Anda di halaman 1dari 13

ACC TUTOR:

PENGARUH OLAHRAGA TERHADAP GANGGUAN


DYSMENORRHEA

REVANIA RADINA THIRZA


G1A015090

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
2016

A. PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat terlepasnya
lapisan endometrium uterus. Usia normal seorang wanita mengalami
menstruasi untuk pertama kalinya (menarche) yaitu sekitar 12-13 tahun.
Namun ada pula beberapa wanita yang mengalaminya lebih awal pada usia 8
tahun atau lebih lambat pada usia 18 tahun (Sukarni et al, 2013).
Siklus menstruasi merupakan waktu yang dihitung sejak hari pertama
menstruasi hingga hari pertama menstruasi berikutnya. Siklus menstruasi pada
setiap wanita berbeda, berkisar antara 21-32 hari. dengan lama menstruasi
(periode) 3-5 hari atau 7-8 hari (Proverawati et al, 2009). Panjang atau
pendeknya siklus menstruasi dapat ditentukan oleh beberapa hal, salah satunya
yaitu dengan berolahraga. Namun hal ini bergantung pada intensitas dan
frekuensi olahraga, semakin tinggi frekuensi dan intensitas olahraga semakin
panjang pula siklus menstruasi seorang wanita (Asmarani et al, 2010;
Proverawati et al, 2009).
Menurut Dusek (2001) dalam Mulyani (2008), atlet wanita yang
memiliki intensitas dan frekuensi olahraga yang sangat tinggi mengalami
gangguan yang dikenal dengan istilah female athlete triad, dimana para atlet
wanita mengalami 3 gangguan utama yaitu gangguan nafsu makan,
amenorrhea, dan osteoporosis. Amenorrhea adalah keadaan dimana seorang
wanita sangat jarang bahkan tidak mengalami menstruasi sama sekali.
Fenomena inilah yang sebenarnya merupakan awal

olahraga dapat

mempengaruhi siklus menstruasi.


Salah satu gangguan yang banyak dialami seorang wanita saat
menstruasi yaitu nyeri pada perut bagian bawah merupakan gejala yang paling
sering dikeluhkan oleh beberapa wanita. Nyeri yang dirasakan seperti rasa
kram pada perut disertai rasa sakit yang menjalalar ke bagian punggung. Nyeri
akibat menstruasi yang cukup hebat sehingga mengganggu aktivitas seharihari dan kadang memaksa penderita untuk beristirahat disebut dysmenorrhea
(Winknjosastro, 2007).

Angka kejadian dysmenorrhea di dunia cukup tinggi, yaitu rata-rata


lebih dari 50% perempuan di setiap negara. Data yang didapatkan di Amerika
menunjukan bahwa sekitar 60% wanita mengalami dysmenorrhea dan di
Swedia menunjukan angka 72%. Sementara di Indonesia, presentase wanita
yang mengalami dysmenorrhea diperkirakan sebesar 55% (Proverawati et al,
2009).

Pernyataan ini pun didukung oleh Cholifah et al (2015) yang

melakukan penelitian mengenai hubungan antara olahraga dan dysmenorrhea.


Dari hasil penelitian tersebut, hanya 4 dari 10 wanita yang teratur berolahraga
mengalami gangguan dysmenorrhea. Sedangkan 67 dari 71 wanita yang jarang
berolahraga mengalami gangguan dysmenorrhea.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, penulis tertarik untuk
mencari tahu apakah terdapat hubungan pula antara olahraga dengan gangguan
dysmenorrhea dan bagaimana hal tersebut dapat terjadi. Selain itu penulis juga
ingin mencari tahu bagaimana olahraga dapat mempengaruhi siklus
menstruasi.
2. Tujuan
1. Menjelaskan bagaimana olahraga dapat mempengaruhi siklus menstruasi.
2. Menjelaskan apakah olahraga berpengaruh terhadap gangguan
dysmenorrhea.
3. Menjelaskan bagaimana

olahraga

dapat

mempengaruhi

gangguan

dysmenorrhea.

B. TINJAUAN PUSTAKA
1. Mentruasi
a. Pengertian Menstruasi
Menstruasi adalah perubahan fisiologis yang terjadi pada wanita
secara berkala dan diperngaruh oleh hormon-hormon reproduksi.
Menstruasi adalah perdarahan vagina secara berkala akibat deskuamasi
atau terlepasnya lapisan endometrium uterus. Usia normal seorang wanita
mengalami menstruasi untuk pertama kalinya (menarche) yaitu sekitar 1213 tahun. Namun ada pula beberapa wanita yang mengalaminya lebih awal
pada usia 8 tahun atau lebih lambat pada usia 18 tahun. Menstruasi ini
tidak akan berlangsung seumur hidup, namun akan berhenti ketika seorang
wanita sudah menginjak usia sekitar 40-50 tahun, yang dikenal dengan
istilah menopause (Sukarni et al, 2013; Proverawati et al, 2009; Joseph,
2010).
Volume darah yang dikeluarkan saat menstruasi bervariasi tergantung
beberapa faktor seperti ketebalan endometrium, pengobatan, serta penyakit
terkait pembekuan darah. Jumlah darah yang dikeluarkan saat menstruasi
sekitar 35-45 mL (Hand, 2010), sedangkan menurut Barret et al (2008)
jumlah darah yang dikeluarkan sekitar 80 mL, dan apabila lebih dari itu
dianggap abnormal.
Siklus menstruasi merupakan waktu yang dihitung sejak hari
pertama menstruasi hingga hari pertama menstruasi berikutnya. Siklus
mentruasi pada wanita normal berkisar antara 21-32 hari. Dan hanya
sekitar 10-15% wanita memiliki siklus menstruasi 28 hari dengan lama
menstruasi (periode) sekitar 3 sampai 5 hari atau 7 sampai 8 hari
(Proverawati et al, 2009). Siklus menstruasi terdiri dari dua siklus,
diantaranya siklus ovarium dan siklus uterus (Barret et al, 2012)

b. Siklus Ovarium
Siklus ovarium terdiri atas dua fase, yaitu fase folikular dan fase
luteal. Keduanya dipisahkan oleh proses pelepasan sel telur (oosit) yang
dikenal dengan istilah ovulasi (Sherwood, 2014)
Fase folikular adalah fase dimana terjadi pematangan folikel-folikel
ovarium yang berisi oosit yang nantinya akan dikeluarkan pada saat
ovulasi. Fase ini dikendalikan oleh dua hormon sistem reproduksi yang
dihasilkan oleh hipofisis anterior dibawah pengaruh GnRH (Gonadotropin
Releasing Horomone) yang dihasilkan oleh hipotalamus, kedua hormon
tersebut adalah FSH (Follicle Stimulating Hormone) dan LH (Luteinzing
Hormon) (Sherwood, 2014).
FSH dan LH bekerjasama dalam pematangan folikel ovarium.
Seiring dengan kematangannya, folikel ini mulai menghasilkan suatu
hormon yang disebut estrogen. Estrogen dapat mempengaruhi hipotalamus
secara tidak langsung untuk menghambat produksi GnRH, sehingga
poduksi FSH dan LH pun berkurang. Selain itu, estrogen secara langsung
mampu mempengaruhi hipofisis anterior untuk menurunkan produksi
FSH, namun tidak untuk LH. LH tetap diproduksi meskipun jumlah yang
diproduksi berkurang. Penurunan kadar FSH pun semakin besar karena
dipengaruhi oleh suatu inhibin yang dihasilkan oleh sel folikel yang sudah
matang. Oleh sebab itu, kadar FSH semakin berkurang sedangkan LH
meningkat (meskipun terdapat hambatan produksi GnRH). Akibatnya,
terjadi pelonjakan LH yang memicu pematangan oosit dan juga memicu
terjadinya ovulasi (Sherwood, 2014).
Terjadinya ovulasi menandakan berakhirnya fase folikular dan
mengawali fase luteal. Fase luteal dimulai ketika folikel yang telah
kehilangan oosit berubah menjadi korpus luteum dibawah penagruh LH.
Korpus luteum sendiri, mengasilkan dua hormon, yaitu estrogen dan yang
paling

dominan

progesteron.

Fungsi

progesteron

adalah

untuk

mempersiapkan endometrium yang merupakan dinding dalam rongga


uterus untuk menampung ovum yang nantinya akan dibuahi, disamping itu
progesteron juga dapat menurunkan kadar FSH dan LH. Apabila ovum

tidak dibuahi, kadar LH yang menjaga stabilitas korpus luteum semakin


lama akan berkurang dan menyebabkan korpus luteum berdegenerasi.
Akibatnya, kadar progesteron dan estrogen akan turun, sedangkan kadar
FSH dan LH naik. Inilah yang mejadi akhir dari fase luteal (Sherwood,
2014)
c. Siklus Uterus
Siklus uterus teridiri dari tiga fase, yaitu fase haid, fase proliferatif,
dan fase sekretorik. Siklus uterus ini berjalan beriringan dengan siklus
menstruasi (Sherwood, 2014).
Fase haid adalah fase yang ditandai dengan pengeluaran darah dan
sisa endometrium dari vagina. Fase haid terjadi bersamaan dengan
diawalinya fase folikular. Pada fase ini, kadar progesteron dan estrogen
sangat rendah sehingga terjadi penurunan stabilitas endometrium.
Penurunan kadar kedua hormon ini pun merangsang pelepasan
prostaglandin uterus yang menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah
endometrium. Keadaan ini membuat pasokan oksigen endometrium
berkurang dan menyebabkan kematian jaringan dan pembuluh darah
endometrium, sehingga terjadilah perdarahan. Selain itu, prostaglandin
pun dapat merangsang kontraksi ringan miometrium (otot polos) uterus
untuk mengeluarkan darah dan sisa endometrium dari rongga uterus
(Sherwood, 2014)
Fase proliferatif adalah fase yang terjadi bersamaan dengan akhir
dari fase folikuler. Pada fase ini, estrogen adalah hormon yang paling
dominan. Estrogen merangsang pembentukan epitel, kelenjar, dan
pembuluh darah endometrium sehingga ketebalan endometrium meningkat
dari 1 mm menjadi 2-3 mm (Sherwood, 2014).
Sedangkan fase sekretorik adalah fase yang terjadi setelah ovulasi
dan bersamaan dengan dimulainya fase luteal. Pada fase ini estrogen
menginduksi pembentukan reseptor progesteron, sedangkan progesterone
berperan dalam vaskularisasi dan penyimpanan glikogen endometrium
untuk mempersiapkan implantasi embrio apabila terjadi pembuahan pada
ovum (Sherwood, 2014).

2. Dysmenorrhea
a. Pengertian Dysmenorrhea
Dysmenorrhea berasal dari bahasa Yunani yaitu dys yang berarti
sulit, nyeri, atau abnormal, meno yang berarti bulan, dan rrhea yang
berarti aliran. Dysmenorrhea dapat didefinisikan sebagai gangguan pada
aliran menstruasi atau dapat pula didefinisikan sebagai nyeri pada saat
menstruasi. Namun istilah tersebut hanya dapat digunakan apabila nyeri
tersebut begitu hebat sehingga mengganggu aktivitas sehari-hari ( Sukarni
et al, 2013).
Menurut Wiknjosastro (2007), dysmenorrhea merupakan rasa nyeri
atau sakit saat mestruasi dimana perut bagian bawah terasa kram dan dapat
disertai penjalaran rasa sakit hingga ke bagian punggung. Sedangkan
menurut Badziad (2003) dalam Lestari (2013), dysmenorrhea adalah nyeri
saat menstruasi yang terasa di perut bagian bawah dan muncul sebelum
atau selama menstruasi. Nyeri dapat bersifat kolik atau terus menerus dan
ditimbulkan

akibat

kontraksi

diritmik

lapisan

miometrium

yang

menampilkan satu atau lebih gejala mulai dari nyeri ringan hingga berat
pada perut bagian bawah, daerah pantat, dan sisi medial paha (Lestari,
2013).
b. Klasifikasi Dysmenorrhea
Dysmenorrhea dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu primer dan
sekunder (Karim, 2013) :
1) Dysmenorrhea primer
Dysmenorrhea primer adalah nyeri menstruasi tanpa adanya
kelainan patologi maupun anatomis pada panggul dan biasanya
terjadi pada tahun pertama setelah menarche (Schorge, 2008).
Menurut

Prawirohardjo

(2011),

dysmenorrhea

primer

berhubungan dengan siklus ovulasi dan disebabkan oleh


kontraksi miometrium secara berlebihan hingga terjadi iskemia
akibat pelepasan prostaglandin oleh endometrium pada fase
sekresi. Sehingga pada wanita yang mengalami dysmenorrhea
kadar prostaglandin yang didapatkan lebh tinggi dibandingkan
wanita yang tidak mengalami dysmenorrhea. Peningkatan kadar

prostaglandin pada wanita dysmenorrhea biasanya terjadi kurang


lebih 48 jam pertama saat menstruasi. Nyeri menstruasi ini
kadang disertai dengan keluhan mual, muntah, nyeri kepala, atau
diare karena masuknya prostaglandin ke sirkulasi sistemik
(Prawirohardjo, 2011).
2) Dysmenorrhea sekunder
Dysmenorrhea sekunder

adalah

nyeri

menstruasi

yang

disebabkan oleh keadaan patologis dan kelainan anatomis pada


organ genitalia, misalnya endometriosis, adenomiosis, mioma
uteri,

stenosis

serviks,

dan

penyakit

radang

panggul

(Prawirohardjo, 2011)
c. Patofisiologi Dysmenorrhea
Dysmenorrhea primer terjadi karena produksi prostaglandin yang
berlebihan sehingga terjadi kontraksi uterus yang terlalu kuat dan
menimbulkan rasa nyeri (Sherwood, 2014).
Prostaglandin adalah hormon yang dihasilkan di hampir semua sel di
tubuh manusia. Prostaglandin merupakan turunan dari asam arakhidonat
yang merupakan hasil esterifikasi asam lemak dan kolesterol. Setelah
melalui proses metabolism, asam arakhidonat ini akan menghasilkan
senyawa prostanoid seperti Prostaglandin D (PGD2), Prostaglandin E
(PGE2), Prostaglandin F (PGF2), Prostaksilin (PGI2), dan Tromboxan
(TX2) (Stoppard, 2006).
Prostaglandin kemudian akan disekresikan dan berikatan dengan
reseptor pada organ target dan menimbulkan efek yang spesifik. Beberapa
reseptor prostaglandin yang dikenal yaitu DP, EP1-4, IP, FP, dan TP yang
merupakan grup dari G protein Couple Receptor (GPCR) yang masingmasing berikatan dengan prostaglandin yang spesifik (Stoppard, 2006).
Selama siklus menstruasi ditemukan peningkatan kadar PGF2 dan
PGE2. PGF2 dan PGE2 memiliki efek yang berlawanan pada pembuluh
darah, PGF2 menyebabkan vasokontriksi dan kontraksi miometrium,
sedangkan PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan kontraksi miometrium.
Pada fase proliferasi konsentrasi keduanya rendah, namun pada fase
sekretorik konsentrasi PGF2 lebih tinggi dibandingkan PGE2. FP

merupakan jenis reseptor PGF2 yang banyak ditemukan pada


miometrium uterus. Apabila keduanya berikatan maka akan menimbulkan
efek yang telah disebutkan (Stoppard, 2006; Derek, 2006).
Pada kondisi patologis seperti dysmenorrhea, konsentrasi PGF2 dan
PGE2 lebih tinggi dibandingkan wanita tanpa gangguan menstruasi. Hal ini
dapat menyebabkan hiperkontraktilitas uterus dan iskemia miometrium
akibat vasokontriksi sehingga timbul rasa nyeri. Selain prostaglandin,
vasopressin pun memiliki pengaruh terhadap timbulnya dysmenorrhea
karena vasopressin berfungsi untuk meningkatkan sintesis prostaglandin
dan secara langsung dapat bekerja pada arteri-arteri uterus (Derek, 2006).
Sedangkan dysmenorrhea sekunder terjadi akibat kelainan anatomis
pada organ genitalia, salah satunya endometriosis. Dysmenorrhea
sekunder jarang sekali terjadi sebelum usia 25 tahun dan jarang sebelum
usia 30 tahun. Nyeri kram yang khas mulai dari 2 hari sebelum menstruasi
dan semakin hebat pada akhir menstruasi (Derek, 2006).
3. Pengaruh Olahraga terhadap Siklus Menstruasi
Beberapa penelitian mengatakan bahwa olahraga yang teratur dapat
mempengaruhi siklus menstruasi. Olahraga yang teratur dapat menghambat
produksi GnRH oleh hipotalamus. Penghambatan produksi GnRH ini
diakibatkan oleh penggunaan energi yang berlebih dibandingkan dengan
pemasukan energi. Selain itu, wanita yang melakukan olahraga secara teratur
dapat meningkatkan aktivitas catecholestrogen yang akan mengakibatkan
peningkatan kadar norepinephrine. Norepinephrin ini pula yang dapat
menghambat produksi GnRH (Asmarani, 2010).
Berkurangnya produksi GnRH mengakibatkan berkurangnya kadar FSH
dan LH,

mengingat fungsi GnRH yaitu untuk menginduksi produksi FSH

dan LH oleh hipofisis anterior. Sementara itu, FSH dan LH berfungsi untuk
mendorong pematangan folikel ovarium yang berisi oosit. Apabila
pematangan folikel ini terhambat, maka proses ovulasi pun terhambat.
Sehingga siklus menstruasi akan mengalami pemanjangan, yaitu menjadi lebih
lama (Asmarani, 2010).

Selain penghambatan produksi GnRH, olahraga secara teratur dapat


mengurangi jaringan lemak pada tubuh. Sehingga, kadar estrogen yang juga
diproduksi oleh jaringan lemak akan berkurang. Hormon estrogen ini
berkaitan dengan penghambatan hormon FSH dan peningkatan hormon LH.
Apabila kadar estrogen berkurang, maka peningkatan hormon LH akan
terhambat dan proses ovulasi yang dipengaruhi oleh kadar LH yang tinggi pun
akan terhambat. Hal ini pun akan berakibat pada pemanjangan siklus
menstruasi (Asmarani, 2010).
Pengaruh olahraga terhadap siklus menstruasi ini bergantung pada
intensitas dan frekuensi olahraga. Apabila intensitas dan frekuensi olahraga
tidak terlalu berat, pengaruh olahraga terhadap siklus menstruasi tidak terlalu
bermakna. Namun, apabila intensitas dan frekuensi olahraga cukup berat,
maka siklus menstruasi akan mengalami pemanjangan. Hal ini terjadi pada
altet wanita yang melakukan olahraga dengan intensitas dan frekuensi yang
sangat tinggi. Kejadian ini mulai dikenal dalam dunia medis dengan istilah
female athlete triad, dimana para atlet wanita mengalami 3 gangguan utama
yaitu gangguan nafsu makan, amenorrhea, dan osteoporosis. Fenomena inilah
yang menginspirasi bahwa olahraga dapat mempengaruhi siklus menstruasi
(Asmarani, 2010).

4. Pengaruh Olahraga terhadap Dysmenorrhea


Berdasarkan penelitian, wanita yang rutin berolahraga lebih jarang
mengalami gangguan dysmenorrhea dibandingkan dengan yang tidak
berolahraga. Hal ini dikarenakan pada saat wanita mengalami dysmenorrhea,
pembuluh darah yang menuju ke uterus mengalami vasokontriksi sehingga
pasokan oksigen yang dialirkan tidak mencukupi kebutuhan miometrium
uterus yang berkontraksi secara terus menurus sebagai respon terhadap
prostaglandin. Namun pada saat berolahraga, pasokan oksigen yang diterima
oleh tubuh dapat mencapai 2 kali lipat dari biasanya, sehingga kebutuhan
oksigen pada miometrium uterus dapat terpenuhi dan iskemia yang dapat
9

menyebabkan rasa nyeri ini dapat dicegah. Selain itu, ketika berolahraga tubuh
kita mengalami peningkatan produksi endorphin. Endorphin mampu
menimbulkan perasan senang dan nyaman. Endorphin pun mampu mengatur
produksi hormon pertumbuhan dan seks, mengendalikan perasaan stress,
meningkatkan sistem kekebalan tubuh, dan mengendalikan rasa nyeri. Oleh
karena itu, dengan meningkatnya produksi endorphin, rasa nyeri akibat
dysmenorrhea dapat dikendalikan. Olahraga teratur yang dimaksud yakni
dilakukan selama 30 sampai 60 menit dengan frekuensi 3 sampai 5 kali
seminggu (Proverawati et al, 2009).
Hasil penelitian yang dilakukan Cholifah et al (2015) pun mendukung
teori yang telah dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini dilakukan menggunakan
metode cross sectional dengan subjek Mahasiswi D3 Kebidanan Universitas
Muhammadiyah Sidoarjo.
Tabel 1 Hubungan Olahraga dengan Kejadian Dysmenorrhea pada Mahasiswi
Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.

Dysmenorrhea
Mengalami
Tidak Mengalami
Jumlah
Olahraga
N
%
N
%
Teratur
4
40
6
60
10
Tidak Teratur
67
94,34
4
5,66
71
Total
71
87,65
10
12,35
81
Dari tabel tiatas, diketahui bahwa 6 dari 10 wanita yang rutin
Keteraturan

berolahraga tidak mengalami gangguan dysmenorrhea. Apabila dinyatakan


dalam presentase, 60% wanita yang rutin berolahraga tidak mengalami
gangguan dysmenorrhea. Namun, pada wanita yang tidak teratur berolahraga
didapatkan hasil 67 dari 71 wanita mengalami gangguan dysmenorrhea dan 4
lainnya tidak. Apabila dinyatakan dalam presentase, 94,34% wanita yang tidak
teratur berolahraga mengalami gangguan dysmenorrhea dan hanya 5,66 %
wanita yang tidak mengalami dysmenorrhea. Sehingga dapat disimpulkan
bahwa wanita yang tidak berolahraga secara teratur lebih banyak mengalami
gangguan dysmenorrhea dibandingkan dengan wanita yang melakukan
olahraga secara teratur (Cholifah et al, 2015).

10

C. KESIMPULAN
1

Olahraga dapat menghambat produksi GnRH yang berfungsi untuk


menstimulasi produksi FSH dan LH. Dengan terhambatnya produksi FSH dan
LH, proses ovulasi akan terhambat dan terjadi pemanjangan siklus menstruasi.
Selain itu, olahraga dapat mengurangi penyimpanan jaringan lemak tubuh,
dimana jaringan lemak tubuh berfungsi untuk memproduksi estrogen,
sehingga kadar estrogen akan berkurang dan dapat menghambat proses ovulasi

dan berakhir pada pemanjangan siklus menstruasi.


Menurut hasil penelitian Cholifah et al (2012), 6 dari 10 wanita yang rutin
berolahraga tidak mengalami gangguan dysmenorrhea. Dan pada wanita yang
tidak teratur berolahraga, 67 dari 71 wanita mengalami gangguan
dysmenorrhea. Sehingga dapat disimpulkan bahwa olahraga berpengaruh

terhadap kejadian gangguan dysmenorrhea.


Dysmenorrhea dapat terjadi karena tingginya kadar prostaglandin pada saat
menstruasi yang dapat meningkatkan kontraksi miometrium dan vasokontriksi
pembuluh darah uterus yang berakhir pada iskemia sehingga timbul rasa nyeri.
Namun, dengan melakukan olahraga secara teratur, volume oksigen yang
masuk kedalam tubuh dapat mencapai 2 kali lipat dari biasanya sehingga dapat
mencegah terjadinya iskemia uterus. Selain itu, pada saat berolahraga tubuh
melepaskan hormon endorphin berfungsi sebagai pengendali rasa nyeri akibat
menstruasi.

11

DAFTAR PUSTAKA
Asmarani, R. 2010. Pengaruh Olahraga Terhadap Siklus Haid Atlet. Semarang :
Universitas Dipenogoro.
Barret, K.E., Barman, S.M., Boitano, S., Brooks, H.L. 2008. Fisiologi Kedokteran
Ganong. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Barret, K.E., Barman, S.M., Boitano, S., Brooks, H.L. 2012. Fisiologi Kedokteran
Ganong. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Cholifah, Hadikasari, A.A. 2015. Hubungan Anemia, Status Gizi, Olahraga, dan
Pengetahuan dengan Kejadian Dismenore pada Remaja Putri. Midwiferia,
1(1), 31-43.
Derek, L.J. 2006. Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Jakarta : Hipokrates.
Hand, H. 2010. The Ups and Downs of The Menstrual Cycle. Practice Nursing,
21(9), 454-459.
Joseph, N. 2010. Ginekologi & Obtetri (Obsgyn). Yogyakarta: Nuha Medika.
Lestari, N.M.S.D. 2013. Pengaruh Dismenorea pada Remaja. Seminar Nasional
FMIPA UNDIKSHA III TAHUN: 323-329.
Mulyani, S., Yusuf, S.A., Kiyanto, Wahjono, S., Probandari, A. 2008. Aktivitas
Fisik Intensitas Tinggi sebagai Faktor Resiko terhadap Gangguan Siklus
Menstruasi. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Paramita, D.P. 2010. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Dismenorea
dengan Perilaku Penanganan Dismenorea Pada Siswi SMK YPKK Sleman
Yogyakarta. Surakarta : Universitas Sebelas Maret.
Prawirohardjo, S. 2011. Ilmu Kandungan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.
Proverawati, A., Misaroh, S. 2009. Menarche Menstruasi Pertama penuh Makna.
Yogyakarta: Nuha medika.
Sherwood, L. 2009. Fisiologi Manusia. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
__________. 2014. Fisiologi Manusia. Jakarta : Buku Kedokteran EGC.
Stoppard, M, 2006. Buku Pintar Kehamilan. Pustaka Horizana, Jawa Tengah.
Sukarni, I., Margareth, Z.H. 2013. Buku Ajar Keperawatan Maternitas.
Yogyakarta : Nuha Medika.
Wiknjosastro, H. 2006. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono
Prawirohardjo.

Anda mungkin juga menyukai