Anda di halaman 1dari 8

Sabtu, 18 Januari 2014

ArtikelEmpati
Semester 5 akan segera berakhir yang ditandai dengan yang namanya "UAS".
Pada mata kuliah BK Pribadi-Sosial Remaja, kami dituntut untuk membuat artikel
yang terkait dengan permasalahan remaja dengan topik sesuai dengan presentasi
yang telah dilakukan, dan topik presentasi yang saya dapatkan ialah
empati. Artikel dapat dilihat di bawah ini:
Ada Bullying di Sekolah, Empati Siswa Dipertanyakan

Abstrak
Bullying, sebuah tindakan negatif yang dilakukan merugikan orang lain. Bullying
biasanya dilakukan oleh seseorang yang lebih kuat atau memiliki kelebihan dalam
suatu aspek kepada seseorang yang lebih lemah dari dirinya. Perilaku tidak terpuji
ini banyak dilakukan baik itu oleh anak maupun remaja di sekolah. Namun, dilihat
dari kenyataan yang ada, remajalah yang lebih banyak melakukan bullying di
sekolah. Hal ini tentunya merupakan kondisi yang menghawatirkan. Oleh karena itu,
dalam menghadapi permasalahan tersebut, perlu adanya identifikasi penyebab
munculnya permasalahan tersebut, kemudian perlu adanya upaya untuk mengurangi
atau menghilangkan bullying tersebut. Salah satu caranya adalah dengan
meningkatkan atau menanamkan empati kepada siswa.
Kata Kunci: bullying, remaja, empati.
Pendahuluan
Bullying terjadi dimana-mana, bahkan hampir di seluruh negara. Di Amerika,
kasusbullying menjadi kasus yang sangat serius. Menurut Ross (Mashudi,
2009), bullying itu dianggap bentuk agresi yang paling dominan ditemukan di
sekolah-sekolah Amerika dan berpengaruh kuat pada sebagian besar para siswa
bila dibandingkan dengan bentuk-bentuk kekerasan lain.
Tak berbeda dengan di Indonesia, tindakan bullying sudah lama terjadi di
Indonesia dan itu terjadi hingga kini, terbukti dengan makin maraknya
kasus bullying yang terungkap di media massa, seperti kasus di SMA 90 Jakarta
yang menimpa pada siswa kelas 1 yang dipaksa buka baju, push up, lari dan
ditampar, kasus seorang siswa kelas I yang menjadi korban kekerasan dari siswa
kelas III SMA 82 Jakarta hingga siswa tersebut harus dilarikan ke rumah sakit
(Widhi, 2012) , dan masih banyak lagi kasus yang mungkin terjadi namun tidak
terungkap ke publik.
Sebelum istilah bullying begitu dikenal di tengah masyarakat, masyarakat
hanya mengganggap bullying sebagai sebuah kenakalan yang dilakukan antar

teman sebaya tanpa tahu bahwa itu disebut bullying. Tindakan bullying banyak
terjadi di kalangan remaja dan itu dilakukan di sekolah.
Maraknya tindakan bullying memunculkan tanda tanya besar, mengapa begitu
banyak dilakukan oleh remaja? apakah tidak ada rasa empati pada diri mereka
yang melakukan bullying dan orang yang ada di sekitar tindakan tersebut terhadap
korbanbullying yang tentunya sangat dirugikan dan perlu pembelaan? Perlu
dipahami oleh semua pihak terkait bullying, mulai dari apa itu bullying, tindakan
apa saja yang mencerminkanbullying, apa penyebabnya, dan bagaimana
dampaknya terhadap remaja yang berkaitan dengan bullying, serta upaya yang
bisa dilakukan agar tidak terjadi lagi bullying.
Bullying
Istilah bullying sudah banyak dikenal di masyarakat namun belum dipahami
secara menyeluruh di masyarakat Indonesia. Bullying berasal dari kata bully,
menurut kamus Inggris-Indonesia karangan Echols dan Shadily bully diartikan
sebagai :
bully /bulie/ kb. (j. lies) penggertak, orang yang mengganggu orang yang lemah.
ks. Inf.: baik, bagus, kelas satu, nomor wahid. kkt. (bullied) menggertak,
mengganggu.
Sebenarnya belum ada kata dalam bahasa Indonesia yang sepadan
dengan istilahbullying.
Pernyataan
serupa
dikemukakan
oleh (Rahayu,
2011) kata bullying belum dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan
tepat, sehingga dalam penelitian terdahulu, bullying tidak menggunakan istilah
lain
dalam
bahasa
Indonesia.
Namun
sering
kali
orang
mengartikan bullying sebagai
intimidasi,
meski
intimidasi
belum
menggambarkan bullying yang seutuhnya. Seperti yang dikemukakan oleh Susanti
(2006), beberapa istilah dalam bahasa Indonesia yang seringkali dipakai
masyarakat untuk menggambarkan fenomena Bullying di antaranya adalah
penindasan, penggencetan, perpeloncoan, pemalakan, pengucilan, atau intimidasi.
Bullying didefinisikan banyak ahli, salah satunya Coloroso (Permatasari,
2011) yang mengemukakan bahwa bullying adalah aktivitas sadar, disengaja, dan
keji yang dimaksudkan untuk melukai, menanamkan kekuatan melalui ancaman
agresi lebih lanjutan dan menciptakan teror yang dilakukan oleh seorang anak
atau sekelompok anak.
Bullying dipandang sebagai tindakan yang negatif dan merugikan, hal ini tak
lepas
dari
unsur-unsur
yang
terkandung
dalam bullying itu
sendiri. Rigby (Mashudi, 2009)menguraikan unsur-unsur yang terkandung dalam
pengertian bullying diantaranyakeinginan untuk menyakiti, tindakan negatif,
ketidakseimbangan kekuatan, pengulangan atau repetisi, bukan sekedar
penggunaan kekuatan, kesenangan yang dirasakan oleh pelaku dan rasa tertekan
di pihak korban.
Pengertian tersebut didukung oleh Coloroso (Permatasari, 2011) yang
mengemukakan bahwa bullying akan selalu melibatkan ketiga unsur berikut :
(a)Ketidakseimbangan kekuatan (imbalance power). Bullying bukan persaingan

antara saudara kandung, bukan pula perkelahian yang melibatkan dua pihak yang
setara. Pelakubullying bisa saja orang yang lebih tua, lebih besar, lebih kuat, lebih
mahir secara verbal, lebih tinggi secara status sosial, atau berasal dari ras yang
berbeda; (b) keinginan untuk mencederai (desire to hurt). Dalam bullying tidak ada
kecelakaan atau kekeliruan, tidak ada ketidaksengajaan dalam pengucilan
korban. Bullying berarti menyebabkan kepedihan emosional atau luka fisik,
melibatkan tindakan yang dapat melukai, dan menimbulkan rasa senang di hati
sang pelaku saat menyaksikan penderitaan korbannya; (c) ancaman agresi lebih
lanjut. Bullying tidak dimaksudkan sebagai peristiwa yang hanya terjadi sekali
saja, tapi juga repetitif atau cenderung diulangi; (d) teror. Unsur keempat ini
muncul ketika tingkat bullying semakin meningkat. Bullying adalah kekerasan
sistematik yang digunakan untuk mengintimidasi dan memelihara dominasi. Teror
bukan hanya sebuah cara untuk mencapai bullying tapi juga sebagai
tujuan bullying.
Olweus (Mashudi, 2009) memaparkan contoh tindakan negatif yang termasuk
dalam bullying antara lain; (1) mengatakan hal yang tidak menyenangkan atau
memanggil seseorang dengan julukan yang buruk; (2) mengabaikan atau
mengucilkan seseorang dari suatu kelompok karena suatu tujuan; (3) memukul,
menendang, menjegal atau menyakiti orang lain secara fisik; (4) mengatakan
kebohongan atau rumor yang keliru mengenai seseorang atau membuat siswa lain
tidak menyukai seseorang dan hal-hal semacamnya.
Hal yang ditekankan dalam bullying adalah ketidakseimbangan kekuatan
antara
pelaku bullying dengan
korban bullying,
yang
mana
pelaku bullying memiliki kekuatan lebih besar daripada korban bullying.
Pernyataan tersebut serupa dengan pendapat yang dikemukakan Coloroso (Putri,
2013) yang menyatakan bullying sebagai tindakan yang dilakukan oleh pihak yang
lebih kuat terhadap pihak yang lebih lemah. Pernyataan sebelumnya diperkuat
dengan pendapat Olweus (Mashudi, 2009) bahwa Itis not bullying when two
student of about the same strange or power argue or fight.
Hal yang masih menjadi permasalahan di masyarakat saat ini, banyak yang
tidak menyadari bahwa anak atau siswa melakukan tindakan bullying. Bahkan
orang tua merasa kaget jika anaknya dituduh melakukan tindakan bullying karena
mereka menganggap anaknya masih belum dewasa sehingga melakukan suatu
kenakalan yang dianggap wajar bagi seorang remaja. Kasus ini bisa terjadi karena
kurangnya
pengetahuan
mengenai
apa
itu bullying dan
bentukbentuk bullying yang sering kali terjadi menimpa remaja di sekolah.
Terdapat berbagai macam bentuk bullying seperti yang diklasifikasikan dengan
lengkap oleh Coloroso (Permatasari, 2011) yaitu: (1) Bullying secara verbal berupa
julukan nama, celaan, fitnah, gosip, dan sebagainya. Bentuk bullying ini tergolong
paling mudah dilakukan dan kerap kali menjadi awal dari perilaki bullying yang
lainnya serta dapat menjadi langkah pertama menuju pada kekerasan yang lebih
jauh. (2) Bullyingsecara fisik, seperti memukuli, meyikut, menendang, mencakar,
dan lain-lain. (3) Bullyingsecara relasional (pengabaian) digunakan untuk
mengasingkan atau menolak seorang teman atau bahkan untuk merusak hubungan

persahabatan. Tindakannya berupa lirikan mata, pengucilan, dan tawa mengejek.


(4) Bullying elektronik (cyber bullying),merupakan bentuk perilaku bullying yang
dilakukan pelakunya melalui sarana elektronik seperti komputer, handphone,
internet, website, chatting room, e-mail, SMS dan sebagainya.
Pada umumnya, anak laki-laki lebih banyak menggunakan bullying secara fisik
dan anak wanita banyak menggunakan bullying relasional/emosional, namun
keduanya sama-sama menggunakan bullying verbal. Perbedaan ini, lebih berkaitan
dengan pola sosialisasi yang terjadi antara anak laki-laki dan perempuan
(Coloraso dalam Mashud, 2009).
Bentuk-bentuk bullying di atas dapat dilihat pada kenyataan yang sering
ditemukan dan juga diperlihatkan melalui media seperti anak laki-laki biasanya
mem-bully temannya secara fisik yaitu menendang, memukul, mendorong, dll. Hal
yang paling sering terjadi pada anak perempuan adalah tindakan menggosipkan
bahkan memfitnah sahabatnya sendiri, tak jarang pula mereka mengucilkan
temannya karena dianggap tidak sesuai dengan dirinya.
Begitu banyak fenomena bullying yang terjadi di kalangan pastinya
menimbulkan rasa keingintahuan masyarakat sebenarnya apa yang menyebabkan
tindakan bullying itu terjadi dan mengapa bullying muncul terutama saat kita
remaja? Diena (Soekirno, 2012)memberikan jawabannya sebagai berikut:
Karena secara hormonal kita lagi mengalami perubahan. Tanpa adabullying pun,
remaja cenderung sensitif dan galau. Apalagi kalau kita harus menghadapi bullying
juga. Mereka jadi mudah terpicu emosinya, dan bereaksi sesuai dasar kepribadian
masing-masing.
Banyak
faktor-faktor
penyebab
terjadinya
perilaku bullying.
Quiroz, dkk(Mashudi, 2009) mengemukakan sedikitnya terdapat tiga faktor yang
dapat menyebabkan perilaku bullying, yaitu: (1) Hubungan keluarga. Remaja
berada pada masa dimana mereka mengimitasi orang lain, orang terdekat yang ia
imitasi adalah orang tua. Jika orang tua menampilkan sikap bullying atau
kekerasan lalu remaja melihat hal tersebut, remaja kemudian mengimitasi sikap
orang tuanya, (2) Teman sebaya. Remaja dapat melakukan bullying bisa terjadi
karena ia mendapat pengaruh negatif dari teman sebayanya, (3) Pengaruh media,
media menjadi objek imitasi bagi remaja yang paling mungkin dan sering.
Tayangan-tayangan seperti film dan berita bisa menjadi penyebab mereka
melakukan bullying.
Pada sebuah kejadian bullying, terdapat beberapa peran yang terlibat di
dalamnya, seperti yang diungkapakan oleh Salmivilla dkk (Sarifah, 2009:
17) bullying di sekolah merupakan proses dinamika kelompok dan di dalamnya ada
pembagian peran. Peran-peran tersebut adalah:
1. Bully, yaitu siswa yang dikategorikan sebagai pemimpin yang berinisiatif dan
aktif terlibat dalam perilaku bullying.
2. Asisten bully, terlibat aktif dalam perilaku bullying, namun ia cenderung
bergantung atau mengikuti perintah bully.

3.

4.
5.

1.

2.

3.

Reinfocer adalah mereka yang ada ketika kejadian bullying terjadi, ikut
menyaksikan, menertawakan korban, memprovokasi bully, mengajak siswa lain
untuk menonton, dan sebagainya.
Defender adalah orang-orang yang berusaha membela dan membantu korban.
Seringkali mereka akhirnya menjadi korban juga.
Outsider adalah orang-orang yang tahu bahwa hal itu terjadi, namun tidak
melakukan apapun, seolah-olah tidak peduli.
Bullying merupakan tindakan negatif dan tentunya memiliki dampak yang
sangat berpengaruh pada lingkungan sekolah beserta orang yang terlibat di
dalamnya. Dampakbullying dapat dikategorikan menjadi 3, yaitu dampak bagi
korban, dampak bagi pelaku, dan dampak bagi penonton bullying yang dipaparkan
sebagai berikut:
Dampak Bagi Korban Bullying
Dampak yang dialami korban bullying adalah mengalami berbagai macam
gangguan yang meliputi kesejahteraan psikologis yang rendah ( low psychological
well-being) sehingga korban akan merasa tidak nyaman, takut, rendah diri serta
tidak berharga, intovert, memiliki harga diri yang rendah kurangnya keterampilan
sosial, khususnya di bidang ketegasan/assertive (Rigby dalam Setiyawati, 2012)
Dampak Bagi Pelaku Bullying
National Youth Violance Prevention mengemukakan bahwa pada umumnya para
pelaku ini memiliki rasa percaya diri yang tinggi dengan harga diri yang tinggi
pula, cenderung bersikap agresif dengan perilaku yang pro terhadap kekerasan,
tipikal orang berwatak keras, mudah marah dan impulsif, toleransi yang rendah
terhadap frustasi (Sanders dalam Ginting, 2013). Olweus (Setiyawati, 2012: 28)
menemukan bahwa pelaku bullying di usia muda akan lebih menjadi pelaku
kriminal di usia dewasa. Pernyataan Olweus di atas mungkin saja terjadi jika
perilaku bullying yang ditampilkan oleh seseorang saat remaja sampai pada
kekerasan.
Dampak Bagi Penonton Bullying
Coloroso (Setiyawati, 2012: 32) menyebutkan bahwa dampak yang dihadapi oleh
seorang penonton peristiwa bullying adalah menurunnya perasaan bertanggung
jawab individu, sebagai pengurang perasaan bersalah yang dirasakan oleh anakanak secara perorangan dan membesarkan diri secara negatif yang dilekatkan
pada target atau korban bullying, memiliki harga diri (self-esteem) yang rendah,
berpotensi untuk menj adi pelaku bullying, memiliki sifat apatis yaitu dengan
ketakutan-ketakutan dan kurangnya kemampuan untuk menghadapi bullying.
Empati dan Bullying
Empati menurut Hurlock (1999: 118) adalah kemampuan seseorang untuk
mengerti tentang perasaan dan emosi orang lain serta kemampuan untuk
membayangkan diri sendiri di tempat orang lain. Terjadinya kasus bullying sebagai
bukti kurangnya bahkan tidak ada rasa empati terhadap korban bullying pada diri
siswa baik yang berperan sebagai pelaku maupun penonton bullying. Hal itu dapat
dilihat pada karakteristik dari pelaku dan penonton bullying itu sendiri.

a.
b.
c.
d.

Sanders dan Phye (Setiyawati, 2012: 19) telah merangkum karakteristik


pelakubullying yang paling lazim menurut para ahli, dan salah satu
karakteristiknya adalah cenderung memiliki sedikit empati untuk permasalahan
orang lain. Para pelaku bullyingmemiliki kebutuhan kuat untuk mendominasi
orang lain dan kurang berempati terhadap targetnya (Permatasari, 2011: 39). Hal
ini sejalan dengan pendapat Coloroso (Setiyawati, 2012: 28) yang mengungkapkan
bahwa siswa akan terperangkap dalam peran pelakubullying, tidak dapat
mengembangkan hubungan yang sehat, kurang cakap untuk memandang dari
perspektif lain, tidak memiliki empati, serta menganggap bahwa dirinya kuat dan
disukai sehingga dapat mempengaruhi pola hubungan sosialnya di masa yang akan
datang.
Olweus (Setiyawati, 2012: 24) menyimpulkan hasil kajiannya bahwa
mayoritas kalangan sebaya tidak membantu teman sekelasnya yang menjadi
sasaran bullying. Karakteristik penonton bullying yang dapat dikategorikan ke
dalam dua tipe, yaitu penonton bullying aktif dan penonton bullying pasif.
Penonton bullying aktif adalah mereka yang menertawakan yang tengah dianiaya.
Penonton bullying pasif merupakan naluri bagi individu agar mereka tidak
menjadi korban berikutnya, mereka lebih memilih diam karena merasa takut jika
ikut campur maka mereka akan menjadi sasaran selanjutnya. Itulah sebabnya
penonton bullying pasif tidak dapat berempati. Dengan tidak adanya empati, justru
berdampak pada makin banyaknya kasus bullying yang terjadi.
Hal yang sebenarnya sangat dibutuhkan oleh orang korban bullying adalah
empati dari pelaku dan penonton bullying. Jika saja pelaku bullying dapat
berempati dengan membayangkan jika dirinya berada pada posisi korban bullying,
dia tidak akan sudi mendapat perlakuan yang tidak mengenakkan bahkan
merugikan dirinya, oleh karena itu tidak mungkin ia melakukan bullying terhadap
temannya maupun membiarkan temannya di-bully.
Sangat disayangkan sikap tidak empati yang dilakukan para remaja dalam
menanggapi kasus bullying, padahal dilihat dari segi perkembangan hubungan
sosial remaja, Asrori dan Ali (2011) mengungkapkan ada empat proses penyesuaian
diri yang harus dilalui selama membangun hubungan sosial, yaitu:
Anak dituntut agar tidak merugikan orang lain serta menghargai dan
menghormati hak orang lain.
Anak dididik untuk menaati peraturan-peraturan dan menyesuaikan diri dengan
norma-norma kelompok.
Anak dituntut untuk lebih dewasa di dalam melakukan interaksi sosial
berdasarkan asas saling memberi dan menerima.
Anak dituntut untuk memahami orang lain.
Berdasarkan
penjelasan
di
atas,
berarti
pelaku
maupun
penonton bullying tidak mampu membangun hubungan sosial dengan baik.
Hal terakhir yang disampaikan adalah upaya yang dapat dilakukan dengan
menumbuhkan rasa empati yang ditanamkan pada diri teman dari orang yang
menjadi korban bullying. Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, Goleman (Ali
dan Asrori, 2011) membuat kegiatan pengembangan kecerdasan emosi yang diberi

nama Self-Science Curriculum yang salah satu kegiatannya adalah remaja belajar
berempati dengan cara memahami perasaan dan masalah orang lain, berpikir
dengan sudut pandang orang lain, serta menghargai perbedaan perasaan orang
lain mengenai sesuatu. Diena (Soekirno, 2012) berpendapat:
untuk menolong korban, kita bisa menunjukkan empati, tapi jangan berlebihan.
Cukup kita ada di sekitar korban, enggak usah tanya perkara bullying yang
menimpa dia. Kalau dia cerita, kita dengarkan. Buat korban merasa nyaman, dia
biasanya sensitif dan enggak pengin ditemui, cenderung menjauhi sosialisasi.
Hal di atas bisa juga disebut peer counseling. Upaya ini merupakan upaya
yang paling mudah dijangkau dan langkah awal yang dapat dilakukan oleh teman
korbanbullying, karena korban akan lebih nyaman bercerita pada temannya
sendiri.
Penutup
Dalam undang-undang perlindungan anak telah diatur dalam Pasal 54 UU
No. 23 Tahun 2002 yang berisi: Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib
dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah
atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan atau lembaga
pendidikan lainnya. Undang-undang di atas dengan tegas menyuruh seluruh
masyarakat untuk dapat melindungi anak-anak dari segala macam tindakan
kekerasan termasuk bullying.
Oleh karena itu, perlu banyak upaya agar tindak kekerasan
maupun bullying tidak terjadi. Salah satu upayanya adalah dengan menumbuhkan
empati siswa terhadap temannya yang menjadi korban bullying.
Referensi
Ali, M. dan Mohammad Asrori. (2011). Psikologi Remaja Perkembangan Peserta
Didik.Jakarta: Bumi Aksara.
Hurlock, Elizabeth. (1999). Perkembangan Anak. Jilid 2. Alih Bahasa: Med. Meitasari
Tjandrasa dan Muslichah Zarkasih. Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
Fahanshah, D. (2012). Profil Bullying Remaja Putri dan Implikasinya Bagi Program
Bimbingan Pribadi Sosial di Sekolah. Skripsi Sarjana pada FIP UPI Bandung: tidak
diterbitkan.
Mashudi, E. A. (2009). Konseling Kelompok Behavioral untuk Mereduksi Perilaku Bullying
Siswa Sekolah Menengah Atas (Penelitian Eksperimen Kuasi terhadap Siswa Kelas
XI Sekolah Menengag Atas Negeri 10 Bandung) . Skripsi Sarjana pada FIP UPI
Bandung: tidak diterbitkan.
Ohandi, M. A. (2012, Agustus 2). Bullying di Sekolah. [Online] Tersedia:
http://edukasi.kompasiana.com/2012/08/02/bullying-di-sekolah-482613.html [14
Januari 2014]
Permatasari, I. (2011). Program Bimbingan Pribadi Sosial Bagi Perilaku Bullying di SMA
(Studi Deskriptif terhadap Siswa Kelas XI SMA Negeri 1 Lembang Tahun Ajaran
2011/2012. Skripsi Sarjana pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.

Putri, S. (2013). Profil Perilaku Bullying di Pesantren dan Implikasinya Bagi Bimbingan
dan Konseling Pribadi Sosial (Studi Deskriptif terhadap Santri Kelas XI SMA Plus
Pondok Pesantren Pagelaran 3 Cisalak Subang Tahun 2012/2013). Skripsi Sarjana
pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Rahayu, R. (2011). Perbandingan Konsep Diri Pada Siswa yang Mengalami dan yang Tidak
Mengalami Bullying serta Implikasinya terhadap Layanan Bimbingan dan
Konseling. Skripsi Sarjana pada FIP UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Sarifah, D. (2009). Program Bimbingan untuk Mereduksi Perilaku Bullying di Sekolah
Menengah Pertama (Studi Pengembangan Program terhadap Siswa Kelas VIII SMPN
2 Kertasari Tahun Ajaran 2009/2010). Skripsi Sarjana pada FIP UPI Bandung:
tidak diterbitkan.
Setiyawati, T. M. (2012). Efektivitas Bimbingan Kelompok Melaluui Tek Role Playing
untuk Menangani Perilaku Bullying (Studi Kuasi Eksperimen terhadap Siswa
Sekolah Dasar laboratorium Percontohan UPI Bandung) . Skripsi Sarjana pada FIP
UPI Bandung: tidak diterbitkan.
Soekirno, S. (2012). Lawan "Bullying", Tumbuhkan Empati. [Online]
Tersedia: http://edukasi.kompas.com/read/2012/10/05/11115054/Lawan.Bullying..Tu
mbuhkan.Empati [14 Januari 2014]
Widhi,
N.
(2012). 5
Kasus
Bullying
di
Sekolah.
[Online]
Tersedia:
http://news.detik.com/read/2012/07/31/105747/1979089/10/3/5-kasus-bullying-smadi-jakarta991101mainnews#bigpic [14 Januari 2014]

Anda mungkin juga menyukai