Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Infeksi Saluran Napas Bawah Akut (ISNBA) masih menjadi masalah
kesehatan yang utama terutama di negara-negara berkembang dan menimbulkan
angka kesakitan dan kematian yang tinggi. ISNBA dapat dijumpai dalam
berbagai bentuk, tersering adalah pneumonia. Pneumonia merupakan proses
infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli) yang menimbulkan
konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat dengan gejalagejala batuk, demam dan sesak nafas. 1,2,3,5

Gambar 1. Pneumonia

Di Indonesia berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)


tahun 2007 menunjukkan prevalensi nasional ISPA 25,5%, angka morbiditas
pneumonia pada bayi 2,2%, balita 3%, angka mortalitas pada bayi 23,8% dan
balita 15,5%. 2,3
Pemeriksaan foto polos thoraks merupakan salah satu pemeriksaan
penunjang dalam menegakkan diagnosis pneumonia. Gambaran yang berbeda
dari thorax dapat diperoleh dengan merubah orientasi relatif tubuh dan arah
pancaran x-ray.1,2
Dispepsia adalah sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri
dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa,
rasa cepat kenyang, perut rasa penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan
yang bervariasi.
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai
dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus pada
praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus dispepsia.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari paper ini adalah agar kita khususnya penyusun
dapat lebih memahami tentang pneumonia, patogenesis, klasifikasi, gambaran
klinis, penegakkan diagnosis terutama pemeriksaan penunjang di bidang
radiologi yang mendukung diagnosis.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. PNEUMONIA
A. Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah peradangan parenkim paru dimana asinus terisi oleh
cairan radang, dengan atau tanpa disertai infiltrasi dari sel radang ke dalam
interstitium. Secara klinis pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan
paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit). 2,5,6,7,8
B. Faktor Resiko
Pneumonia semakin sering dijumpai pada golongan lanjut usia, pasien
dengan panyakit menahun serta pada penderita penyakit paru obstruksi kronik.
Juga dapat terjadi pada pasien dengan penyakit lain seperti diabetes melitus,
payah jantung, penyakit arteri koroner, keganasan, insufisiensi renal, penyakit
saraf kronik, dan penyakit hati kronik. Faktor predisposisi lain berupa kebiasaan
merokok, pasca infeksi virus, keadaan imunodefisiensi, kelemahan atau
kelainan struktur organ dada dan penurunan kesadaran. Juga adanya tindakan
infasif seperti infus, intubasi, trakeostomi atau pemasangan ventilator.2,5
C. Etiologi
Pneumonia disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme : bakteri,
virus, jamur dan protozoa. Data dari kepustakaan, pneumoni yang didapat dari
3

masyarakat (community-acquired pneumonia / pneumonia komuniti) banyak


disebabkan oleh bakteri gram positif, sebaliknya pneumonia yang didapat di
rumah sakit (hospital-aquired pneumonia / pneumonia nosokomial) banyak
disebabkan oleh bakteri gram negatif, sedang pneumonia aspirasi banyak
disebabkan oleh bakteri anaerob. 1,2,3,7,8
D. Patogenesis
Dalam

keadaan

sehat

pada

paru

tidak

terjadi

pertumbuhan

mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan


paru.

Apabila

terjadi

ketidakseimbangan

antara

daya

tahan

tubuh,

mikroorganisme dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk,


berkembang biak dan menimbulkan penyakit. Risiko terjadinya infeksi pada
paru sangat tergantung pada kemampuan mikroorganisme untuk mencapai dan
merusak permukaan epitel saluran napas. Ada beberapa cara mikroorganisme
untuk mencapai dan merusak permukaan saluran nafas :Inokulasi langsung,
penyebaran melalui pembuluh darah, inhalasi bahan aerosol, kolonisasi pada
permukaan mukosa. Terbanyak adalah kolonisasi. Predisposisi: influenza,
alkoholisme, gizi kurang. Komorbid: diabetes melitus, gagal ginjal , gangguan
imunitas, PPOK. 2,5,7,8

E. Patologi Anatomi
Terdapat 4 stadium anatomi dari pneumonia lobaris, yaitu:5,6
a) Stadium kongesti, terdiri dari proliferasi cepat dari bakteri dengan
peningkatan vaskularisasi dan eksudasi yang serius, sehingga lobus yang
terkena akan berat, merah penuh dengan cairan. Rongga alveolar
mengandung cairan edema yang berprotein, neutrofil yang menyebar dan
banyak bakteri. Susunan alveolar masih tampak.
b) Stadium hepatisasi merah terjadi oleh karena rongga udara dipenuhi
dengan eksudat fibrinosupuratif yang berakibat konsolidasi kongestif yang

menyerupai hepar pada jaringan paru. Benang-benang fibrin dapat


mengalir dari suatu alveolus melalui pori-pori yang berdekatan.
c) Stadium hepatisasi kelabu (konsulidasi) melibatkan desintegrasi progresif
dari leukosit dan eritrosit bersamaan dengan penumpukan terus-menerus
dari fibrin diantara alveoli.
d) Stadium akhir yaitu resolusi, mengikuti kasus-kasus tanpa komplikasi.
Eksudat yang mengalami konsolidasi di antara rongga alveoli dicerna
secara enzimatis yang diserap kembali atau dibersihkan dengan batuk.
Parenkim paru kembali menjadi penuh dengan cairan dan basah sampai
pulih mencapai keadaan normal.

F. Manifestasi Klinis
Secara umum manifestasi klinis pneumonia dapat dibagi menjadi:1,2,5,7,8
a) Manifestasi nonspesifik infeksi dan toksisitas berupa demam, sakit
kepala, gelisah, malaise, nafsu makan kurang, keluhan gastrointestinal.
b) Gejala umum saluran pernapasan bawah berupa batuk, takipnu,
akspektorasi sputum, napas cuping hidung, sesak napas, merintih, dan
sianosis. Penderita pneumonia akan lebih suka berbaring pada sisi yang
sakit dengan lutut tertekuk karena nyeri.
c) Tanda pneumonia berupa retraksi, perkusi pekak, fremitus melemah,
suara napas melemah, dan ronki.
d) Tanda efusi pleura atau empiema berupa gerak ekskursi dada tertinggal di
daerah efusi, perkusi pekak, fremitus melemah, suara napas melemah,
suara napas tubuler tepat diatas batas cairan, friction rub, nyeri dada
karena iritasi pleura (nyeri berkurang bila efusi bertambah dan berubah
menjadi nyeri tumpul), kaku kuduk/meningismus (iritasi meningen tanpa
inflamasi) bila terdapat iritasi pleura lobus atas, nyeri abdomen (kadang
terjadi bila iritasi mengenai diafragma pada pneumonia lobus kanan
bawah).
G. Klasifikasi
5

Pneumonia diklasifikasikan ke beberapa kelompok, diantaranya:2,5,6,7,8


1. Menurut penyakit bawaan
a) Pneumonia primer : radang paru yang terserang pada orang yang
tidak mempunyai faktor resiko tertentu. Kuman penyebab utama
yaitu S. pneumoniae, Hemophilus influenzae, juga virus penyebab
infeksi pernapasan (Influenza, Parainfluenza, RSV). Selain itu juga
bakteri pneumonia yang tidak khas (atypical) yaitu mikoplasma,
chlamydia, dan legionella.
b) Pneumonia sekunder : terjadi pada orang dengan faktor predisposisi,
selain penderita penyakit paru lainnnya seperti COPD, terutama juga
bagi mereka yang mempunyai penyakit menahun seperti diabetes
melitus, HIV, kanker, dll.
2. Menurut tempat asal terjadinya infeksi
a) Community acquired pneumonia (CAP; pneumonia yang terjadi di
lingkungan rumah), juga termasuk Pneumonia yang terjadi di
rumah sakit dengan masa inap <48 jam.
b) Nosokomial pneumonia atau hospital acquired pneumonia (HAP,
pneumonia yang terjadi di rumah sakit), infeksi terjadi setelah 48
jam berada di rumah sakit.
3. Menurut gambaran klinis
a) Typical pneumonia, infeksi radang paru dengan gejala yang khas.
Gejala yang khas (typical) dari pneumonia yaitu munculnya secara
tiba-tiba diikuti dengan batuk berdahak, demam dalam waktu singkat
dan menggigil, dan sesak napas. Selain itu penderita cepat lelah, tidak
nafsu makan, berkeringat dan rasa mual.
b) Atypical pneumonia sebagai kebalikannya
4. Menurut predileksi infeksi
6

a) Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bacterial, jarang pada


bayi dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau
segmen.
b) Bronkopneumonia. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrate
pada lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus.
Sering pada bayi dan orang tua.
c) Pneumonia interstitial.

H. Penegakan Diagnosis
Diagnosis klinis pneumonia bergantung kepada penemuan kelainan fisis
atau bukti radiologis yang menunjukkan konsuidasi. Klasifikasi diagnosis klinis
pada masa kini dilengkapi faktor patogenesis yang berperan (lingkungan,
pejamu). Diagnosis dan terapi pneumonia dapat ditegakkan berdasarkan kepada
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang diteliti dan pemeriksaan
penunjang.

2,3,4

Gejala-gejala pneumonia serupa untuk semua jenis pneumonia.

Gejala-gejala meliputi:
Gejala Mayor: 1.batuk
2.sputum produktif
3.demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor: 1. sesak napas
2. nyeri dada
3. konsolidasi paru pada pemeriksaan fisik
4. jumlah leukosit >12.000/L
Pada pemeriksaan fisik dada terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu
bernafas, pada palpasi fremitus dapat mengeras, pada perkusi redup, pada
auskultasi terdengar suara napas bronkovesikuler sampai bronchial yang
kadang-kadang melemah. Mungkin disertai ronkhi halus, yang kemudian
menjadi ronkhi basah kasar pada stadium resolusi. 2,4,5,7

Anamnesis

Ditujukan untuk mengetahui kemungkinan kuman penyebab yang berhubungan


dengan faktor infeksi :
a) Evaluasi faktor presdiposisi: PPOK (H. influenzae), penurunan imunitas
(Pneumocystic carinil, CMV, Legionella, jamur, Mycobacterium),
kecanduan obat bius (Staphylococcus)
b) Usia

pasien:

bayi

(virus),

muda

(M.

pneumoniae),

dewasa

(S.pneumoniae)
c) Awitan; cepat, akut dengan rusty coloured sputum (S. pneumoniae);
perlahan dengan batuk, dahak sedikit (M. pneumoniae).

Pemeriksaan fisis
Presentasi bervariasi tergantung etiologi, usia dan keadaan klinis. Perhatikan
gejala klinis yang mengarah tipe kuman penyebab/patogenitas kuman dan
tingkat berat penyakit:
a) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti S. pneumoniae,
Streptococcus spp. Staphyloccus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering dan nonproduktif. Awitan lebih insidious
dan ringan pada orang tua/imunitas menurun misalnya: Klebsiella,
Pseudomonas, Enterobacteriaceae, kuman anerob, jamur.
b) Tanda-tanda fisis pada tipe pneumonia klasik bisa didapatkan berupa
demam, sesak napas, tanda-tanda konsulidasi paru (perkusi paru yang
pekak, ronki nyaring, suara pernapasan bronchial). Bentuk klasik pada PK
primer

berupa

bronkopneumonia,

pneumonia

lobaris

atau

pleuropneumonia. Gejala atau bentuk yang tidak khas dijumpai pada PK


sekunder ataupun PN. Dapat diperoleh bentuk manifestasi lain infeksi
paru seperti efusi pleura, pneumotoraks/hidropneumotoraks.
c) Warna, konsistensi, dan jumlah spuum penting untuk diperhatikan.

Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
Leukositosis

umumnya

menandai

adanya

infeksi

bakteri;

leukosit

normal/rendah dapat disebabkan oleh infeksi yang berat sehingga tidak


terjadi respons leukosit. Leukopenia menunjukkan depresi imunitas. Faal hati
mungkin terganggu.
b. Pemeriksaan Bakteriologis
Bahan berasal dari sputum, darah, aspirasi nasotrakeal/transtrakeal, aspirasi,
jarum transtokoral, torakkosentesis, bronkoskopi, atau biopsy. Untuk tujuan
terapi empiris dilakukan pemeriksaan apus Gram, Burri Gin, Quellung test
dan Z. Nielsen. Kuman yang predominan pada sputum yang disertai PMN
yang kemungkinan merupakan penyebab infeksi. Kultur kuman merupakan
pemeriksaan utama pra terapi dan bermanfaat untuk evaluasi terapi
selanjutnya.

I. DIAGNOSIS BANDING
Tuberculosis Paru (TB)
Tuberculosis Paru (TB) adalah suatu penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh M. tuberculosis. Jalan masuk untuk organism M.
tuberculosis adalah saluran pernafasan, saluran pencernaan. Gejala klinis TB
antara lain batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri
dada, dan hemoptisis dan gejala sistemik meliputi demam, menggigil,
keringat malam, lemas, hilang nafsu makan dan penurunan berat badan. 1,4,5

Tampak gambaran cavitas pada paru lobus atas kanan pada foto thorax proyeksi PA

Atelektasis
Atelektasis adalah istilah yang berarti pengembangan paru yang tidak
sempurna dan menyiratkan arti bahwa alveolus pada bagian paru yang
terserang tidak mengandung udara dan kolaps. Memberikan gambaran yang
mirip dengan pneumonia tanpa air bronchogram. Namun terdapat penarikan
jantung, trakea, dan mediastinum ke arah yang sakit karena adanya
pengurangan volume interkostal space menjadi lebih sempit dan pengecilan
dari seluruh atau sebagian paru-paru yang sakit. Sehingga akan tampak
thorax asimetris. 1,4,5

10

Atelektasis pada foto thorax proyeksi PA

Efusi Pleura
Memberi gambaran yang mirip dengan pneumonia, tanpa air
bronchogram. Terdapat penambahan volume sehingga terjadi pendorongan
jantung, trakea, dan mediastinum kearah yang sehat. Rongga thorax
membesar. Pada edusi pleura sebagian akan tampak meniscus sign, tanda
khas pada efusi pleura. 1,4,5

Efusi pleura pada foto thorax posisi PA

11

Pemeriksaan radiologi, dalam hal ini foto thorax konvensional dan


CT Scan menjadi pemeriksaan yang sangat penting pada pneumonia.
Terutama apabila dari pemeriksaan fisik memang menunjukan kelainan di
paru dan membutuhkan pemeriksaan peunjang berupa foto thorax.
Koordinasi antara pemeriksaan klinis, laboratorium dan radiologi akan dapat
menunjang penegakan diagnosis yang tepat. 1,4,5
Gambaran khas pada pneumonia adalah adanya perselubungan
dengan adanya gambaran air bronchogram. Namun tidak semua pneumonia
memberikan gambaran khas tersebut. Untuk menentukan etiologi pneumonia
tidak dapat hanya semata-mata menggunakan foto thorax, melainkan harus
dilihat dari riwayat penyakit, dan juga pemeriksaan laboratorium. 1,4,5
Untuk membedakan antara pneumonia, atelektasis, dan efusi pleura
dilihat dari adanya penarikan atau pendorongan jantung, trakea dan
mediastinum ke arah yang sakit atau sehat. Sementara untuk membedakan
pneumonia dengan TB adalah dilihat dari ada atau tidaknya kavitas yang
umumnya terdapat pada lobus paru bagian atas. Jadi dalam menegakkan
pneumonia, sangat diperlukan gambaran radiologis untuk penegakan
diagnosis disamping pemeriksaan laboratorium. 1,4,5
J. PENATALAKSANAAN
Dalam hal mengobati penderita pneumonia perlu diketahui keadaan klinis
penderita. Bila keadaan klinis baik dan tidak ada indikasi untuk rawat dapat
diobati dirumah. Juga diperhatikan adatidaknya factor modifikasi yaitu
keadaan yang dapat meningkatkan resiko infeksi dengan mikroorganisme
yang spesifik. Penatalaksanaan pneumonia dibagi menjadi:
a. Penderita rawat jalan:
o Pengobatan supportif / simptomatik
Istirahat di tempat tidur
Minum secukupnya untuk mengatasi dehidrasi
Bila panas dikompres atau minum obat penurun panas
Bila perlu dapat diberikan mukolitik atau ekspektoran
Antibiotik diberikan (sesui bagan) kurang dari 8 jam.
b. Penderita rawat inap diruang rawat biasa
o Pengobatan supportif / simptomatik
Pemberian terapi oksigen
Pemasangan infus untuk rehidrasi dan koreksi elektrolit.
12

Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) harus diberikan kurang dari


8 jam.
c. Penderita rawat inap di ruang intensif
o Pengobatan supportif / simptomatik
Pemberian terapi oksigen
Pemasangan infus untuk rehidrasi dann koreksi elektrolit.
Pembeian obat simptomatik anatara lain anti piretik, mukolitik.
Pengobatan antibiotik (sesuai bagan) kurang dari 8 jam.
Bila ada indikasi penderita dipasang ventilator mekanik.
Penderita pneumonia berat yang datang ke IGD diobservasi tingkat
kegawatannya, bila dapat distabilkan maka penderita dirawat di ruang rawat
inap biasa, bila terjadi respiratory distress maka penderita dirawat di ruang
intensif.

Bila dengan pengobatan empiris tidak ada perbaikan atau memburuk,


maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivity.
K. PROGNOSIS

13

Prognosis umumnya baik, tergantung dari factor penderita, bakteri penyebab,


dan penggunaan antibiotic yang adekuat. Perawatan yang baik dan intensif
sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat.8

2. DISPEPSIA
A Definisi
Dispepsia merupakan istilah yang digunakan untuk suatu sindrom
atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman
di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perut rasa
penuh/ begah. Setiap pasien memliki keluhan yang bervariasi.(1)
B Epidemiologi
Keluhan dispepsia merupakan keadaan klinis yang sering dijumpai
dalam praktek praktis sehari-hari. Di Indonesia diperkirakan 30% kasus
pada praktek umum dan 60% pada praktek spesialis merupakan kasus
dispepsia.
Dispepsia terjadi pada hampir 25% (dengan rentang 13%-40%)
populasi tiap tahun tetapi tidak semua pasien yang terkena dispepsia akan
mencari pengobatan medis.
C Etiologi
Berdasarkan etiologi nya, dispepsia dibagi menjadi dua jenis yaitu:
a

Dispepsia fungsional(2)
o Dalam Konsensus Roma III (2006), definisi nya adalah:

Adanya satu atau lebih keluhan rasa penuh setelah makan, cepat
kenyang, nyeri ulu hati/ epigastrik, rasa terbakar di epigastrium.

Tidak ada bukti kelainan structural (termasuk di dalamnya


pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas) yang dapat
menerangkan penyebab keluhan tersebut.

Keluhan ini terjadi selama tiga bulan dalam waktu enam bulan
terakhir sebelum diagnosis ditegakkan.
14

o Dalam usaha untuk mencoba ke arah praktis pengobatan, dispepsia


fungsional dibagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1

Dispepsia tipe seperti ulcus. Yang lebih dominan adalah nyeri


epiastric.

Dispepsia tipe seperti dismotilitas. Yang lebih dominan adalah


keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh, cepat kenyang.

3
b

Dispepsia tipe non-spesifik. Tidak ada keluhan yang dominan.

Dispepsia organik(1)
Bisa disebabkan karena:

Gangguan

penyakit

dalam

lumen

saluran

cerna

(tukak

gaster/duodenum, gastritis kronis, gastritis NSAID, tumor, infeksi


Helicobacter pylori)

Obat-obatan (Acarbose, Aspirin, Obat anti inflamasi non steroid,


Colchicine, Digitalis, Estrogen, Gemfibrozil, Glukokortikoid, Preparat
besi, Levodopa, Narkotik, Niasin, Nitrat, Orlistat, Potassium klorida,
Quinidine, Sildenafil, Teofilin)

Penyakit pada hati, pancreas, system bilier (hepatitis, pancreatitis,


kolesistitis, kolelitiasis, disfungsi sfingter Oddi, keganasan)

Penyakit sistemik (diabetes mellitus, penyakit tiroid, penyakit jantung


koroner, gagal ginjal)

Gangguan fungsional (dyspepsia fungsional, irritable bowel syndrome)

D Patofisiologi
Patofisiologi dispepsia terutama dispepsia fungsional dapat terjadi karena
bermacam-macam

penyebab

dan

mekanismenya.

Penyebab

dan

mekanismenya dapat terjadi sendiri atau kombinasinya. Pembagian dispepsia


berdasarkan gejalanya, seperti tercantum diatas, adalah untuk panduan
manajemen awal terutama untuk dispepsia yang tidak terinvestigasi.
Beberapa hipotesis nya yaitu: (2)

Sekresi asam lambung

15

Kasus dispepsia fungsional mempunyai tingkat sekresi asam lambung


rata-rata normal. Diduga adanya peningkatan sensitivitas mukosa
lambung terhadap asam yang menimbulkan rasa tidak enak di perut.

Helicobacter pylori
Peran infeksi Helicobacter pylori belum sepenuhnya dimengerti dan
diterima. Dari berbagai laporan kekerapan Hp pada dispepsia
fungsional sekitar 50% dan tidak berbeda bermakna dengan angka
kekerapan Hp pada kelompok orang sehat.

Dismotilitas gastrointestinal
Pada kasus dispepsia fungsional yang mengalami perlambatan
pengosongan lambung berkorelasi dengan keluhan mual, muntah dan
rasa penuh di ulu hati. Sedangkan kasus dengan hipersensitivitas
terhadap distensi lambung biasanya akan mengeluh nyeri, sendawa
dan adanya penurunan berat badan. Rasa cepat kenyang ditemukan
pada kasus yang mengalami gangguan akomodasi lambung pada
waktu makan. Pada keadaan normal, waktu makanan masuk
lambung, terjadi relaksasi fundus dan korpus gaster tanpa
meningkatkan tekanan dalam lambung. Konsep ini yang mendasari
adanya pembagian sub grup dispepsia menjadi tipe dismotilitas, tipe
seperti ulkus, dan tipe campuran.

Disfungsi autonom
Disfungsi persarafan vagal diduga berperan dalam hipersensitivitas
gastrointestinal pada kasus dispepsia fungsional. Adanya neuropati
vagal juga diduga berperan dalam kegagalan relaksasi bagian
proksimal

lambung

waktu

menerima

makanan,

sehingga

menimbulkan gangguan akomodasi lambung dan rasa cepat kenyang.


E Gejala klinis

16

Keluhan, kuantitas dan kualitas pada setiap pasien sangat bervariasi, maka
dispepsia diklasifikasikan berdasarkan keluhan yang dominan(1,2):

Bila nyeri ulu hati yang mendominasi dan disertai nyeri pada malam hari
dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe seperti ulkus (ulcer like
dyspepsia)

Bila kembung, mual, cepat kenyang merupakan keluhan yang paling


sering dikemukakan, dikategorikan sebagai dispepsia fungsional tipe
seperti dismotilitas (dismotility like dyspepsia)

Bila tidak ada keluhan yang bersifat dominan, dikategorikan sebagai


dispepsia non spesifik.

F Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik untuk mengidentifikasi kelainan intra abdomen atau
intra lumen yang padat (misalnya tumor), organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya rangsang peritoneal atau peritonitis. (1)
G Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang meliputi pemeriksaan radiologi, yaitu OMD
dengan kontras ganda, serologi Helicobacter pylori, dan urea breath test
(belum tersedia di Indonesia). Pemeriksaan radiologis dilakukan terhadap
saluran makan bagian atas dan sebaiknya dengan kontras ganda. Endoskopi
merupakan pemeriksaan baku emas, selain sebagai diagnostik sekaligus
terapeutik. Selain itu, dapat juga menggunakan

Ultrasonografi untuk

mengidentifikasi kelainan padat intra abdomen, misalnya ada batu kandung


empedu, kolesistitis, sirosis hati, dsb.
H Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis dispepsia, diperlukan anamnesis,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium sederhana dan pemeriksaan
tambahan, seperti pemeriksaan radiologis dan endoskopi.
Tidak semua pasien dispepsia dilakukan pemeriksaan endoskopi dan
banyak pasien yang dapat ditatalaksana dengan baik tanpa pengobatan
17

sehingga diagnosis secara klinis agak terbatas kecuali bila ada alarm sign.
Bila ada salah satu atau lebih ada pada pasien, sebaiknya dilakukan
pemeriksaan endoskopi. Alarm sign adalah:

Umur 45 tahun (onset baru)

Perdarahan dari rektal atau melena

Penurunan berat badan >10%

Anoreksia

Muntah yang persisten

Anemia atau perdarahan

Massa di abdomen atau limfadenopati

Disfagia yang progresif atau odinofagia

Riwayat keluarga keganasan saluran cerna bagian atas

Riwayat keganasan atau operasi saluran cerna sebelumnya

Riwayat ulkus peptikum

Kuning (Jaundice)

Radiologi (dalam hal ini pemeriksaan barium meal), dapat mengidentifikasi


kelainan structural dinding/mukosa saluran cerna bagian atas seperti adanya
tukak atau gambaran ke arah tumor. Pemeriksaan ini terutama bermanfaat
pada kelainan yang bersifat penyempitan/ stenotik/ obstruktif di mana skop
endoskopi tidak dapat melewatinya.
I

Diagnosis banding (6)

18

Diagnostic category

Approximate
prevalence*

Functional (nonulcer) dyspepsia

Up to 70 percent

Peptic ulcer disease

15 to 25 percent

Reflux esophagitis

5 to 15 percent

Gastric or esophageal cancer

< 2 percent

Abdominal cancer, especially pancreatic cancer

Rare

Biliary tract disease

Rare

Carbohydrate malabsorption (lactose, sorbitol, fructose, mannitol)

Rare

Gastroparesis

Rare

Hepatoma

Rare

Infiltrative diseases of the stomach (Crohn disease, sarcoidosis)

Rare

Intestinal parasites (Giardia species, Strongyloides species)

Rare

Ischemic bowel disease

Rare

Medication effects (Table 3)

Rare

Metabolic disturbances (hypercalcemia, hyperkalemia)

Rare

Pancreatitis

Rare

Systemic disorders (diabetes mellitus, thyroid and parathyroid disorders,


connective tissue disease)

Rare

19

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan optimal dispepsia terutama pasien baru dengan dispepsia
yang belum terinvestigasi serta tidak ada gambaran alarm, didominasi oleh
pengobatan H pylori secara empiris dengan antibakteri. Pada pengobatan
tingkat pertama, terapi antisekretori secara empiris juga masih popular.
Penatalaksanaan dispepsia tanpa gambaran alarm meliputi :
1

Supresi asam secara empiris

Pemeriksaan H pylori non invasif dengan urea breath test, serologi,


pemeriksaan antigen feses dan pemeriksaan endoskopi untuk kasus
yang positif

Pemeriksaan H pylori non invasif dan eradikasi bila positif

Terapi eradikasi empiris H pylori tanpa pemeriksaan

Endoskopi dini

Pada dispepsia dengan gambaran alarm, diperlukan manajemen awal


dengan pemeriksaan endoskopi. Manajemen selanjutnya tergantung dari
hasil endoskopi tersebut. (6,7)
Pada dispepsia fungsional, manajemennya hampir sama dengan dispepsia
tanpa gambaran alarm, antara lain dengan(2,5):
Nonmedikamentosa
Penjelasan kepada pasien mengenai latar belakang keluhan yang
dialaminya, merupakan langkah awal yang penting. Nasihat untuk
menghindari makanan yang dapat mencetuskan serangan keluhan.
Makanan yang merangsang seperti pedas, asam, tinggi lemak, kopi.
Apabila keluhan pasien lebih cepat kenyang, maka dapat dianjurkan
untuk makan porsi kecil tetapi sering dan rendah lemak. Pasien juga
dianjurkan untuk rajin berolah raga dan menghindari stress.
Medikamentosa
o Antasida
Obat yang paling umum dikonsumsi. Berfungsi untuk menetralisir
faktor asam sesaat, penurun nyeri sesaat.
o Penyekat h2 reseptor
20

Obat ini juga umum diberikan. Berfungsi untuk menurunkan sekresi


asam lambung. Generik : cimetidin, ranitidin, famotidin.

Penghambat pompa proton


Berfungsi untuk menghambat produksi asam lambung. Respon
terbaik terlihat pada kelompok dispepsia fungsional tipe seperti
ulkus. Jenis obatnya yaitu omeprazol, lansoprazol, pantoprazol,
rabeprazol, esomeprazol.
o Sitoproteksi
Obat ini misalnya misoprostol, sukralfat, teprenon, rebamipid.
Mucopromotor, meningkatkan kadar prostaglandin, meningkatkan
aliran darah mukosa.
o Prokinetik
Termasuk golongan ini adalah metoklopramid (antagonis reseptor
dopamine D2), domperidon (antagonis reseptor D2 yang tidak
melewati sawar otak) dan cisapride (agonis reseptor 5-HT4). Dalam
berbagai studi metaanalisis, baik domperidon maupun cisapride
mempunyai efektivitas lebih baik dan mengurangi nyeri epigastrik,
cepat kenyang, distensi abdomen, dan mual.
o Obat lain-lain
Adanya

peran

hipersensitivitas

visceral

dalam

patogenensis

dispepsia fungsional. Bila sudah terbukti terlibatnya H.pylori (+),


dapat diberikan antibiotic seperti Amoxicillin, claritromisin,
tetrasiklin, metronidazol, bismuth.
K Prognosis
Dispepsia yang ditegakkan setelah pemeriksaan klinis dan penunjang yang
akurat, mempunyai prognosis yang baik.

21

BAB III
LAPORAN KASUS
Anamnesa

Seorang wanita 48 tahun dengan keluhan sesak nafas sejak 5

hari yang lalu. Sesak disertai batuk berdahak awalnya berwarna putih
kemudian berwarna kuning dan Demam (+) 3 hari SMRS.
Pasien juga mengeluh adanya nyeri ulu hati, mual, dan muntah

RPT : RPO : RPK : 1

Status Present:

Pemeriksaan fisik:
Keadaan umum
Sensorium : Compos

Keadaan Penyakit
Anemia : tidak

Keadaan Gizi
TB = 155 cm

Mentis

Ikterus : tidak

BB = 51 kg

Tekanan Darah : 130/80

Sianosis : tidak

Kesan : Normoweight

Nadi : 92 x/menit

Dyspnoe : ya

Nafas : 33 x/menit

Edema : tidak

Suhu : 38C

Eritema : tidak
Turgor : baik
Gerakan aktif : ya
Sikap paksa : tidak

Pemeriksaan Fisik
Kepala

: Dalam Batas Normal

22

Leher

: Dalam batas normal

Thoraks

: Thoraks depan :
Palpasi : fremitus suara : kanan > kiri. Kesan : fremitus melemah
Suara perkusi paru : sonor memendek di lapang paru atas dan tengah.
Suara pernafasan

: vesikuler, kanan = kiri

Suara tambahan

: rhonki basah (+) dilapang atas dan tengah

paru kanan
Kesan : terdapat infiltrate di lapang paru atas dan tengah paru
kanan.
Thorax belakang :
Palpasi : fremitus suara : kanan > kiri. Kesan : fremitus mengeras.
Suara perkusi paru

: sonor memendek dilapangan atas dan tengah


paru kanan

Suara pernafasan

: vesikuler, kanan = kiri

Suara tambahan

: rhonki basah (+) dilapang atas dan tengah


paru kanan.

Kesan : terdapat infiltrate di lapang paru atas dan tengah paru


kanan.
Abdomen

: palpasi : nyeri tekan (+) ad region epigastrium.

Ekstremitas

: Dalam batas normal

Pemeriksaan Penunjang
-

Darah rutin :

Hb

11,4 g/Dl

Hitung Eritrosit

4,2x106 /L

Leukosit

15.800 /L

Hematokrit

35,6 %

Trombosit

375.000 /L

Hitung Jenis leukosit :


Eosinofil
Basofil

1%
0%
23

N. Stab
N. Seg
Limfosit
Monosit

0%
81%
12 %
6%

Pemeriksaan sputum BTA = Tidak dilakukan.


Hasil rontgent thorax :

Ekspertise:
Sinus costophrenicus normal, diafragma normal.
Cor: CTR < 50%
Pulmo: tampak infiltrate di lobus atas dan tengah paru kanan berbatas tegas.
Kesan: Pneumonia.
Diagnosa Kerja
Pneumonia + dyspepsia non spesifik
Terapi :
1
2

Aktifitas : Bed rest


Medikamentosa
O2 2 liter/menit
IVFD RL 20 gtt/i
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Inj. Ranitidine 1 ampul/12 jam

24

Inj. Ondansentron 1 ampul/12 jam


Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab
Sucralfat syr. 2 x 1 CI
BAB IV
DISKUSI KASUS
No
1

Tinjauan Pustaka
Anamnesa

Pemeriksaan
Fisik

PNEUMONIA
Gejala Mayor:
1.batuk
2.sputum produktif
3.demam (suhu>37,80c)
Gejala Minor:
1. sesak napas
2. nyeri dada
DISPEPSIA
Dyspepsia like ulcer:
Nyeri ulu hati yang
mendominasi + nyeri pada
malam hari digolongkan ke
Dispepsia fungsional tipe
seperti ulkus

Kembung, mual, cepat


kenyangyang mendominasi
digolongkan ke dispepsia
fungsional tipe seperti
dismotilitas
(dismotility
like dyspepsia)

Bila tidak ada keluhan yang


bersifat dominan,
digolongkan ke dispepsia
non spesifik.

PNEUMONIA
Thorax :
I : ketinggalan bernapas pada sisi
yang terkena
P : fremitus melemah pada paru
yang terkena,

Kasus
Batuk berdahak, warna dahak
awal putih kemudian menjadi
kuning
Sesak napas 4 hari SMRS
memberat 1 hari SMRS
Riwayat demam (+) (390c)

o Nyeri ulu hati


o Mual
o Muntah

Thorax depan :
I : simetris dex = sin
P : SF paru kanan melemah
P : perkusi : sonor memendek di
lapang atas dan tengah paru
kanan
25

Pemeriksaan
Penunjang

Tatalaksana

P : perkusi sonor memendek


A :suara napas bronkovesikuler
sampai bronchial yang kadangkadang melemah. disertai
ronkhi halus, yang kemudian
menjadi ronkhi basah kasar
pada stadium resolusi.
DISPEPSIA
Pemeriksaan
fisik
untuk
mengidentifikasi kelainan intra
abdomen atau intra lumen yang
padat
(misalnya
tumor),
organomegali, atau nyeri tekan
yang sesuai dengan adanya
rangsang
peritoneal
atau
(1)
peritonitis.
jumlah leukosit >12.000/L

A : suara napas : vesikuler; rhonki


basah (+) dilapang atas dan
tengah paru.
Thorax belakang:
I : simetris dex = sin
P : SF paru kanan melemah
P :perkusi sonor memendek di
lapangan atas dan tengah paru
kanan
A : suara napas : vesikuler; ronkhi
basah (+) dilapang atas dan
tengah paru kanan.
Abdomen :
Palpasi : nyeri tekan ad region
epigastrium

Leukosit 15.800/L

PNEUMONIA
Terapi :
Penderita rawat inap diruang
O2 2 liter/menit
rawat biasa
o Pengobatan
supportif
/ IVFD RL 20 gtt/i
simptomatik
Inj. Ceftriaxone 1 gr/12 jam
Pemberian terapi oksigen
Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab
Pemasangan infus untuk
Inj. Ranitidine 1 ampul/12 jam
rehidrasi dan koreksi
Inj. Metoclopramide 1 ampul/12
elektrolit.
jam
Pengobatan
antibiotik
Sucralfat syr. 2 x 1 CI
harus diberikan kurang
dari 8 jam.
DISPEPSIA
o Antasida
o Penyekat h2 reseptor
o Penghambat pompa proton
o Sitoproteksi
o Prokinetik

26

BAB V
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus dengan diagnosis Pneumonia + Dispepsia non
spesifik, diagnosis ditegakan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.

27

DAFTAR PUSTAKA
1. Rasad, Sjariar. 2008. Radiologi Diagnostik, Edisi Kedua, Balai Penerbit FKUI,
Jakarta
2. Aru W, Bambang, Idrus A, Marcellus, Siti S, ed. Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid II. Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen IPD RSCM;
2007.
3. Price, Sylvia A., Wilso, Loraine M. 2008. Patofisiologi, Konsep klinis ProsesProses Penyakit, Buku II, edisi keempat. Penerbit Buku Kedokteran, EGC.
4. Palmer, dkk. 2010, Petunjuk Membaca Foto untuk Dokter Umum, EGC,
Jakarta
5. Wibisono, Jusuf M. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru, Balai penerbit FK
UNAIR, Surabaya
6. American thoracic society. Guidelines for management of adults with
Guidelines for the Management of Adults with Hospital-acquired, Ventilatorassociated, and Healthcare-associated Pneumonia. Am J Respir Crit.Care Med
2005; 171: 388-416.
7. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Komuniti.
8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2003. Pedoman Diagnosis dan
penatalaksanaan Pneumonia Nosokomial.
9. Djojoningrat, D. Pendekatan Klinis Penyakit Gastrointestinal. In: Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 441-2.
10. Djojoningrat, D. Dispepsia Fungsional. In: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2009. p. 529-533.
11. Lindseth, G. Gangguan Lambung dan Duodenum. In: Patofisiologi. Edisi VI.
Jakarta: EGC; 2006. p. 417-21.
12. Sherwood, L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi II. Jakarta: EGC;
28

2001. p. 551-63.

29

Anda mungkin juga menyukai