Anda di halaman 1dari 11

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota

Perencanaan Tata Ruang Wilayah Kota

Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota mengacu pada:

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dan rencana tata ruang wilayah provinsi;

pedoman dan petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang; dan

rencana pembangunan jangka panjang daerah.

Penyusunan rencana tata ruang wilayah kota harus memperhatikan:

perkembangan permasalahan provinsi dan hasil pengkajian implikasi penataan ruang kota;

upaya pemerataan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi kota ;

keselarasan aspirasi pembangunan kota ;

daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup;

rencana pembangunan jangka panjang daerah;

rencana tata ruang wilayah kota yang berbatasan; dan

rencana tata ruang kawasan strategis kota.

Muatan, Fungsi, dan Jangka Waktu Rencana Tata Ruang

Rencana tata ruang wilayah kota memuat:

tujuan, kebijakan, dan strategi penataan ruang wilayah kota ;

rencana struktur ruang wilayah kota yang meliputi sistem perkotaan di wilayahnya yang terkait den
sistem jaringan prasarana wilayah kota ;

rencana pola ruang wilayah kota yang meliputi kawasan lindung kota dan kawasan budi daya kota

penetapan kawasan strategis kota;

arahan pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi indikasi program utama jangka menengah lima

ketentuan pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kota yang berisi ketentuan umum peraturan zo
ketentuan insentif dan disinsentif, serta arahan sanksi.

Rencana tata ruang wilayah kota menjadi pedoman untuk:

penyusunan rencana pembangunan jangka panjang daerah;

penyusunan rencana pembangunan jangka menengah daerah;

pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang di wilayah kota;

mewujudkan keterpaduan, keterkaitan, dan keseimbangan antarsektor;

penetapan lokasi dan fungsi ruang untuk investasi; dan

penataan ruang kawasan strategis kota.

Rencana tata ruang wilayah kota menjadi dasar untuk penerbitan perizinan lokasi pembangunan dan admin
Jangka waktu rencana tata ruang wilayah kota adalah 20 (dua puluh) tahun.

Rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana dimaksud ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahu

Dalam kondisi lingkungan strategis tertentu yang berkaitan dengan bencana alam skala besar yang ditetapk
undangan dan/atau perubahan batas teritorial negara, wilayah provinsi, dan/atau wilayah kabupaten yang di
Undang, rencana tata ruang wilayah kota ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Rencana tata ruang wilayah kota ditetapkan dengan peraturan daerah kota.
Rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan peraturan daerah kota.

Ruang Terbuka Hijau

Ketentuan perencanaan tata ruang wilayah kabupaten sebagaimana dimaksud di atas berlaku mutatis mutan
wilayah kota, dengan ditambahkan:

rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka hijau;

rencana penyediaan dan pemanfaatan ruang terbuka nonhijau; dan

rencana penyediaan dan pemanfaatan prasarana dan sarana jaringan pejalan kaki, angkutan umum, k
ruang evakuasi bencana, yang dibutuhkan untuk menjalankan fungsi wilayah kota sebagai pusat pel
pertumbuhan wilayah.

Ruang terbuka hijau sebagaimana dimaksud di atas terdiri dari ruang terbuka hijau publik dan ruang terbuk

Proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30 (tiga puluh) persen dari luas wilayah kota.

Proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20 (dua puluh) persen dari luas wilaya
Distribusi ruang terbuka hijau publik sebagaimana dimaksud di atas disesuaikan dengan sebaran penduduk
memperhatikan rencana struktur dan pola ruang.

AHOK & GAIRAH PENGGUSURAN


ON 14 APRIL 2016. POSTED IN ARTIKEL

PENGGUSURAN paksa kembali dilakukan oleh Pemda DKI Jakarta di kawasan Luar Batang
Senin (11/4). Gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) tampak kembali menunjukkan
sikap keras dan tegasnya tanpa kompromi dengan mengerahkan ribuan aparat
keamanan (polisi, aparat TNI dan Pamong Praja). Sehingga, rakyat setempat hanya
dengan sedih dan linangan air mata menyaksikan ribuan rumah hunian mereka dihancurluluhkan oleh alat-alat berat.
Aksi penggusuran paksa ini adalah yang ketiga kalinya dalam dua tahun terakhir
dilakukan Gubernur Ahok, setelah Kampung Pulo (Agustus 2015) dan Kalijodo (Februari
2016). Ini menunjukkan bahwa putra Belitung Timur itu tampaknya tak mau menolerir
lagi eksistensi lokasi-lokasi permukiman warga yang secara fisik tampak kumuh.
Pemerintah daerah (pemda) DKI Jakarta atau pemda mana pun di negeri ini memang
memiliki otoritas untuk melakukan penataan terhadap lingkungan permukiman di dalam
lingkup administrasi wilayah masing-masing. Kebijakan seperti itu merupakan bagian dari
upaya menciptakan keteraturan tata kota, memperindah wajah kota, termasuk lebih
menyehatkan lingkungan permukiman.

Bagi kawasan dengan status lahan hunian yang masih bermasalah (apalagi berstatus
tanah negara), penggusuran pun bisa dianggap sebagai cara untuk menetralisasi atau
mengembalikan tanah pada pemiliknya.
Kemudian mulai membangun kawasan itu dengan status hukum yang berkepastian
dalam bingkai tata kota yang sudah disepakati melalui RTRW (Rencana Tata Ruang
Wilayah). Kendati begitu, pihak pemda seharusnya tidak serta merta menggunakan
kekuasaannya dengan semaunya menggusur kelompok warga kelas bawah penghuni
kawasan/lahan tertentu. Mengapa?
Pertama, kawasan hunian warga umumnya bukanlah tempatan baru. Melainkan sudah
lama, dan bahkan memiliki nilai sejarah tersendiri yang bisa dianggap sebagai bagian
dari situs budaya. Kampung nelayan di Luar Batang misalnya, sudah ada sejak lima abad
lalu (tahun1631), yang juga tak bisa dilepaskan dengan sejarah masuknya Islam di tanah
Betavia (Betawi). Sehingga, di kawasan itu pun terdapat kuburan para tokoh penyebar
Islam berikut masjid bangunan tua yang tetap eksis hingga saat ini.
Sejarah permukiman pun tak bisa dilepaskan daririwayat kepemilikan tanah yang
sekarang ada. Jika pihak pemerintah hanya mendasarkan argumen status tanah yang
tidak bersertifikat berdasarkan hukum Indonesia, maka jelas pihak penghuni umumnya
akan lemah posisinya karena hanya akan sedikit yang memilikinya.
Kalau pendekatan legal-formal sepihak seperti ini yang digunakan, maka kebijakan itu
dapat dikatakan tidak fair atau tidak bijak, dan boleh dikatakan penyelenggara negara ini
melupakan atau mengabaikan sejarah lahan bangsanya sendiri.
Masih banyak tanah negeri ini (apalagi di pulau Jawa) berstatus verponding, yakni status
tanah yang ditetapkan menurut hukum Belanda atau kemudian ada yang diubah
statusnya menjadi verponding Indonesia. Di mana, kepemilikannya bisa diwariskan dari
generasi ke generasi melalui legalisasi rutin di tingkat kecamatan.
Namun, tidak semua warga bisa selalu sadar-aktif dan rutin dalam mengurus surat surat
seperti itu. Sehingga, akibat kelengahan pihak pemilik verponding itulah kemudian pihak
pemerintah menganggapnya sebagai milik negara atau tanah tak bertuan.
Aksi gusur paksa seperti itu juga menunjukkan bahwa pemerintahan Ahok telah
mengabaikan pertimbangan psiko-sosiobudaya, di mana suatu kawasan yang sudah
lama dan menyejarah, niscaya jiwa para penghuninya sudah pula menyatu dengan
tanah dan lingkungan tempat tinggal mereka itu.
Kedua, kawasan permukiman yang sekumuh apa pun tampilan fisiknya, merupakan
produk dari sejarah perencanaan dan penataan kota/wilayah yang buruk. Kita, atau
setiap pemimpin, harus selalu sadar bahwa Jakarta atau umumnya kota-kota tua dan
besar di Indonesia ini, berkembang secara alami dengan secara relatif tidak
direncanakan dengan baik.
Para penghuni kawasan yang kini kumuh, saat awal dihuni dan dibangun terus saja
dibiarkan oleh pemerintah, dianggap sudah menjadi milik dan bagian dari hidup mereka.
Sehingga kalau sekarang dipaksa bongkar, maka sama halnya menunjukkan kebodohan
atau ketidakbecusan pengambil kebijakan pendahulu, dan sekaligus secara arogan
mempertontonkan kehebatan sang penguasa sekarang.
Perlu disadari bahwa pemerintah tidak boleh menghilangkan hak warga negara untuk
memiliki sebidang tanah dan tinggal menetap di atasnya. Mereka bukan warga negara

asing, melainkan pemilik bangsa ini yang musti dijamin oleh negara melalui tangantangan pengambil kebijakan berikut administrator pemerintahnya.
Dalam konteks ini, kepentingan menata dan memperbaiki wajah kota, harus secara arif
disesuaikan dengan kondisi dan hak masyarakat yang sudah jadi bagian dari warga
penghuninya. Apalagi, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang sebelumnya
Gubernur DKI Jakarta (bersama Ahok sebagai wakilnya), sudah membuat kontrak sosial
dengan warga.
Baik kontrak saat menjadi calon gubernur tahun 2012 maupun calon presiden tahun
2014, dengan mengusung tema Jakarta Baru: Pro-Rakyat Miskin, Berbasis Pelayanan
dan Partisipasi Warga. Fotokopi dengan tanda tangan Jokowi di depan warga Jakarta itu
kini banyak beredar di media sosial. Isinya antara lain adalah: (1) legalisasi kampung
ilegal yang sudah ditempati selama 20 tahun, dan (2) permukiman kumuh tidak digusur
tapi ditata.
Maka tindakan penggusuran paksa oleh Gubernur Ahok bisa dianggap sebagai bagian
kebohongan dari Jokowi dan Ahok. Hal ini tentu harus dipertanggungjawabkan oleh kedua
figur yang tengah berkuasa itu.
Ketiga, penggusuran paksa niscaya berdampak pada nasib generasi atau anak-anak dari
keluarga korban gusuran. Anak-anak boleh jadi akan trauma dengan tindakan kekerasan
paksa yang menghancurkan tempat tinggal mereka sehingga otomatis akan terganggu
belajarnya.
Apalagi jika para orangtua kehilangan mata pencarian, maka bukan mustahil generasi
muda itu akan jadi terlantar atau terputus sekolahnya. Memang, konon pihak pemda
sudah menyiapkan rumah susun (rusun) bagi keluarga yang tergusur itu. Namun, proses
adaptasi di lingkungan baru tidak selalu mudah, baik bagi orangtua maupun anak-anak.
Belum lagi kalau syarat kepenghunian di rusun secara finansial jadi beban yang sulit
dipenuhi oleh para orang (apalagi sudah kehilangan mata pencarian), maka niscaya
jadikan masa depan anak-anak akan tak terurus.
Begitulah antara lain dampak dari penggusuran paksa, yang niscaya tidak bijak
dikalkulasi sebelumnya oleh pihak penguasa. Apa yang mau dikatakan di sini bahwa
penataan kawasan permukiman di perkotaan tidak boleh hanya berdasarkan nafsu yang
mengedepankan faktor keindahan, yang bisa dicatat sebagai perubahan ke arah
kemajuan
berparadigma modernisasi. Kemudian, hal itu dianggap sebagai ukuran keberhasilan
seorang pemimpin daerah/negara.
Harus lebih jauh mempertimbangkan hak sosial, budaya, dan ekonomi warga yang
dijamin baik dalam UUD 1945, melalui proses perencanaan dan persiapan sosial yang
matang. Menggusur paksa permukiman kumuh sama halnya dengan hanya mengizinkan
orang-orang kaya hidup di Jakarta atau kotakota besar nan tua lainnya.
Apalagi kemudian lokasi penggusuran itu langsung disulap menjadi kawasan
permukiman mewah atau apartemen yang tertata rapi milik pengembang. Sudah kian
jelas bahwa penguasa sedang memberi ruang besar dan sekaligus dikendalikan oleh
para pemilik modal (kapitalis) pengembang properti (property developers).
Laode Ida
Komisioner Ombudsman RI

(Sumber: http://nasional.sindonews.com/read/1100886/18/ahok-gairah-penggusuran1460589262 )

OPINI: Reklamasi Teluk Jakarta, untuk


Siapa?

Liputan6

25 Apr 2016, 18:01 WIB

Total192

Opini Profesor Gunawan Tjahjono (Liputan6.com/Abdillah)


Liputan6.com, Jakarta - Proyek reklamasi itu pembangunan berskala amat besar yang
menampakkan tarik-menarik antara mereka yang ingin melindungi lingkungan hidup, yang
memberi izin, dan yang menganggap itu peluang meraup keuntungan besar jangka panjang.
Media massa sibuk meliput dan memanaskan diskusi antar pihak terlibat.
Tulisan ini berupa pandangan akademis yang mengungkap tataolah perancangan; dalam hal
ini reklamasi pantai, terutama Teluk Jakarta. Tak ada yang dibela atau dicerca.
Pembangunan tentu demi membentuk manusia utuh dan luhur. Karena itu, ia harus
berkelanjutan agar pembentukan jiwa raga manusia utuh-luhur terwujud di suatu saat. Karena itu
pula tiap proyek pembangunan wajib menjawab "untuk apa dan siapa" ia berada.
Karena manusia dan kemanusiaan sebagai landasan pembangunan, maka tiap warga berhak
terlibat di dalamnya, tentu sesuai persyaratan. Namun jika pelakunya pemerintah, pembangunan
harus terawasi oleh mereka yang bakal terkena dampaknya.
Reklamasi Teluk Jakarta itu proyek pembangunan besar, sehingga wajib menjawab dua
pertanyaan mendasar itu. Tapi hingga kini jawaban belum jelas.
Tak bisa dipungkiri, reklamasi pantai sudah lama dilakukan banyak negara berpantai dan
berpelabuhan di dunia. Berbagai alasan hadir mendukung pelaksanaan proyek demikian. Bagi
negara totalitarian, pemerintah dengan mudah mengabaikan pihak terkena dampak dalam

pengambilan keputusan.
Bagi negara demokrasi, hak rakyat itu utama dan oleh sebab itu, keterbukaan rencana
merupakan kewajiban untuk diketahui oleh, dan dikomunikasikan ke mereka yang akan terkena
dampaknya.
BACA JUGA

Rokhmin PDIP: Reklamasi Teluk Jakarta Harus Libatkan Nelayan

Ini Bahaya Jika Reklamasi Jakarta Dibatalkan

Pertemuan DPRD DKI dengan Bos Agung Sedayu Bicarakan Soal Fee
Reklamasi ada yang berhasil dan ada yang gagal diukur dari tujuan dan dampaknya. Singapura
dianggap berhasil dalam proyek reklamasi menambah lahan hunian dan bandar udara,
pencadangan air baku, dan meningkatkan pemasukan negara.
Hong Kong berhasil mereklamasi untuk Bandara Chek Lap Kok, namun kurang berhasil dalam
proyek reklamasi Wan Chai II karena masalah legitimasi.
Meidera gagal memasukkan laporan dampak lingkungan, sehingga proyek
reklamasinyadihentikan pengadilan California.
Projek reklamasi Tondo, Filipina yang disponsori Bank Dunia dianggap sebagian berhasil dan
sebagian tidak, meski keberhasilan melampaui kegagalan. Proyek itu melibatkan warga dalam
tataolah, sehingga pada akhir proyek 180.000 jiwa dirumahkan dengan puas.
Namun penundaan dan keterlambatan pelaksanaan membengkakkan biaya. Wajar, kisah
berhasil dan gagal selalu muncul dalam kehidupan. Dalam kasus Singapura dan Hong Kong,
negara amat menentukan. Kasus Tondo juga projek negara dengan dana Bank Dunia sehinggga
pelaksanaannya diawasi ketat.
Apa jua kejadiannya, kecermatan memprakirakan dampak lingkungan, keuangan, dan
kesetaraan sosial merupakan kunci menjalankan suatu proyek pembangunan.
Tiap proyek adalah hasil perancangan yang melibatkan berbagai pihak berkepentingan. Hanya
saja perancangan tak mengenal jawaban benar atau salah, tapi baik dan buruk. Namun
perancang tak berhak salah, karena hasil rancangannya berdampak dan berkonsekuensi jauh.
Kewajiban moral mengharuskan regu perancang/pengambil keputusan cermat memeriksa hasil

sebelum pelaksanaan. Daftar pemeriksaan yang wajib menjawab beberapa pertanyaan dengan
memasukkan untuk siapa dan apa, mencakup: legitimasi; prasyarat keberlanjutan (ekologi,
ekonomi, dan ekuiti/kesetaraan sosial); efek tak diinginkan terhadap prinsip keberlanjutan; dan
keunggulan dibanding kekurangan.
Pemeriksaan ini sewajibnya dijalankan secara setara, dalam hal ini seluruh regu yang terlibat tak
menonjolkan jabatan agar kejituan hasil tercapai melalui argumentasi seterang dan seterbuka
mungkin.
Jika menjalankan hal itu dengan taat asas, maka rancangan projek akan mendapat dukungan
berlapis yang kuat saat mengomunikasikannya ke mereka yang akan terkena dampak.
Dalam kasus reklamasi Teluk Jakarta dan juga Benoa Bali, pertanyaan untuk apa mungkin lebih
mudah dijawab dengan alasan pendukung. Mengatasi banjir, kekurangan lahan hijau kota, dan
hunian, serta penyediaan air baku adalah alasan yang sering diajukan terutama oleh pihak
berkuasa.
Namun, akan amat anggun jika reklamasi itu merupakan bagian dari strategi pelaksanaan
pembangunan kota terpadu dalam arti luas, dengan mencakup kota-kota sekitar. Dalam kaitan
itu, reklamasi akan menyumbangkan sumberdaya kota dengan efisien dan ekologis.
Pertanyaan yang lebih sulit dijawab adalah: reklamasi untuk siapa? Jika lokasi reklamasi telah
ada penghuni bermata pencaharian dan berpola budaya kuat, mereka sudah sewajibnya
dilibatkan dalam tataolah pengambilan keputusan.
Dengan skala besar sebagaimana dikabarkan oleh media masa, reklamasi Teluk Jakarta
sewajibnya untuk seluruh lapisan masyarakat demi keberlanjutan, dan pencapaian suatu kota
inklusif berperuntukan majemuk-campur.
Lahan hasil reklamasi adalah milik negara, meski perlu adil terhadap mereka yang terlibat
membiayai pembangunannya dengan prioritas tertentu secara terbuka dan diketahui umum.
Dari sisi akademis, mereka yang mampu membangun adalah yang kuat dan mampu
mengendalikan sumberdaya. Mereka yang terkena dampak adalah yang kurang mampu
mencapai dan mengendalikan sumberdaya. Yang kuat hanya perlu rangsangan, sedang yang
lemah butuh pemberdayaan.
Kasus reklamasi Teluk Jakarta, dan juga Benoa Bali, merupakan saat baik bagi para pengambil
keputusan kebijakan untuk meninjau ulang pola pembangunan.

Pemerintah dapat lebih banyak berperan menentukan lahan negara tereklamasi. Lokasi
reklamasi di era demokrasi wajib terbuka untuk gagasan terbaik, yang dijaring secara terbuka
melalui lelang dan keputusan diambil melalui Dengar Pandangan Umum, sebagaimana pernah
dijalankan oleh Pak Joko Widodo saat permulaan menjalankan pemerintahan DKI sebagai
Gubernur tentang enam ruas jalan tol.

** Profesor Gunawan Tjahjono (Guru besar Arsitektur dan pengajar mata ajaran Kota dan
Perkembangannya di Indonesia, Universitas Indonesia)

Anda mungkin juga menyukai