Anda di halaman 1dari 23

KARAKTERISTIK DAN PENDIDIKAN ANAK TUNANETRA

MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATA KULIAH
Pendidikan Inklusi di SD
Yang dibina Oleh Bapak Drs. Tomas Iriyanto, S.Pd, M.Pd

Oleh
Ahmad Fauzi Rizal

110151411731

Dewik Wulan

110151411740

Galih Eka Kusuma Aji

110151411659

Inayatur Rohmah

110151411516

Nawandha Dwika Yuniar

110151411586

Nila Tri Ardiani

110151411585

Thooriq Irhfa Fathuddin

110151411741

UNIVERSITAS NEGERI MALANG


FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN KEPENDIDIKAN SEKOLAH DASAR DAN PRASEKOLAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
November 2012

DAFTAR ISI

Daftar Isi............................................................................................................................ ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar belakang........................................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................................... 2
1.3 Tujuan..................................................................................................................... 2
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian, Klasifikasi, Penyebab, dan Cara Pencegahan Terjadinya Tunanetra..
2.1.1 Pengertian Tunanetra.............................................................................................
2.1.2 Klasifikasi Tunanetra.............................................................................................
2.1.3 Penyebab Terjadinya Tunanetra............................................................................
2.1.4 Pencegahan Terjadinya Tunanetra.........................................................................
2.2 Karakteristik Anak Tunanetra................................................................................
2.2.1 Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis.........................................
2.2.2 Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Pribadi dan Sosial............................
2.2.3 Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Fisik/Sensoris dan
Motorik/Perilaku..........................................................................................
3.3 Kebutuhan dan Layanan Pendidikan bagi Anak Tunanetra...................................
3.3.1 Kebutuhan Pendidikan..........................................................................................
3.3.2 Layanan Pendidikan bagi Anak Tunanetra..................................................
BAB III Penutup
Kesimpulan................................................................................................................... 15
Daftar Rujukan................................................................................................................ 16

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Pendidikan bagi anak tunanetra saat ini tidak terbatas pada sekolah khusus atau melalui
sistem segresi saja, akan tetapi mereka juga diberikan kesempatan untuk mengikuti
pendidikan melalui sistem integrasi terpadu. Bahkan saat ini anak tunanetra sudah lebih
banyak yang mengikuti sistem terpadu dibandingkan dengan anak luar biasa lainnya seperti
anak tunarungu, tunagrahita maupun tunadaksa.
Keberhasilan pendidikan anak tunanetra di sekolah terpadu, tidak terlepas dari peran
guru kelas atau guru mata pelajaran. Oleh karena itu, seyogyanya para guru tersebut
memiliki pemahaman tentang karakteristik dan layanan pendidikan anak tunanetra.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai seputar karakteristik dan pendidikan anak
tunanetra.

1.2 Tujuan Penulisan


Setelah menyelesaikan makalah ini, diharapkan mahasiswa mampu memiliki
kemampuan:
1. Menjelaskan pengertian, klasifikasi, penyebab, serta cara pencegahan terjadinya
tunanetra.
2. Menjelaskan karakteristik anak-anak tunanetra.
3. Menjelaskan kebutuhan dan pendidikan yang sesuai bagi anak tunanetra.

1.3 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini semoga dapat menjadi sumber referensi bagi siapa pun yang
membutuhkan mengenai karakteristik dan pendidikan anak tunanetra. Baik bagi mahasiswa,
masyarakat maupun pihak akademisi lainnya.

BAB II
PEMBAHASAN
3.4 PENGERTIAN,

KLASIFIKASI,

PENYEBAB,

DAN

CARA

PENCEGAHAN

TERJADINYA TUNANETRA
3.4.1 Pengertian Tunanetra
Tunanetra adalah gangguan daya penglihatan, berupa kebutaan menyeluruh atau
sebagian, dan walaupun telah diberi pertolongan dengan alat-alat bantu khusus, mereka
masih tetap memerlukan pendidikan khusus.
Pengertian tunanetra menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah tidak dapat
melihat (KBBI, 1989:p.971)

3.4.2 Klasifikasi Tunanetra


1. Berdasarkan Tingkat Ketajaman Penglihatan
a. Tunanetra dengan ketajaman penglihatan 6/20m-6/60m atau 20/70 feet-20/200 feet
yang biasa disebut tunanetra kurang lihat (low fision).
b. Tunanetra dengan ketajaman penglihatan antara 6/60 m atau 20/200 feet atau kurang
yang bisa disebut dengan tunanetra berat atau buta (blind). Dibagi lagi menjadi:
1) Kelompok tunanetra yang masih dapat melihat gerakan tangan.
2) Kelompok tunanetra yang hanya dapat membedakan terang dan gelap.
2. Berdasarkan Saat Terjadinya Ketunanetraan
a. Tunanetra sebelum dan sejak lahir
Ketunanetraan dialami saat dalam kandungan atau sebelum berusia satu tahun
sehingga anak-anak tersebut masih belum mempunyai konsep penglihatan.
b. Tunanetra batita
Ketunanetraan dialami saat usia dibawah 3 tahun. Konsep penglihatan yang telah
dimiliki lama kelamaan akan hilang sehingga kesan-kesan visual atau konsep-konsep
tentang benda atau lingkungan yang dimilikinya tidak terlalu bermanfaat bagi
kehidupan selanjutnya.
c. Tunanetra balita
Ketunanetraan dialami saat berusia 3-5 tahun. Konsep penglihatan yang dimiliki
terbentuk dengan cukup sehingga akan berguna bagi perkembangannya.
d. Tunanetra pada usia sekolah
Ketunanetraan dialami pada usia 6-12 tahun. Konsep penglihatan telah terbentuk dan
mempunyai kesan-kesan visual yang banyak dan bermanfaat bagi perkembangan

pendidikannya. Pada tunanetra usia ini terjadi goncangan jiwa yang hebat karena anak
sedang dalam masa bermainn sehingga peran guru dan orang tua sangat berarti untuk
menyadarkan mereka agar meu menerima kenyataan.
e. Tunanetra remaja
Ketunanetraan dialami saat usia 13-19 tahun. Anak usia remaja sudah memiliki kesankesan visual yang sangat mendalam namun akan menimbulkan goncangan jiwa yang
sangat berat dan mengalami frustasi atau keputusasaan.
f. Tunanetra dewasa
Ketunanetraan dialami pada usia 19 tahun keatas dan telah memiliki ketrampilan dan
kemungkinan pekerjaan yang diharapkan untuk kelangsungan hidup keluarganya.
Ketunanetraan yangg dialami akan menjadi pukulan berat dan akan membuatnya putus
asa.
3. Berdasarkan Adaptasi Pendidikan
Dikemukakan oleh Krik (1989: 348-349), sebagai berikut:
a. Ketidakmampuan melihat taraf sedang (moderate visual disability)
Penderita dapat melakukan tugas-tugas visual seperti orang normal dengan
menggunakan alat bantu khusus dan dengan pemberiann cahaya yang cukup.
b. Ketidakmampuan melihat taraf berat (severete visual disability)
Memilliki penglihatan yang kurang baik atau kurang akurat meskipun dibantu dengan
alat bantu visual.
c. Ketidakmampuan melihat taraf sangat berat (profound visual disability)
Kesulitan melakukan tugas-tugas visual yang detail seperti membaca dan menulis
huruf awas, sehingga indra peraba dan pendengaran memegang peranan penting dalam
menempuh pendidikan.
3.4.3

Penyebab Terjadinya Tunanetra


Ada berbagai faktor penyeban terjadinya tuna netra, penyebab ketunanetraan, secara

umum, meliputi faktor keturunan, penyakit dan kecelakaan. Faktor keturunan merupakan
faktor penyebab tunanetra yang sering terjadi dibanding faktor penyakit dan kecelakaan.
Faktor keturunan sering disebut juga faktor internal, sedangkan faktor penyakit dan
kecelakaan disebut juga faktor eksternal, dengan demikian pembahasan mengenai penyebab
tunanetra didasarkan pada faktor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal merupakan penyebab terjadinya ketunanetraan yang timbul dari dalam
diri individu, yang sering disebut juga faktor keturunan. Faktor ini kemungkinan besar
terjadi pada perkawinan antar keluarga dekat dan perkawinan antar tunanetra
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang dimaksudkan disini, merupakan penyebab ketunanetraan yang
berasal dari luar diri individu. Penyebab ketunanetraan yang dikelompokkan pada faktor
eksternal ini, antara lain sebagai berikut :
a. Penyakit rubella dan syphilis

Rubella atau campak jerman merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh virus
yang sering berbahaya dan sulit didiagnosis secara klinis. Apabila seorang ibu terkena
rubella pada saat usia kehamilan 3 bulan pertama, maka virus tersebut dapat merusak
pertumbuhan sel-sel pada janin dan merusak jaringan pada mata, telingga atau organ
lainnya sehingga kemungkinan besar, anaknya lahir tunanetra atau tunarungu atau
berkelainan lainnya.
Syphilis (penyakit yang menyerang alat kelamin). Apabila penyakit itu terjadi pada ibu
hamil maka penyakit tersebut akan merambat ke dalam kandungan sehingga dapat
menimbulkan kelainan pada bayi yang dikandungnya atau bayi tersebut akan terkena
penyakit ini sewaktu dilahirkan
b. Glaukoma (glaucoma)
Glaukoma merupakan suatu kondisi di mana terjadi tekanan yang berlebihan pada bola
mata. Hal itu terjadi karena struktur bola mata yang tidak sempurna pada saat
pembentukannya dalam kandungan. Kondisi ini ditandai dengan pembesaran pada
bola mata. Kornea menjadi keruh, banyak mengeluarkan air mata, dan merasa silau
c. Retinopati diabetes (diabetic retinopathy)
Retinopati diabetes merupakan suatu kondisi yang disebabkan oleh adanya gangguan
dalam suplai/aliran darah pada retina. Kondisi ini disebabkan oleh adanya penyakit
diabetes. Diabetes merupakan gangguan metabolisme tubuh, dimana tubuh tidak
cukup memproduksi insulin sehingga produksi gula darah meningkat dari ukuran
normal. Gangguan metabolisme ini dapat merusak mata, ginjal, susunan saraf, dan
pembuluh darah.
d. Retinoblastoma
Retinoblastoma merupakan tumor ganas yang terjadi pada retina dan sering ditemukan
pada anak- anak. Gejala yang dapat dicurigai dari penyakit tersebut, antara lain
menonjolnya bola mata, adanya bercak putih pada pupil, strabismus (juling),
glaukoma, mata sering merah atau penglihatanya terus menurun.
e. Kekurangan vitamin A
Vitamin A berperan dalam ketahanan tubuh terhadap infeksi. Dengan adanya vitamin
A, tubuh lebih efisien dalam menyerap protein yang dikonsumsi. Kekurangan vitamin
A akan menyebabkan kerusakan pada matanya, yaitu kerusakan pada sensitivitas
retina terdapat cahaya (rabun senja) dan terjadi kekeringan pada konjungtiva bulbi
yang terdapat pada celah kelopak mata disertai pengerasan dan penebalan pada epitel.
Pada saat mata bergerak, akan tampak lipatan pada konjungtiva bulbi. Dalam keadaan
parah, hal tersebut dapat merusak retina, dan bila keadaan ini tetap dibiarkan akan
terjadi ketunanetraan.
f. Terkena zat kimia
Zat-zat kimia juga dapat merusak apabila penggunaannya tidak hati-hati. Zat kimia
tertentu seperti zat etanol dan aseton, apabila mengenai kornea, akan mengakibatkan

kering dan terasa sakit. Selain itu zat-zat lain, seperti asam sulfat dan asam tannat yang
mengenai kornea, akan menimbulkan kerusakan, bahkan dapat mengakibatkan
ketunanetraan.
g. Kecelakaan
Kecelakaan menjadi salah satu faktor yang dapat menyebabkan ketunanetraan apabila
kecelakaan tersebut mengenai mata atau saraf mata. Benturan keras yang mengenai
saraf mata atau tekanan yang keras terhadap bola mata, dapat menyebabkan gangguan
penglihatan, bahkan ketunanetraan.
3.4.4

Pencegahan Terjadinya Tunanetra


Upaya yang dapat dilakukan sebagai pencegahan terjadinya tunanetra dapat

dikelompokkan menjadi tiga macam, yaitu secara medis, sosial, dan edukatif.
1. Pencegahan Secara Medis
a. Melakukan pemeriksaan genetika kepada dokter ahli sebelum menikah sehingga akan
diketahui apakah gen mereka dapat menyebabkan kecacatan atau tidak pada anak yang
kelak akan dilahirkan.
b. Menghindari penggunaan terapi radioaktif bagi ibu hamil, terutama pada usia
kandungan tiga bulan pertama dan 3 bulan ketiga. Diagnostik pada wanita hamil
sebaiknya dilakukan sebelum hari ke-10 pada siklus menstruasi.
c. Pebcegahan terhadap virus menular seperti virus rubella, syphilis, dan sebagainya.
Pencegahan terhadap virus rubella dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi
rubella secara rutin terutama pada anak perempuan usia 1 tahun sampai usia dewasa.
d. Pemberian vitamin A dosis tinggi untuk pencegahan kekurangan vitamin A. Dalam
hal ini, pemerintah sudah melakukan upaya tersebut, dengan memberikan vitamin A
dosis tinggi secara gratis kepada setiap balita.
e. Melakukan pemeriksaan dini terhadap dokter mata, apabila terjadi keluhan pada mata
secara serius
2. Pencegahan Secara Sosial
a. Memberikan penyuluhan mengenai penyebab terjadinya tunanetra. Penyuluhan ini
dapat diberikan kepada ibu-ibu melalui kegiatan PKK karena seorang ibu memegang
peranan penting dalam mencegah tunanetra.
b. Penyuluhan dan penyelidikan ke sekolah-sekolah terkait bibit penyakit tunanetra,
dalam hal ini memanfaatkan peran UKS yang di naungi oleh dinas kesehatan
setempat, seperti Puskesmas (Pusat Kesehatan Masyarakat).
c. Meningkatkan perlindungan keselamatan kerja pada buruh di perusahaan-perusahaan,
terutama pada perusahaan yang banyak menggunakan bahan kimia.
3. Pencegahan Secara Edukatif
a. Peranan Keluarga
Keluarga memang memegang peranan penting dalam menanamkan kebiasaan hidup
sehat, terutama dalam penggunaan dan pemeliharaan kesehatan penglihatan buah
hatinya. Kebiasaan yang perlu ditanamkan dalam keluarga. Antara lain kebiasaan

membaca yang baik, seperti tidak membaca pada posisi tidur, terlentang, jarak antara
mata dan buku kurang lebih 30 cm dan penerangan yang cukup, menonton Tv pada
jarak yang tidak terlalu dekat, menghindari permainan yang membahayakan mata,dsb.
b. Peranan Sekolah
Sekolah sebagai wahana bagi anak-anak untuk memperoleh berbagai pengetahuan,
turut berperan dalam upaya mencegah terjadinya ketunanetraan pada siswanya. Upaya
yang dapat dilakukan antara lain memberikan pengetahuan dan pemahaman tentang
berbagai penyakit mata serta cara-cara mencegahnya, memelihara kesehatan diri dan
lingkungannya, makan makanan yang banyak mengandung vitamin A, dan
mengarahkannya agar menyukai makanan tersebut, menghindari permainan yang
membahayakan kesehatan mata, terutama pada anak laki-laki yang senang bermain
ketapel atau tembak-tembakan dengan menggunakan peluru mainan.
3.5 KARAKTERISTIK ANAK TUNANETRA
3.5.1 Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Akademis
Bateman dalam Hallahan & Kauffman (1991:312) mengemukakan, bahwa dari
hasil penelitian, diperoleh beberapa fakta yang memberikan kesan bahwa anak
tunanetra baik yang kurang lihat maupun buta, ketinggalan dari temannya yang awas.
Berkaitan dengan hal tersebut, Samuel Hayes dalam Moh. Amin (1986:13) telah
mengukur kecerdasan tunanetra dengan menggunakan tes kecerdasan Hayes Binet
dengan

menghilangkan

nomor-nomor

yang

menggunakan

penglihatan

dan

menggantinya dengan nomor-nomor yang tidak menggunakan penglihatan dari


Stanford-Binet. Tes Hayes tersebut menguji 2312 anak-anak buta, dan menemukan
bahwa angka IQ rata-rata mereka adalah 98,8. Ahli lain yaitu Tillman & Osborg
(1969) membandingkan anak tunanetra yang sedang mengikuti pendidikan dengan
anak awas, dan ia menemukan beberapa perbedaan berikut:
1. Anak-anak tunanetra menyimpan pengalaman khusus, seperti anak awas, tetapi
pengalaman tersebut kurang terintegrasikan.
2. Anak-anak tunanetra mendapat angka yang hampir sama dengan anak awas dalam
hal berhitung, informasi, dan kosakata, tetapi kurang baik dalam hal pemahaman
(comprehension) dan persamaan.
3. Kosakata anak-anak tunanetra cenderung merupakan kata-kata yang definitife,
sedangkan anak awas menggunakan arti yang lebih luas.
Dengan demikian, berbagai pendapat di atas menunjukkan bahwa ketunanetraan
dapat mempengaruhi prestasi akademik para penyandangnya.
3.5.2

Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Pribadi dan Sosial


Apabila orang tunanetra kurang diterima oleh masyarakat, hal itu bisa terjadi karena
sebagian tunanetra mengalami kesulitan dalam menguasai ketrampilan sosial, seperti

sering menampilkan ekspresi muka yang kurang tepat atau sikap yang kurang baik
saat berkomunikasi dengan orang lain, dan hal-hal seperti itu, biasanya diperoleh
individu melalui modeling dan umpan balik (feed back) melalui penglihatan. Oleh
karena itu, ketrampila sosial ini harus diajarkan/dilatihkan pada anak tunanetra secara
khusus.
Masalah pribadi anak tunanetra juga sering timbul karena konsep diri yang negative,
dan konsep diri seperti itu, timbul karena sikap-sikap negative orang awas terhadap
tunanetra. Sikap negative orang awas, dapat terjadi karena adanya penilaian yang
salah atau persepsi yang negative terhadap tunanetra.
Beberapa literature mengemukakan karakteristik yang mungkin terjadi pada anak
tunannetra yang tergolong buta sebagai akibat langsung maupun tidak langsung dari
kebutaannya adalah :
1. Curiga pada orang lain
Keterbatasan rancangan visual/penglihatan, menyebabbkan anak tunanetra
kurang mampu untuk berorientasi pada lingkungannya sehingga kemampuan
mobilitassnyapun terganggu.
2. Mudah tersinggung
Pengalaman sehari-hari yang sering menimbulkan rasa kecewa, dapat
memepengaruhi emosi tunanetra sehingga tekanan-tekanan suara tertentu atau
singgungan fisik yang tidak sengaja dari orang lain dapat menyinggung
perasaannya.
3. Ketergantungan pada orang lain
Dalam melakukan aktivitas sehari-hari, kadang anak tunanetra memerlukan
bantuan orang awas. Apabila bantuan tersebut diberikan secara wajar dan
memang dianggap perlu, kondisi seperti itu, tidak dapat dikatakan sebagai
memiliki sifat ketergantungan pada orang lain. Namun, apabila bantuan tersebut
diperlukan setiap saattermasuk pada hal-hal yang sebenarnya dapat dilakukan
sendiri maka kondisi seperti ini dapat dikatakan memiliki sifat ketergantungan
pada orang lain.
Anak tunanetra yang tergolong kurang lihat atau low vision, umumnya memiliki
kepercayaan diri lebih baik. Ia akan bergerak dengan penuh percaya diri, baik
dirumah maupun disekolah dan akan merasa bangga apabila ia harus menuntun
anak tunanetra yang tergolong buta. Ia akan bersikap, seperti orang awas dan
apabila sekali-kali tersandung dianggapnya itu hal biasa.
3.5.3 Karakteristik Anak Tunanetra dalam Aspek Fisik/Sensoris dan Motorik/Perilaku
1. Aspek Fisik dan Sensoris
Dilihat secara fisik, seseorang dapat dilihat bahwa orang tersebut mengalami
tunanetra atau tidak yaitu dengan melihat kondisi matanya dan sikap tubuhnya yang
kurang ajeg serta agak kaku. Pada umumnya kondisi mata tunanetra dapat dengan

jelas dibedakan dengan mata orang awas. Mata orang tunanetra, ada yang terlihat putih
semua, tidak ad bola matanya atau bola matanya agak menonjol ke luar. Namun, ada
juga yang secara anatomis matanya, sepeti orang awas sehingga kadang-kadang kita
ragu kalau dia itu seorang tunanetra, tetapi kalau ia sudah bergerak atau berjalan akan
tampak bahwa dia tunanetra. Sikap tubuhnya yang kurang agak ajeg dan agak kaku
terjadi karena mereka tidak memperoleh persepsi yang cukup tentang sikap tubuh
yang baik.
Dalam segi indera, umumnya anak tunanetra menunjukkan kepekaan yang lebih
baik pada indra pendengaran dan perabaan dibandingkan dengan anak awas. Namun,
kepekaan tersebut tidak diperolehnya secara otomatis, melainkan melalui proses
latihan. Melalui konsentrasi, mereka belajar untuk membuat perbedaan-perbedaan
yang sangat baik.
Oleh karena kepekaannya sangat baik, terjadilah mitos di masyarakat bahwa anak
tunanetra mempunyai kelebihan indra atau indra keenam. Kemudian, ada mitos juga
bahwa pada anak tunanetra secara otomatis indra lainnya berkembang secara tajam.
Hal yang sebenarnya terjadi karena indra penglihatannya tidak berfungsi maka ia
memfungsikan indra lainnya melebihi orang awas.
Sebagai contoh dapat dijelaskan bahwa secara anatomis tangan anak tunanetra
sama dengan tangan anak yang lainnya, namun tangan anak tunanetra sebagai indra
perabaan akan lebih peka dari pada anak awas karena terbiasa digunakan untuk
membedakan apa yang diraba atau menangkap makna dari apa yang dirabanya. Anak
tunanetra dapat membaca huruf Braille melalui latihan membedakan letak atau posisi
titik timbul yang melambangkan huruf. Pada awalnya ia dilatih membedakan titik-titik
timbul yang agak besar, lama-kelamaan ia harus dapat membedakan titik-titik timbul
yang kecil. Dengan demikian, kepekaan tangannya semakin meningkat.
2. Aspek Motorik/Perilaku
Dari aspek motorik/perilaku anak tunanetra menunjukkan karakteristik sebagai
berikut:
a. Gerakannya agak kaku dan kurang fleksibel
Karena keterbatasan penglihatannya, anak tunanetra tidak bebas bergerak seperti
halnya anak awas. Oleh karena itu, dalam melakukan aktivitas motorik, seperti jalan,
berlari atau melompat, cenderung menampakkan gerakan yang kaku dan kurang
fleksibel. Kalau berjalan, adakalanya menyeret atau menggeserkan kaki, untuk
menghindari bahaya atau takut menginjak benda kecil di sekitarnya.
b. Perilaku stereotip (stereotypic behavior)

Sebagaian kecil anak tunanetra ada yang suka mengulang-ulang gerakan tertentu,
seperti mengedip-ngedipkan atau menggosok-gosok matanya. Perilaku seperti itu,
disebut perilaku stereotip (stereotypic behavior). Beberapa tahun lalu perilaku seperti
itu disebut blindism karena ada pemikiran bahwa perilaku tersebut hanya
dimanifestasikan oleh orang buta (blind) saja. Namun, ternyata hal seperti itu kadangkadang menjadi karakteristik anak yang memiliki gangguan dan keterlambatan yang
tergolong berat, tetapi mempunyai penglihatan yang normal.
Anak yang memiliki stimulasi sensori yang rendah, seperti anak tunanetra
berusaha untuk mencari srimulasi dengan cara mereka sendiri. Anak yang tergolong
buta atau yang mempunyai penglihatan minimal akan mendapatkan stimulus dari
simpul-simpul saraf melalui tekanan-tekanan pada matanya. Namun, bagi anak yang
buta total hal tersebut tidak bisa dilakukan.
Perilaku stereotip lainnya adalah menepuk-nepuk tangan. Dengan menepuknepuk tangan, ia dapat memperoleh stimulus tentang luasnya ruangan karena suara
tepukan pada ruangan yang luas berbeda dengan suara tepukan pada ruangan yang
sempit.
Disamping karakteristik di atas, berikut ini akan dikmukakan aktivitas-aktivitas
motorik yang sering ditunjukkan oleh anak kurang lihat (low vision).
a. Selalu melihat suatu benda dengan memfokuskan pada titik-titik benda. Dengan
mengerutkan dahi, ia mencoba melihat benda yang ada di sekitarnya.
b. Memiringkan kepala apabila akan memulai melakukan suatu pekerjaan. Hal itu
dilakukan untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dan daya lihatnya.
c. Sisa penglihatannya mampu mengikuti gerak benda. Apabila ada benda bergerak di
depannya, ia akan mengikuti arah gerak benda tersebut sampai benda tersebut tidak
tampak lagi.
3.6 KEBUTUHAN DAN LAYANAN PENDIDIKAN BAGI ANAK TUNANETRA
3.6.1 Kebutuhan Pendidikan
Anak tunatetra merupakan anak yang mengalami kehilangan penglihatan sehingga
memberikan dampak baik secara langsung maupun tidak langsung bagi perkembanganya.
Dampak yang nyata dari ketunanetraan tersebut adalah keterbatasan/kehilangan alat
orientasi yang utama, kesulitan dalam melakukan mobilitas dan kesulitan bahkan tidak
mampu membaca dan menulis huruf( bagi tunanetra yang sangat berat)
Orang awas dapat dengan mudah melakukan orientasi atau pengenalan lingkungan,
di mana dia berada, melalui penglihatanya . oleh karena kehilangan penglihatan maka anak
tunanetra melakukan orientasi dengan menggunaka indra lainya, seperti pendengaran,
peraba/perasaan, dan penciuman. Namun, untuk dapat melakukan orientasi dengan baik,
diperlukan suatu proses melalui latihan.

Kehilangan penglihatan menyebabkan anak tunanetra sulit dalam melakukan


mobilitas, yang artunya sulit bergerak, dari suatu tempat ke tempat lain yang diinginkan.
Oleh karena itu, kepada mereka perlu diberikan suatu keterampilan khusus, agar dapat
melakukan mobilitas dengan cepat dan aman.
Dampak lain dari kehilangan penglihatan ini adalah kesulitan atau bahkan tidak
mampu membaca dan menulis huruf awas. Bagi anak tunanetra kurang lihat mungkin masih
bisa menggunakan sisa penglihatanya untuk membaca huruf awas yang dimodifikasi dengan
menggunakan kaca pembesar atau media elektronik. Namun, bagi anak yang tergolong buta,
sisa penglihatanya tidak mungkin lagi digunakan untuk membaca huruf awas sehingga bagi
mereka digunakan huruf braile. Namun, untuk dapat membaca huruf braile ini , juga
diperlukan suatu proses melalui latihan
Adanya keterbatasan tersebut diatas, menghambat anak tunanetra dalam berbagai
aktivitas yang dilakukan oleh orang awas dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun
demikian, mereka masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan melalui dunia
pendidikan.
Oleh karena memiliki berbagai hambatan maka selain membutuhkan layanan
pendidikan umum sebgaimana halnya anak was, anak tunanetra membutuhkan layanan
khusus untuk merehabiltasi kelainanya. Dengan layanan pendidikan tersebut, diharapkan
mereka dapat memberdayakan dirinya sehingga bias hidup mandiri tanpa ketergantungan
pada orang lain.
3.6.2

Layanan Pendidikan bagi Anak Tunanetra


Layanan pendidikan bagi anak tunatetra, pada dasarnya sama dengan layanan

pendidikan bagi anak awas, hanya dalam teknik penyampaianya disesuaikan dengan
kemampuan dan ketidakmampuan atau karakteristik dari anak tunanetra.
Agar anda dapat memberikan layanan pendidikan yang sesuai dengan karakteristik
anak tunanetra berikut ini akan dibahas mengenai jenis layanan, tempat, dan system layanan,
cirri khas layanan strategi dan media pembelajaran serta evaluasi.
1. Jenis layanan
Ditinjau dari segi jenisnya, layanan pendidikan bagi anak tunanetra, meliputi layanan
umum dan layanan khusus.
a. Layanan Umum
Layanan umum adalah layanan pendidikan untuk mengembangkan kemampuan umum
seperti yang dibutuhkan anak lawas, yang meliputi layanan akademik bagi anak
tunanetra, sama dengan layanan akademik untuk anak awasw, yaitu mencakup mata
pelajaran yang biasa diberikan di sekolah biasa, tetapi

ada hal-hal yang harus

diperhatikan sehubungan dengan cirri khas layanan yang akan di jelaskan pada uraian
selanjutnya.
Latihan yang diberikan terhadap anak tunanetra, umumnya meliputi hal-hal berikut.

1) Keterampilan
Pada umumnya anak tunanetra dapat dilatih menguasai berbagai keterammpilan
seperti membuat anyaman, kerajinan dari tanah liat dan sebagainya
2) Kesenian
Kegiatan dalam bidang ini diarahkan pada seni music/seni suara karena
keterampilan tersebut dapat dilakukan dengan baik tanpa menggunakan
penglihatan
3) Olahraga
Kegiatan olahraga yang dapat dilakukan anak tunanetrea antara lain atletik( lari
jarak dekat, lompat jauh, lempar bola besar dan kecil dan sebagainya). Senam,
berenang, sepak bola, tenis meja dan sebagainya. Dalam kegiatan olahraga ini
terdapat hal-hal yangperlu diperhatikan antara lain, untuk lari jarak dekat digunakan
tali pengarah; bola dilengkapi dengan bunyi-bunyian, serta menggunakan peluit
atau bunyi bunyian sebagai penunjuk arah.
Layanan umum lainya adalah layanan bimbingan dan penyuluhan. Layanan ini
tidak hanya diberikan pada tingkat SLTP dan SMU saja tetapi juga perlu diberikan
untuk anak SD dan tidak hanya diberikan terhadap anak awas saja, tetapi juga sangat
penting diberikan terhadap anak tunanetra. Layanan bimbingan dan penyuluhan sangat
diperlukan terutama dalam mengatasi dampak kelainan terhadap aspek psikologisnya,
serta mengembangkan kemampuan sosialnya.
b. Layanan Khusus/layanan rehabilitasi
Layanan khusus/layanan rehabiltasi adalah layanan yang khusus diberikan kepada
anak tunanetra, dalam mengurangi dampak ketunanetraanya melalui berbagai latihan
untuk mengembangkan kemampuan yang masih ada sehingga dapat melangsungkan
kehidupanya dengan lebih baik. Layanan khusus/rehabiltasi yang diberikan terhadap
anak tunanetra, antara lain sebagai berikut:
1) Latihan membaca dan menulis braile
Tulisan braile yang diciptakan oleh Louis Braille, terbentuk dari satu atau
kombinasi dari kemungkinan enam buah titik timbul yang tersusun dari tiga titik
secara vertikal dua sejajar anak tunanetra membaca huruf Braille dengan cara
meraba informasi titik-titik timbul tersebut. Untuk memudahkan mengingat titik itu
maka formasi titik itu diberi nama sesuai dengan urutan nomernya, yaiut titik 1, 2 ,3
, 4, 5 dan 6. Prinsip kerja menulis Braille berbeda dengan membaca Braille. Untuk
membaca dan mengetik, formasinya disebut fomasi positif yaitu dari kiri ke kanan.

Sedangkan fomasi menulis Braille dengan reglet, disebut formasi negative, yaitu
dari kanan ke kiri.

Penulisan Braille dapat menggunakan mesin tik braile reglet yang berpasangan
dengan pen atau stilus. Sebelum anak tunanetra dilatih membaca huruf Braille
ukuran kecil, mereka dilatih terlebih dahulu membaca hruf Braille dalam ukurab
besar dan lebih timbul.
2) Latihan penggunaan tongkat
Anak yang buta sulit untuk berjalan dengan aman tanpa menggunakan alat bantu,
seperti tongkat, anjing dan alat elektronis. Diantara ketiga sarana tersebut, tongkat
merupakan

alat yang paling murah dan mudah penggunaanya. Dalam hal

penggunaan tongkat ini, diperlukan keterampilan tersendiri yang perlu dilatihkan


kepada anak tunanetra karena pada saat berjalan dengan tongkat,banyak yang harus
diperhatikan, seperti adanya lubang, tiang listrik, batu-batu besar,mobil parker yang
tidak mungkin dihadapi dengan satu cara saja. Dengan demikian banyak cara untuk
menghadapi berbagai rintangan dan untuk dapat menguasainyam diperlukan latihan
yang sistematis.
3) Latihan orientasi dan mobilitas
Orientasi adalah suatu proses penggunaan indra yang masih berfungsi untuk
menetapkan posisi diri dalam hubunganya dengan objek-objek penting dalam
lingkunganya (Irham Hosni, 1996: 5) sedangkan mobilitas adalah kemampuan
bergerak dari suatu tempat/posisi ke tempat/posisi lain yang diinginkan dengan
cepat, tepat dan aman (Anastasia, 1996 : 149)
Meskipun orientasi mempunyai pengertian yang berbeda dengan mobilitas, namun
keduanya tidak dapat dipisahkan karena berjalan secara serempak dan terpadu
dalam menuju satu tujuan. Orientasi tidak akan berhasil dengan eferktif tanpa
didasari orientasi.
Anak tunanetra dilatih untuk melakukan orientasi dan mobilitas dengan
mengembangkan kemampuan indra-indra yang masih berfungsi. Tunanetra yang
tergolong buta melakukan orientasi dengan menggunakan indra-indra lainya selain
penglihatan, seperti indra pendengaran, penciuman, perabaan, serta pengalaman
kinestik sebagai petunjuk untuk sampai di tempat tujuan dengan selamat.
Sebagai contoh, anak tunanetra dapat mengetahui bahwa ia berada di dekat jalan
raya karena ia mendengar suara lalu lintas kendaraan atau di depan rumah makan
tertentu karena mencium bau khas masakanya. Kemudian, dengan perabaan, selain
dapat mengetahui tentang posisi (miring, tegak, dan sebagainya), anak tunanetra
juga dapat mengetahui ke mana objek tersebut menghadap (ke utara, selatan, timur
dan sebagainya), serta tahu di mana benda itu berada dalam hubunganya dengan

dirinya. Latihan keterampilan orientasi dan mobilitas harus diberikan oleh orang
yang ahli atau yang sudah mengikuti pelatihan instruktur orientasi dan mobilitas.
4) Latihan Visual/fungsional Penglihatan
Secara teknis, mata mempunyai kemampuan untuk mengenal (recognition),
membeda-bedakan (discrimination), dan membuktikan kebenaran objek yang
dilihat (verification), serta membayangkanya dalam bentuk gambaran di dalam
mentalnya (perception). Namun bagi tunanetra yang sisa penglihatannya terbatas,
kemampuan tersebut tidak berkembang dengan sendirinya, tetapi memerlukan
latihan, antara lain sebagi berikut:
a. Benda yang digunakan latihan cukup besar
b. Gunakan warna kontras
c. Usahakan cahaya ruang untuk latihan cukup terang
d. Jarak objek dengan mata disesuaikan dengan daya penglihatan anak
e. Menjalin komunikasi yang lebih baik dengan anak
f. Lama latihan disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kematangan anak.
Waktu yang cukup antara 10-15 menit.
2. Tempat/sistem layanan
Tempat/sistem layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dikelompokan menjadi
tempat khusus /sistem segregasi dan secara terpadu disekolah biasa/sistem integrasi.
a. Tempat khusus/sistem segregasi
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra di Indonesia umumnya diberikan di tempat
yang khusus bagi penyandang kelainan, dan penyelenggaraanya terpisah dari sekolah
biasa/sekolah untuk anak awas. Oleh karena penyelenggaraanya terpisah maka sistem
ini disebut sistem segregasi (berasal dari kata segregation yang artinya terpisah).
Tempat pendidikan melalui sistem segregasi bagi anak tunanetra adalah sebagai
berikut :
1) Sekolah khusus
Sekolah khusus yang konvensional adalah Sekolah Luar Biasa untuk anak tunanetra
(SLB Bagian A). Sekolah ini memiliki kurikulum tersendiri yang dikhususkan bagi
anak tunanetra. Di dalam kurikulum pendidikan Luar Biasa (PLB) 1994, ditetapkan
bahwa satuan PLB meliputi Taman Kanak-kanak Luar Biasa(TKLB) dengan lama
pendidikan 1-3 tahun ; Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB) dengan lama pendidikan
6 tahun ; Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Luar Biasa (SLTPLB) dengan lama
pendidikan 3 tahun ; dan Sekolah Menengah Luar Biasa (SMLB) dengan lama
pendidikan 3 tahun.
2) Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
SDLB yang dimaksudkan disini berbeda dengan SDLB yang ada dalam kurikulum
1994. SDLB yang dimaksud dalam kurikulum tersebut, diperuntukan bagi satu
jenis kelainan, yaitu anak tunanetra saja, sedangkan dalam konsep SDLB ini

merupakan suatu sekolah pada tingkat dasar yang menampung berbagai jenis
kelainan, seperti tunanetra, tunarungu, tunagrahita dan tuna daksa. Model SDLB ini
didirikan dalam rangka pemerataan kesempatan belajar bagi anak luar biasa.
3) Kelas jauh/kelas kunjung
Kelas jauh/kelas kunjung adalah kelas yang dibentuk untuk memberikan layanan
pendidikan bagi anak luar biasa termasuk anak tuna netra yang bertempat tinggal
jauh dari SLB/SDLB. Disebut kelas kunjung karena yang bertugas mengajar
dikelas tersebut adalah guru SLB/SDLB yang berfungsi sebagai guru kunjung.
Sedangkan kegiatan administrasi dilakukan di SLB/SDLB terdekat sebagai
induknya.
b. Sekolah biasa/sistem integrasi
Dewasa ini, layanan pendidikan bagi anak tuna netra tidak terbatas pada sistem
segregasi saja, melainkan diberikan kesempatan untuk belajar bersama temanya yang
awas disekolah biasa. Sistem pendidikan seperti ini, disebut sistem integrasi/terpadu.
Penyelenggaraan sistem pendidikan terpadu memerlukan seorang ahli ke-PLB-an yang
disebut guru pembimbing khusus (GPK), dan ruang bimbingan khusus untuk
memberikan layanan khusus bagi anak tuna netra.
Melalui sistem integrasi/terpadu, anak tuna netra belajar bersama-sama dengan anak
normal (awas) dengan memperoleh hak dan kewajibaan yang sederajat. Sekolah dasar
atau sekolah biasa lainya yang menerima anak tuna netra (Anak Luar Biasa pada
umumnya) sebagai siswanya, disebut sekolah terpadu. Akan tetapi, sebutan tersebut
terbatas pada saat disekolah tersebut terdapat anak luar biasa yang belajar dengan anak
normal (awas). Apabila disekolah tersebut tidak terdapat lagi anak luar biasa maka
secara otomatis sebutan sekolah terpadu tidak berlaku lagi (kembali disebut sekolah
dasar atau sekolah biasa lainya).
Melalui sistem pendidikan terpadu, anak tunanetra akan memperoleh keuntungan
berikut.
Pertama
Memperoleh kesempatan yang seluas-luasnya untuk mengenyam pendidikan
bersama-sama dengan anak awas lainya, sekalian dapat menghapus pesimisme
sementara pihak yang beranggapan bahwa anak tunanetra hanya merupakan beban
keluarga belaka. Disamping itu , akan berkurang anggapan bahwa anak tunanetra
mempunyai kecerdasan yang rendah. Suatu kenyataan bahwa anak tunanetra, apabila
diberikan seluas-luasnya, akan berkembang menjadi manusia yang mandiri dan berguna
bagi dirinya maupun bagi nusa dan bangsa.
Kedua
Kesempatan yang seluas-luasnya untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi
lingkungan dengan membiasakan diri berinteraksi dengan teman-temanmya yang awas.

Melalalui pembaruan dengan anak awas, diharapkan timbul motivasi pada anak
tunanetra untuk menjadi manusia yang produktif dan tidak selalu mengandalkan belas
kasian ataupun uluran tangan orang lain.
Bentuk keterpaduan dalam sistem pendidikan integrasi, sangat bervariasi. Kirk &
Gallagher (1989:61-62) mengemukakan bentuk-bentuk keterpaduan integrasi yang
meliputi : (1) bentuk kelas biasa dengan guru konsultan (reguler classroom with teacher
consultan), (2) guru kunjung(intenerant teacher); ruang sumber (resource room) dan
kelas khusus (special class).
1) Kelas biasa dengan guru konsultan (Reguler classroom with consultant teacher)
Dalam bentuk keterpaduan ini, anak tunanetra mengikuti pembelajaran bersama anak
awas dalam 1 kelas dengan menggunakan menggunakan kurikulum untuk orang
awas. Bentuk keterpaduan ini menyediakan guru ahli PLB sebagai guru konsultan
bagi kepala sekolah, guru kelas/guru mata pelajaran, dan orang tua anak tunanetra.
Guru konsultan dapat membantu guru kelas dalam memahami permasalahan anak
tunanetra. Guru konsultan dapat membantu guru kelas dalam memahami
permasalahan anak tunanetra, materi pelajaran, metode pembelajaran; serta
penyediaan alat bantu pelajaran. Keterpaduan ini disebut juga terpadu penuh.
2) Kelas biasa dengan guru kunjung (intinerant teacher)
Bentuk keterpaduan ini hampir sama dengan bentuk keterpaduan di atas, hanya guru
PLB/GPK yang bertugas sebagai konsultan, tidak setiap hari bekerja disekolah
tersebut , melainkan hanya pada waktu-waktu tertentu saja. Hal ini karena GPK
tersebut tidak hanya menangani satu sekolah, melainkan beberapa sekolah semacam
ini sehingga

harus berkeliling mengunjungi sekolah-sekolah tertentu yang

menerapkan sistem integrasi/terpadu. Oleh karena itu, GPK tersebut dikatakan


sebagai guru kunjung.
3) Kelas biasa dengan ruang sumber (resource room) atau ruang bimbingan khusus
Ruang sumber adalah suatu ruangan kecil yang ada disekolah biasa yang digunakan
oleh guru pembimbing khusus untuk memberikan pengarahan/pelatihan secara
khusus terhadap anak tunanetra. Dalam bentuk keterpaduan ini, anak tunanetra
mengikuti pelajaran dikelas biasa, seperti halnya anak awas, ditambah dengan
layanan khusus/layanan rehabilitasi yang diberikan diruang bimbingan khusus oleh
pembimbing khusus. Pengajaran pada ruyang sumber atau ruang bimbingan khusus
akan mendukung pelaksanaan pembelajaran dikelas biasa. Keterpaduan seperti ini,
disebut juga terpadu sebagian.
4) Kelas khusus (special class)
Kelas khusus adalah suatu kelas yang ada disekolah biasa, yang digunakan untuk
kegiatan pembelajaran bagi anak luar biasa termasuk anak tunanetra secara khusus
(tidak disertai anak awas) dengan menggunakan kurikulum SLB. Bentuk

keterpaduan kelas khusus dapat dibedakan lagi menjadi kelas khusus separo wakyu
dan kelas khusus sepenuhnya.
Dalam keterpaduan kelas khusus separo waktu, anak tunanetra secara tetap belajar
dikelas khusus, namun pada waktu-waktu tertentu atau dalam mata pelajaran tertentu
dapat diikutsertakan dalam kegiatan pembelajaran dikelas biasa. Sedangkan
keterpaduan dalam kegitan pembelajaran dikelas biasa. Sedangkan keterpaduan
dalam bentuk kelas khusus sepenuhnya (biasa disebut kelas khusus saja), hanya
bersifat fisik dan sosial saja, artinya anak tunanetra dapat dipadukan dengan anak
awas dalam kegiatan yang bersifat nonakademik.
Urutan jenis keterpaduan di atas, menggambarkan tingkat keterpaduanya, artinya
bentuk kelas biasa merupakan tingkat keterpaduan yang lebih tinggi dari bentuk
keterpaduan lainya, dan bentuk kelas khusus merupakan tingkat keterpaduan yang
lebih rendah dari bentuk ketergantungan lainya. Penempatan anak tunanetra dalam
keterpaduan diatas, sifatnya fleksibel, artinya tingkat keterpaduan anak tunanetra
dapat dipindahkan ketingkat keterpaduan yang lebih tinggi atau yang lebih rendah
sesuai dengan kemampuanya.
3. Ciri Khas Layanan
a. Penempatan anak tunanetra perlu memperhatikan:
1) anak tunanetra ditempatkan di depan,
2) anak tunanetra diberi kesempatan memilih tempat duduk,
3) ditempatkan berdekatan dengan anak yang relative cerdas,
4) tidak diperkenankan dua anak tunanetra duduk berdekatan.
b. Alat peraga hendaknya memiliki warna yang kontras.
c. Ruang belajar harus cukup mendapatkan cahaya/penerangan.
4. Strategi dan Media Pembelajaran
a. Strategi Pembelajaran
Strategi pembelajaran adalah pendayagunaan secara tepat dan optimal dari semua
komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran sehingga dapat berjalan dengan
efektif dan efisien. Berbagai macam strategi pembelajaran yang dapat digunakan:
1) berdasarkan pertimbangan pengolahan pesan terdapat dua macam strategi
pembelajaran, yaitu deduktif dan induktif,
2) berdasarkan pihak pengolah pesan, terdapat dua strategi pembelajaran, yaitu
ekspositorik dan heuristik,

3) berdasarkan pertimbangan pengaturan guru, ada dua macam strategi, yaitu strategi
pembelajaran dengan seorang guru dan beregu (team teaching),
4) berdasarkan pertimbangan jumlah siswa, terdapat strategi pembelajaran klasikal,
kelompok kecil, dan individual,
5) berdasarkan interaksi guru dan siswa, terdapat strategi pembelajaran tatap muka
dan melalui media.
Strategi lain yang diterapkan dalam pembelajaran anak tunanetra yaitu:
1) strategi individualisai (IEP/PPI) adalah strategi pembelajaran dengan
mempergunakan suatu program yang disesuaikan dengan perbedaan-perbedaan
individu,
2) strategi kooperatif adalah strategi pembelajaran yang menekankan unsure gotong
royong atau saling membantu,
3) strategi modifikasi perilaku adalah strategi pembelajaran yang bertujuan untuk
mengubah perilaku siswa ke arah yang lebih positif melalui conditioning atau
pembiasaan.
Permasalahan dalam strategi pembelajaran anak tunanetra terletak pada upaya
memodifikasi lingkungan agar sesuai dengan kondisi anak dan upaya pemanfaatan
indra-indra yang masih berfungsi untuk mengimbangi kelemahan yang diakibatkan
kehilangan penglihatannya.
Agar lebih mudah melakukan modifikasidalam strategi pembelajaran anak
tunanetra, guru harus memahami prinsip-prinsip dasar dalam pembelajaran anak
tunanetra, yaitu sebagai berikut.
1. Prinsip individual
Dalam proses pembelajaran, seorang guru harus memperhatikan perbedaanperbedaan individu.
2.Prinsip kekonkretan/pengalaman pengindraan langsung
Strategi pembelajaran yang digunakan guru harus memungkinkan anak tunanetra
mendapatkan pengalaman secara nyata dari apa yang dipelajarinya.
3.Prinsip totalitas
Strategi pembelajaran yang dilakukan guru harus memungkinkan anak tunanetra
memperoleh pengalaman objek atau situasi secara total atau menyeluruh, yang
dapat terjadi apabila anak tunanetra menggunakan semua pengalaman
pengindraannya secara terpadu dalam memahami sebuah konsep.
4.Prinsip aktivitas mandiri (self activity)

Strategi pembelajaran harus memungkinkan siswa memperoleh kesempatan untuk


belajar secara aktif dan mandiri.
b. Media Pembelajaran
Media pembelajaran merupakan komponen yang tidak dapat dilepaskan dari suatu
proses pembelajaran. Fungsi media dalam pembelajaran, antara lain untuk
memperlancar proses pembelajaran itu sendiri, memperjelas sebuah konsep (termasuk
menghindarkan verbalisme), serta membangkitkan minat dan perhatian terhadap
pembelajaran.
Media pembelajaran harus dirancang sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kebutuhan anak tunanetra atau menjadi sesuatu yang dapat ditangkap oleh indra
perabaan, pendengaran, penciuman, pengecap atau oleh sisa penglihatan anak low
vision.
Menurut fungsinya, media pembelajaran dapat dibedakan menjadi dua kelompok
sebagai berikut:
1. Media yang berfungsi untuk memperjelas penanaman konsep, yang sering disebut
sebagai alat peraga.
2. Media yang berfungsi untuk membantu kelancaran proses pembelajaran itu sendiri
yang sering disebut sebagai alat bantu pembelajaran.
Berikut ini dijelaskan jenis-jenis alat peraga dan alat bantu pembelajaran anak
tunanetra:
1. Alat peraga
a. Objek atau situasi yang sebenarnya
Contohnya, objek yang sebenarnya: tumbuhan dan hewan asli/sebenarnya.
Contoh situasi sebenarnya: situasi pasar, terminal bis, pertokoan.
b. Benda asli yang diawetkan, contoh: binatang yang diawetkan.
c. Tiruan (model), yang terdiri dari model tiga dimensi dan dua dimensi.
1) model/tiruan tiga dimensi memiliki dimensi panjang, lebar, dan tinggi
(memiliki volume) sehingga bentuknya hamper sama dengan objek
sebenarnya, model tiga dimensi dapat dibedakan menjadi berikut:
(a)model yang memiliki ukuran yang sama dengan objek yang sebenarnya
sehingga memberikan gambaran yang sesuai dengan ukuran objek yang
sebenarnya,
(b) model yang memiliki ukuran yang lebih kecil dari objek yang sebenarnya,
(c) model yang memiliki ukuran yang lebih besar dari objek yang sebenarnya.

2) model dua dimensi yaitu dimensi panjang dan lebar, yang dimaksudkan di
sini adalah model yang diwujudkan dalam dua dimensi yaitu berupa
potongan-potongan bidang dari kulit, karton, tripleks.
2. Alat bantu pembelajaran
Alat bantu pembelajaran yang dapat digunakan oleh anak tunanetra, antara lain
berikut ini.
a. Alat bantu untuk baca tulis, antara lain reglet & pen (stylus) mesin ketik Braille,
papan huruf dan optacon (alat yang dapat mengubah huruf cetak menjadi huruf
yang dapat diraba).
b. Alat bantu untuk membaca (bagi anak low vision), antara lain kaca pembesar,
OHP (Overhead Projector), CCTV (Close Circuit Television), dan slide
projektor.
c. Alat bantu berhitung:
(1) papan hitungan (cubaritme),
(2) abacus (sempoa),
(3) speech calculator.
d. Alat bantu audio yang sering digunakan oleh anak tunanetra, yaitu taperecorder.
5. Evaluasi
Evaluasi terhadap pencapaian hasil belajar pada anak tunanetra, ada sedikit perbedaan
yang menyangkut materi tes/soal dan teknik pelaksanaan tes, yaitu tidak mengandung
unsur-unsur yang memerlukan persepsi visual. Contohnya, guru tidak dapat menanyakan
tentang warna kepada anak tunanetra karena warna hanya dapat diperoleh melalui
persepsi visual.
Kegiatan evaluasi dapat dilaksanakan melalui tes lisan, tertulis, dan perbuatan. Dalam
pelaksanaan tes tertulis (di sekolah terpadu), ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, soal yang diberikan kepada anak tunanetra yang tergolong buta, hendaknya
dalam bentuk huruf Braille, sedangkan bagi anak low vision dapat menggunakan huruf
biasa yang ukurannya disesuaikan dengan kemampuan penglihatannya. Kedua, harus
bersifat objekif dalam mengevaluasi pencapaian prestasi belajar anak tunanetra atau
memberikan penilaian yang sesuai dengan kemampuannya. Ketiga, waktu pelaksanaan
tes bagi anak tunanetra hendaknya lebih lama dibandingkan dengan pelaksanaan tes
untuk anak awas.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Anak tunanetra

sebagaimana

anak

lainnya,

membutuhkan

pendidikan

untuk

mengembangkan potensi yang dimilikinya secara optimal. Oleh karena adanya gangguan
penglihatan, anak tunanetra membutuhkan layanan khusus untuk merehabilitasi kelainannya.
Layanan pendidikan bagi anak tunanetra dapat dilaksanakan melalui sistem segresi, yaitu
secara terpisah dari anak awas di sekolah biasa.
Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra pada dasarnya sama dengan strategi
pembelajaran bagi anak awas, hanya dalam pelaksanaannya memerlukan modifikasi
sehingga pesan atau materi pelajaran yang disampaikan dapat diterima ditangkap oleh anak
tunanetra melalui indra-indra yang masih berfungsi.
3.2 Saran
Dalam menangani masalah mengenai anak yang mempunyai ketunanetraan diharuskan
mengerti dan memahami dulu sekilas tentang karakteristik dan tahap-tahap penanganan
yang tepat. Pelayanan yang diberikan pun disesuaikan dengan pribadi dan karakteristik anak
masing-masing agar dapat mendukung dan menunjang prestasinya.

DAFTAR RUJUKAN
Wardani, I.G.A.K, dkk. 2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Penerbit Universitas
Terbuka

Anda mungkin juga menyukai