Tidak banyak perhatian orang-orang mengenai rumah gadang di Kota Padang. Mungkin karena bentuk fisik, arsitekturnya, berbeda dengan rumah-rumah gadang di daerah darek Minangkabau. Sehingga kini, baik masyarakat atau pemerintah terkesan agak abai akan keberadaan bangunan tersebut. Umumnya, bangunan tradisi yang berada di daerah pesisir pantai Minangkabau dipengaruhi oleh tradisi bangunan luar seperti Aceh dan juga Betawi (di jaman kolonial). Tetapi tradisi bangunan darek pada rumah pesisiran tersebut tetap menonjol, terutama dalam hal teknologi pembangunannya. Hasil penelitian oleh Drs Nasbahry Couto, M. Sn. dan Ir. Harmaini Darwis, M. Sc. tentang orfologi bentuk bangunan tradisi Minangkabau sebagai refleksi budaya, menunjukkan pola perubahan rumah gadang di daerah pesisir Minangkabau, khususnya di Kota Padang, telah melalui proses panjang. Rumah gadang di Padang disebut juga dengan Kajang Padati. Dari gambar-gambar hasil beberapa penelitian rumah tradisional Kajang Padati di daerah Pauh, menunjukkan bahwa berbeda dengan darek, atapnya tidak berbentuk gonjong. Tata ruangnya juga sudah diperuntukkan untuk anak laki-laki tinggal di rumah hunian. Hal ini berbeda dengan bangunan darek yang tidak membolehkan anak laki-laki desa tinggal di rumah gadang. Unsur-unsur luar yang masuk dapat di lihat dari bentuk tangga yang mirip dengan bentuk tangga Gayo Aceh, dan juga ukirannnya. Selain itu, jumlah tiang pada bangunan pesisir umumnya lebih sedikit dari pada bangunan darek (antara 12-20 tiang). Sedangkan ukiran atau hiasan bangunan umumnya menampakkan pengaruh Aceh Selatan. Tapi sayangnya, rumah-rumah gadang di Kota Padang tersebut kini menunggu kepunahan. Dari pantauan Haluan beberapa waktu belakangan di daerah Kuranji, Pauh dan Koto Tangah, banyak dari rumah tersebut yang menunggu hancur. Sebagian tidak dihuni. Sebagian lagi dihuni tapi tidak terawat dengan baik akibat pemilik tidak sanggup melakukan perawatan. Dalam kesejarahan tentang rumah gadang dengan gaya melayu (Aceh) di Kota Padang, tercatat bahwa arsitektur tersebut termasuk salah satu monopoli kerajaan Aceh sekitar tahun 1500. Di tahun tersebut juga
terjadi perkawinan putera Minangkabau dengan puteri Aceh . Perkawinan
memburuk sehingga Aceh kecewa dan menyerang Minangkabau selain itu juga untuk menguasai sumber komoditas perdagangan tetapi yang dapat dikuasai hanya pantai barat. Berujung pada tahun 1607 ketika kekuasaan Aceh memuncak di pesisir barat. Semasa itu, Raja Aceh adalah Sultan Iskandar Muda. Dalam mempertahankan kekuasaannya, Aceh tidak hanya bertindak sebagai pemonopoli perdagangan tetapi ikut campur mengatur dalam hal adat dan kebudayaan dengan mengeluarkan peraturan. Termasuk salah satu aturannya berbunyi, bahwa rumah gadang tidak boleh meniru rumah gadang di darek, tetapi paduan Aceh dengan Minangkabau. Akan tetapi, selain itu, beberapa peneliti berpendapat bahwa perbedaan rumah gadang di daerah dengan daerah pesisir seperti Padang, karena persoalan topografi wilayah yang tidak memungkinkan membangun rumah gadang seperti di darek. Di luar segala perdebatan tentang arsitektur, kini rumah gadang dengan gaya melayu di Kota Padang, tinggal menunggu hancur atau dirobohkan dan diganti bangunan modern. Lainnya, kolektor-kolektor peminat barang antik atau peminat furnitur antik mengintai untuk membeli bagian yang akan mereka koleksi. (Esha Tegar Putra) - See more at: http://padangschebovenlanden01.blogspot.co.id/2012/10/ranah-minang-rumah-gadang-orangpadang.html#sthash.euVfBi1H.dpuf