PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut (ISNBA) masih menjadi masalah
kesehatan yang utama terutama di negara-negara berkembang dan menimbulkan
angka kesakitan dan kematian yang tinggi. ISNBA dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk, tersering adalah pneumonia. Pneumonia merupakan proses
infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat dengan gejalagejala batuk, demam dan sesak nafas. 1,2,3,5
Gambar 1. Pneumonia
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. PNEUMONIA
A. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi oleh
cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam
interstitium. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). 2,5,6,7,8
B. Faktor Resiko
Pneumonia semakin sering dijumpai pada golongan lanjut usia, pasien
dengan panyakit menahun serta pada penderita penyakit paru obstruksi kronik.
Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus,
payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit
saraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain berupa kebiasaan
merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, kelemahan atau
kelainan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan
infasif seperti infus, intubasi, trakeostomi atau pemasangan ventilator.2,5
C. Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme : bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Data dari kepustakaan, pneumoni yang didapat dari
3
keadaan
sehat
pada
paru
tidak
terjadi
pertumbuhan
Apabila
terjadi
ketidakseimbangan
antara
daya
tahan
tubuh,
E. Patologi Anatomi
Terdapat 4 stadium anatomi dari pneumonia lobaris, yaitu:5,6
a) Stadium kongesti, terdiri dari proliferasi cepat dari bakteri dengan
peningkatan vaskularisasi dan eksudasi yang serius, sehingga lobus yang
terkena akan berat, merah penuh dengan cairan. Rongga alveolar
mengandung cairan edema yang berprotein, neutrofil yang menyebar dan
banyak bakteri. Susunan alveolar masih tampak.
b) Stadium hepatisasi merah terjadi oleh karena rongga udara dipenuhi
dengan eksudat fibrinosupuratif yang berakibat konsolidasi kongestif yang
F. Manifestasi Klinis
Secara umum manifestasi klinis pneumonia dapat dibagi menjadi:1,2,5,7,8
a) Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal.
b) Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu,
akspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih, dan
sianosis. Penderita pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri.
c) Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah,
suara napas melemah, dan ronki.
d) Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah,
suara napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub, nyeri dada
karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah dan berubah
menjadi nyeri tumpul), kaku kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa
inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen (kadang
terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan
bawah).
G. Klasifikasi
5
H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis pneumonia bergantung kepada penemuan kelainan fisis
atau bukti radiologis yang menunjukkan konsuidasi. Klasifikasi diagnosis klinis
pada masa kini dilengkapi faktor patogenesis yang berperan (lingkungan,
pejamu). Diagnosis dan terapi pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan kepada
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang diteliti dan pemeriksaan
penunjang.
2,3,4
Gejala-gejala meliputi:
Gejala Mayor: 1.batuk
2.sputum produktif
3.demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang
kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian
menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 2,4,5,7
Anamnesis
pasien:
bayi
(virus),
muda
(M.
pneumoniae),
dewasa
(S.pneumoniae)
c) Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae);
perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).
Pemeriksaan fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan
gejala klinis yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan
tingkat berat penyakit:
a) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae,
Streptococcus spp. Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif. Awitan lebih insidious
dan ringan pada orang tua/imunitas menurun misalnya: Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anerob, jamur.
b) Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa
demam, sesak napas, tanda-tanda konsulidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada PK
primer
berupa
bronkopneumonia,
pneumonia
lobaris
atau
Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis
umumnya
menandai
adanya
infeksi
bakteri;
leukosit
I. DIAGNOSIS BANDING
Tuberculosis Paru (TB)
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M.
tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB
antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri
dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil,
keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. 1,4,5
Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA
Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang
terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang
mirip dengan pneumonia tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan
jantung, trakea, dan mediastinum ke arah yang sakit karena adanya
pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit dan pengecilan
dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan tampak
thorax asimetris. 1,4,5
10
Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air
bronchogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan
jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax
membesar. Pada edusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda
khas pada efusi pleura. 1,4,5
11
13
2. DISPEPSIA
A Definisi
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom
atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman
di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa
penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.(1)
B Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai
dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus
pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus
dispepsia.
Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%)
populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan
mencari pengobatan medis.
C Etiologi
Berdasarkan etiologi nya, dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a
Dispepsia fungsional(2)
o Dalam Konsensus Roma III (2006), definisi nya adalah:
Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.
Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan
terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.
14
3
b
Dispepsia organik(1)
Bisa disebabkan karena:
Gangguan
penyakit
dalam
lumen
saluran
cerna
(tukak
D Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam-macam
penyebab
dan
mekanismenya.
Penyebab
dan
15
Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori belum sepenuhnya dimengerti dan
diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.
Dismotilitas gastrointestinal
Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan
pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas
terhadap distensi lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa
dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan
pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung pada
waktu makan. Pada keadaan normal, waktu makanan masuk
lambung, terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa
meningkatkan tekanan dalam lambung. Konsep ini yang mendasari
adanya pembagian sub grup dispepsia menjadi tipe dismotilitas, tipe
seperti ulkus, dan tipe campuran.
Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati
vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
proksimal
lambung
waktu
menerima
makanan,
sehingga
16
Keluhan, kuantitas dan kualitas pada setiap pasien sangat bervariasi, maka
dispepsia diklasifikasikan berdasarkan keluhan yang dominan(1,2):
Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)
F Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau
intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis. (1)
G Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD
dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test
(belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap
saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Selain itu, dapat juga menggunakan
Ultrasonografi untuk
sehingga diagnosis secara klinis agak terbatas kecuali bila ada alarm sign.
Bila ada salah satu atau lebih ada pada pasien, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan endoskopi. Alarm sign adalah:
Anoreksia
Kuning (Jaundice)
18
Diagnostic category
Approximate
prevalence*
Up to 70 percent
15 to 25 percent
Reflux esophagitis
5 to 15 percent
< 2 percent
Rare
Rare
Rare
Gastroparesis
Rare
Hepatoma
Rare
Rare
Rare
Rare
Rare
Rare
Pancreatitis
Rare
Rare
19
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia
yang belum terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh
pengobatan H pylori secara empiris dengan antibakteri. Pada pengobatan
tingkat pertama, terapi antisekretori secara empiris juga masih popular.
Penatalaksanaan dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi :
1
Endoskopi dini
peran
hipersensitivitas
visceral
dalam
patogenensis
21
BAB III
LAPORAN KASUS
Anamnesa
hari yang lalu. Sesak disertai batuk berdahak awalnya berwarna putih
kemudian berwarna kuning dan Demam (+) 3 hari SMRS.
Pasien juga mengeluh adanya nyeri ulu hati, mual, dan muntah
Status Present:
Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum
Sensorium : Compos
Keadaan Penyakit
Anemia : tidak
Keadaan Gizi
TB = 155 cm
Mentis
Ikterus : tidak
BB = 51 kg
Sianosis : tidak
Kesan : Normoweight
Nadi : 92 x/menit
Dyspnoe : ya
Nafas : 33 x/menit
Edema : tidak
Suhu : 38C
Eritema : tidak
Turgor : baik
Gerakan aktif : ya
Sikap paksa : tidak
Pemeriksaan Fisik
Kepala
22
Leher
Thoraks
: Thoraks depan :
Palpasi : fremitus suara : kanan > kiri. Kesan : fremitus melemah
Suara perkusi paru : sonor memendek di lapang paru atas dan tengah.
Suara pernafasan
Suara tambahan
paru kanan
Kesan : terdapat infiltrate di lapang paru atas dan tengah paru
kanan.
Thorax belakang :
Palpasi : fremitus suara : kanan > kiri. Kesan : fremitus mengeras.
Suara perkusi paru
Suara pernafasan
Suara tambahan
Ekstremitas
Pemeriksaan Penunjang
-
Darah rutin :
Hb
11,4 g/Dl
Hitung Eritrosit
4,2x106 /L
Leukosit
15.800 /L
Hematokrit
35,6 %
Trombosit
375.000 /L
1%
0%
23
N. Stab
N. Seg
Limfosit
Monosit
0%
81%
12 %
6%
Ekspertise:
Sinus costophrenicus normal, diafragma normal.
Cor: CTR < 50%
Pulmo: tampak infiltrate di lobus atas dan tengah paru kanan berbatas tegas.
Kesan: Pneumonia.
Diagnosa Kerja
Pneumonia + dyspepsia non spesifik
Terapi :
1
2
24
Tinjauan Pustaka
Anamnesa
Pemeriksaan
Fisik
PNEUMONIA
Gejala Mayor:
1.batuk
2.sputum produktif
3.demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor:
1. sesak napas
2. nyeri dada
DISPEPSIA
Dyspepsia like ulcer:
Nyeri ulu hati yang
mendominasi + nyeri pada
malam hari digolongkan ke
Dispepsia fungsional tipe
seperti ulkus
PNEUMONIA
Thorax :
I : ketinggalan bernapas pada sisi
yang terkena
P : fremitus melemah pada paru
yang terkena,
Kasus
Batuk berdahak, warna dahak
awal putih kemudian menjadi
kuning
Sesak napas 4 hari SMRS
memberat 1 hari SMRS
Riwayat demam (+) (390c)
Thorax depan :
I : simetris dex = sin
P : SF paru kanan melemah
P : perkusi : sonor memendek di
lapang atas dan tengah paru
kanan
25
Pemeriksaan
Penunjang
Tatalaksana
Leukosit 15.800/L
PNEUMONIA
Terapi :
Penderita rawat inap diruang
O2 2 liter/menit
rawat biasa
o Pengobatan
supportif
/ IVFD RL 20 gtt/i
simptomatik
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Pemberian terapi oksigen
Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab
Pemasangan infus untuk
Inj. Ranitidine 1 ampul/12 jam
rehidrasi dan koreksi
Inj. Metoclopramide 1 ampul/12
elektrolit.
jam
Pengobatan
antibiotik
Sucralfat syr. 2 x 1 CI
harus diberikan kurang
dari 8 jam.
DISPEPSIA
o Antasida
o Penyekat h2 reseptor
o Penghambat pompa proton
o Sitoproteksi
o Prokinetik
26
BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus dengan diagnosis Pneumonia + Dispepsia non
spesifik, diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Rasad, Sjariar. 2008. Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta
2. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM;
2007.
3. Price, Sylvia A., Wilso, Loraine M. 2008. Patofisiologi, Konsep klinis ProsesProses Penyakit, Buku II, edisi keempat. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
4. Palmer, dkk. 2010, Petunjuk Membaca Foto untuk Dokter Umum, EGC,
Jakarta
5. Wibisono, Jusuf M. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Balai penerbit FK
UNAIR, Surabaya
6. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilatorassociated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit.Care Med
2005; 171: 388-416.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial.
9. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 441-2.
10. Djojoningrat, D. Dispepsia Fungsional. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 529-533.
11. Lindseth, G. Gangguan Lambung dan Duodenum. In: Patofisiologi. Edisi VI.
Jakarta: EGC; 2006. p. 417-21.
12. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi II. Jakarta: EGC;
28
2001. p. 551-63.
29