Anda di halaman 1dari 3

Nama

: Ahmad Faizi

Alamat

: Liprak Wetan Banyuanyar Probolinggo

HP

: 085859818555

Fenomena Simbolis Memudarkan Rasionalitas


Ahmad Faizi1
Afaizi77@yahoo.com
Fenomena Dimas Kanjeng di kabupaten Probolinggo menghebohkan pemberitaan
secara nasional bahkan internasional. Sebuah peristiwa yang sangat menarik untuk
diperhatikan agar dijadikan renungan bersama. Untuk kesekian kalinya masyarakat terbuai
dengan sesuatu yang tidak masuk akal. Semua itu tidak bisa terlepas dari budaya masyarakat
Indonesia yang sangat mempercayai atau bahkan sampai pada tingkatan fanatisme terhadap
simbol-simbol tertentu yang digunakan.
Simbol merupakan tanda atau ciri yang berfungsi menyampaikan berbagai pesan
kepada seseorang. Atau bisa dikatakan, simbol adalah semacam tanda, yang mengandung
maksud tertentu, karena simbol merupakan suatu objek, kejadian, bunyi atau bentuk-bentuk
tertulis yang diberi makna oleh manusia. Manusia dapat memberi makna kepada setiap
kejadiaan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran gagasan dan emosi.
Hubungan antara manusia dengan simbol-simbol sangat erat, bahkan manusia dan
kehidupannya tidak dapat dilepaskan dengan simbol. Begitu eratnya hubungan manusia
dengan berbagai simbol, melahirkan stigma bahwa manusia sebagai makhluk yang hidup
dalam simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapanungkapan yang simbolis, ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang
membedakannya dengan hewan. Salah seorang filosof Ernst Cassirer, berpendapat bahwa
manusia sebagi hewan yang bersimbol memang ada benarnya dengan bukti tersebut di atas.
Kehidupan bermasyarakat melahirkan berbagai simbol yang berhubungan dengan
agama, budaya dan politik. Masyarakat yang beragama Islam memiliki berbagai simbol yang
menarik untuk kita simak bersama. Simbol-simbol yang diproduksi dan digunakan oleh
sebagian masyarakat yang beragama Islam bisa berupa ucapan, tindakan dan barang-barang
1 Pemerhati budaya Madura di Probolinggo

yang menjadi identitas masyarakat tertentu. Simbol barang merupakan simbol yang paling
banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari terutama dalam kehidupan bermasyarakat.
Banyak barang yang diangap sebagai simbol yang menunjuk pada identitas dan
kualitas religiusitas seseorang. Songkok, sarung, surban, jubah, tulisan arab, tasbih, busana
dengan kriteria tertentu, krudung dengan model tertentu dan minyak dengan aroma tertentu
merupakan bagian dari simbol-simbol barang yang sering kita jumpai di sekeliling kita.
Berbagai barang tersebut diproduksi bukan tanpa maksud dan tujuan. Namun yang menjadi
persoalan adalah tidak semua maksud terurai dengan jelas dengan penggunaan simbol-simbol
tetentu dalam setiap antivitas komunikasi masnusia. Sehingga kecerdasan dan kejelian
menjadi kunci utama untuk menghindari kesalahpahaman dan ketersesasat di dalam
memahami pesan yang tersembunyi di balik simbol yang digunakan.
Menurut Koentjaranimgrat (1971) Sistem kepercayaan erat hubungannya dengan
sistem upacara-upacara keagamaan dan menentukan tata cara dari unsur-unsur, acara, serta
keyakinan terhadap alat-alat yang dipakai dalam upacara. Munculnya budaya songkok,
sarung, surban, jubah, tulisan arab, tasbih, busana dengan kriteria tertentu, krudung dengan
model tertentu dan minyak dengan aroma tertentu menjadi salah satu bukti keterkaitan yang
sangat erat antara sistem kepercayaan dengan penggunaan alat yang kemudian menjadi
budaya masyarakat.
Dalam kaca mata budaya, songkok tidak hanya sekedar hiasan kepala yang berfungsi
untuk mempercantik atau memperganteng pemakainya. Lebih dari itu, songkok sebetulnya
menyimpan segudang makna yang sangat unik sesuai dengan letak wilayah dan komunitas
masyarakat yang ada. Penggunaan songkok pada saat-saat tertentu kadang dimaknai sebagai
ekspresi kesantunan pemakainya. Banyak orang yang diangap tidak santun karena tidak
memakai songkok, misalnya pada saat menghadiri undangan kenduren, di saat berhadapan
dengan tokoh tertentu (kiai, pejabat, dan beberapa tokoh yang lain), di saat menikah, dan di
saat menghadapi sidang pengadilan. Songkok kadang dianggap sebagai salah satu identitas
orang saleh. Sebagian masyarakat Indonesia di daerah tertentu menganggap songkok sebagai
salah satu bukti kesalehan seseorang, sehingga kadang muncul anggapan bahwa orang yang
memakai songkok lebih bersih dari yang tidak memakai songkok, lebih memiliki kedekatan
tertentu terhadap tuhan, dan memiliki pemahaman yang lebih terhadap seluk beluk
keislaman. Konsekwensi dari anggapan-anggapan itu menbawa masyarakat pada sebuah
kesimpulan bahwa mereka yang bersongkok lebih dapat dipercaya dari pada yang tidak
bersongkok, walau kadang irasional.

Songkok kadang berfungsi sebagai atribut yang menambah kewibawaan pemakainya.


Banyak pemakai songkok yang mendapat perlakuan istimewa dengan dihormati, disanjung
dan bahkan dimulyakan. Hal in sudah menjadi konvensi komunitas masyarakat tertentu di
daerah tentu. Situasi ini kadang membuat banyak orang terjebak dengan simbol yang
sebetulnya hanya berfungsi sebagai kemasan tanpa memerhatikan isi yang ada di dalamnya.
Untuk bisa memahai isi yang ada di balik songkok dibutuhkan kecerdasan dan kejelian di
dalam menafsirkan berbagai pesan yang ada di balik simbol tersebut.
Sedangkan sarung, surban dan jubah merupakan simbol yang memiliki nilai yang
hampir sama dengan songkok di komunitas masyarakat dan daerah tertentu. Walau kadang
surban dan jubah dianggap memiliki nilai lebih di dibanding hanya sejedar songkok dan
sarung. Dengan kata lain, orang yang menggunakan surban dan atau jubah dianggap memiliki
kedudukan, status, dan karismatik yang lebih tinggi dibandingkan hanya sekedar
menggunakan songkok dan sarung. Dengan demikian, ada beberapa jenis pakaian yang
memiliki nilai budaya yang sudah menjadi konvensi komunitas masyarakat tertentu dan tidak
jarang nilai-nilai tersebut dikaitkan dengan nilai-nilai religiusitas seseorang. Berbagai nilai
yang sudah menjadi konvensi tersebut cenderung mengikis daya kritis mereka sebagai
manusia. Daya kritis dan rasionalitas masyarakat sebagai manusia akan terkikis habis seiring
dengan fanatisme terhadap simbol-simbol tertentu yang belum jelas maksud dan tujuan di
balik penggunaannya.
Penggunaan tulisan arab, tasbih, dan berbagai busana dengan kriteria tertentu sering
dihubungkan dengan ritual keagamaan. Berbagai bentuk perbedaan cara dan alat yang
mengiringi ritual atau upacara keagamaan merupakan perwujudan dari perbedaan bentuk
budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang sebetulnya memiliki tujuan
sama untuk meraih kedekatan hakiki dengan zat maha segala-galanya.
Seiring dengan fanatisme masyarakat terhadap simbol-simbol budaya yang dikaitkan
dengan nilai-nilai religiusitas seseorang, mengundang berbagai pihak untuk mengambil
keuntungan atau manfaat sepihak. Berbagai simbol yang digunakan tidak lagi untuk
membantu kelancaran proses komunikasi antar sesama manusia, akan tetapi terselip tujuan
untuk memerdaya masyarakat yang sebetulnya berada di luar kesadaran rasionalitas yang
semestinya. Walau demikian, keberadaan simbol dalam kehidupan bermasyarakat tetap
dibutuhkan untuk mempermudah proses komunikasi satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai