Anda di halaman 1dari 8

RADIKAL BEBAS

Radikal bebas merupakan atom, molekul atau senyawa-senyawa yang


mengandung satu atau lebih elektron yang tidak berpasangan yang bersifat sangat
reaktif dan tidak stabil (Surai, 2003). Agar menjadi stabil, radikal bebas
memerlukan elektron yang berasal dari pasangan elektron di sekitarnya, sehingga
terjadi perpindahan elektron dari molekul donor ke molekul radikal untuk
menjadikan radikal tersebut stabil (Simanjuntak et al., 2004). Akibat reaksi
tersebut, molekul donor menjadi radikal baru yang tidak stabil dan selanjutnya
menimbulkan reaksi berantai (Simanjuntak et al., 2004). Oleh karena itu, radikal
bebas sangat berbahaya bagi makhluk hidup karena apabila reaksi ini terjadi di
dalam tubuh, maka akan menimbulkan berbagai kerusakan yang menjadi
penyebab berbagai penyakit. Radikal bebas juga berperan dalam patologi dari
berbagai penyakit degeneratif yakni kanker, aterosklerosis, rematik, jantung
koroner, katarak, dan penyakit degenerasi saraf seperti parkinson.
Senyawa radikal yang terdapat dalam tubuh (prooksidan) dapat berasal
dari luar tubuh (eksogen) atau terbentuk di dalam tubuh (endogen) dari hasil
metabolisme zat gizi secara normal (Muchtadi, 2000). Secara eksogen, senyawa
radikal antara lain berasal dari polutan, makanan atau minuman, radiasi, ozon dan
pestisida (Supari, 1996). Sedangkan secara endogen, senyawa radikal dapat timbul
melalui beberapa macam mekanisme seperti oauto-oksidasi, aktivitas oksidasi dan
sistem transpor elektron. Menurut Madhavi et al. (1996), radikal bebas diproduksi
terus menerus di dalam sel di dalam sistem transpor elektron mitokondria,
membran plasma, sitosol, retikulum endoplasma, dan peroksisom. Semua
senyawa radikal yang terbentuk, selanjutnya manjadi inisiator pada proses
peroksidasi lipid, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh (Zakaria et al.,
1996).
Menurut Madhavi et al. (1996), radikal bebas dapat menimbulkan
kerusakan protein pada lensa mata yang mengakibatkan terjadinya katarak.
Madhavi et al. (1996) juga menyatakan bahwa radikal bebas dapat merusak
membran sel terutama komponen penyusun membran berupa asam lemak tidak
jenuh ganda, merusak bagian dalam pembuluh darah yang mempermudah
pengendapan berbagai zat termasuk kolesterol sehingga menyebabkan

aterosklerosis. Sedangkan Wang et al. (2002) menyatakan bahwa radikal bebas


dapat menyebabkan oksidasi DNA sehingga DNA termutasi dan menimbulkan
kanker. Senyawa radikal juga menyebabkan terjadinya proses penuaan akibat
rusaknya sel-sel jaringan tubuh serta dapat menimbulkan penyakit autoimun
(Muchtadi, 2000).
ANTIOKSIDAN
Antioksidan adalah zat yang dapat melawan pengaruh bahaya dari radikal
bebas atau Reactive Oxygen Species (ROS) yang terbentuk sebagai hasil dari
metabolisme oksidatif yaitu hasil dari reaksi-reaksi kimia dan proses metabolik
yang terjadi dalam tubuh (Goldberg, 2003). Antioksidan mampu menghentikan
reaksi berantai radikal bebas dengan menyumbangkan satu atau lebih elektron
kepada radikal bebas dan menghambat reaksi oksidasi yang dapat menghasilkan
radikal bebas (Sies, 1997).
Penggolongan antioksidan:
1. Berdasarkan Mekanisme Kerja
a. Antioksidan primer adalah antioksidan yang bekerja dengan mencegah
reaksi berantai pembentukan radikal bebas dengan mengubahnya menjadi
senyawa yang tidak reaktif atau stabil. Antioksidan ini berperan sebagai
donor hidrogen atau dapat juga sebagai akseptor elektron. Contohnya
adalah BHT (butylated hidroxy toluene).
b. Antioksidan sekunder adalah antioksidan yang bekerja dengan
menghambat kerja peroksidan, dengan mekanisme reaksi berupa
penyerapan sinar uv, deaktivasi ion logam yaitu dengan pembentukan
senyawa kompleks. Contohnya: etilendiamin tetraasetat (EDTA), asam
sitrat dan asam tartrat.
c. Antioksidan tersier merupakan senyawa yang memperbaiki sel-sel dan
jaringan yang rusak karena serangan radikal bebas. Contoh: metionin
sulfoksidan reduktase yang dapat memperbaiki DNA dalam inti sel.
2. Berdasarkan Jenis
Antioksidan dapat digolongkan menjadi dua yaitu antioksidan enzimatik
dan non-enzimatik. Contoh antioksidan enzimatik adalah superoksida dismutase,
glutation peroksidase dan katalase. Contoh antioksidan nonenzimatik yaitu asam
urat, glutation, melatonin, vitamin C dan vitamin E (Lobo., et al, 2010).

3. Berdasarkan Sumber
a. Antioksidan sintetik adalah antioksidan alami yang telah diproduksi secara
sintetis untuk tujuan komersial. Antioksidan sintetik yang diijinkan
penggunaannya untuk makanan yaitu Butil Hidroksi Anisol (BHA), Butil
Hidroksi Toluen (BHT), Propil galat, Tert-Butil Hidroksi Quinon (TBHQ)
dan Tokoferol.
b. Antioksidan alami adalah antioksidan yang diperoleh dari bahan alam,
merupakan senyawa metabolit sekunder tumbuhan seperti senyawa
golongan alkaloid, fenolik, flavanoid. Golongan flavonoid yang memiliki
aktivitas antioksidan meliputi flavon, flavonol, isoflavon, kateksin,
flavonol dan kalkon.
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
Beberapa metode uji aktivitas antioksidan secara in-vitro yang telah dilakukan
adalah :
1. Metode FRAP
FRAP (Ferric Reducing Ability of Plasma) adalah salah satu tes yang
paling cepat dan sangat berguna untuk analisis rutin (Shivaprasad, Mohan,
Kharya, 2005). Uji FRAP didasarkan pada kemampuan antioksidan untuk
mereduksi Fe3+ menjadi Fe2+dengan adanya 2,4,6-tri (2-piridil)s triazine
(TPTZ), membentuk biru intensif dari kompleks Fe2+- TPTZ yang diukur pada
absorbansi maksimum 593 nm. Reaksi ini tergantung pH (pH optimum 3,6).
Penurunan absorbansi sebanding dengan kandungan antioksidan (Chanda, S.,
Dave, R., 2009).
2. Metode DPPH
Menggunakan 1,1-difenil-2-pikrilhidrazil sebagai sumber radikal bebas.
Pengukuran antioksidan secara Efek peredaman radikal bebas DPPH merupakan
metode pengukuran antioksidan yang sederhana, cepat dan tidak membutuhkan
banyak reagen seperti halnya uji lain (xantin-xantin oksidase, metode tiosianat,
antioksidan total). Hasil pengukuran menunjukkan kemampuan antioksidan
sampel secara umum tidak berdasar jenis radikal yang dihambat. Pada metode ini,
DPPH berperan sebagai radikal bebas yang diredam oleh antioksidan dari bahan
uji, dimana DPPH akan bereaksi dengan antioksidan tersebut membentuk 1,1,-

difenil-2- pikrilhidrazin. Reaksi ini menyebabkan terjadinya perubahan warna


yang dapat diukur dengan spektrofotometer sinar tampak pada 517 nm, sehingga
aktivitas peredaman radikal bebas oleh sampel dapat ditentukan (Juniarti, Delvi,
O., dan Yuhernita, 2009). Berikut reaksi penangkapan hidrogen oleh DPPH dari
zat antioksidan (Sharma R., Chaphalkar S.R. and Adsool A.D., 2010):
3. Metode xantin oksidase
Ini merupakan salah satu metode untuk mengukur aktivitas antioksidan.
Adanya antioksidan diukur dari persentase inhibisi aktivitas xantin oksidase.
Enzim xantin oksidase memproduksi asam urat dengan adanya radikal
superoksida dari xantin dan jumlah dari asam urat diukur pada 292nm
(Shivaprasad, Mohan, Kharya, 2005).
4. Metode Reducing power
Metode ini didasarkan pada prinsip peningkatan absorbansi dari reaksi
campuran. Peningkatan absorbansi menunjukkan peningkatan aktivitas
antioksidan. Pada metode ini senyawa antioksidan metode membentuk kompleks
berwarna dengan kalium ferisiania, trichloro acetic acid dan besi klorida, yang
diukur pada panjang gelombang 700 nm. Meningkatnya absorbansi dari reaksi
campuran menunjukkan pengurangan kekuatan sample (Shivaprasad, Mohan,
Kharya, 2005).
5. Aktivitas penghambatan radikal superoksida
Aktivitas peredaman radikal superoksida secara in-vitro diukur dengan
reduksi dari riboflavin / cahaya / NBT (Nitro biru tetrazolium) reduksi. Reduksi
NBT adalah metode yang paling populer. Metode ini didasarkan pada
pembentukan radikal superoksida secara auto-oksidasi dari riboflavin dengan
adanya cahaya. Radikal superoksida mereduksi NBT menjadi formazon berwarna
biru yang dapat diukur pada 560nm. Kapasitas ekstrak untuk menghambat warna
sampai 50% diukur sebagai EC50 (Shivaprasad, Mohan, Kharya, 2005).
6. Aktivitas penghambatan radikal hidroksil
Kapasitas penghambatan radikal hidroksil ekstrak secara langsung
berhubungan dengan aktivitas antioksidan. Metode ini melibatkan pembentukan
secara in-vitro dari radikal hidroksil menggunakan Fe3+/ ascorbat/ EDTA/ H2O2
dengan menggunakan reaksi Fenton. Penghambatan radikal hidroksil ini dengan

adanya antioksidan diukur. Dalam salah satu metode radikal hidroksil yang
terbentuk secara oksidasi dibuat untuk bereaksi dengan DMSO (dimethyl
sulphoxide) untuk menghasilkan formaldehida. Formaldehida yang terbentuk
menghasilkan warna kuning yang intens dengan reagen Nash (amonium asetat 2
M dengan asam asetat 0,05 M dan aseton asetil 0,02 M dalam aquadest).
Intensitas warna kuning yang terbentuk diukur pada 412 nm dengan
spektrofotometri terhadap blanko negatif. Aktivitas ini dinyatakan sebagai %
penghambatan radikal hidroksil (Shivaprasad, Mohan, Kharya, 2005).
7. Aktivitas penghambatan nitrat oksida radikal
Oksida nitrat, karena memiliki elektron yang tidak berpasangan, maka
diklasifikasikan sebagai radikal bebas dan menunjukkan reaktivitas yang penting
dengan jenis tertentu dari protein dan radikal bebas lainnya. Penghambatan secara
in-vitro dari radikal oksida nitrat juga diukur sebagai aktivitas antioksidan.
Metode ini didasarkan pada inhibisi dari pembentukan radikal oksida nitrat yang
dihasilkan dari natrium nitroprusid dalam dapar garam dan diukur dengan
pereaksi Griess. Dengan adanya penghambatan, absorbansi dari kromofor diukur
pada 546 nm. Aktivitas ini menunjukkan sebagai % reduksi dari.oksida nitrat
(Shivaprasad, Mohan, Kharya, 2005).
Uji Aktivitas Antioksidan menggunakan DPPH
Metode DPPH (1,1-diphenyl-2-picrylhydrazyl) digunakan secara luas
untuk menguji kemampuan senyawa yang berperan sebagai pendonor elektron
atau hidrogen. Metode DPPH merupakan metode yang sederhana, cepat, dan
mudah untuk skrining aktivitas penangkap radikal beberapa senyawa Metode
DPPH dapat mengukur aktivitas total antioksidan baik dalam pelarut polar
maupun nonpolar. Beberapa metode lain terbatas mengukur komponen yang larut
dalam pelarut yang digunakan dalam analisa. (Prakash, et al., 2001).
DPPH mempunyai ciri-ciri padatan berwarna ungu kehitaman, larut dalam
pelarut DMF (dimetilformamida), etanol dan metanol, dengan rumus molekul
C18H12N5O6. Radikal bebas DPPH yang memiliki elektron tidak berpasangan
memberikan warna ungu dan akan berubah menjadi warna kuning saat
elektronnya berpasangan melalui mekanisme donasi atom hydrogen. Pengurangan

intensitas warna yang terjadi berhubungan dengan jumlah elektron DPPH yang
menangkap atom hidrogen. Sehingga pengurangan intensitas warna
mengindikasikan peningkatan kemampuan antioksidan untuk menangkap radikal
bebas. DPPH yang bereaksi dengan antioksidan akan menghasilkan bentuk
tereduksi DPPH dan radikal antioksidan (Prakash, dkk., 2001). Reaksi antara
DPPH dengan senyawa peredam radikal bebas dapat dilihat pada Gambar 2.6.

Metode ini melibatkan pengukuran penurunan serapan DPPH pada


panjang gelombang maksimal antara 515 nm - 517 nm, yang sebanding terhadap
konsentrasi penghambat radikal bebas yang ditambahkan ke larutan reagen DPPH
(R.Apak, et al., 2013 & Prakash, et al. 2001).
Data hasil pengukuran absorbansi digunakan untuk menghitung % inhibisi
dengan menggunakan rumus:

Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dinyatakan dengan Inhibition


Concentration 50% atau IC50 yaitu konsentrasi sampel yang dapat menghambat
aktivitas DPPH sebanyak 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin tinggi
aktivitas antioksidan. Pengukuran dilakukan melalui persamaan regresi linier yang
menyatakan hubungan antara konsentrasi senyawa (sampel) uji (x) dengan persen
inhibisi (y) dari seri replikasi pengulangan. Dimana akan didapat persamaan y =
bx + a dengan a sebagai intersep, b sebagai slope, dan nilai koefisien regresi linier
(r) 1 yang selanjutnya dihitung dan diperoleh nilai IC50.

Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat jika nilai IC50
kurang dari 0,05 mg/ml, aktivitas kuat untuk antara 0,05-0,1 mg/ml, aktivitas
sedang jika nilai IC50 0,101-0,150 mg/ml dan aktivitas lemah jika nilai IC50 0,1510,200 mg/mL (Blois, 1958).
Aktivitas penangkapan radikal bebas dapat dinyatakan dengan satuan
persen (%) aktivitas antioksidan. Nilai ini diperoleh dengan Persamaan 2.1
(Molyneux, 2003).

Nilai 0% berarti sampel tidak mempunyai aktivitas antioksidan, sedangkan


nilai 100% berarti pengujian aktivitas antioksidan perlu dilanjutkan dengan
pengenceran sampel untuk mengetahui batas konsentrasi aktivitasnya. Suatu
bahan dapat dikatakan aktif sebagai antioksidan apabila presentase aktivitas
antioksidan lebih atau sama dengan 50% (Parwata, dkk., 2009). Absorbansi
kontrol yang digunakan dalam prosedur DPPH ini adalah absorbansi DPPH
sebelum ditambahkan sampel. Kontrol digunakan untuk mengkonfirmasi
kestabilan sistem pengukuran. Nilai absorbansi kontrol dapat berkurang dari hari
ke hari dikarenakan kehilangan aktivitasnya saat dalam stok larutan DPPH, tetapi
nilai absorbansi kontrol tetap dapat memberikan batasan untuk pengukuran saat
itu. Kontrol juga berfungsi menjaga kekonstanan total konsentrasi DPPH dalam
serangkaian pengukuran (Molyneux, 2003).
Aktivitas antioksidan dengan metode DPPH dinyatakan dengan Inhibition
Concentration 50% atau IC50 yaitu konsentrasi sampel yang dapat menghambat
aktivitas DPPH sebanyak 50%. Semakin kecil nilai IC50 maka semakin tinggi
aktivitas antioksidan. Suatu senyawa dikatakan sebagai antioksidan sangat kuat
jika nilai IC50 kurang dari 0,05 mg/ml, aktivitas kuat untuk antara 0,05-0,1 mg/ml,
aktivitas sedang jika nilai IC50 0,101-0,150 mg/ml dan aktivitas lemah jika nilai
IC50 0,151-0,200 mg/mL (Blois, 1958).
Perhitungan nilai AAI (Antioxidant Activity Index) digunakan untuk
mengetahui index aktivitas antioksidan dengan rumus:

Menurut Scherer dan Godoy (2009) aktivitas antioksidan berdasarkan nilai


AAI (Antioxidant Activity Index), dikatakan lemah sebagai antioksidan jika nilai
AAI < 0.5, aktivitas antioksidan sedang jika 0,5 < AAI < 1.0, aktivitas antioksidan
kuat 1.0 < AAI < 2.0 dan aktivitas antioksidan sangat kuat jika nilai AAI > 2.0
(Faustino, et al, 2010).

Anda mungkin juga menyukai