Anda di halaman 1dari 29

PENDAHULUAN

Di seluruh dunia, satu dari dua orang terinfeksi oleh Mycobacterium


Tuberkulosis (TB). Jumlah penderita TB sekitar 2,5% dari seluruh penyakit, dan
merupakan penyebab kematian tersering pada wanita muda. TB sekarang
menduduki peringkat 7 pada penyebab kematian dari penyakit. Meskipun obat
yang efektif untuk TB telah ada selama 50 tahun yang lalu, setiap 15 detik
seseorang meninggal karena TB, dan tiap satu detik seseorang terinfeksi dengan
TB. 75 % pasien TB berada pada usia produktif, antara 15-54 tahun. Sembilan
puluh lima persen kasus dan 99% kematian karena TB muncul di negara-negara
berkembang, terutama pada Sub-saharan Africa dan South East Asia, dan sekitar
48% pasien dengan TB tinggal di Asia; termasuk Indonesia. Di masa-masa yang
akan datang perhatian perlu diberikan pada interaksi antara penyakit kronik
dengan TB, diantaranya yaitu diabetes.1 Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus
(DM) seringkali ditemukan bersama sama (42,1%), terutama pada seseorang
dengan resiko tinggi untuk menderita TB. DM telah dilaporkan dapat merubah
gejala klinis dari TB serta berhubungan dengan respon yang lambat dari
pengobatan TB dan tingginya mortalitas. TB dapat mengakibatkan pengaruh yang
buruk terhadap kadar gula darah karena intoleransi glukosa yang menyebabkan
keadaan hiperglikemia, namun akan membaik atau menjadi normal dengan
pengobatan anti TB.2 Penyakit-penyakit penyerta tersebut 61,5% ditemukan
sebagai penyakit primer (lebih dulu) dan 38,5% sebagai penyakit sekunder, yaitu
TB Paru yang lebih dulu, penyakit penyertanya belakangan timbul.3

TUBERKULOSIS PARU
a. Definisi
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang
paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya.1
b. Klasifikasi Tuberkulosis
Penentuan

klasifikasi

penyakit

dan

tipe

pasien

tuberculosis

memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu:


1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru;
2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau
BTA negatif;
3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat.
4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati
Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah:
1.
2.
3.
4.

Menentukan paduan pengobatan yang sesuai


Registrasi kasus secara benar
Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif
Analisis kohort hasil pengobatan1

Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena:


a. Tuberkulosis paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk
pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus.
b. Tuberkulosis ekstra paru
Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya
pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang,
persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.1

Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan dahak mikroskopis, yaitu pada


TB Paru:
a. Tuberkulosis paru BTA positif
Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.
1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada

menunjukkan gambaran tuberkulosis.


1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif.
1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS
pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada

perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.


b. Tuberkulosis paru BTA negatif
Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria
diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi:

Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif


Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis
Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT.
Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan2

Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit.


a. TB paru BTA negatif foto toraks positif
dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan
ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan
umum pasien buruk.
b. TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya,
yaitu:
TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa

unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.


TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis,
pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kemih dan alat kelamin.2

Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya

a. Kasus Baru
Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu).
b. Kasus Kambuh (Relaps)
Adalah

pasien

TB

yang

sebelumnya

pernah

mendapat

pengobatan

tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,


didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
c. Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO)
Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih
dengan BTA positif.
d. Kasus Gagal (Failure)
Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali
menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.
e. Kasus Pindahan (Transfer In)
Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain
untuk melanjutkan pengobatannya.
f. Kasus lain
Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok
ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA
positif setelah selesai pengobatan ulangan.1
c. Patogenesis Tuberkulosis
Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di

tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.3
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus
primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks
paru,

yang

akan

terlibat

adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer

merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar

limfe

regional

yang

membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).3


Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit.
Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan
rentang waktu antara 2-12 minggu.3
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah
10-10, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler.
Selama

berminggu-minggu

logaritmik kuman

TB

awal

sehingga

proses
jaringan

infeksi,
tubuh

terjadi
yang

pertumbuhan

awalnya

belum

tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada


saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah
terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya
tuberkuloprotein,

yaitu

timbulnya

hipersensitivitas

terhadap

respons positif terhadap uji tuberculin.

Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer
terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian
besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun
seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah

terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera


dimusnahkan.3
Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru
biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akan mengalami

fibrosis

dan

enkapsulasi,

tetapi

penyembuhannya

biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat


tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.Kompleks
primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru
dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika
terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar
melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat
awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus
dapat terganggu.3
Obstruksi

parsial

pada

bronkus

akibat

tekanan

eksternal

dapat

menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis


perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat
menimbulkan
gabungan

obstruksi komplit

pneumonitis

pada

bronkus

sehingga

menyebabkan

dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi

segmental kolaps-konsolidasi.3
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat
terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebar ke

kelenjar

limfe

regional

membentuk

kompleks

primer.

Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi


darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.Penyebaran hamatogen
yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran hematogenik tersamar
(occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara

sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis.
Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ
yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik,
misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas
paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk
koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi
pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant.
Fokus ini umumnya tidak langsung

berlanjut

menjadi

penyakit,

tetapi

berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut
sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh
pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi
penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk

penyebaran

hamatogen

yang

lain

adalah

penyebaran

hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada


bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah
menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi
klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit
bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta
frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena
tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB,
misalnya pada balita.3,4
Tuberkulosis

milier

merupakan

hasil

dari

acute

generalized

hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang
dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama.
Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padipadian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul
kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic

spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar
ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk
dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini
tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini
dapat terjadi secara berulang.3
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama),
biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru
pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru
kronik. Sebanyak 0.5-3% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier
atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer.
Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran
kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan).
Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya
infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di
dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang
terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda.4
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang
terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan
paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB
ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.4
d. Gejala Klinis
Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus
yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak
terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan
diagnosa secara klinik.1
Gejala sistemik/umum:

Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah)

Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan


malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam

seperti influenza dan bersifat hilang timbul


Penurunan nafsu makan dan berat badan
Perasaan tidak enak (malaise), lemah1

Gejala khusus:

Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan
sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan
kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi,

suara nafas melemah yang disertai sesak.


Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai

dengan keluhan sakit dada.


Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang
pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di

atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah.


Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan
disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam
tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang.1
Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat

terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira
30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil
uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah
dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30%
terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.1

e. Diagnosis
Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal
yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah:

Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya.


Pemeriksaan fisik.

Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak).


Pemeriksaan patologi anatomi (PA).
Rontgen dada (thorax photo).
Uji tuberkulin.1

Gambar 3. Alur diagnose suspek TB paru (1)


Dugaan diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan
fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain. 4 Gejala
gejalanya termasuk gejala respiratorik (batuk 3 minggu, batuk berdahak, batuk
darah, nyeri dada, sesak nafas) dan gejala sistemik (demam, keringat malam,
penurunan berat badan, malaise, nafsu makan menurun). Pada pemeriksaan fisik

TB tidak khas, sehingga tidak dapat membantu membedakan dengan penyakit


lainnya, temuan fisik tergantung lokasi kelainan, serta luasnya kelainan struktur
paru. 5
Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis.
Pemeriksaan dahak untuk menentukan bakteri tahan asam (BTA) merupakan
pemeriksaan yanng harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB
atau suspek, pemeriksaan dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu). Diagnosis TB
paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan mikroskopis. Hasil
pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan
BTA (+). Bila hanya satu spesimen positif maka perlu dilakukan pemeriksaan foto
thorax atau sputum ulangan. Bila foto thorax mendukung TB maka didiagnosis
TB paru BTA (+). Bila foto thorax tidak mendukung maka perlu dilakukan
pemeriksaan sputum ulang. Bila hasil sputum ulangan negatif berarti bukan
penderita TB. Bila foto roentgen mendukung TB namun sputum negatif maka
diagnosis adalah TB paru BTA (-) roentgen positif. 5
Pada kasus dimana sputum positif maka pemeriksaan roentgen tidak
diperlukan lagi. Namun beberapa kasus perlu dilakukan foto thorax bila: 5,2
1. Sputum BTA negatif
2. Sputum BTA positif

curiga adanya komplikasi (contoh efusi pleura, pneumothorax).

hemoptisis berulang atau berat.

didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).

Uji Tuberkulin
Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan
bermanfaat untuk menunjukkan

sedang/pernah

terinfeksi

yang paling
Mycobacterium

tuberculosis dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas


dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%.
Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji
tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%,
dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat

dilihat

bahwa

semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik.5
Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang
cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux
umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan
intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam
setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang
terjadi:

Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif.


Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan.
Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang

dengan

Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG.


Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.5

DIABETES MELITUS
Secara definisi menurut American Diabetes Association (ADA) 2005,
diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin ataupun keduanya. Patogenesis DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui
dengan pasti, namun peranan faktor genetik dan faktor lingkungan dalam proses
terjadinya DM tipe 2 sudah diketahui dengan pasti. Disamping itu defisiensi
sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin diperifer merupakan 2
keadaan yang ditemukan secara bersamaan pada DM tipe 2. Yang menjadi
masalah adalah proses mana yang lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan
pasti.6

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes, kecurigaan


akan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, seperti
poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan sebabnya, atau keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Pasien didiagnosis DM jika:6
1. gejala klasik DM dan GDS 200 mg/dl
2. gejala klasik DM dan GDP 126 mg/dl
3. G2PP 200 mg/dl
Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh
berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM
terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi
neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis
dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. 7
Diabetes

melitus

dianggap

oleh

WHO

sebagai

suatu

penyakit

imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang
mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi
sering rekuren, gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan
atau aktifitas subset limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis
dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi
kemotaksis yang disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen
dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel
sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM
yang tidak terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan
defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity
dari enzim lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera
meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam. 7
Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat
30% episode KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada umumnya DM tipe II.

Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan


meningkatkan kadar glukosa darah dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien
DM tipe I. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa
darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter
regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon dan katekolamin)
maupun penekanan sekresi insulin oleh sel sel beta pankreas. Katekolamin
diproduksi oleh simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya
menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin.
Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada
stadium awal. Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik
maupun pada DM tipe II akan tetapi akibat adanya resistensi insulin,
hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat. Resistensi insulin
terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu meningkatkan asupan
glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui
dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam sirkulasi dan sitokin
yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjutnya interleukin
dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer dengan menekan tirosin
kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada
defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya
ketoasidosis pada infeksi DM. 7
TUBERKULOSIS DENGAN DIABETES MELITUS
Diabetes mellitus telah dilaporkan dapat mempengaruhi gejala klinis TB
serta berhubungan dengan respons lambat pengobatan TB dan tingginya
mortalitas. Peningkatan reaktivasi TB juga telah dicatat pada penderita DM. 8
Sebaliknya juga bahwa penyakit tuberkulosis dapat menginduksi terjadinya
intoleransi glukosa dan memperburuk kontrol glikemik pada pasien dengan DM,
namun akan mengalami perbaikan dengan pengobatan anti TB (OAT). 9 Upaya
pencegahan dan pengendalian dua penyakit mematikan DM dan TB sangat
penting untuk menurunkan mortalitas karena TB, oleh karena itu penting untuk

diketahui bagaimana mekanisme DM dapat menyebabkan TB dan bagaimana TB


dapat mempengaruhi kontrol glikemik pada penderita DM.
Resiko Tuberkulosis Pada Diabetes Mellitus
Jumlah penyakit tidak menular tercatat sebesar 47% dari seluruh beban
penyakit yang ada di negara berkembang pada tahun 1990 sedangkan penyakit
menular masih menempati urutan pertama sebagai masalah di bidang kesehatan,
namun pada tahun 2020 akan terjadi kondisi sebaliknya yaitu persentase penyakit
tidak menular diperkirakan akan meningkat menjadi sebesar 69%. Meningkatnya
industrialisasi dan urbanisasi menyebabkan meningkatnya angka obesitas dan
diabetes. Pada tahun 2000 terdapat sekitar 171 juta orang yang menderita diabetes
yang jumlahnya akan terus meningkat menjadi 366 440 juta di tahun 2030, tiga
perempat dari jumlah penderita diabetes tersebut hidup di negara berkembang.
Sementara itu TB masih menjadi penyakit dengan angka kematian yang tinggi,
terdapatnya komorbid seperti diabetes menyebabkan penatalaksanaan dan kontrol
penyakit TB menjadi sulit. Beberapa penelitian menemukan bahwa kombinasi
penyakit TB dan DM sering ditemukan baik di negara berkembang maupun di
negara maju.9
Tahun 1934, Root melakukan penelitian tentang TB dan DM menemukan
bahwa kejadian TB pada orang dewasa dengan DM ternyata banyak ditemukan
dari yang diperkirakan serta risiko untuk terkena TB sangat tinggi pada penderita
DM anak-anak dan remaja. Penyakit TB ini lebih sering ditemukan pada penderita
DM dengan kontrol glikemik yang buruk. Root juga menyatakan bahwa pada
pertengahan abad ke-19, pasien DM yang bisa lolos dari koma diabetikum pada
akhirnya akan meninggal karena penyakit TB.9,10 Penelitian yang dilakukan di
Philadelphia pada tahun 1952 mengungkapkan bahwa dari 3.106 penderita DM
terdapat sekitar 8,4% yang menderita TB paru dibandingkan dengan 4,3%
penderita TB dari 71767 orang tanpa DM. Tuberkulosis lebih banyak muncul pada
penderita DM yang telah memiliki penyakit DM selama lebih dari 10 tahun yaitu
sekitar 17% dibandingkan penderita DM kurang dari 10 tahun yaitu hanya sekitar

5% saja yang menderita TB. Tuberkulosis ditemukan lebih tinggi prevalensnya


pada penderita DM yang memerlukan insulin lebih dari 40 unit per hari.9,10
Suatu penelitian longitudinal di Korea selama 3 tahun pada 800.000
pegawai negeri sipil mendapatkan risiko relatif TB pada pasien DM dibandingkan
dengan kontrol tanpa DM adalah sebesar 3,47. Penelitian di Hongkong selama 5
tahun pada 42.000 geriatri juga mendapatkan risiko untuk terkena TB aktif adalah
lebih besar pada pasien dengan DM dibandingkan dengan pasien tanpa DM,
namun peningkatan risiko tersebut hanya didapatkan pada pasien-pasien DM
dengan kadar hemoglobin terglikosilasi (Hb A1c) lebih besar dari 7%.9 Diabetes
mellitus tetap menjadi salah satu faktor risiko terpenting untuk penyakit TB
bersama dengan infeksi, malnutrisi, alkoholisme dan HIV di negara India.
Prevalens TB paru pada penderita DM di India bervariasi dari 3,3% menjadi 8,3%
atau sekitar 4 kali dari populasi umum.11
Gangguan Fungsi Imun Pada Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu penyakit yang dapat menyebabkan
penurunan sistem imunitas selular. Terdapat penurunan jumlah sel limfosit T dan
netrofil pada pasien DM yang disertai dengan penurunan jumlah T helper 1 (Th1)
dan penurunan produksi mediator inflamasi seperti TNF , IL-1 serta IL-6.
Limfosit Th1 mempunyai peranan penting untuk mengontrol dan menghambat
pertumbuhan basil M.tb, sehingga terdapatnya penurunan pada jumlah maupun
fungsi limfosit T secara primer akan bertanggungjawab terhadap timbulnya
kerentanan pasien DM untuk terkena TB. Fungsi makrofag juga mengalami
gangguan yang ditandai dengan ketidakmampuan untuk menghasilkan reactive
oxygen species, fungsi kemotaksis dan fagositik yang menurun.12 Infeksi oleh
basil tuberkel akan menyebabkan gangguan yang lebih lanjut pada sitokin,
makrofag-monosit dan populasi sel T CD4/CD8. Keseimbangan antara sel limfosit
T CD4 dan CD8 memainkan peranan penting dalam mengatur pertahanan tubuh
melawan mikobakteri dan menentukan kecepatan regresi pada TB aktif.11
Derajat hiperglikemi juga berperan dalam menentukan fungsi mikrobisida
pada makrofag. Pajanan kadar gula darah sebesar 200 mg% secara signifikan

dapat menekan fungsi penghancuran oksidatif dari makrofag. Penderita DM yang


kurang terkontrol dengan kadar hemoglobin terglikasi (HbA1c) tinggi
menyebabkan TB menjadi lebih parah dan berhubungan dengan mortalitas yang
lebih tinggi. Selain terjadi kerusakan pada proses imunologi, pada pasien DM
juga terdapat gangguan fisiologis paru seperti hambatan dalam proses
pembersihan sehingga memudahkan penyebaran infeksi pada inang. Glikosilasi
non enzimatik pada protein jaringan menginduksi terjadinya gangguan pada
fungsi mukosilier atau menyebabkan neuropati otonom diabetik sehingga
menyebabkan abnormalitas pada tonus basal jalan napas yang mengakibatkan
menurunnya reaktifitas bronkus serta bronkodilatasi.10,11 Gangguan fungsi imun
dan fisiologi paru pada pasien DM dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Gangguan fungsi imun dan fisiologis paru penderita DM .
Kelainan fungsi imunologi paru pada DM
Gangguan kemotaksis, perlengketan, fagositosis
dan mikrobisida polimorfonuklear

Disfungsi fisiologis paru pada DM


Reaktifitas bronkial berkurang

Penurunan monosit perifer dengan gangguan


fagositosis

Penurunan elastic recoil dan volume paru

Buruknya fungsi transformasi sel blast menjadi


limfosit

Penurunan kapasitas difusi

Cacat fungsi opsonisasi C3.

Sumbatan mukus pada saluran napas


Penurunan respons ventilasi terhadap
hipoksemia
D
ikutip dari 13,14

Hiperglikemia Akibat Tuberkulosis


Pada awal abad ke-19, Root mengatakan bahwa pasien TB tidak akan
berkembang menjadi DM dibandingkan dengan pasien bukan TB, namun
pandangan ini kemudian berubah pada tahun 1957 setelah Nichols menemukan
bahwa pada 178 pasien TB ternyata 5% berkembang menjadi DM dan 22%
memperlihatkan kelainan pada uji penapisan. Penelitian multisenter yang

diadakan di India pada tahun 1987 menemukan prevalensi DM yang sebelumnya


tidak terduga pada pasien TB adalah sebesar 9,7% , pada laki-laki usia diatas 40
tahun didapatkan angka prevalensi sebesar 17,8% dibandingkan dengan usia di
bawah 40 tahun yaitu sebesar 5,1%. Sementara pada perempuan masing-masing
adalah sebesar 23,5% dan 4,0%. Secara keseluruhan untuk laki-laki dan
perempuan masing-masing menjadi 10% dan 8,7%.11
Penelitian di Indonesia yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. menemukan
13% pasien TB ternyata memiliki DM, jumlah ini lebih besar bila dibandingkan
kontrol tanpa TB dengan usia dan jenis kelamin yang sama yaitu hanya sebesar
3,2% yang memiliki DM, dari 13% pasien tersebut ternyata 60% didiagnosis
sebagai pasien DM baru.15 Penelitian di Nigeria juga mendapatkan hasil bahwa
pada pasien TB yang disertai dengan gangguan toleransi glukosa ternyata setelah
3 bulan diberikan pengobatan TB hasil tes toleransi glukosa kembali normal. 9,10
Penelitian di Tanzania pada 506 pasien TB paru dengan sputum bakteri tahan
asam (BTA) positif, 9 di antaranya diketahui menderita DM. Diabetes mellitus
yang didiagnosis melalui tes toleransi glukosa oral (TTGO) pada 11 pasien TB
tambahan memberikan peningkatan pada prevalens DM menjadi 4%. Gangguan
toleransi glukosa (GTG) terdapat pada 82 pasien (16,2%). Sebagai perbandingan
survei TTGO serupa yang dilakukan Guptan dan Shah pada suatu komunitas
mendapatkan prevalens DM hanya sebesar 0,9% dan GTG sebesar 8,8%.11
Gangguan toleransi glukosa pada TB jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
DM. Walaupun GTG dapat kembali normal pada sejumlah besar kasus TB dengan
kemoterapi yang efektif, namun persentase yang lebih tinggi pada GTG adalah
signifikan karena menurut National Diabetes Data Group dari National Institutes
of Health 1-5 persen dari pasien dengan GTG dapat berkembang menjadi DM
setiap tahunnya.11 Data-data yang telah ditemukan di atas menekankan pentingnya
dilakukan uji penapisan DM pada pasien TB.
Intoleransi Glukosa Pada Tuberkulosis
Terdapatnya kondisi seperti stres akut merupakan penyebab penting pada
perkembangan GTG. Demam, inaktifitas yang berlarut-larut dan malnutrisi dapat

merangsang hormon stres seperti: epinefrin, glukagon, kortisol dan hormon


pertumbuhan yang bekerja secara sinergis meningkatkan kadar gula darah lebih
dari 200 mg%. Kadar plasma IL-1 dan TNF juga meningkat pada penyakit berat
yang dapat merangsang sekresi hormon anti-insulin. Usia, penyakit komorbid dan
alkohol juga dapat mempengaruhi respons inang. Kadar serum hormon
adrenokortiko-tropin, kortisol dan T3 ditemukan menurun pada pasien TB,
kelainan ini menyebabkan kemampuan respons inang terhadap stress menjadi
terganggu.11
Fungsi endokrin pankreas dapat mengalami gangguan pada kasus TB
yang berat dan ternyata insidens pankreatitis kronis yang disertai dengan
kalsifikasi lebih tinggi pada kasus DM dengan TB, mendorong suatu keadaan
defisiensi insulin absolut.16 Kelompok protein transporter asam lemak yang
terdapat pada basil tuberkel kemungkinan dapat menyebabkan disregulasi
homeostasis energi pada penyakit TB. Gen protein transporter asam lemak dari
mikobakterium yang diekspresikan pada hepatosit mamalia dapat meningkatkan
ambilan asam lemak rantai panjang. Asam lemak rantai panjang merupakan
sumber energi penting pada sebagian besar organisme serta berfungsi pula sebagai
hormon darah yang mengatur berbagai fungsi penting seperti metabolisme
glukosa di hepar. Pada pasien TB terdapat gangguan metabolisme lipid tersebut.11
Kerusakan Pankreas Akibat Tuberkulosis
Bukti bukti yang menunjukkan mikobakterium dapat menyebabkan DM
meningkat dengan cepat dari waktu ke waktu. Seorang ahli patologi Dr. Phillip
Schwarz membuat hipotesis bahwa TB dapat menyebabkan DM karena terdapat
amiloidosis pada pankreas. Otopsi yang dilakukan pada 331 kasus amiloid berusia
16-87 tahun, Schwartz menemukan lesi TB yang berasal dari infeksi TB saat
anak-anak dan 224 kasus diantaranya terdapat amiloidosis pankreas. Sebagian
besar pasien yang diotopsi tersebut didiagnosis DM sebelum kematiannya
sehingga diduga amiloidosis pada sel-sel langerhans pankreas tersebut yang
menyebabkan DM. Menurut Schwartz sebagian besar kasus amiloidosis pada
pankreas yang menyebabkan DM harus dianggap sebagai kelainan imunologi

yang disebabkan TB. Diabetes mudah ditemukan dengan uji laboratorium rutin,
namun TB tidak mudah untuk ditemukan sehingga proses kerusakan tersebut
berlangsung secara tersembunyi yang memerlukan waktu bertahun-tahun sampai
kelainan tersebut ditemukan.16
Schwartz menjelaskan terdapat dua mekanisme TB dapat menyerang
pankreas yaitu melalui reaksi imunobiologi toksik-alergi sebagai respon terhadap
TB sistemik yang disebut sebagai pankreatitis, mikroba menyerang pankreas
melalui toksin M.tb dan produk-produk inflamasinya dalam peredaran darah
sehingga meningkatkan kerentanan inflamasi (reaksi hipersensitivitas) dan
menimbulkan amiloidosis. Schwartz mengakui fakta bahwa mikroba tidak perlu
selalu ditemukan dalam jaringan pankreas akan membingungkan para ilmuwan
untuk generasi mendatang karena mereka akan menduga bahwa amiloidosis ini
adalah suatu penyakit autoimun akibat ketidakmampuan untuk mengenali infeksi
TB tersebut.16
Mekanisme yang lain dan lebih sedikit kemungkinan terjadinya yaitu
serangan mikobakteri secara langsung ke organ pankreas melalui penyebaran
tuberkel bakteri dalam darah maupun melalui penetrasi jaringan perkejuan
kelenjar getah bening abdominal yang ada disekitar pankreas. Sel-sel langhans
dan epiteloid, merupakan tanda infeksi pada infeksi TB, biasanya tidak ditemukan
pada jaringan pakreas, namun terjadinya perkejuan dapat mendorong timbulnya
kalsifikasi dan amiloidosis pada pankreas. Lazarus dan Folk melaporkan bahwa
ketika pankreas mengalami kalsifikasi maka terdapat 23-50% insidens DM.

23

Elias dan Markovits melakukan percobaan pada tikus dan menemukan penyebab
diabetes juvenile tergantung insulin ternyata disebabkan karena terdapat proses
reaksi silang antigen, antigen tersebut berhubungan dengan heat shock protein
(HSP) yang ditemukan pada M tb yaitu HSP-65. Pada penelitiannya, mereka
melihat destruksi sel beta pankreas oleh limfosit yang bertujuan untuk
menghancurkan elemen dari mikobakteria yaitu HSP-65. Beberapa minggu
kemudian mulai terbentuk antibodi terhadap HSP-65 bersamaan dengan antibodi
antiinsulin hingga akhirnya muncullah kondisi DM tergantung insulin.16

Gambaran Radiologi Pada Pasien Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus


Gambaran radiologi pasien TB ditentukan oleh beberapa faktor
diantaranya lama sakit dan status imunologi pasien. Pada tahun 1927, Sosman dan
Steidl melaporkan bahwa pada sebagian besar pasien TB-DM memiliki pola
radiologi khusus yang terdiri dari konfluen, kavitas, dan lesi berbentuk baji
menyebar dari hilus menuju bagian tepi, terutama pada zona bagian bawah paru,
sementara pada pasien TB non DM lesi biasanya berupa infiltrat di lobus atas
paru.9,10 Penelitian yang dilakukan di Pakistan oleh Jabbar, dkk pada 173 pasien
TB-DM mendapatkan gambaran radiologi sebagian besar melibatkan lapang
bawah paru yaitu sebanyak 36%, lesi bilateral didapatkan pada 47% pasien, efusi
pleura sebanyak 32% pasien. Lesi juga disertai dengan kavitas yang secara
signifikan lebih sering ditemukan pada laki-laki sebanyak 32% dibandingkan
dengan perempuan sebanyak 15%.17
Anand dkk. meneliti gambaran radiologi 50 pasien TB paru dengan DM
menemukan bahwa 84% terdapat lesi TB di bagian lapang bawah paru, lebih
banyak dibandingkan dengan lesi yang terdapat di lapang atas paru yang hanya
sebesar 16%. Lesi bilateral sebanyak 32%, 20% pasien terdapat kavitas pada paru
dengan sebagian besar letak kavitas terdapat di lapang bawah paru yaitu 80%, lesi
nodular ditemukan pada 36% pasien dan lesi eksudatif pada 36% pasien. Mereka
menyimpulkan bahwa gambaran radiologis pasien TB paru dengan DM cenderung
atipikal oleh karena itu bila menemukan pasien DM dengan gambaran lesi di
lapang bawah paru harus dipikirkan kemungkinan infeksi TB sehingga dapat
dilakukan diagnosis serta penanganan yang tepat.18 Pada beberapa penelitian yang
lain juga ditemukan gambaran radiologis yang umum ditemukan pada pasien TBDM adalah berupa lesi yang mengenai banyak lobus serta kavitas multipel.
Individu usia tua cenderung mengalami lesi di lobus bawah paru, kemungkinan
hal ini disebabkan karena terjadi perubahan tekanan oksigen alveolar di lobus
bawah paru yang disebabkan oleh pengaruh usia atau penyakit DM.9

Derajat Keparahan Penyakit Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus Dan


Hasil Pengobatan
Diabetes mellitus mengganggu sistem kekebalan terhadap TB sehingga
menyebabkan beban awal jumlah mikobakteri yang lebih tinggi dan waktu
konversi sputum yang lebih lama sehingga menyebabkan tingkat kekambuhan
yang lebih tinggi. Tiga penelitian retrospektif menunjukkan bahwa beban awal
mikobakteri lebih tinggi pada pasien DM dibanding kontrol.

Namun dari

beberapa hasil penelitian yang menilai konversi sputum-kultur menunjukkan hasil


yang beragam tergantung pada variabel yang digunakan. Pada salah satu studi
yang menilai konversi sputum setelah minimal 2 bulan pengobatan mendapatkan
hasil proporsi konversi pasien DM ternyata adalah sama dengan kontrol.9
Penelitian yang dilakukan oleh Alisjahbana dkk. mendapatkan hasil bahwa
DM bukan faktor risiko kepositifan pada apus sputum maupun kultur sputum pada
bulan ke-2 pengobatan.19 Penelitian di Arab Saudi yang dilakukan pada 692 pasien
TB BTA-positif didapatkan 98,9% pasien DM dan 94,7% kontrol mengalami
konversi sputum TB BTA menjadi negatif pada bulan ke-3. Bagaimanapun juga
pada beberapa penelitian yang menilai waktu yang dibutuhkan untuk konversi
apus sputum dan kultur sputum pada pasien DM ternyata didapatkan hasil bahwa
pada pasien DM dibutuhkan waktu lebih lama untuk mencapai kultur negatif.
Seperti penelitian yang dilakukan di Turki pada pasien DM yang mendapatkan
pengobatan TB, membutuhkan waktu konversi kultur sputum lebih lama
dibandingkan pasien non-DM (67 vs 55 hari, p = 0,02).9
Penelitian analisis masa tahan hidup yang digunakan untuk mengukur
waktu konversi kultur, secara bermakna didapatkan waktu tengah negatifitas
kultur pada pasien DM lebih lama dibanding kontrol (42 vs 37 hari, p = 0,03).
Penelitian lain

juga menemukan kecenderungan peningkatan waktu rata-rata

konversi kultur pada pasien DM (49 vs 39 hari, p = 0,09). Data-data tersebut


menunjukkan bahwa beban awal jumlah mikobakteri pada pasien DM mungkin
lebih tinggi sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk konversi kultur
sputum, namun kecepatan konversi kultur sputum pada pasien DM secara umum

tidak jauh berbeda dengan pasien non DM yaitu antara 2-3 bulan setelah
pengobatan. Apakah peningkatan waktu konversi kultur pada pasien DM dapat
menyebabkan risiko kambuh lebih tinggi masih belum cukup diteliti.9
Pasien TB yang kemudian berkembang menjadi DM mempunyai derajat
keparahan penyakit yang lebih tinggi saat onset TB, mempunyai lesi paru yang
lebih banyak dan perubahan paru yang lebih besar saat penyembuhan dan
sebaliknya pasien DM yang terinfeksi TB memiliki kadar gula darah yang lebih
tinggi dan kemungkinan yang lebih besar untuk terjadi koma serta
mikroangiopati.11 Diabetes mellitus juga diduga sebagai predisposisi untuk terjadi
gagal pengobatan dan meningkatan mortalitas pasien TB. Penelitian di Mesir
yang membandingkan 119 pasien dengan gagal pengobatan dan 119 kontrol
didapatkan peningkatan risiko gagal pengobatan TB pada pasien DM adalah 3,9
kali. Penelitian yang dilakukan di Indonesia didapatkan kultur sputum setelah
pengobatan selama 6 bulan dengan kepatuhan berobat yang tinggi ternyata masih
positif pada 22,2% pada pasien DM dibandingkan dengan kontrol sebesar 6,9%.
Dua penelitian kohort retrospektif pasien TB paru di Maryland, Amerika Serikat
menunjukkan peningkatan risiko kematian sebesar 6,5-6,7 kali pada pasien DM
dibandingkan dengan non-DM. Diantara 416 kematian pada pasien TB di Sao
Paulo, Brazil ternyata DM merupakan komorbid yang paling sering didapatkan
yaitu sebesar 16%. Penelitian-penelitian tersebut mengindikasikan bahwa gagal
pengobatan dan kematian pada TB lebih sering didapatkan pada pasien DM.9
Penatalaksanaan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus
Interaksi obat anti tuberkulosis (OAT) dengan obat hipoglikemi oral (OHO)
Terdapat interaksi obat antara OAT dengan OHO, selain itu toksisitas obat
juga harus dipertimbangkan ketika memberikan terapi secara bersamaan pada TBDM. Pasien TB-DM juga memperlihatkan respon terapi yang lebih lambat
terhadap OAT bila dibandingkan dengan pasien non DM.9 Rifampisin merupakan
suatu zat yang bersifat inducer kuat terhadap enzim mikrosomal hepar yang
terlibat dalam metabolisme suatu zat termasuk enzim sitokrom P450 dan enzim
fase II. Induksi pada enzim-enzim tersebut menyebabkan peningkatan

metabolisme obat-obatan lain yang diberikan bersamaan dengan rifampisin


sehingga mengurangi efek pengobatan yang diharapkan. Rifampisin dapat
menurunkan kadar OHO dalam darah pada golongan sulfonilurea (gliklazid,
gliburide, glpizide dan glimepirid) dan biguanid.9,10,11
Penurunan kadar OHO dalam darah yang disebabkan oleh rifampisin
besarnya bervariasi antara 20-70%.16 Takayasu dkk. mengamati bahwa rifampisin
menginduksi hiperglikemia fase awal yang dihubungkan dengan peningkatan
penyerapan di usus, namun tidak ada kasus diabetes yang nyata dan dia
berpendapat bahwa rifampisin tidak diabetogenik. 11 Efek rifampisin secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kontrol glikemik menyebabkan
perlunya monitoring kadar gula disertai dengan penyesuaian dosis OHO terutama
pada pasien TB-DM.9 Rifabutin sebuah rifamicin baru juga menginduksi enzim
metabolisme hepar namun efeknya tidak sekuat rifampisin. Isoniasid (INH) dapat
menyebabkan toksisitas berupa neuropati perifer yang dapat memperburuk atau
menyerupai neuropati diabetik, sehingga harus diberikan suplemen vitamin B6
atau piridoksin selama pengobatan TB pada pasien DM. 9,10 Obat anti TB lain
sangat jarang mengganggu kadar gula darah. Dosis tinggi INH mungkin dapat
menyebabkan hiperglikemia dan pada kasus yang jarang DM mungkin menjadi
sulit untuk dikontrol pada pasien yang menggunakan Pirazinamid. Ethionamide
juga dapat menyebabkan hipoglikemia namun hal ini jarang terjadi.10,11
Diabetes mellitus juga dapat menyebabkan terjadinya gangguan pada
farmakokinetik OAT mengakibatkan peningkatan risiko gagal pengobatan pada
pasien TB-DM. Diabetes mellitus mempunyai efek negatif terhadap pengobatan
TB terutama pada pasien-pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk
sehingga angka kegagalan dan kekambuhan TB lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien TB non DM. Konsentrasi OAT plasma yang rendah berhubungan dengan
gagal pengobatan dan resistensi obat pada TB. Terdapatnya DM, berat badan yang
lebih besar dan kadar glukosa darah yang tinggi menyebabkan rendahnya
konsentrasi rifampin plasma.9,10 Penelitian Nijland dkk. mendapatkan kadar
rifampisin plasma 53% lebih rendah pada pasien TB-DM dibandingkan dengan
pasien TB non DM.19 Hal ini menunjukkan bahwa pada pasien TB-DM yang lebih

berat memerlukan dosis rifampin yang lebih besar dan kontrol glikemik yang
lebih baik untuk meningkatkan konsentrasi obat dalam plasma. Diabetes melitus
juga dapat menyebabkan perubahan penyerapan obat oral, penurunan ikatan
protein dengan obat, insufisiensi ginjal, perlemakan hati dan gangguan bersihan
obat.9
Prinsip pengobatan Tuberkulosis dengan Diabetes Melitus
Pengobatan TB-DM meliputi pengobatan terhadap DM dan pengobatan
TB paru secara bersamaan. Terdapat beberapa prinsip dalam penatalaksaan pasien
TB-DM, yaitu :11
1. Pengobatan tepat.
2. Pasien DM dengan kontrol glikemik yang buruk harus dirawat untuk
menstabilkan kadar gula darahnya.
3. Insulin sebaiknya digunakan untuk mengontrol kadar gula darah.
4. Obat hipoglikemi oral hanya digunakan pada kasus DM ringan karena terdapat
interaksi Rifampisin dengan OHO.
5. Keseimbangan glikemik harus tercapai karena penting untuk keberhasilan
terapi OAT. Target yang harus dicapai yaitu kadar gula darah puasa <120 mg%
dan HbA1c <7%.
6. Kemoterapi yang efektif dan baik sangatlah penting, lakukan monitoring
terhadap efek samping obat terutama efek samping terhadap hepar dan system
saraf. Pertimbangkan penggunaan piridoksin pada pemberian INH terutama
untuk pasien dengan neuropati perifer.
7. Durasi kemoterapi ditentukan oleh kontrol diabetes dan respon pasien
terhadap pengobatan. Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan.
8. Penanganan penyakit komorbid, malnutrisi dan rehabilitasi pada alkoholisme
harus dilakukan.
9. Berikan terapi suportif secara aktif pada pasien DM.
Pemberian Insulin Pada Pasien Tuberkulosis Dengan Diabetes Melitus

Penatalaksanaan DM pada TB harus agresif, karena kontrol glikemik yang


optimal memberikan hasil pengobatan yang lebih baik. Terapi insulin harus segera
dimulai dengan menggunakan regimen basal bolus atau insulin premixed. The
American Association of Clinical Endocrinology merekomendasikan penggunaan
insulin analog atau insulin modern karena lebih sedikit menyebabkan
hipoglikemia, penggunaan insulin manusia tidak dianjurkan. Kebutuhan insulin
pada awal penyakit biasanya tinggi namun akan menurun kemudian seiring
dengan

tercapainya

koreksi

glukotoksisitas

dan

terkontrolnya

infeksi.12

Rasionalisasi penggunaan insulin pada DM tipe 2 yang disertai TB aktif adalah :12
1. Infeksi TB yang berat.
2. Hilangnya jaringan dan fungsi pancreas seperti pada TB pancreas atau
defisiensi endokrin pankreas.
3. Kebutuhan diet kalori dan protein yang tinggi serta kebutuhan akan efek
anabolic.
4. Terdapat interaksi antara OHO dan OAT.
5. Terdapatnya penyakit hepar yang menyertai menghambat penggunaan OHO.

KESIMPULAN
Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan
meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin ,
kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik

berhubungan dengan

kerusakan, disfungsi dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata,


ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Hiperglikemia dapat menyebabkan
menurunnya aktifitas sel fagosit khususnya terganggunya respiratory burstae
untuk

membunuh

mikroorganisme

dalam

lekosit.

Infeksi

menyebabkan

hiperglikemia dan dapat mempresipitasi ketoasidosis diabetika dan dapat


meningkatkan sekresi hormon counter regulatory, merangsang glukoneogenesis
dan menekan sekresi insulin. Pasien DM rentan mendapat TB paru dan gejala TB
paru perlangsungannya lebih berat, mengenai lobus bawah, non segmental dan
menyebabkan reaktivasi penyakit sebelumnya. Pada umumnya pengobatan
meliputi pengobatan terhadap DM nya dengan pemberian diet diabetes dan
insulin. Obat anti diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada DM dengan TB
paru karena adanya efek rifampicin dan isoniazid yang mengurangi efek obat
tersebut. Penting sekali monitor glukosa darah sendiri dengan memakai meter
untuk memantau kadar glukosa secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, pedoman diagnosis dan


penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta.
DEPKES. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 6th Ed.

2.

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta.


3.

Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses


penyakit. EGC: Jakarta.

4.

Kasper DL et al. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition.


The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America.

5.

Alsagaff H, Wibisono MJ, Winariani. 2004. buku ajar Ilmu Penyakit Paru.
Bagian Ilmu Penyakit Paru. FK Unair-RSU dr. Soetomo. Surabaya.

6.

PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus


Tipe 2 di Indonesia. Jakarta.

7.

Sanusi H. Diabetes melitus tipe II pada TB paru. Naskah lengkap Pertemuan


Ilimiah Khusus (PIK) ke X perhimpunan dokter paru indonesia 2-5 juli 2003, sahid
makassar.

8.

Palomino JC, Leo SC, Ritacco V. Tuberculosis 2007: From basic science

to patient care 1st ed. Argentina. Bouciller Kamps. 2007. P.26-52.


9.
Dooley KE, Chaisson RE. Tuberculosis and diabetes mellitus :
convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis. 2009;9(12):737-46.
10.
Kapur A, Harries AD, Lonnroth K, Bygbjerg C, Lefebvre P. Diabetes and
tuberculosis-old associates posing a renewal public health challenge. US
11.

Endrocinology. 2009;5(1):12-14.
Guptan A, Shah A. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J

12.

Tuberc. 2000;47:3-8.
Niazi AK, Kalra S. Diabetes and tuberculosis : a review of the role of
optimal glycemic control. Journal of diabetes & metabolic disorders.

2012;11(28):1-4.
13.
McMahon MM, Bistrian Bruce R. Host defences and susceptibility to
infection in patients with diabetes mellitus. Infect Dis Clin North Am. 1995;9:19.
14.

Koziel H, Koziel MJ. Pulmonary complications


Infect Dis Clin North Am. 1995;9:65-96.

of diabetes mellitus.

15.

Alisjahbana B, van Crevel R, Sahiratmadja E, den Heijer M, Maya A,


Istriana E, et al. Diabetes mellitus is strongly associated with tuberculosis in

16.

Indonesia. Int J Tuberc Lung Dis. 2006;10:696-700.


Mollentzc WF, Pansegrouw DR, Steyn AF. Diabetes mellitus, pulmonary
tuberculosis and chronic

17.

calcific pancreatitis revisited. South Afr Med J.

1990;78:235-9.
Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. Clinical characteristics of pulmonary
tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus.

18.

Eastern Mediterranean Health Journal. 2006;12:522-7.


Patel AK, Rami KC, Ghanchi FD. Radiological presentation of patients of

pulmonary tuberculosis with diabetes mellitus. Lung India. 2011;28:70.


19.
Nijland HM, Ruslami R, Stalenhoef JE, Nelwan EJ, Alisjahbana B,
Nelwan RHH, et al. Exposure to rifampicin is strongly reduced in patients with
tuberculosis and type 2 diabetes. Clin Infect Dis. 2006;43:848-54.

Anda mungkin juga menyukai