklus,
diantaranya siklus ovarium dan siklus uterus (Barret et al, 2012)
b. Siklus Ovarium
Siklus ovarium terdiri atas dua fase, yaitu fase folikular dan fase
luteal. Keduanya dipisahkan oleh proses pelepasan sel telur (oosit) yang
dikenal dengan istilah ovulasi (Sherwood, 2014)
Fase folikular adalah fase dimana terjadi pematangan folikel-folikel
ovarium yang berisi oosit yang nantinya akan dikeluarkan pada saat
ovulasi. Fase ini dikendalikan oleh dua hormon sistem reproduksi yang
dihasilkan oleh hipofisis anterior dibawah pengaruh GnRH (Gonadotropin
Releasing Horomone) yang dihasilkan oleh hipotalamus, kedua hormon
tersebut adalah FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinzing
Hormon) (Sherwood, 2014).
FSH dan LH bekerjasama dalam pematangan folikel ovarium.
Seiring dengan kematangannya, folikel ini mulai menghasilkan suatu
hormon yang disebut estrogen. Estrogen dapat mempengaruhi hipotalamus
secara tidak langsung untuk menghambat produksi GnRH, sehingga
poduksi FSH dan LH pun berkurang. Selain itu, estrogen secara langsung
mampu mempengaruhi hipofisis anterior untuk menurunkan produksi
FSH, namun tidak untuk LH. LH tetap diproduksi meskipun jumlah yang
diproduksi berkurang. Penurunan kadar FSH pun semakin besar karena
dipengaruhi oleh suatu inhibin yang dihasilkan oleh sel folikel yang sudah
matang. Oleh sebab itu, kadar FSH semakin berkurang sedangkan LH
meningkat (meskipun terdapat hambatan produksi GnRH). Akibatnya,
terjadi pelonjakan LH yang memicu pematangan oosit dan juga memicu
terjadinya ovulasi (Sherwood, 2014).
Terjadinya ovulasi menandakan berakhirnya fase folikular dan
mengawali fase luteal. Fase luteal dimulai ketika folikel yang telah
kehilangan oosit berubah menjadi korpus luteum dibawah penagruh LH.
Korpus luteum sendiri, mengasilkan dua hormon, yaitu estrogen dan yang
paling
dominan
progesteron.
Fungsi
progesteron
adalah
untuk
2. Dysmenorrhea
a. Pengertian Dysmenorrhea
Dysmenorrhea berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang berarti
sulit, nyeri, atau abnormal, meno yang berarti bulan, dan rrhea yang
berarti aliran. Dysmenorrhea dapat didefinisikan sebagai gangguan pada
aliran menstruasi atau dapat pula didefinisikan sebagai nyeri pada saat
menstruasi. Namun istilah tersebut hanya dapat digunakan apabila nyeri
tersebut begitu hebat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari ( Sukarni
et al, 2013).
Menurut Wiknjosastro (2007), dysmenorrhea merupakan rasa nyeri
atau sakit saat mestruasi dimana perut bagian bawah terasa kram dan dapat
disertai penjalaran rasa sakit hingga ke bagian punggung. Sedangkan
menurut Badziad (2003) dalam Lestari (2013), dysmenorrhea adalah nyeri
saat menstruasi yang terasa di perut bagian bawah dan muncul sebelum
atau selama menstruasi. Nyeri dapat bersifat kolik atau terus menerus dan
ditimbulkan
akibat
kontraksi
diritmik
lapisan
miometrium
yang
menampilkan satu atau lebih gejala mulai dari nyeri ringan hingga berat
pada perut bagian bawah, daerah pantat, dan sisi medial paha (Lestari,
2013).
b. Klasifikasi Dysmenorrhea
Dysmenorrhea dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu primer dan
sekunder (Karim, 2013) :
1) Dysmenorrhea primer
Dysmenorrhea primer adalah nyeri menstruasi tanpa adanya
kelainan patologi maupun anatomis pada panggul dan biasanya
terjadi pada tahun pertama setelah menarche (Schorge, 2008).
Menurut
Prawirohardjo
(2011),
dysmenorrhea
primer
adalah
nyeri
menstruasi
yang
stenosis
serviks,
dan
penyakit
radang
panggul
(Prawirohardjo, 2011)
c. Patofisiologi Dysmenorrhea
Dysmenorrhea primer terjadi karena produksi prostaglandin yang
berlebihan sehingga terjadi kontraksi uterus yang terlalu kuat dan
menimbulkan rasa nyeri (Sherwood, 2014).
Prostaglandin adalah hormon yang dihasilkan di hampir semua sel di
tubuh manusia. Prostaglandin merupakan turunan dari asam arakhidonat
yang merupakan hasil esterifikasi asam lemak dan kolesterol. Setelah
melalui proses metabolism, asam arakhidonat ini akan menghasilkan
senyawa prostanoid seperti Prostaglandin D (PGD2), Prostaglandin E
(PGE2), Prostaglandin F (PGF2), Prostaksilin (PGI2), dan Tromboxan
(TX2) (Stoppard, 2006).
Prostaglandin kemudian akan disekresikan dan berikatan dengan
reseptor pada organ target dan menimbulkan efek yang spesifik. Beberapa
reseptor prostaglandin yang dikenal yaitu DP, EP1-4, IP, FP, dan TP yang
merupakan grup dari G protein Couple Receptor (GPCR) yang masingmasing berikatan dengan prostaglandin yang spesifik (Stoppard, 2006).
Selama siklus menstruasi ditemukan peningkatan kadar PGF2 dan
PGE2. PGF2 dan PGE2 memiliki efek yang berlawanan pada pembuluh
darah, PGF2 menyebabkan vasokontriksi dan kontraksi miometrium,
sedangkan PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan kontraksi miometrium.
Pada fase proliferasi konsentrasi keduanya rendah, namun pada fase
sekretorik konsentrasi PGF2 lebih tinggi dibandingkan PGE2. FP
dan LH oleh hipofisis anterior. Sementara itu, FSH dan LH berfungsi untuk
mendorong pematangan folikel ovarium yang berisi oosit. Apabila
pematangan folikel ini terhambat, maka proses ovulasi pun terhambat.
Sehingga siklus menstruasi akan mengalami pemanjangan, yaitu menjadi lebih
lama (Asmarani, 2010).
menyebabkan rasa nyeri ini dapat dicegah. Selain itu, ketika berolahraga tubuh
kita mengalami peningkatan produksi endorphin. Endorphin mampu
menimbulkan perasan senang dan nyaman. Endorphin pun mampu mengatur
produksi hormon pertumbuhan dan seks, mengendalikan perasaan stress,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mengendalikan rasa nyeri. Oleh
karena itu, dengan meningkatnya produksi endorphin, rasa nyeri akibat
dysmenorrhea dapat dikendalikan. Olahraga teratur yang dimaksud yakni
dilakukan selama 30 sampai 60 menit dengan frekuensi 3 sampai 5 kali
seminggu (Proverawati et al, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan Cholifah et al (2015) pun mendukung
teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan menggunakan
metode cross sectional dengan subjek Mahasiswi D3 Kebidanan Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo.
Tabel 1 Hubungan Olahraga dengan Kejadian Dysmenorrhea pada Mahasiswi
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Dysmenorrhea
Mengalami
Tidak Mengalami
Jumlah
Olahraga
N
%
N
%
Teratur
4
40
6
60
10
Tidak Teratur
67
94,34
4
5,66
71
Total
71
87,65
10
12,35
81
Dari tabel tiatas, diketahui bahwa 6 dari 10 wanita yang rutin
Keteraturan
10
C. KESIMPULAN
1
11
DAFTAR PUSTAKA
Asmarani, R. 2010. Pengaruh Olahraga Terhadap Siklus Haid Atlet. Semarang :
Universitas Dipenogoro.
Barret, K.E., Barman, S.M., Boitano, S., Brooks, H.L. 2008. Fisiologi Kedokteran
Ganong. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Barret, K.E., Barman, S.M., Boitano, S., Brooks, H.L. 2012. Fisiologi Kedokteran
Ganong. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Cholifah, Hadikasari, A.A. 2015. Hubungan Anemia, Status Gizi, Olahraga, dan
Pengetahuan dengan Kejadian Dismenore pada Remaja Putri. Midwiferia,
1(1), 31-43.
Derek, L.J. 2006. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Hipokrates.
Hand, H. 2010. The Ups and Downs of The Menstrual Cycle. Practice Nursing,
21(9), 454-459.
Joseph, N. 2010. Ginekologi & Obtetri (Obsgyn). Yogyakarta: Nuha Medika.
Lestari, N.M.S.D. 2013. Pengaruh Dismenorea pada Remaja. Seminar Nasional
FMIPA UNDIKSHA III TAHUN: 323-329.
Mulyani, S., Yusuf, S.A., Kiyanto, Wahjono, S., Probandari, A. 2008. Aktivitas
Fisik Intensitas Tinggi sebagai Faktor Resiko terhadap Gangguan Siklus
Menstruasi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Paramita, D.P. 2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Dismenorea
dengan Perilaku Penanganan Dismenorea Pada Siswi SMK YPKK Sleman
Yogyakarta. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Prawirohardjo, S. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Proverawati, A., Misaroh, S. 2009. Menarche Menstruasi Pertama penuh Makna.
Yogyakarta: Nuha medika.
Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
__________. 2014. Fisiologi Manusia. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Stoppard, M, 2006. Buku Pintar Kehamilan. Pustaka Horizana, Jawa Tengah.
Sukarni, I., Margareth, Z.H. 2013. Buku Ajar Keperawatan Maternitas.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.