Anda di halaman 1dari 3

FULL DAY SCHOOL

ANTARA KETULUSAN DAN MATERIALISME


Ahmad Faizi1
Afaizi77@yahoo.com
085859818555
Isu tentang gagasan Full Day School beberapa minggu yang lalu sempat membuat
heboh hampir seluruh media di negeri ini. Mulai dari media cetak, media on line dan media
sosial. Semua mengulas tentang wacana baru ini, bahkan ada beberapa yang mengangkatnya
sebagai topik utama dalam pemberitaannya. Gagasan ini, pertama dimuncukan oleh menteri
pendidikan dan kebudayaan, bapak Muhadjir Efendy.

Ada banyak penolakan terhadap gagasan yang dimunculkan oleh Muhadjir. Penolakan
terhadap gagasan yang sedikit menghebohkan dunia pendidikan tersebut datang dari berbagai
kalangan. Mulai dari kalangan guru, para wali murid, siswa dan bahkan masyarakat luas. Ada
banyak alasan mereka yang tidak setuju dengan wacana belajar sepanjang hari ini, misalnya
belum siapnya para guru, para orang tua murid, siswa dan bahkan fasilitas-fasilitas penunjang
sekolah. Selain itu, salah satu media on line nasional pernah memberitakan bahwa ada ribuan
masyarakat menandatangani petisi penolakan terhadap wacana baru di dunia pendidikan kita
ini.

Tidak layaknya fasilitas sekolah, nasib guru yang belum jelas, beban psikis yang akan
ditanggung siswa, pembengkaknya biaya, faktor keamanan dan akan berkurangnya rasa
kekeluargaan merupakan alasan-alasan yang sering didengungkan warga masyarakat dari
berbagai golongan yang tidak setuju dengan wacana full day school tersebut. Penolakan-
penolakan terus bermunculan, walaupun di sisi lain sebetulnya wacana tersebut berisi tujuan-
tujuan muliya dari bapak menteri yang baru dilantik beberapa hari yang lalu itu. Muhadjir
Effendy dengan gagasan barunya itu bertujuan untuk melindungi anak-anak di usia sekolah
dari pergaulan-pergaulan bebas di luar rumah. Mungkin beliau menganggap banyak orang tua
yang masih berada di tempat kerja ketika anak pulang dari sekolah, sehingga tidak bisa
mengawasi anak-anaknya.

Berkaca pada pesantren


Bagi kalangan masyarakat pesantren, gagasan full day school merupakan suatu hal
yang tidak mengagetkan. Sejak dulu kala jauh sebelum munculnya gagasan yang dilontarkan
oleh Muhadjir Effendy, pesantren sudah menerapkan belajar sepanjang hari. Lebih dari itu, di
dunia pesantren juga menggunakan sebagian malam hari untuk kegiatan belajar.
Jika berkaca pada pendidikan berbasih pesantren, alasan-alasan penolakan terhadap
wacana full day school tersebut dapat terbantahkan. Sebagai salah satu lembaga pendidikan
tertua di Indonesia, pesantren sudah dan masih menerapkan pendidikan sepanjang hari dan

1
Salah satu mahasiswa Pasca Sarjana di Uneversitas Jember
sebagian malam. Kegiatan pembelajaran tersebut bisa berlangsung walau dengan
keterbatasan fasilitas. Biasanya ruangan belajar yang digunakan ala kadarnya bahkan ada
yang tanpa menggunakan bangku dan kursi belajar. Tempat yang mereka gunakan untuk
beristirahat atau sekedar menyimpan baju dan peralatan lainnya-pun juga sangat sederhana.
Dengan tempat yang mayoritas jauh dari kata mewah tersebut, santri tetap bisa belajar tanpa
mengurangi kesempatan mereka untuk berprestasi.
Tenaga pendidik di pesantren tidak pernah mengeluhkan tentang nasib mereka.
Sejauh yang saya ketahui, sulit atau bahkan tidak ada tenaga pengajar di pesantren yang
berunjuk rasa untuk menuntut kenaikan gaji, apalagi menuntut untuk dijadikan PNS.
Walaupun mungkin ada, tenaga pendidik yang sudah tidak sanggup dengan kesederhanaan
tidak berimbas terhadap terhentinya sistem belajar full day school (FDS) yang ada di
pesantren. Terbukti hingga detik ini lembaga pendidikan pesantren tetap berdiri kokoh bahka
sudah banyak diadopsi oleh lembaga-lembaga pendidikan di luar pesantren, misalnya sudah
banyak bermunculan sekolah-sekolah yang mengasramahkan anak didiknya dengan
mengadakan pembinaan-pembinaan ala pesantren di sore dan malam hari dan juga sudah
mulai bermunculan perguruan tinggi yang menyediakan dan mewajibkan mahasiswanya
untuk tinggal di asramah guna mengikuti proses pembinaan yang dilakukan dalam waktu
tertentu.
Diakui atau tidak, sejarah telah membuktikan bahwa santri telah mampu menjawab
tentangan hidup baik secara lokal, nasional bahkan internasional. Alasan yang dikemukakan
oleh warga masyarakat yang tidak setuju dengan wacana FDS yang dimunculkan oleh
kementerian pendidikan dan kebudayaan tidak berlaku untuk dunia pesantren. Proses belajar
sehari penuh bahkan ditambah sebagian malam hari tidak membuat anak didik berada dalam
tekanan psikologis. walaupun memang kita semua tahu ada beberapa aturan yang harus
diikuti dan dipatuhi oleh anak didik di pesantren yang bertujuan untuk melatih mental dan
psikologinya agar menjadi manusia yang tangguh dan punya daya tahan dalam bertarung
menghadapi segala bentuk persoalan hidup di masyarakat. Munculnya tokoh bertaraf nasional
dan internasional seperti: Abdurrohman Wahid, Din Samsuddin, Hasyim Muzadi, dan
beberapa tokoh yang lain menjadi bukti nyata bahwa FDS yang digunakan pesantren cukup
efektif dan berhasil.
Dengan sistem pembelajaran pesantren, pembengkakan biaya tidak selamanya terjadi
bahkan justru sebaliknya peserta didik dilatih untuk menjalani hidup secara sederhana.
Latihan kesederhanaan di lingkungan pesantren tidak hanya sekedar teori semata, semua itu
tercermin dalam aktivitas keseharian mereka, mulai dari cara berpakaian, menu makanan dan
fasilitas-fasilitas yang berkaitan dengan individu santri. Santri biasanya menggunakan
pakaian khas santri, semisal: sarung, baju takwa dan kopiah. Menu makanan santri biasanya
berkisar antara tahu, tempe dan telor. Sekali-kali ikan pindang dan daging menjadi menu
mereka di saat-saat baru mendapat kiriman dari orang tua masing-masing. Menu lalapan
ayam, lalapan lele, bebek goreng, dan sate kambing merupakan menu yang hampir tidak
ditemukan di lingkungan santri. Di lingkungan pesantren, fasilitas mewah yang sifatnya
untuk kepentingan pribadi cenderung dibatasi dan bahkan dilarang, seperti ponsel dan
perhiasan emas. Pembatasan-pembatasan tersebut diyakini oleh masyarakat pesantren, baik
santri, para pengajar dan orang tua santri dapat melindungi dan mengantar santri pada
kesuksesan, sehingga tidak ada protes dan keberatan dari pihak-pihak yang bersangkuta.
Dengan demikian, sistem pendidikan yang ada di Indonesia perlu mencontoh sistem
pendidikan di dalam pesantren. Apa yang dicita-citakan oleh Menteri pendidikan dan
kemudayaan tentang wacana FDS akan tetap terlaksana dengan termenologi dan konsep yang
sedikit berbeda, sehingga alasan-alasan yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang keberatan
dengan FDS akan terbantahkan. Dengan mencontoh sistem FDS yang diterapkan di dalam
pesantren, anak didik bisa belajar sepanjang hari dengan fasilitas sesuai kemampuan masing-
masing daerah dan lembaga. Pembekakan biaya tidak akan pernah terjadi jika seluruh
pendidik dan semua anak didik di Indonesia mencontoh kesederhanaan yang ada di
lingkungan pesantren.

Anda mungkin juga menyukai