Anda di halaman 1dari 29

Case Based Discussion

Sindrom Nefrotik Tipe Lesi Minimal +


Hiperkolesterolemia + Hipoalbuminemia + ISK
Nama

: Oscar Miguna, S.Ked

NPM

: 1115144

Preceptor

: dr. Susana Farah Diba, Sp.A, M.Kes.

BAGIAN / SMF ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA
RS IMMANUEL BANDUNG
2016

PRESENTASI KASUS
Oscar Miguna (NRP : 1115144)
Preseptor : dr. Susana Farah Diba, Sp.A, M.Kes.
1.

KETERANGAN UMUM

Nama
: An. DRK
Jenis Kelamin
: Laki laki
Tanggal Lahir
: 30 Maret 2008
Umur
: 8 tahun 2 bulan
Alamat
: Pintusari RT 3 RW 8 Kel. Banjaran, Bandung
No Rekam Medis
: 01.289.018
Tanggal mulai dirawat: 11 Agustus 2016
Tanggal pemeriksaan
: 11 Agustus 2016
Nama ibu
: Ny.N
Pendidikan ibu
: SMA
Usia ibu
: 33 tahun
Pekerjaan ibu
: Ibu rumah tangga
Nama ayah
: Tn.I
Usia ayah
: 35 tahun
Pendidikan ayah
: SMA
Pekerjaan ayah
: Pekerja Lepasan
Penghasilan keluarga
: Rp 2.000.000,00 / bulan

2. ANAMNESIS
Seorang anak laki-laki 8 tahun 2 bulan, datang ke rumah sakit dengan
keluhan utama bengkak seluruh tubuh.
Heteroanamnesis diperoleh dari ibu kandung pasien
Sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit, penderita tampak bengkak
seluruh tubuh, bengkak diawali dari kedua kelopak mata sejak 8 hari sebelum
masuk rumah sakit. Bengkak lebih tampak pada pagi hari saat bangun tidur,
kemudian sejak 5 hari lalu menetap sepanjang hari dan semakin bertambah.
Keluhan bengkak tidak disertai sesak napas, sesak napas saat tidur, penderita masi
dapat tidur dengan 1 bantal dan riwayat terbangun saat malam hari untuk BAK
2

disangkal.

Pasien

tidak

ada

alergi

terhadap

obat-obatan,

menyangkal

mengkonsumsi obat-obatan saat sebelum terjadi bengkak dan tidak memiliki


alergi makanan. Awalnya keluarga mengira anak bukan bengkak namun hanya
bertambah gendut karena berat badan anak juga meningkat.
Selama bengkak, ibu penderita mengeluh BAK menjadi keruh, seringnya
BAK tetap 5-6x/hari namun banyaknya BAK berkurang menjadi sekitar 1/3 gelas
aqua 300 cc/hari. Sebelumnya setiap BAK banyak yaitu sekitar 1 gelas aqua
300cc/hari. BAK tidak berwarna seperti coca cola atau kemerahan seperti air
cucian daging. Tidak ada keluhan nyeri saat BAK.
Keluhan tidak disertai sakit kepala, demam, mual-muntah, kehilangan
nafsu makan, riwayat bercak merah di wajah, nyeri sendi, nyeri perut hebat,
kemerahan pada kulit yang terasa nyeri dan tidak tampak lebih kecil dibanding
teman sebayanya. Penderita baru pertama kali sakit seperti ini, riwayat keluarga
dengan sakit serupa disangkal.
Sebelum sakit, penderita makan banyak 5 kali perhari, berisi nasi, daging,
sayur, telur. Riwayat kontak dengan penderita batuk-batuk lama dan berdarah
disangkal.
Enam hari lalu pasien dirawat di RS.Soreang, diberi obat namun tidak ada
perbaikan dan bengkak semakin bertambah.

Catatan Rekam Medis RSI Bandung


Riwayat Perawatan di Ruang Abednego RSI Bandung 11 Agustus 15
Agustus 2016
(Hari perawatan kesatu, berdasarkan catatan rekam medis penderita)
Anak laki-laki berusia 8 tahun 2 bulan dirawat di ruang Abednego 3
dengan keluhan bengkak seluruh tubuh sejak 6 hari sebelum masuk rumah sakit,
bengkak terutama saat pagi hari dan sejak 5 hari lalu menetap sepanjang hari dan
bertambah. Konsumsi obat sebelum terjadi bengkak disangkal. Tidak memiliki
alergi obat dan makanan. BAK menjadi keruh dan volume berkurang, frekuensi
tetap. Keluhan tidak disertai sakit kepala, demam, mual-muntah, kehilangan nafsu
makan, riwayat bercak merah di wajah, nyeri sendi, nyeri perut hebat, kemerahan
pada kulit yang terasa nyeri dan tidak tampak lebih kecil dibanding teman
sebayanya. Penderita baru pertama kali sakit seperti ini, riwayat keluar dengan
3

sakit serupa disangkal. Sebelum sakit, pasien makan 5x/hari, berisi nasi, daging,
sayur, dan telur. Tidak ada kontak dengan penderita batuk-batuk lama dan
berdarah. Enam hari lalu pasien dirawat di RS Soreang, diberi obat namun tidak
ada perbaikan dan bengkak semakin bertambah.
Susunan keluarga pasien, pasien merupakan anak pertama dari Tn. I dan
Ny. N. Pasien dilahirkan prematur pada usia kehamilan 35 minggu. Persalinan
dilakukan secara spontan dan ditolong oleh dokter. Saat anak lahir, anak menangis
kuat, bergerak aktif dan tidak ada sesak napas. Anak lahir dengan berat badan
lahir 2.200 gram dan panjang badan 40 cm.Pada riwayat perkembangan pasien
sudah bisa berbalik sendiri pada usia 4 bulan, duduk pada usia 6 bulan, berdiri dan
berjalan pada usia 9 bulan dan berbicara pada usia 12 bulan. Pasien sudah
mendapatkan imunisasi lengkap sesuai dijadwalkan puskesmas. Pasien tumbuh
kembang dengan sehat diberitahukan oleh puskesmas, berat dan tinggi badan
selalu naik hingga sekarang dan sesuai dengan usianya.
Pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan nadi 110 kali permenit, regular,
equal, isi cukup. Respirasi 24 kali per menit, tipe abdominotorakal, suhu tubuh
36,2C. Status antropometri pasien dengan berat badan 24 kg dan panjang badan
115 cm, dengan BMI 18,1 kg/m2. Berdasarkan kurva pertumbuhan WHO untuk
kategori lahir 8 tahun 2 bulan, didapatkan BMI terhadap usia antara 0 sampai +1
SD. Pada pemeriksan fisik ditemukan puffy face, edema palpebra, shifting
dullness, edema pretibial +/+ pitting, edema dorsum pedis +/+ pitting..

Pemeriksaan Penunjang
12 Juni 2016
Kimia Klinik

Nilai Normal

Protein total (g/dl)

4,20

6-7,8

Ureum (mg/dl)

62,4

20-40

Kreatinin (mg/dl)

0,59

0,8-1,3

Kolesterol total (mg/dl)

401,5

<200

Albumin (g/dl)

2,03

3,5-5,2

Urinalisis Rutin

Nilai Normal

Warna

Kuning

Kuning

Kekeruhan

Keruh

Jernih

Berat Jenis

1,025

1,015-1,025

pH

6,0

4,8-7,4

Protein

+2

Glukosa

Keton

0,2

<2

Bilirubin

Nitrit

Urobilinogen (mg/dl)

Sedimen

Nilai Normal

Epitel

4-6/LPB

Eritrosit

2-4/LPB

0-2

Leukosit

4-6/LPB

1-4

Bakteri

Kristal

Uric acid +

Silinder hyalin

Lain
III. PEMERIKSAAN FISIK
11 Agustus 2016
Keadaan umum

: Sakit Ringan

Kesadaran
: PGCS 15 (M=6, E=4, V=5)
Tanda Vital
Nadi
: 110 x/menit, regular, equal, isi cukup
Respirasi
: 24 x/menit, abdominotorakal
Suhu
: 36,2 C (axilar)
Status Antropometri
Berat badan
: 24 kg
Tinggi badan
: 15 cm
BMI
: 18,1 kg/m2
Status pertumbuhan berdasarkan WHO:
BMI terhadap usia 0 sampai +1 SD
Kepala
: Turgor baik
Puffy face +, Moon face Mata
: Edema palpebra +/+, konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/Pupil isokor diameter 3 mm, refleks cahaya +/+
Hidung
: PCH -/-, sekret -/Telinga: Bentuk telinga normal, sekret -/Mulut
: Mukosa mulut & lidah basah, tonsil T1/T1, pharing anemis
-/-Leher
Thorax

: Retraksi suprasternal (-), KGB tidak teraba membesar


:

Inspeksi

: Bentuk normal, pergerakan simetris,

retraksi intercostal (-)


Palpasi : Pergerakan simetris, taktil fremitus kanan=kiri
Perkusi
: Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi:
Paru
: VBS +/+ kiri=kanan, ronkhi -/-,wheezing
-/ Jantung

Abdomen

: BJ S1 = S2, reguler, murmur (-)

Inspeksi
Auskultasi
Perkusi
Palpasi

: Cembung
: Bising usus (+) normal
: Shifting dullness +, nyeri ketok CVA -/: Soepel, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Ginjal tidak teraba

Genital

: Edema scrotal -/-

Anus & Rektum

: Tidak ada kelainan

Ekstremitas

: Akral hangat, Edema pretibial +/+ pitting

Edema dorsum pedis +/+ pitting, CRT<2


Kulit
IV.

: Tidak pucat, turgor baik


DIAGNOSIS KERJA
Sindrom Nefrotik tipe

Lesi

Minimal

Hipoalbuminemia

Hiperkolestrolemia + ISK
V.

RENCANA PEMERIKSAAN

VI.

Darah tepi : Hb, Leukosit, Hitung jenis leukosit, Trombosit, Ht, LED
Biakan urin steril
USG ginjal dan saluran kemih

PENATALAKSANAAN

Rawat inap
Diet rendah lemak
Diet garam 1 g/hari
Hitung Input-Output 24 jam
Prednison 48 mg/ hari setelah makan pagi P.O
Cefixime tablet 2 x 100 mg PO sesudah makan

VII. PEMANTAUAN
Tanggal 12 Agustus 2016, hari rawat ke-2, hari pemantauan ke-1

Subjektif (S): Bengkak pada seluruh tubuh masi menetap, namun bengkak pada
kedua tungkai tampak berkurang. Tidak terdapat demam, sesak napas, mual,
muntah dan nyeri perut. Banyak BAK sudah bertambah, berwarna kuning dan
tetap keruh. BAB tidak ada keluhan
Objektif (O) : Kesadaran compos mentis, pasien tampak sakit ringan. TTV: N:
108 x/ menit reguler, equal, isi cukup; P: 22 x/ menit, S: 36,4 oC. Puffy face +,
Edema palpebra +, Moon face -, Turgor baik, Palpebra tidak cekung, Konjunctiva
anemis -/-, Paru VBS kanan=kiri, rhonchi -/-, Shifting dullness +, Hepar & Lien
tidak teraba, Edema pretibial +/+ pitting tampak berkurang, Edema dorsum pedis
+/+ pitting, Input : 650 cc/24 jam, Output : 590 cc/24 jam
Assesment (A): Sindrom Nefrotik + Hipoalbuminemia + Hiperkolestrolemia +
ISK
Plan (P):

Diet rendah lemak


7

Diet garam 1 g/hari


Hitung Input-Output 24 jam
Prednison 48 mg/ hari setelah makan pagi P.O
Cefixime tablet 2 x 100 mg P.O setelah makan

Tanggal 13 Agustus 2016, hari rawat ke-3, hari pemantauan ke-2

Subjektif (S): Bengkak pada seluruh tubuh mulai berkurang. Bengkak pada
tungkai masi seperti kemarin. Tidak terdapat demam, sesak napas, mual, muntah
dan nyeri perut. Banyak BAK bertambah banyak, berwarna kuning dan lebih
jernih. BAB tidak ada keluhan.
Objektif (O) : Kesadaran compos mentis, pasien tampak sakit ringan. TTV: N:
112 x/ menit reguler, equal, isi cukup; P: 24 x/ menit, S: 36,3 oC. Puffy face +,
Edema palpebra +, Moon face -, Turgor baik, Palpebra tidak cekung, Konjunctiva
anemis -/-, Paru VBS kanan=kiri, rhonchi -/-, Shifting dullness +, Hepar & Lien
tidak teraba, Edema pretibial +/+ pitting tampak berkurang, Edema dorsum pedis
+/+ pitting tampak berkurang. Input : 680 cc/24 jam, Output : 700 cc/24 jam
Assesment (A): Sindrom Nefrotik + Hipoalbuminemia + Hiperkolestrolemia +
ISK
Plan (P):

Diet rendah lemak


Diet garam 1 g/hari
Hitung Input-Output 24 jam
Prednison 48 mg/ hari
Cefixime tablet 2 x 100 mg P.O setelah makan

Tanggal 14 Agustus 2016, hari rawat ke-4, hari pemantauan ke-3

Subjektif (S): Bengkak pada seluruh tubuh berkurang, bengkak pada kedua
tungkai berkurang. Tidak terdapat demam, sesak napas, mual, muntah dan nyeri
perut. Banyak BAK menetap seperti kemarin, berwarna kuning dan jernih. BAB
tidak ada keluhan
Objektif (O) : Kesadaran compos mentis, pasien tampak sakit ringan. TTV: N:
110 x/ menit reguler, equal, isi cukup; P: 20 x/ menit, S: 36,3 oC. Puffy face +,
Edema palpebra + tampak berkurang, Moon face -, Turgor baik, Palpebra tidak
cekung, Konjunctiva anemis -/-, Paru VBS kanan=kiri, rhonchi -/-, Hepar & Lien
tidak teraba, Shifting dullness +, Edema pretibial +/+ pitting tampak berkurang,
Edema dorsum pedis -/-. Input : 600 cc/24 jam, Output : 700 cc/24 jam
Assesment (A): Sindrom Nefrotik + Hipoalbuminemia + Hiperkolestrolemia +
ISK
Plan (P):

IX.

X.

Diet rendah lemak


Diet garam 1 g/hari
Prednison 48 mg/ hari, setelah makan pagi P.O
Cefixime tablet 2 x 100 mg P.O setelah makan
Dilanjutkan dengan rawat jalan
PROGNOSIS
Quo ad vitam
Quo ad functionam
Quo ad sanationam

: Ad bonam
: Dubia ad bonam
: Dubia ad bonam

ANALISIS KASUS
Pada paper ini, pembahasan difokuskan pada Nefrotik Sindrom tipe

Minimal Change/Lesi Minimal.


Nefrotik sindrom adalah penyakit dengan kumpulan gejala proteinuria
masif >40 mg/m2/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam atau rasio protein/kreatinin pada
9

urin sewaktu >2 mg atau Dipstick >= 2+ pada anak-anak disertai


hipoalbuminemia <2,5 g/dL, edema, dan hiperkolestrolemia >200 mg/dL.

(1) (2) (3) (4)

(5)

Sindrom nefrotik terutama terjadi pada anak-anak dan 15 kali lebih sering
pada anak-anak dibandingkan dewasa. Insidensinya di dunia adalah 2-3
kasus/100.000 anak/tahun.(3) Di Indonesia sendiri diperkirakan 6 kasus/100.000
anak/tahun pada anak <14 tahun.(1)
Etiologi
90% anak dengan sindrom nefrotik bersifat idiopathic, sedangkan 10% sisanya
adalah sindrom nefrotik sekunder akibat penyakit sistemik seperti Systemic Lupus
Erythematosus, Henoch-Schonlein Purpura, infeksi (malaria, HIV, hepatitis) dan
penyakit glomerulus. Sindrom nefrotik idiopathic sendiri 85% nya adalah Lesi
Minimal yang berespon baik terhadap pemberian steroid, 5% nya adalah
proliferasi

mesangial,

dan

sisa

10%

nya

adalah

focal

segmental

glomerulosclerosis. Sindrom nefrotik idiopatik berhubungan dengan penyakit


glomerulus primer tanpa bukti adanya penyebab sistemik. (3)
Insidensi : Laki-laki memiliki angka kejadi 2 kali lebih besar dibandingkan
dengan wanita

(1)

, yang umumnya muncul pada usia 2-6 tahun. (4) 85-90% pasien

dibawah 6 tahun yang terkena SN memiliki tipe Lesi Minimal, sedangnya pada
remaja hanya 20-30% yang bertipe Lesi Minimal. Pada orang dewasa umumnya
bertipe FSGS. (3)

Tabel 1. Penyebab Nefrotik Sindrom Pada Anak-Anak. (3)

10

Tabel 2. Ringkasan Penyakit Primer Ginjal yang Bermanifestasi Sebagai Sindrom


Nefrotik Idiopatik. (3)

Patomekanisme
11

Umumnya konsentrasi albumin di ruang glomerulus adalah 3,5 mg/L.


Pada konsentrasi ini, dan dengan GFR normal harian 150 L, seseorang
diperkirakan maksimal terdapat 525 mg albumin/hari pada urine akhirnya. Pada
individu yang sehat, albumin pada urine terdapat kurang dari 50 mg/hari, karena
kebanyakan albumin yang terfiltrasi diserap kembali oleh tubulus ginjal. Jumlah
albumin pada urin melebihi 500 mg/hari menunjukkan adanya penyakit
glomerular. (2)
Kapiler glomerulus dilapisi oleh endotel berfenestrata yang melekat pada
membran basalis glomerulus, dan diatas membran basalis glomerulus terdapat
podosit, yang melapisi kapiler dengan perpanjangan seluler yang disebut foot
processes dan membentuk filtration slits. Tiga struktur ini yaitu endotel
berfenestrata, membran basalis glomerulus dan podosit disebut sebagai barrier
filtrasi. Perubahan/kerusakan diantara ketiga sruktur ini menyebabkan terjadinya
proteinuria. (2)
Konsekuensi akibat proteinuria adalah dapat terjadi infeksi, hiperlipidemia
dan atherosclerosis, hipocalcemia dan kelainan tulang, hiperkoagulabilitas, dan
hipovolemia. Konsekuensi lainnya dapat berupa hipertensi yang berhubungan
dengan retensi cairan dan penurunan fungsi ginjal, edema dari GIT yang
menyebabkan defek absorpsi sehingga menyebabkan malnutrisi, dan ascites serta
efusi pleura. (2)
Terdapat 2 hipotesis terjadinya edema pada sindrom nefrotik yaitu
hipotesis underfill dan overfill. Pada hipotesis underfill, kehilangan albumin
menyebabkan penurunan tekanan koloid plasma sehingga cairan dari intravaskuler
berpindah ke interstitial dan intrasel. Pada hipotesis overfill, retensi natrium oleh
renal yang menyebabkan terjadinya edema. Ada 2 fakta yang mendukung teori
overfill yaitu yang pertama adalah retensi natrium terobservasi bahkan sebelum
kadar serum albumin menurun, yang kedua adalah volume intravaskular menetap
atau bahkan meningkat pada kebanyakan pasien sindrom nefrotik. (2)
i.

Hipotesis Underfill

12

Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan


terjadinya hipoalbuminemia. Hipoalbuminemia menurunkan tekanan
onkotik koloid plasma, menyebabkan peningkatan perpindahan cairan
transkapiler dan terbentuk edema.
Tekanan onkotik terutama ditentukan oleh konten protein. Perpindahan
cairan melewati dinding kapiler diekspresikan melalui formula :
Qw = K[Pc pp] [Pi pi]
Qw : net flux of water
K : koefisien filtrasi kapiler
Pc : tekanan hidrostatik kapiler
pp : tekanan onkotik plasma
Pi : tekanan hidrostatik cairan interstitial
pi : tekanan cairan onkotik interstitial
Dengan cukup tingginya tekanan hidrostatik kapiler atau rendahnya
tekanan onkotik intravaskular, banyaknya cairan yang terfiltrasi melebihi
kapasitas maksimal aliran limfatik dan terjadilah edema. Pada pasien
sindrom nefrotik, hal ini menyebabkan reduksi volume plasma, dengan
ii.

peningkatan retensi natrium dan air oleh ginjal. (2)


Hipotesis Overfill
Defek intrinsik pada tubulus ginjal menyebabkan penurunan ekskresi
natrium. Hal ini dapat terjadi bila protein intraluminal yang terfiltrasi
menstimulasi secara langsung reabsorpsi natrium oleh epitel ginjal. Ada 2
fakta yang mendukung hipotesis ini (2) :
i.
Retensi terobservasi bahkan sebelum kadar serum albumin
ii.

mulai menurun
Volume intravaskular normal atau bahkan meningkat pada
kebanyakan pasien sindrom nefrotik

Patologi Penyakit
Pada Sindrom Nefrotik Idiopatik tipe Lesi Minimal, glomeruli tampak
normal namun beberapa memperlihatkan peningkatan minimal pada sel mesangial
dan matriks disertai kehilangan prosesus kaki sel epitel pada mikroskop elektron.

13

Tipe Lesi Minimal Nephrotic Syndrome memiliki responsivitas sebesar 95%


terhadap terapi kortikosteroid. (3) (4)
Pada tipe Proliferasi Mesangial, terdapat peningkatan jumlah sel
mesangial secara difus dan matriks pada mikroskop, terdapat trace hingga +1 IgM
mesangial pada mikroskop Immunofluorescence Pada mikroskop elektron tampak
perubahan menyerupai Lesi Minimal disertai peningkatan sel mesangial dan
matriks. Tipe Proliferasi Mesangial memiliki responsivitas sebesar 50% terhadap
terapi prednisone. (3)
Pada tipe Focal Segmental Glomerulo Sclerosis, tampak lesi bersifat fokal
dan segmental yang didalamnya tampak proliferasi segmental sel mesangial
berparut. Pada mikroskop elektron tampak glomerular tuft berparut segmental dan
obliterasi lumen kapiler glomerular. Tipe FSGS ini juga memiliki gambaran yang
serupa dengan Sindrom Nefrotik Sekunder akibat infeksi HIV, hepatitis ataupun
vesico ureteral reflux. Tipe FSGS memiliki responsivitas sebesar 20% terhadap
terapi prednisone. (3)
Manisfetasi Klinis
Pada anak-anak dengan sindrom nefrotik umumnya timbul edema ringan
yang diawali pada mata dan extremitas bawah. Pada tahap ini, penyakit dapat
menyerupai kelainan alergi. Dengan berjalannya waktu, edema menjadi meluas
dengan adanya ascites, efusi pleura dan edema genital. Anorexia, iritabilitas, nyeri
perut dan diare dapat terjadi. Fitur khas dari sindrom nefrotik idiopatik adalah
tidak adanya hipertensi dan gross hematuria. (3) (4)
Pada anak dengan edema yang terlihat sangat jelas, harus disingkirkan
dahulu kemungkinan diagnosis lain seperti Protein losing enteropathy, Hepatic
Failure, Heart Failure, Glomerulonephritis Akut atau Kronik, dan Malnutrisi
Protein. (3) (4)
Kriteria diagnosis
Kriteria diagnosis SN ada 3 yaitu :
1. Proteinuria masif : >40mg/m2/jam atau >50 mg/kgBB/24 jam. Rasio spot urin
protein : kreatinin > 2 . Dengan Esbach, kadar protein dalam urin 24 jam >2

14

gram.

(1) (3) (4) (5)

Secara semikuantitatif, menurut buku Pedoman Diagnosis dan

Terapi Ilmu Kesehatan Anak, dengan pemeriksaan Bang atau Dipstick


menunjukkan protein urine >= +2

(1) (5)

atau menurut buku Nelson Textbook of

Pediatrics menunjukkan +3 atau +4 (3)


2. Hipoalbuminemia <2,5 g/dL (1) (2) (3) (4) (5)
3. Edema (1) (2) (3) (4) (5)
4. Hiperlipidemia >200 mg/dL (dan hipertrigliseridemia)

(1) (2) (3) (4) (5)

, namun

menurut Buku Pedoman Diagnostik dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak,


hiperlipidemia tidak lagi dijadikan sebagai kriteria diagnostik SN, karena
penderita SN terutama yang dengan Lesi Minimal dapat menunjukkan kadar
lemak darah yang normal. (1)
5. Pada sindrom nefrotik Lesi Minimal tidak disertai adanya kelainan kadar
serum komplemen(3).
Biopsi ginjal tidak rutin dilakukan jika pasien cocok dengan gambaran
klinis SN Lesi Minimal .(3) Indikasi Biopsi Gnjal adalah (5) :
a) Pada presentasi awal
i.
Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16
ii.

tahun
Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau

iii.
iv.
v.

kadar komplemen C3 serum yang rendah


Hipertensi menetap
Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
Tersangka sindrom nefrotik sekunder

b) Setelah pengobatan inisial


i.
SN resisten steroid
ii.
Sebelum memulai terapi siklosporin
Batasan berdasarkan Konsensus IDAI

Remisi

<4mg/m2LPB/jam) selama 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu (5)


Relaps : proteinuria >= 2+ (proteinuria >40 mg/m 2LPB/jam) 3 hari

berturut-turut dalam 1 minggu (5)


Relaps jarang : relaps kurang dari 2x dalam 6 bulan pertama setelah respon

awal atau kurang dari 4x per tahun pengamatan (5)


Relaps sering (frequent relapsers) : relaps >=2x dalam 6 bulan pertama

diuresis

dan

protein

urin

negatif/trace

setelah respons awal atau >=4x dalam periode 1 tahun (3) (5)

15

(proteinuria

Dependen steroid : relaps 2x berurutan pada dosis steroid diturunkan


(alternate day) atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan, atau
menurut Nelson, bila penyakit relaps lagi saat masa pengobatan alternate

day atau dalam 28 hari setelah penyelesaian 1 masa pengobatan steroid


Resisten steroid : tidak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu atau menurut Nelson,

dengan proteinuria +2 atau lebih setelah pengobatan selama 8 minggu


Sensitif steroid : remisi terjadi pada pemberian prednison dosis penuh
selama 4 minggu

Terapi
Anak dengan episode pertama Sindrom Nefrotik dan bergejala edema
ringan-sedang dapat diobati sebagai outpatients. Pengobatan harus disertai
pengertian keluarga mengenai penyakitnya. Orang tua harus dilatih agar dapat
mengenali tanda dan gejala dari komplikasi dari penyakit dan pengobatannya serta
cara melihat hasil pemeriksaan Dipstick.

(3)

Namun menurut Konsensus, anak

dengan manisfestasi klinis SN pertama kali, sebaiknya dirawat di rumah sakit


dengan tujuan untuk mempercepat pemeriksaan dan evaluasi pengaturan diet,
penanggulangan edema, dan memulai pengobatan steroid.

(5)

Pada SN relaps,

perawatan di rumah sakit hanya dilakukan bila terdapat edema anasarka berat atau
disertai komplikasi muntah, infeksi berat, gagal ginjal, atau syok. Tirah baring
tidak perlu dipaksakan, bila edema tidak berat, anak boleh sekolah.

Terapi Steroid
Anak dengan Sindrom Nefrotik tanpa komplikasi berusia 1-8 tahun

seringnya adalah Sindrom Nefrotik Lesi Minimal yang responsif terhadap terapi
steroid dan dapat segera memulai terapi steroid tanpa didahului biopsi ginjal.
Anak dengan gejala gross hematuria, tekanan darah tinggi, insufisiensi renal,
hipokomplemenemia dan berusia <1 tahun / >8 tahun dapat dipertimbangkan
dahulu untuk dilakukan biopsi ginjal sebelum pengobatan. (3) (4)
Pada anak yang diperkirakan Sindrom Nefrotik Lesi Minimal, prednison
diberikan setelah konfirmasi tes PPD negatif dan sudah diberikan vaksin
pneumococcal polyvalent, dengan dosis 60 mg/m2/hari (setara dengan 2mg/kgBB)
dan dosis maksimal 80 mg/hari dalam terbagi 3 dosis menurut buku Pedoman

16

Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehetan Anak atau dalam dosis tunggal menurut
Nelson Textbook of Pediatrics selama 4-6 minggu. Dosis prednison dihitung
sesuai dengan berat badan ideal.(5) Terapi awal/initial selama 6 minggu
menurunkan kemungkinan relaps secara signifikan. 80-90% anak merespon
terhadap terapi steroid dengan terjadinya remisi klinis (diuresis dan protein urin
trace/negatif selama 3 hari berturut-turut) dalam 3 minggu maksimal 5 minggu
setelah diberikannya terapi. (1) (3) (5)
Setelah 6 minggu terapi awal/initial, lakukan tappered prednisone menjadi
40 mg/m2/hari selang sehari (alternate day) selama sedikitnya 4 minggu,
kemudian secara perlahan dosis diturunkan kembali dan dihentikan dalam jangka
waktu 1-2 bulan. Selama pemberian prednisone, efek samping dari kelebihan
steroid dalam tubuh harus selalu diperiksa. (1) (3) (5)
Anak dengan edema berat bergejala seperti efusi pleura berat, ascites atau
edema genital berat harus dilakukan rawat inap. Terjadinya restriksi natrium
menyebabkan penimbunan cairan dalam tubuh sehingga diperlukan restriksi
cairan apalagi jika terbukti terdapatnya hiponatremia. Edema genital pada skrotum
dapat dikurangi dengan menyangga bantal dibawah pantat. Pada kasus edemaa
berat, diuresis dapat diberikan untuk mengaugmentasi pengobatan, namun harus
hati-hati terhadap deplesi volume intravaskular dan peningkatan risiko trombosis
intravaskular yang dapat terjadi. Diet rendah garam juga dilakukan sampai
terjadinya remisi. (3)
Bila pasien datang dengan edema anasarca yang signifikan dan disertai
bukti deplesi volume intravaskuler (hemokonsentrasi), pemberian infus albumin
25% dengan dosis 0,5 1 g albumin/kgBB dalam tetesan lambat selama 2-4

(5)

yang ditambahkan furosemide 1 2 mg/kgBB/dosis i.v terkadang diperlukan.


Observasi status volume, tekanan darah, elektrolit, dan fungsi ginjal secara
berkala. Pemberian albumin yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
volume overload, tekanan darah tinggi, gagal jantung dan edema paru.
Hipovolemia/deplesi volume intravaskuler terutama terjadi ketika serum albumin
<1,5 g/dL. (3) (5)
Anak dengan proteinuria +2 atau lebih setelah pengobatan selama 8
minggu disebut sebagai resisten steroid (1) (3) (4) (5) dan harus dilakukan biopsi ginjal.
(3)

17

Banyak anak dengan Sindrom Nefrotik mengalami minimal 1 kali relaps


dengan proteinuria +3/+4 disertai edema. Angka kejadian relaps anak dengan
terapi awal/initial lebih lama menurun sampai 30-40% dibandingkan dengan
terapi awal yang singkat yaitu hanya sampai 60-80%. (3)
Anak dengan relaps diobati dengan cara yang sama dengan cara awal dan
bila tidak berespon setelah pengobatan penuh selama 4 minggu menurut buku
Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak atau setelah 8 minggu
pengobatan menurut Nelson Textbook of Pediatrics atau tidak terjadi remisi pada
pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu
menurut Konsensus, maka anak didiagnosis sebagai Nefrotik Sindrom Resisten
Steroid. (1) (3) (5)
Bila penyakit relaps lagi saat masa pengobatan alternate day atau dalam
28 hari setelah penyelesaian 1 masa pengobatan steroid, didiagnosis sebagai
Sindrom Nefrotik steroid dependent. Anak yang berespon baik terhadap terapi
namun mengalami relaps >= 4x dalam 12 bulan disebut frequent relapsers. (3) (5)

Terapi Alternatif
Nefrotik Sindrom Resisten Steroid, steroid dependent, frequent relapsers,

dan muncul gejala toksik dari steroid merupakan kandidat diberikannya terapi
alternatif. Cyclophosphamide memperpanjang durasi remisi dan mengurangi
angka relaps pada anak dengan steroid dependent dan frequent relapsers.
Perhatikan efek samping berupa neutropenia, varicella disseminata, cystitis
hemorrhagic, alopecia dan steril yang dapat terjadi. Cyclophosphamide yang
diberikan berdosis 2mg/kgBB/hari dalam dosis tunggal selama 8-12 minggu.
Alternate day steroid tetap dilanjutkan selama pemberian Cyclophophamide.
Selama pemberian Cycplophosphamide, setiap minggu harus dilakukan hitung
leukosit, jika leukosit <5000/mm3, pemberian harus ditunda. (3)
Cyclosporine atau Tacrolimus juga efektif dalam menginduksi dan
mempertahakan remisi pada Sindrom Nefrotik steroid resistant juga efekti sebagai
agen pengganti steroid. Perhatikan efek samping berupa tekanan darah tinggi,
nefrotoksik, hirsutism, dan hiperplasia gusi. Mycophenolate, Levamisole dan
kombinasi Klorambusil (0,2 mg/kgBB/hari selama 8-12 minggu) dengan steroid
juga dapat digunakan sebagai terapi alternatif. Anak-anak yang responsif terhadap
18

terapi Cyclosporine, Tacrolimis dan Mycophenolate cenderung mengalami relaps


ketika pengobatan dihentikan. (3)
ACE inhibitor (Captopril 3 x 0,3 mg/kgBB) dan ARB (Losartan 1 x 0,75
mg/kgBB) dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk mengurangi
proteinuria yang terjadi. (3) (5)
Tabel 3. Rekomendasi Pengawasan pada Anak dengan NS. (3)

Dietetik
Pemberian diet tinggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena
akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme
protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. Bila diberi
diet rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan
menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. Jadi cukup diberikan diet
protein normal sesuai dengan recommended daily allowances yaitu 1,5-2
g/kgBB/hari. Diet rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak
menderita edema. Pada SN sensitif steroid, hiperlipidemia bersifat
sementara dan tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup

dengan pengurangan diet lemak. (5)


Diuretik
Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. Biasanya diberikan
loop

diuretic

seperti

furosemid

1-3

mg/kgBB/hari,

dikombinasikan dengan spironolakton 2-4 mg/kgBB/hari.

bila
(3) (5)

perlu

Sebelum

pemberian diuretik, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada


pemakaian diuretik lebih dari 1-2 minggu perlu dilakuan pemantauan
elektrolit kalium dan natrium darah. Bila pemberian diuretik tidak berhasil

19

(edema

refrakter),

biasanya

terjadi

karena

hipoalbuminemia berat (<= 1g/dL menurut Konsensus

hipovolemia
(5)

atau

atau <= 1,5 g/dL

menurut Nelson), pemberian infus albumin 25% dengan dosis 0,5 1 g


albumin/kgBB dalam tetesan lambat selama 2-4 jam yang ditambahkan
furosemide 1 2 mg/kgBB/dosis i.v terkadang diperlukan. Observasi
status volume, tekanan darah, elektrolit, dan fungsi ginjal secara berkala.
Pemberian albumin yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya
volume overload, tekanan darah tinggi, gagal jantung dan edema paru. (3) (5)
Bila pasien tidak mampu dari segi biaya, dapat diberikan plasma 20
ml/kgBB/ hari secara pelan-pelan 10 tetes/menit untuk mencegah
terjadinya dekompensasi jantung. Bila diperlukan, suspensi albumin dapat
diberikan selang sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan
mencegah overload cairan. Bila ascites berat sehingga mengganggu
pernapasan dapat dilakukan pungsi ascites berulang.
Gambar 1. Algoritma pemberian diuretik. (5)

Imunisasi

20

Pasien SN yang sedang mendapat pengobatan kortikosteroid >= 2


minggu/kgBB/hari atau total >=20mg/hari, selama lebih dari 14 hari,
merupakan pasien imunokompromais. Pasien SN dalam keadaan ini dan
dalam 6 minggu setelah obat dihentikan hanya boleh diberikan vaksin
virus mati, seperti IPV (inactivated polio vaccine). Setelah penghentian
prednison selama 6 minggu dapat diberikan vaksin virus hidup, seperti
polio oral, campak, MMR, varisela.

(5)

Semua anak dengan SN harus

mendapat imunisasi pneumococcus polyvalent

(3)

dan juga dianjurkan

mendapat vaksin varisela. (5)

Gambar 2. Tata Laksana Sindrom Nefrotik. (5)

Komplikasi
1. Infeksi (paling sering terjadi) karena hilangnya properdin faktor B dan
immunoglobulin melalui urin, terapi supresi imun yang diberikan, malnutrisi
(akibat edema usus), dan edema/ascites yang berperan baik sebagai media
kultur. Infeksi yang dapat terjadi berupa Peritonitis Primer, sepsis, pneumonia,
selulitis dan UTI. Infeksi dapat dicegah dengan pemberian vaksin
pneumococcal, varicella-zooster Ig, dan influenza. (2) (3) (4) (5)
Bila terjadi peritonitis primer, perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral
dikombinasi dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu Cefotaxime atau
Ceftriaxone selama 10-14 hari. (5)

21

2. Tromboemboli akibat hilangnya protein antikoagulasi melalui urin, seperti


antithrombin III dan plasminogen, juga terdapat peningkatan faktor
prothrombotic (fibrinogen, trombositosis, hemokonsentrasi, imobilisasi). (3)
Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan dengan pemeriksaan fisik dan
radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan dengan warfarin
selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian
aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan. (5)
3. Hiperlipidemia dan Atherosclerosis akibat penurunan kadar plasma lipoprotein
lipase dan sintesis reaktif protein hepar.

(2)

Pada SN relaps atau relaps atau

resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL kolesterol,


trigliserida, dan Lpa sedangkan kolesterol HDL menurun atau normal. Pada
SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan
tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan
diet lemak. Pada SN resisten steroid, dianjurkan mempertahankan berat badan
normal, dan diet rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangkan pemberian
statin. (5)
4. Hipokalsemia, akibat steroid

jangka panjang, dianjurkan pemberian

suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125-250 IU). (5)


5. Hipovolemia, dengan gejala hipotensi, takikardia, extremitas dingin, dan
sering disertai sakit perut. Diatasi dengan pemberian NaCl fisiologis dengan
cepat 15-20 ml/kgBB dalam 20-30 menit, disusul pemberian infus albumin
25% dengan dosis 0,5 1 g albumin/kgBB dalam tetesan lambat yang
ditambahkan furosemide 1 2 mg/kgBB/dosis i.v terkadang diperlukan bila
hipovolemia telah teratasi namun tetap olguria. (3) (5)
6. Hipertensi, diobati dengan ACE Inhibitor, ARB, CCB, -blocker, sampai
tekanan darah dibawah persentil 90. (5)
7. Efek samping steroid seperti peningkatan

nafsu

makan,

gangguan

pertumbuhan, perubahan perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan


garam, hipertensi, dan demineralisasi tulang.

(2) (3) (5)

Pada semua pasien SN

harus dilakukan pemantauan terhadap gejala-gejala cushingoid, pengukuran


tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi badan setiap 6 bulan sekali,
dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun. (5)

22

Indikasi melakukan rujukan kepada ahli nefrologi anak


Keadaan-keadaan ini merupakan indikasi untuk merujuk pasien kepada ahli
nefrologi anak (5) :
1. Awitan SN pada usia dibawah 1 tahun, riwayat penyakit SN di dalam
keluarga.
2. SN dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau disertai gejala ekstrarenal seperti artritis, serositis, atau lesi kulit.
3. SN dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid.
4. SN resisten steroid.
5. SN relaps sering atau dependen steroid.
Prognosis
Sindrom Nefrotik sensitif steroid memiliki prognosis baik, relaps dapat
terjadi dan bergantung pada lamanya pemberian steroid saat terapi inisial. SN
relaps memiliki prognosis baik jika tercapai remisi dengan steroid. SN dependent
steroid dan frequent relapsers prognosisnya bergantung pada efek samping yang
muncul pada pemberian pengobatan alternatif. SN resistant steroid

dan SN

dengan tipe selain Lesi Minimal memiliki prognosis buruk karena akan berjalan
menjadi Penyakit Ginjal Kronis. (3) (4)
Rumus Luas Permukaan Tubuh
Perhitungan dosis berdasarkan luas permukaan tubuh merupakan
perhitungan dosis yang lebih akurat ketimbang menggunakan rumus penghitungan
dengan menggunakan umur saja, atau dengan berat badan saja, perhitungan dosis
BSA/LBP ini yang sebaiknya dilakukan terutama untuk pasien pediatrik/anakanak. Rumus perhitungan dosis BSA merupakan turunan dari rumus Du Bois and
Du Bois atau dapat menggunakan Formula Mosteller.
Rumus :

23

Infeksi Saluran Kemih pada Anak


Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan salah satu penyakit infeksi yang
sering pada anak selain infeksi saluran napas atas dan diare. Diperkirakan 20%
kasus konsultasi pediatri terdiri dari kasus ISK dan pielonefritis kronik.
Manifestasi klinis ISK sangat bervariasi dan tergantung pada umur, mulai
dari asimtomatik hingga gejala yang berat, sehingga ISK sering underdiagnosis
atau overdiagnosis. Diagnosis dan tata laksana ISK yang adekuat bertujuan untuk
mencegah atau mengurangi risiko terjadinya komplikasi jangka panjang seperti
24

sclerosis ginjal, hipertensi, dan CKD. Salah yang sulit adalah jika menemui kasus
ISK non spesifik karena memiliki gejala yang tidak jelas, ada sebagian kecil (1020%) kasus yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau sistitis, baik
berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang yang tersedia. (6)
Diagnosis
Diagnosis ISK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan laboratorium yang dipastikan dengan biakan urin. Demam
merupakan gejala dan tanda klinik yang sering dan kadang-kadang merupakan
satu-satunya gejala ISK pada anak. (6)
Pemeriksaan urinalisis dan biakan urin adalah prosedur yang terpenting.
Oleh sebab itu kualitas pemeriksaan urin memegang peran utama untuk
menegakkan diagnosis. (6)
Pada pemeriksaan urinalisis meliputi leukosituria, nitrit, leukosit esterase,
protein, dan darah. Leukosituria merupakan petunjuk kemungkinan adanya
bakteriuria, tetapi tidak dipakai sebagai patokan ada tidaknya ISK. Leukosituria
biasanya ditemukan pada anak dengan ISK (80-90%) pada setiap episode ISK
simtomatik, tetapi tidak adanya leukosituria tidak menyingkirkan ISK. Bakteriuria
juga dapat terjadi tanpa leukosituria. Leukosituria dengan biakan urin steril perlu
dipertimbangkan pada infeksi oleh kuman Proteus sp., Klamidia sp., dan
Ureaplasma urealitikum.
Pemeriksaan dengan stik urin dapat mendeteksi adanya leukosit esterase,
enzim yang terdapat di dalam leukosit neutrofil, yang menggambarkan banyaknya
leukosit dalam urin. Uji nitrit merupakan pemeriksaan tidak langsung terhadap
bakteri dalam urin. Dalam keadaan normal, nitrit tidak terdapat dalam urin, tetapi
dapat ditemukan jika nitrat diubah menjadi nitrit oleh bakteri. Sebagian besar
kuman gram negatif dan beberapa kuman gram positif dapat mengubah nitrat
menjadi nitrit, sehingga uji nitrit positif berarti terdapat kuman dalam urin. Urin
dengan berat jenis yang tinggi menurunkan sensitivitas uji nitrit. (6)
Hematuria kadang-kadang dapat menyertai ISK, tetapi tidak dipakai
sebagai indikator diagnostik. Protein dan darah mempunyai sensitivitas dan
spesifisitas yang rendah dalam diagnosis ISK. Pemeriksaan lain yang dapat
dipakai adalah Neutrophil gelatinase associated lipocalin urin (uNGAL) dan rasio
uNGAL dengan kreatinin urin >30 ng/mg. (6)
25

Pada urin segar tanpa dipusing (uncentrifuged urine), terdapatnya kuman


pada setiap LPB kira-kira setara dengan hasil biakan 10 7 cfu/mL urin, sedangkan
urin yang dipusingm terdapatnya kuman pada setiap LPB pemeriksaan
mikroskopis menandakan jumlah kuman lebih dari 10 5 cfu/mL urin. Jika dengan
mikroskop fase kontras tidak terlihat kuman, umumnya urin steril.
Pada pemeriksaan darah, leukositosis, peningkatan nilai absolut neutrofil,
peningkatan LED, CRP positif, merupakan indikator non spesifik ISK-atas.
Prokalsitonin, dan sitokin proinflamatori (TNF-, IL-6, IL-8) meningkat pada fase
akut infeksi, termasuk pada pielonefritis akut.
Cara pengambilan spesimen urin
Idealnya, teknik pengumpulan urin harus bebas dari kontaminasi, cepat,
mudah dilakukan semua umur oleh orangtua, murah, dan menggunakan peralatan
sederhana. Pengambilan sampel urin untuk biakan urin ddapat dilakukan dengan
cara aspirasi suprapubik, kateter urin, midstream, dan menggunakan urine
collector. Cara terbaik untuk menghindari kemungkinan kontaminasi ialah dengan
aspirasi suprapubik, dan merupakan gold standard pengambilan sampel urin
untuk biakan urin. Kateterisasi urin merupakan metode yang dapat dipercaya
terutama pada anak perempuan, tetapi cara ini traumatis. Teknik pengambilan urin
midstream merupakan metode non-invasif yang bernilai tinggi, dan urin bebas
terhadap kontaminasi dari uretra. Pada bayi atau anak kecil, urin dapat diambil
dengan memakai kantong penampung urin. Metode dengan kantong penampung
urin merupakan metode yang mudah dilakukan, namun risiko kontaminasi tinggi
dengan positif palsu hingga 80%. Child Health Network guideline 2012 hanya
merekomendasikan 3 teknik pengambilan sampel urin, yaitu midstream,
kateterisasi urin, dan aspirasi suprapubik.
Pengiriman bahan biakan ke laboratorium mikrobiologi perlu mendapat
perhatian karena bila sampel biakan urin dibiarkan pada suhu kamar lebih dari
jam, maka kuman dapat membiak dengan cepat sehingga memberikan hasil positif
palsu. Jika urin tidak langsung dikultur dan memerlukan waktu lama, sampel urin
harus dikirim dalam termos es atau disimpan didalam lemari es. Urin dapat
disimpan dalam lemari es pada suhu 4oC, selama 48-72 jam sebelum dibiak. (6)
Klasifikasi
26

ISK asimtomatik dan ISK simtomatik


ISK asimtomatik adalah bakteriuria bermakna tanpa gejala. ISK
simtomatik yaitu terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan

tanda klinik. Jika sulit digolongkan maka disebut dengan ISK non spesifik.
ISK simpleks (uncomplicated UTI) dan ISK kompleks (complicated UTI)
ISK kompleks adalah yang disertai kelainan anatomik dan atau fungsional

saluran kemih yang menyebabkan stasis atau refluks urin. (6)


ISK atas dan bawah
ISK atas dan bawah peru dibedakan karena risiko terjadinya parut ginjal
pada pielonefritis serta beda untuk tata laksananya.

Tata Laksana
1. Eradikasi infeksi akut
Jika seorang anak dicurigai ISK, berikan antibiotik dengan kemungkinan
yang paling sesuai sambil menunggu hasil biakan urin, terapi lanjutannya
disesuaikan dengan biakan urin. Umumnya hasil pengobatan sudah
tampak dalam 48-72 jam. Bila dalam waktu tersebut respon klinik belum
terlihat kemungkinan antibiotik yang diberikan tidak sesuai atau mungkin
yang dihadapi adalah ISK kompleks, sehingga antibiotik dapat diganti.
Selain pemberian antibiotik, dianjurkan untuk meningkatkan asupan
cairan.
Rekomendasi NICE untuk penanganan ISK fase akut :
a. Bayi <3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke
dokter spesialis anak, pengobatan harus dengan antibiotik
parenteral.
b. Bayi >= 3 bulan dengan pielonefritis akut/ISK atas :
i. Pertimbangkan untuk dirujuk ke spesialis anak
ii. Terapi dengan antibiotik oral 7-10 hari, dengan antibiotik
yang resistensinya masi rendah berdasarkan pola resistensi
kuman, seperti Sefalosporin atau ko-amoksiklav.
iii. Jika antibiotik per oral tidak tidak dapat digunakan, terapi
dengan antibiotik parenteral, seperti sefotaksim atau
seftriakson selama 2-4 hari dilanjutkan dengan antibiotik
per oral hingga total lama pemberian 10 hari
27

c. Bayi >= 3 bulan dengan sistitis/ISK bawah :


i. Berikan antibiotik oral selama 3 hari berdasarkan pola
resistensi kuman setempat. Bila tidak ada hasil pola
resistensi kuman, dapat diberikan trimetoprim, sefalosporin,
atau amoksisilin.
ii. Bila dalam 24-48 jam belum ada perbaikan klinis harus
dinilai kembali, dilakukan pemeriksaan kultur urin untuk
melihat pertumbuhan bakteri dan kepekaan terhadap obat.
Di negara berkembang didapatkan resistensi kuman uropatogen yang
tinggi terhadap ampisilin, kotrimoksazol, dan kloramfenikol, sedangkan
sensitivitas sebagian besar kuman patogen dalam urin mendekati 96%
terhadap gentamisin dan seftriakson. (6)
Tabel 4. Pilihan antimikroba oral pada infeksi saluran kemih (6)
Jenis
Amoksisilin
Sulfonamid

Dosis per hari


20-40 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis

-TMP SMX

120-150 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis


120-150 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis

-Sulfisoksazol
Sefalosporin
-Sefiksim
-Sefpodiksim
-Sefprozil
-Sefaleksin
-Lorakarbef

8 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis


10 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis
50-100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 dosis
15-30 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis

2. Deteksi dan tata laksana kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan
saluran kemih
3. Deteksi dan mencegah infeksi berulang
Deteksi ISK berulang dilakukan dengan biakan urin berkala, misalnya
setiap bulan, kemudian dilanjutkn setiap 3 bulan.
Indikasi rawat menurut Konsensus IDAI

28

ISK pada neonatus


Pielonefritis akut
ISK dengan komplikasi seperti gagal ginjal, hipertensi, sepsis, syok
ISK dengan gejala klinik berat seperti rasa sakit yang hebat, toksik,

kesulitan asupan oral, muntah dan dehidrasi


ISK dengan kelainan urologi yang kompleks
ISK dengan organisme resisten terhadap antibiotik oral

DAFTAR PUSTAKA
1. Azhali, MS., Garna, Herry., Chaerulfatah, Alex., Setiabudi, Djatnika.
2014. Infeksi Penyakit Tropik. Dalam : Garna, Herry., Nataprawira, Heda
Melinda. Pedoman Diagnosis Dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak. Bandung:
Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD
2. Cohen P, Lippold C, Talavera F, Lederer E. Nephrotic Syndrome.
Medscape.
3. McLean, Heather S., & Price, David T. 2016. In: Kliegman, Robert M. et
al. 2016. Nelson Textbook of Pediatrics Edition 20th.
Philadelphia:Elsevier
4. Ozkaya N, Cakar N, Ekim M, Kara N, Akkok N, Yalcinkaya F.
Primary nephrotic syndrome during childhood in Turkey. Pediatr Int. 2004
Aug. 46(4):436-8.
5. Rauf S, Albar H, Aras J. 2012. Konsensus Tata Laksana Sindrom Nefrotik
Idiopatik Pada Anak Edisi Kedua. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak
Indonesia.
6. Pardede S, Tambunan T, Alatas H, Trihono P, Hidayati E. 2011. Konsensus
Infeksi Saluran Kemih Pada Anak. Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter
Indonesia.

29

Anda mungkin juga menyukai