Anda di halaman 1dari 27

Respiratory Distress Syndrome (RDS) pada Neonatal Kurang Bulan Kecil Masa

Kehamilan dengan Berat Badan Lahir Sangat Rendah


Lusye Diana Jacob
102012058
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Arjuna Utara No.6 Jakarta 11510
Lusydiana.jc18@yahoo.com

Pendahuluan
Bayi baru lahir sangat rentan terhadap berbagai penyakit yang ada karena sistem
kekebalan tubuhnya yang masih sangat rendah. Respiratory distress syndrome
(sindrom gawat nafas) adalah istilah yang digunakan untuk disfungsi pernapasan pada
neonatus. Gangguan ini merupakan penyakit yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan maturitas paru. Pada bayi yang lahir dengan masa kehamilan yang
kurang sangat rentean terhadap berbagai penyakit yang disebabkan karena organorgan dan kekebalan tubuh yang masih rendah dan pematangan paru yang belum
sempurna.
Anamnesis
Untuk mendiagnosis secara benar maka diperlukan anamnesis yang baik dan
benar, bisa dilakukan secara auto / allo anamnesis1.
Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan Penunjang

Differential Diagnosis
Working Diagnosis

Etiologi

Epidemiologi
Patofisiologi

Gejala Klinis

Terapi

Farmakologi

Non-farmakologi

Komplikasi
Pencegahan
Prognosis
Kesimpulan
Hipotesis diterima.
Seorang bayi perempuan usia 5 hari dikatakan oleh ibunya bayi tersebut mulai kuning
sejak 10 jam dilahirkan menderita inkompatibilitas ABO. Inkompatibilitas ABO
terjadi karena ketidakcocokan golongan darah ibu dan anak. Gejalanya yang paling
khas yaitu hiperbilirubinemia (ikterus) pada bayi. Diagnosis dapat ditegakkan melalui
anamnesis (alloanamnesis),

pemeriksaan fisik dan penunjang. Penanganan yang

segera dan baik dapat dilakukan segera untuk mencegah komplikasi lebih lanjut.

Daftar Pustaka

Ballard score merupakan suatu versi sistem Dubowitz. Pada prosedur ini penggunaan
kriteria neurologis tidak tergantung pada keadaan bayi yang tenang dan beristirahat,
sehingga lebih dapat diandalkan selama beberapa jam pertama kehidupan. Penilaian
menurut Ballard adalah dengan menggabungkan hasil penilaian maturitas
neuromuskuler dan maturitas fisik. Kriteria pemeriksaan maturitas neuromuskuler
diberi skor, demikian pula kriteria pemeriksaan maturitas fisik. Jumlah skor
pemeriksaan maturitas neuromuskuler dan maturitas fisik digabungkan, kemudian
dengan menggunakan tabel nilai kematangan dicari masa gestasinya.
a.

Maturitas Fisik

Penjelasan :
1. Kulit
Pematangan kulit janin melibatkan pengembangan struktur intrinsiknya bersamaan
dengan hilangnya lapisan pelindung secara bertahap. Oleh karena itu, kulit akan
mengering dan menjadi kusut dan mungkin akan timbul ruam.Pada jangka panjang,
janin dapat mengalihkan mekonium ke dalam cairan ketuban. Hal ini dapat
menambahkan efek untuk mempercepat proses pengeringan, menyebabkan kulit
mengelupas, menjadi retak seperti dehidrasi, kemudian menjadi kasar.

2. Lanugo
Lanugo adalah rambut halus menutupi tubuh janin. Pada orang dewasa, kulit tidak
memiliki lanugo. Hal ini mulai muncul di sekitar minggu 24 sampai 25 dan biasanya
muncul terutama di bahu dan punggung atas, pada minggu 28 kehamilan. Penipisan
terjadi pertama di atas punggung bawah, karena posisi janin yang tertekuk. Daerah
kebotakan muncul dan menjadi lebih besar pada daerah lumbo-sakral. Variabilitas
dalam jumlah dan lokasi lanugo pada usia kehamilan tertentu mungkin disebabkan
sebagian ciri-ciri keluarga atau ras, pengaruh hormonal, metabolisme, dan gizi
tertentu. Sebagai contoh, bayi dari ibu diabetes khas memiliki lanugo berlimpah di
pinnae mereka dan punggung atas sampai mendekati atau melampaui usia kehamilan.
Untuk tujuan penilaian, pemeriksa memilih yang paling dekat menggambarkan
jumlah relatif lanugo pada daerah atas dan bawah dari punggung bayi.

3. Garis Telapak Kaki


Bagian ini berhubungan dengan lipatan di telapak kaki. Penampilan pertama dari
lipatan muncul di telapak anterior kaki. ini mungkin berhubungan dengan fleksi kaki
di rahim, tetapi bisa juga karena dehidrasi kulit. Bayi non-kulit putih telah dilaporkan
memiliki lipatan kaki sedikit pada saat lahir. Tidak ada penjelasan yang dikenal untuk
ini. Di sisi lain dilaporkan, percepatan perkembangan neuromuskuler pada bayi kulit
hitam biasanya mengkompensasi ini, mengakibatkan efek lipatan kaki tertunda. Oleh
karena itu, biasanya tidak ada berdasarkan diatas atau di bawah perkiraan usia
kehamilan karena ras ketika total skor dilakukan. Bayi sangat prematur dan sangat
tidak dewasa tidak memiliki lipatan kaki. Untuk lebih membantu menentukan usia
kehamilan, mengukur panjang kaki atau jarak jari dan tumit. Hal ini dilakukan dengan
menempatkan kaki bayi pada pita pengukur metrik dan mencatat jarak dari belakang
tumit ke ujung jari kaki yang besar. Untuk jarak kurang dari 40 mm, skor (-2) ; antara
40 dan 50 mm, skor (-1).

4. Payudara
Tunas payudara terdiri dari jaringan payudara yang dirangsang untuk tumbuh dengan
estrogen ibu dan jaringan lemak yang tergantung pada status gizi janin. pemeriksa
catatan ukuran areola dan ada atau tidak adanya stippling (perkembangan papila dari
Montgomery). Palpasi jaringan payudara di bawah kulit dengan memegangnya
dengan ibu jari dan telunjuk, memperkirakan diameter dalam milimeter, dan memilih
yang sesuai pada lembar skor. Kurang dan lebih gizi janin dapat mempengaruhi
variasi ukuran payudara pada usia kehamilan tertentu. Efek estrogen ibu dapat
menghasilkan ginekomastia neonatus pada hari keempat kehidupan ekstrauterin.

5. Mata / Telinga
Perubahan pinna dari telinga janin dapat dijadikan penilaian konfigurasi dan
peningkatan konten tulang rawan sebagai kemajuan pematangan. Penilaian meliputi
palpasi untuk ketebalan tulang rawan, kemudian melipat pinna maju ke arah wajah
dan melepaskannya. Pemeriksa mencatat kecepatan pinna dilipat dan kembali
menjauh dari wajah ketika dilepas, kemudian memilih yang paling dekat
menggambarkan
tingkat
perkembangan
cartilago.

Pada bayi yang sangat prematur, pinnae mungkin tetap terlipat ketika dilepas. Pada
bayi tersebut, pemeriksa mencatat keadaan pembukaan kelopak mata sebagai
indikator tambahan pematangan janin. Pemeriksa meletakan ibu jari dan telunjuk pada
kelopak atas dan bawah, dengan lembut memisahkannya. Bayi yang sangat belum
dewasa akan memiliki kelopak mata menyatu erat, yaitu, pemeriksa tidak akan dapat
memisahkan fisura palpebra walaupun dengan traksi lembut. Bayi sedikit lebih
dewasa akan memiliki satu atau kedua kelopak mata menyatu tetapi satu atau
keduanya akan sebagian dipisahkan oleh traksi ujung jari pemeriksa. Temuan ini akan
memungkinkan pemeriksa untuk memilih pada lembar skor (-2) untuk sedikit
menyatu, atau (-1) untuk longgar atau kelopak mata sebagian menyatu. Pemeriksa
tidak perlu heran menemukan variasi yang luas dalam status fusi kelopak mata pada
individu pada usia kehamilan tertentu, karena nilai kelopak mata un-fusi dapat
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang terkait dengan stres intrauterin dan humoral
tertentu.

6. Genitalia Pria
Testis janin mulai turun dari rongga peritoneum ke dalam kantong skrotum pada
sekitar minggu 30 kehamilan. Testis kiri mendahului testis kanan yang biasanya baru
memasuki skrotum pada minggu ke-32. Pada saat testis turun, kulit skrotum
mengental dan membentuk rugae lebih banyak. Testis ditemukan di dalam zona
rugated dianggap turun.

7. Genitalia Wanita
Untuk memeriksa bayi perempuan, pinggul harus dinaikan sedikit, sekitar 45 dari
horizontal dengan bayi berbaring telentang. hal ini menyebabkan klitoris dan labia
minora menonjol. Dalam prematuritas ekstrim, labia dan klitoris yang datar sangat
menonjol dan mungkin menyerupai kelamin laki-laki. Pematangan berlangsung jika
ditemukan klitoris kurang menonjol dan labia minora menjadi lebih menonjol. Lamakelamaan, baik klitoris dan labia minora surut dan akhirnya diselimuti oleh labia
majora yang makin besar. Labia mayora mengandung lemak dan ukuran mereka
dipengaruhi oleh nutrisi intrauterin. Gizi lebih dapat menyebabkan labia majora besar
di awal kehamilan, sedangkan gizi kurang seperti pada retardasi pertumbuhan
intrauterin atau pasca-jatuh tempo, dapat mengakibatkan labia majora kecil dengan
klitoris dan labia minora relatif menonjol. Temuan ini harus dilaporkan seperti yang
diamati, karena skor yang lebih rendah pada item ini atau pertumbuhan janin
terhambat dapat diimbangi dengan skor lebih tinggi pada item neuro-muscular
tertentu.

b. Maturitas Neuromuskuler

Penjelasan :
1. Postur
Otot tubuh total tercermin dalam sikap yang disukai bayi saat istirahat dan ketahanan
untuk meregangkan kelompok otot. Saat pematangan berlangsung, gerak otot
meningkat secara bertahap mulai dari fleksor pasif yang berlangsung dalam arah
sentripetal, dengan ekstremitas bawah sedikit di depan ekstremitas atas. Untuk
mendapatkan item postur, bayi ditempatkan terlentang dan pemeriksa menunggu
sampai bayi mengendap dalam posisi santai atau disukai. Jika bayi ditemukan
telentang santai, manipulasi lembut dari ekstremitas akan memungkinkan bayi untuk
mencari posisi dasar kenyamanan. bentuk yang paling dekat menggambarkan postur
yang disukai bayi.

2. Jendela pergelangan tangan


Fleksibilitas pergelangan dan / atau resistensi terhadap peregangan ekstensor
bertanggung jawab untuk sudut yang dihasilkan dari fleksi pada pergelangan tangan.
Pemeriksa meluruskan jari-jari bayi dan berikan tekanan lembut pada dorsum tangan,
dekat jari-jari. Sudut yang dihasilkan antara telapak tangan dan lengan bawah bayi
diperkirakan; > 90 , 90 , 60 , 45 , 30 , dan 0 .

3. Gerakan lengan membalik


Manuver ini berfokus pada gerakan fleksor pasif otot bisep dimana akan diukur sudut
dari ekstremitas atas. Dengan bayi berbaring telentang, pemeriksa menempatkan satu
tangan di bawah siku bayi. Kemudian, ambil tangan bayi dan pemeriksa membuat
lengan bayi dalm posisi fleksi, sesaat kemudian lepaskan. Sudut mundur lengan saat
kembali dicatat, dan dipilih pada lembar skor. Bayi yang sangat prematur tidak akan
menunjukkan pengembalian lengan.

4. Sudut popliteal
Manuver ini menilai pematangan gerakan fleksor pasif sendi lutut dengan pengujian
untuk ketahanan terhadap perpanjangan ekstremitas bawah. Dengan posisi bayi
berbaring telentang, kemudian paha ditempatkan lembut pada perut bayi dengan lutut
tertekuk penuh. Setelah bayi telah rileks dalam posisi ini, pemeriksa menggenggam
kaki dengan satu tangan sementara mendukung sisi paha dengan tangan lainnya.
Jangan berikan tekanan pada paha belakang. Kaki diperpanjang sampai resistensi
pasti untuk ekstensi. Pada beberapa bayi, kontraksi hamstring dapat digambarkan
selama manuver ini. Pada titik ini terbentuk pada sudut lutut oleh atas dan kaki bagian
bawah
diukur.
Catatan: a) Hal ini penting bahwa pemeriksa menunggu sampai bayi berhenti
menendang aktif sebelum memperpanjang kaki. b) Posisi terang akan mengganggu
kehamilan sungsang dengan ini manuver untuk 24 sampai 48 jam pertama usia karena
kelelahan berkepanjangan fleksor intrauterin. Tes harus diulang setelah pemulihan
telah terjadi; bergantian, skor yang sama dengan yang diperoleh untuk item lain dalam
ujian dapat diberikan.

5. Scarf Sign (Tanda selendang)


Manuver ini dilakukan dengan mengukur gerakan pasif fleksor bahu. Bayi dalam
posisi berbaring terlentang, pemeriksa menyesuaikan kepala bayi untuk garis tengah

dan meletakan tangan bayi di dada bagian atas dengan satu tangan. Ibu jari tangan lain
pemeriksa
ditempatkan
pada
siku
bayi.
Pemeriksa kemudian mendorong siku ke arah dada. Titik pada dada saat siku bergerak
dengan mudah sebelum resistensi yang signifikan, dicatat. Batasnya adalah: leher (-1);
aksila kontralateral (0); papila mamae kontralateral (1); prosesus xyphoid (2); papila
mamae ipsilateral (3), dan aksila ipsilateral (4).

6. Tumit ke Telinga
Manuver ini mengukur gerakan fleksor pasif panggul dengan tes fleksi pasif atau
resistensi terhadap perpanjangan otot fleksor pinggul posterior. Bayi ditempatkan
terlentang
dan
tekuk
ekstremitas
bawahnya.
Pemeriksa mendukung paha bayi lateral samping tubuh dengan satu telapak tangan.
Sisi lain digunakan untuk menangkap kaki bayi dan tarik ke arah telinga ipsilateral.
Pemeriksa mencatat ketahanan terhadap perpanjangan fleksor panggul posterior dan
lokasi dari tumit saat resistensi yang signifikan. Batasnya adalah: telinga (-1); hidung
(0); dagu (1); papila mamae (2); daerah pusar (3), dan lipatan femoral (4).

c. Hasil Pemeriksaan
Jumlah skor pemeriksaan maturitas neuromuskuler dan maturitas fisik digabungkan,
kemudian dengan menggunakan tabel nilai kematangan masa gestasinya.

Referensi :
1. Ballard JL, Khoury JC, Wedig K, et al: New Ballard Score, expanded to include
extremely premature
infants. J Pediatrics 1991; 119:417-423. ------http://www.ballardscore.com

PENDAHULUAN
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline
Membrane Disease (HMD), merupakan sindrom gawat napas yang
disebabkan defisiensi surfaktan terutama pada bayi yang lahir
dengan masa gestasi kurang. Manifestasi dari RDS disebabkan
adanya atelektasis alveoli, edema, dan kerusakan sel dan
selanjutnya menyebabkan bocornya serum protein ke dalam alveoli
sehingga menghambat fungsi surfaktan. Penyebab terbanyak dari
angka kesakitan dan kematian pada bayi prematur adalah
Respiratory Distress Syndrome ( RDS ). Sekitar 5 -10% didapatkan
pada bayi kurang bulan, 50% pada bayi dengan berat 501-1500
gram.
Angka kejadian berhubungan dengan umur gestasi dan berat badan
dan menurun sejak digunakan surfaktan eksogen ( Malloy &
Freeman 2000). Saat ini RDS didapatkan kurang dari 6% dari seluruh
neonatus.4,5 Defisiensi surfaktan diperkenalkan pertamakali oleh
Avery dan Mead pada 1959 sebagai faktor penyebab terjadinya
RDS. Penemuan surfaktan untuk RDS termasuk salah satu kemajuan
di bidang kedokteran, karena pengobatan ini dapat mengurangi
kebutuhan tekanan ventilator dan mengurangi konsentrasi oksigen
yang tinggi. Hasil-hasil dari uji coba klinik penggunaan surfaktan
buatan, surfaktan dari cairan amnion manusia, dan surfaktan dari
sejenis lembu/bovine dapat dipertanggungjawabkan dan
dimungkinkan. Surfaktan dapat diberikan sebagai pencegahan RDS
maupun sebagai terapi penyakit pernapasan pada bayi yang
disebabkan adanya defisiensi atau kerusakan surfaktan.

PERKEMBANGAN PARU NORMAL


Perkembangan paru normal dapat dibagi dalam beberapa tahap
(tabel 1).
Selama tahap awal embryonik paru berkembang diluar dinding
ventral dari primitive foregut endoderm. Sel epithel dari foregut
endoderm bergerak di sekitar mesoderm yang merupakan struktur
teratas dari saluran napas.
Selama tahap canalicular yang terjadi antara 16 dan 26 minggu di
uterus, terjadi perkembangan lanjut dari saluran napas bagian
bawah dan terjadi pembentukan acini primer. Struktur acinar terdiri
dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolar, dan alveoli

rudimenter. Perkembangan intracinar capillaries yang berada


disekeliling mesenchyme, bergabung dengan perkembangan acinus.
Lamellar bodies mengandung protein surfaktan dan fosfolipid dalam
pneumocyte type II ,dapat ditemui dalam acinar tubulus pada
stadium ini. Perbedaan antara pneumocyte tipe I terjadi bersama
dengan barier alveolar-capillary. Fase saccular dimulai dengan
ditandai adanya pelebaran jalan napas perifer yang merupakan
dilatasi tubulus acinar dan penebalan dinding yang menghasilkan
peningkatan pertukaran gas pada area permukaan. Lamellar bodies
pada sel type II meningkat dan maturasi lebih lanjut terjadi dalam
sel tipe I. Kapiler-kapiler sangat berhubungan dengan sel tipe I ,
sehingga akan terjadi penurunan jarak antara permukaan darah dan
udara. Selama tahap alveolar dibentuk septa alveolar sekunder
yang terjadi dari gestasi 36 minggu sampai 24 bulan setelah lahir.
Septa sekunder terdiri dari penonjolan jaringan penghubung dan
double capillary loop.
Terjadi perubahan bentuk dan maturasi alveoli yang ditandai
dengan penebalan dinding alveoli dan dengan cara apoptosis
mengubah bentuk dari double capillary loop menjadi single capillary
loop . Selama fase ini terjadi proliferasi pada semua tipe sel . Sel-sel
mesenchym berproliferasi dan menyimpan matrix ekstraseluler
yang diperlukan. Sel-sel epithel khususnya pneumocytes tipe I dan
II, jumlahnya meningkat pada dinding alveoli dan sel-sel endothel
tumbuh dengan cepat dalam septa sekunder dengan cara
pembentukan berulang secara berkelanjutan dari double capillary
loop menjadi single capillary loop. Perkiraan jumlah alveolus pada
saat lahir dengan menggunakan rentang antara 20 juta 50 juta
sudah mencukupi. Pada dewasa jumlahnya akan bertambah sampai
sekitar 300 juta.
TES KEMATANGAN PARU
Tes yang dipercaya saat ini untuk menilai kematangan paru janin
adalah Tes Kematangan Paru yang biasanya dilakukan pada bayi
prematur yang mengancam jiwa untuk mencegah terjadinya
Neonatal Respiratory Distress Syndrome (RDS). Tes tersebut
diklasifikasikan sebagai tes biokimia dan biofisika.
a. Tes Biokimia (Lesithin - Sfingomyelin rasio)
Paru-paru janin berhubungan dengan cairan amnion, maka jumlah
fosfolipid dalam cairan amnion dapat untuk menilai produksi
surfaktan, sebagai tolok ukur kematangan paru, dengan cara
menghitung rasio lesitin dibandingkan sfingomielin dari cairan
amnion. Tes ini pertama kali diperkenalkan oleh Gluck dkk tahun
1971, merupakan salah satu test yang sering digunakan dan
sebagai standarisasi tes dibandingkan dengan tes yang lain. Rasio
Lesithin dibandingkan Sfingomyelin ditentukan dengan thin-layer
chromatography (TLC). Cairan amnion disentrifus dan dipisahkan
dengan bpelarut organik, ditentukan dengan chromatography dua
dimensi; titik lipid dapat dilihat dengan ditambahkan asam sulfur
atau kontak dengan uap iodine. Kemudian dihitung rasio lesithin

dibandingkan sfingomyelin dengan menentukan fosfor organic dari


lesithin dan sfingomyelin. Sfingomyelin merupakan suatu membran
lipid yang secara relatif merupakan komponen non spesifik dari
cairan amnion. Gluck dkk menemukan bahwa L/S untuk kehamilan
normal adalah < 0,5 pada saat gestasi 20 minggu dan meningkat
secara bertahap pada level 1 pada usia gestasi 32 minggu. Rasio L/S
= 2 dicapai pada usia gestasi 35 minggu dan secara empiris
disebutkan bahwa Neonatal RDS sangat tidak mungkin terjadi bila
rasio L/S > 2. Beberapa penulis telah melakukan pemeriksaan rasio
L/S dengan hasil yang sama. Suatu studi yang bertujuan untuk
mengevaluasi harga absolut rasio L/S bayi immatur dapat
memprediksi perjalanan klinis dari neonatus tersebut dimana rasio
L/S merupakan prediktor untuk kebutuhan dan lamanya pemberian
bantuan pernapasan. Dengan melihat umur gestasi, ada korelasi
terbalik yang signifikan antara rasio L/S dan lamanya hari
pemberian bantuan pernapasan. Adanya mekonium dapat
mempengaruhi hasil interpretasi dari tes ini. Pada studi yang
dilakukan telah menemukan bahwa mekonium tidak mengandung
lesithin atau sfingomyelin, tetapi mengandung suatu bahan yang
tak teridentifikasi yang susunannya mirip lesithin, sehingga hasil
rasio L/S meningkat palsu.
b. Test Biofisika :
1) Shake test diperkenalkan pertamakali oleh Clement pada tahun
1972. Test ini bardasarkan sifat dari permukaan cairan fosfolipid
yang membuat dan menjaga agar gelembung tetap stabil . Dengan
mengocok cairan amnion yang dicampur ethanol akan terjadi
hambatan pembentukan gelembung oleh unsur yang lain dari cairan
amnion seperti protein, garam empedu dan asam lemak bebas.
Pengenceran secara serial dari 1 ml cairan amnion dalam saline
dengan 1 ml ethanol 95% dan dikocok dengan keras. Bila
didapatkan ring yang utuh dengan pengenceran lebih dari 2 kali
(cairan amnion : ethanol) merupakan indikasi maturitas paru janin.
Pada kehamilan normal, mempunyai nilai prediksi positip yang tepat
dengan resiko yang kecil untuk terjadinya neonatal RDS .
2) TDX- Maturasi paru janin (FLM II) tes lainnya yang berdasarkan
prinsip teknologi polarisasi fluoresen dengan menggunakan
viscosimeter, yang mengukur mikroviskositas dari agregasi lipid
dalam cairan amnion yaitu mengukur rasio surfaktan-albumin. Tes
ini memanfaatkan ikatan kompetitif fluoresen pada albumin dan
surfaktan dalam cairan amnion. Bila lompatan fluoresen kearah
albumin maka jaring polarisasi nilainya tinggi, tetapi bila mengarah
ke surfaktan maka nilainya rendah. Dalam cairan amnion, polarisasi
fluoresen mengukur analisa pantulan secara otomatis rasio antara
surfaktan dan albumin, yang mana hasilnya berhubungan dengan
maturasi paru janin. Menurut referensi yang digunakan oleh
Brigham and Womens Hospital, dikatakan immatur bila rasio < 40
mg/dl; intermediet 40-59 mg/dl; dan matur bila lebih atau sama
dengan 60 mg/dl. Bila terkontaminasi dengan darah atau mekonium
dapat menggangu interpretasi hasil test.

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME


Menurut Petty dan Asbaugh (1971), definisi dan kriteria RDS bila
didapatkan sesak napas berat (dyspnea ), frekuensi napas
meningkat (tachypnea ), sianosis yang menetap dengan terapi
oksigen, penurunan daya pengembangan paru, adanya gambaran
infiltrat alveolar yang merata pada foto thorak dan adanya
atelektasis, kongesti vascular, perdarahan, edema paru, dan adanya
hyaline membran pada saat otopsi.Sedangkan menurut Murray et.al
(1988) disebut RDS bila ditemukan adanya kerusakan paru secara
langsung dan tidak langsung, kerusakan paru ringan sampai sedang
atau kerusakan yang berat dan adanya disfungsi organ non
pulmonar.Definisi menurut Bernard et.al (1994) bila onset akut, ada
infiltrat bilateral pada foto thorak, tekanan arteri pulmonal =
18mmHg dan tidak ada bukti secara klinik adanya hipertensi atrium
kiri, adanya kerusakan paru akut dengan PaO2 : FiO2 kurang atau
sama dengan 300, adanya sindrom gawat napas akut yang ditandai
PaO2 : FiO2 kurang atau sama dengan 200, menyokong suatu RDS.
Ada 4 faktor penting penyebab defisiensi surfaktan pada RDS yaitu
prematur, asfiksia perinatal, maternal diabetes, seksio sesaria.
Respiratory Distress Syndrome (RDS) disebut juga Hyaline Membran
Disease (HMD) didapatkan pada 10% bayi prematur, yang
disebabkan defisiensi surfaktan pada bayi yang lahir dengan masa
gestasi kurang. Surfaktan biasanya didapatkan pada paru yang
matur. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana
surfaktan masih belum berkembang menyebabkan daya
berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak napas.
Gejala tersebut biasanya tampak segera setelah bayi lahir dan akan
bertambah berat.
Manifestasi dari RDS disebabkan adanya atelektasis alveoli, edema,
dan kerusakan sel dan selanjutnya menyebabkan bocornya serum
protein ke dalam alveoli sehingga menghambat fungsi
surfaktan.Gejala klinis yang timbul yaitu : adanya sesak napas pada
bayi prematur segera setelah lahir, yang ditandai dengan takipnea
(> 60 x/menit), pernapasan cuping hidung, grunting, retraksi
dinding dada, dan sianosis, dan gejala menetap dalam 48-96 jam
pertama setelah lahir. Berdasarkan foto thorak, menurut kriteria
Bomsel ada 4 stadium RDS yaitu :
a. Stadium 1
Terdapat sedikit bercak retikulogranular dan sedikit bronchogram
udara
b. Stadium 2
Bercak retikulogranular homogen pada kedua lapangan paru dan
gambaran airbronchogram udara terlihat lebih jelas dan meluas
sampai ke perifer menutupi bayangan jantung dengan penurunan
aerasi paru.

c. Stadium 3
Kumpulan alveoli yang kolaps bergabung sehingga kedua lapangan
paru terlihat lebih opaque dan bayangan jantung hampir tak
terlihat, bronchogram udara lebih luas.
d. Stadium 4
Seluruh thorax sangat opaque ( white lung ) sehingga jantung tak
dapat dilihat.
ETIOLOGI
Penyebab kelainan ini secara garis besar adalah kekurangan
surfaktan, suatu zat aktif pada alveoli yang mencegah kolaps paru.
PMH seringkali terjadi pada bayi prematur, karena produksi
surfaktan, yang dimulai sejak kehamilan minggu ke-22, baru
mencapai jumlah cukup menjelang cukup bulan. Makin muda usia
kehamilan, makin besar pula kemungkinan terjadinya PMH. Kelainan
merupakan penyebab utama kematian bayi prematur. Adapun
penyebab-penyebab lain yaitu:
1. Kelainan bawaan/kongenital jantung atau paru-paru.
Bila bayi mengalami sesak napas begitu lahir atau 1-2 hari
kemudian, biasanya disebabkan adanya kelainan jantung atau paruparu. Hal ini bisa terjadi pada bayi dengan riwayat kelahiran normal
atau bermasalah, semisal karena ketuban pecah dini atau lahir
prematur. Pada bayi prematur, sesak napas bisa terjadi karena
adanya kekurangmatangan dari organ paru-paru. Paru-paru
harusnya berfungsi saat bayi pertama kali menangis, sebab saat ia
menangis, saat itu pulalah bayi mulai bernapas. Tapi pada bayi lahir
prematur, karena saat itu organnya tidak siap, misalnya gelembung
paru-paru tak bisa mekar atau membuka, sehingga udara tidak
masuk. Itu sebabnya ia tak bisa menangis. Ini yang namanya
penyakit respiratory distress syndrome (RDS). Tidak membukanya
gelembung paru-paru tersebut karena ada suatu zat, surfactan,
yang tak cukup sehingga gelembung paru-paru atau unit paru-paru
yang terkecil yang seperti balon tidak membuka. Ibaratnya, seperti
balon kempis. Gejala pada kelainan jantung bawaan adalah napas
sesak. Ada juga yang misalnya sedang menyusui atau beraktivitas
lainnya, mukanya jadi biru dan ia jadi pasif. Jadi, penyakitnya itu
utamanya karena kelainan jantung dan secondary-nya karena
masalah pernapasan. Jadi, biasanya sesak napas yang terjadi ini
tidak bersifat mendadak. Walaupun demikian, tetap harus segera
dibawa ke dokter.
2. Kelainan pada jalan napas/trakea.
Kelainan bawaan/kongenital ini pun paling banyak ditemui pada
bayi. Gejalanya, napas sesak dan napas berbunyi "grok-grok".
Kelainan ini terjadi karena adanya hubungan antara jalan napas
dengan jalan makanan/esophagus. Kelainan ini dinamakan dengan
trackeo esophageal fistula. Akibat kelainan itu,ada cairan lambung

yang bisa masuk ke paru-paru. Tentunya ini berbahaya sekali.


Sehingga pada usia berapa pun diketahuinya, harus segera
dilakukan tindakan operasi. Tak mungkin bisa menunggu lama
karena banyak cairan lambung bisa masuk ke paru-paru. Sebelum
operasi pun dilakukan tindakan yang bisa menolong jiwanya, misal
dengan dimasukkan selang ke jalan napas sehingga cairan dari
lambung tak bisa masuk. Biasanya sesak napasnya tampak begitu
waktu berjalan 1-3 jam setelah bayi lahir. Nah, bila ada sesak napas
seperti ini, prosedur yang harus dilakukan adalah dilakukan foto
rontgen segera untuk menganalisanya.
3. Tersedak air ketuban.
Ada juga penyakit-penyakit kelainan perinatologi yang didapat saat
kelahiran. Karena suatu hal, misalnya stres pada janin, ketuban jadi
keruh dan air ketuban ini masuk ke paru-paru bayi. Hal ini akan
mengakibatkan kala lahir ia langsung tersedak. Bayi tersedak air
ketuban akan ketahuan dari foto rontgen, yaitu ada bayangan
"kotor". Biasanya ini diketahui pada bayi baru lahir yang ada riwayat
tersedak, batuk, kemudian sesak napasnya makin lama makin
berat. Itulah mengapa, pada bayi baru lahir kita harus intensif sekali
menyedot lendir dari mulut, hidung atau tenggorokannya. Bahkan
jika tersedak air ketubannya banyak atau massive, harus disedot
dari paru-paru atau paru-parunya dicuci dengan alat bronchowash.
Lain halnya kalau air ketubannya jernih dan tak banyak, tak jadi
masalah. Namun kalau air ketubannya hijau dan berbau, harus
disedot dan "dicuci" paru-parunya. Sebab, karena tersedak ini, ada
sebagian paru-parunya yang tak bisa diisi udara/atelektasis atau
tersumbat, sehingga menyebabkan udara tak bisa masuk.
Akibatnya, jadi sesak napas. Biasanya kalau dirontgen,bayangannya akan terlihat putih. Selain itu, karena
tersumbat dan begitu hebat sesak napasnya,ada bagian paru-paru
yang pecah/kempes/pneumotoraks. Ini tentu amat berbahaya.
Apalagi kejadiannya bisa mendadak dan menimbulkan kematian.
Karena itu bila sesak napas seperti ini, harus lekas dibawa ke dokter
untuk mendapatkan alat bantu napas/ventilator.
4. Pembesaran kelenjar thymus.
Ada lagi napas sesak karena beberapa penyakit yang cukup
merisaukan yang termasuk kelainan bawaan juga. Gejalanya tidak
begitu kuat. Biasanya bayi-bayi ini pun lahir normal, tak ada
kelainan, menangisnya pun kuat. Hanya saja napasnya seperti
orang menggorok dan semakin lama makin keras, sampai suatu
saat batuk dan berlendir. Kejadian ini lebih sering dianggap karena
susu tertinggal di tenggorokan. Namun ibu yang sensitif biasanya
akan membawa kembali bayinya ke dokter. Biasanya kemudian
diperiksa dan diberi obat. Bila dalam waktu seminggu tak sembuh
juga, baru dilakukan rontgen. Penyebabnya biasanya karena ada
kelainan pada jalan napas, yaitu penyempitan trakea. Ini
dikarenakan adanya pembesaran kelenjar thymus. Sebetulnya
setiap orang punya kelenjar thymus. Kelenjar ini semasa dalam
kandungan berfungsi untuk sistem kekebalan. Letaknya di rongga

mediastinum (diantara dua paru-paru). Setelah lahir karena tidak


berfungsi, maka kelenjar thymus akan menghilang dengan
sendirinya. Namun adakalanya masih tersisa: ada yang kecil, ada
juga yang besar; baik hanya satu atau bahkan keduanya. Nah,
kelenjar thymus yang membesar ini akan menekan trakea.
Akibatnya, trakea menyempit dan mengeluarkan lendir. Itu
sebabnya napasnya berbunyi grok-grok dan keluar lendir, sehingga
jadi batuk. Pengobatannya biasanya dilakukan dengan obat-obatan
khusus untuk mengecilkan kelenjar thymus agar tidak menekan
trakea. Pemberian obat dalam waktu 2 minggu. Kalau tak
menghilang, diberikan lagi pengobatan selama seminggu. Sebab,
jika tidak diobati, akan menganggu pertumbuhan si bayi. Berat
badan tak naik-naik, pertumbuhannya kurang, dan harus banyak
minum obat.
5. Kelainan pembuluh darah.
Ada lagi kelainan yang gejalanya seperti mendengkur atau
napasnya bunyi (stridor), yang dinamakan dengan vascular ring.
Yaitu,adanya pembuluh darah jantung yang berbentuk seperti cincin
(double aortic arch) yang menekan jalan napas dan jalan makan.
Jadi, begitu bayi lahir napasnya berbunyi stridor. Terlebih kalau ia
menangis, bunyinya semakin keras dan jelas. Bahkan seringkali
dibarengi dengan kelainan menelan, karena jalan makanan juga
terganggu. Pemberian makanan yang agak keras pun akan
menyebabkannya muntah, sehingga anak lebih sering menghindari
makanan padat dan maunya susu saja. Pengobatannya, bila setelah
dirontgen tidak ditemui kelenjar thymus yang membesar, akan
diminta meminum barium untuk melihat apakah ada bagian jalan
makan yang menyempit. Setelah diketahui, dilakukan tindakan
operasi, yaitu memutuskan salah satu aortanya yang kecil.
6. Tersedak makanan.
Tersedak atau aspirasi ini pun bisa menyebabkan sesak napas. Bisa
karena tersedak susu atau makanan lain, semisal kacang. Umumnya
karena gigi mereka belum lengkap, sehingga kacang yang
dikunyahnya tidak sampai halus. Kadang juga disebabkan mereka
menangis kala mulutnya sedang penuh makanan. Atau ibu yang
tidak berhati-hati kala menyusui, sehingga tiba-tiba bayinya
muntah. Mungkin saja sisa muntahnya ada yang masih tertinggal di
hidung atau tenggorokan. Bukankah setelah muntah, anak akan
menangis? Saat menarik napas itulah, sisa makanan masuk ke paruparu. Akibatnya, setelah tersedak anak batuk-batuk. Mungkin
setelah batuk ia akan tenang, tapi setelah 1-2 hari napasnya mulai
bunyi. Bahkan bisa juga kemudian terjadi peradangan dalam paruparu. Anak bisa panas karena terjadi infeksi. Yang sering adalah
napas berbunyi seperti asma dan banyak lendir. Biasanya setelah
dilakukan rontgen akan diketahui adanya penyumbatan/atelektasis.
Pengobatan dapat dilakukan dengan bronkoskopi, dengan
mengambil cairan atau makanan yang menyumbatnya. Selain
makanan, akan lebih berbahaya bila aspirasi terjadi karena minyak
tanah atau bensin, meski hanya satu teguk. Ini bisa terjadi karena

kecerobohan orang tua yang menyimpan minyak tanah/bensin di


dalam botol bekas minuman dan menaruhnya sembarangan.
Bahayanya bila tersedak minyak ini, gas yang dihasilkan minyak ini
akan masuk ke lambung dan menguap, kemudian masuk ke paruparu, sehingga bisa merusak paru-paru. Akan sangat berbahaya
pula kalau dimuntahkan, karena akan langsung masuk ke paru-paru.
Jadi, kalau ada anak yang minum minyak tanah/bensin jangan
berusaha dimuntahkan, tapi segera ke dokter. Oleh dokter, paruparunya akan "dicuci" dengan alat bronkoskop.
7. Infeksi.
Selain itu sesak napas pada bayi bisa terjadi karena penyakit
infeksi. Bila anak mengalami ISPA (Infeksi saluran Pernapasan Akut)
bagian atas, semisal flu harus ditangani dengan baik. Kalau tidak
sembuh juga, misalnya dalam seminggu dan daya tahan anak
sedang jelek, maka ISPA atas ini akan merembet ke ISPA bagian
bawah, sehingga anak mengalami bronkitis, radang paru-paru,
ataupun asmatik bronkitis. Gejalanya, anak gelisah, rewel, tak mau
makan-minum, napas akan cepat, dan makin lama melemah.
Biasanya juga disertai tubuh panas, sampai sekeliling bibir
biru/sianosis, berarti pernapasannya terganggu. Penyebabnya ini
akan diketahui dengan pemeriksaan dokter dan lebih jelasnya lagi
dengan foto rontgen. Pengobatan dilakukan dengan pemberian
antibiotika. Biasanya kalau bayi sudah terkena ISPA bawah harus
dilakukan perawatan di rumah sakit. Setelah diobati,umumnya
sesak napas akan hilang dan anak sembuh total tanpa
meninggalkan sisa, kecuali bagi yang alergi.
PATOFISIOLOGI RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME
Faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur
disebabkan oleh alveoli masih kecil sehingga sulit berkembang,
pengembangan kurangsempurna karena dinding thorax masih
lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi
kaku. Hal tersebut menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga
daya pengembangan paru (compliance) menurun 25 % dari normal,
pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis
respiratorik. Telah diketahui bahwa surfaktan mengandung 90%
fosfolipid dan 10% protein , lipoprotein ini berfungsi menurunkan
tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang.
Secara makroskopik, paru-paru tampak tidak berisi udara dan
berwarna kemerahan seperti hati. Oleh sebab itu paru-paru
memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang.
Secara histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara
bagian distal menyebabkan edem interstisial dan kongesti dinding
alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel alveoli
type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena
adanya defisiensi surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang
progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan toksisitas

oksigen, menyebabkan kerusakan pada endothelial dan epithelial


sel jalan napas bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi
matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran hyaline yang
meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir.
Epithelium mulai membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 3672 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini adalah komplek; pada
bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi
Bronchopulmonal Displasia (BPD). Gambaran radiologi tampak
adanya retikulogranular karena atelektasis,dan air bronchogram.
Gejala klinis yang progresif dari RDS adalah :
- Takipnea diatas 60x/menit
- Grunting ekspiratoar
- Subcostal dan interkostal retraksi
- Cyanosis
- Nasal flaring
Pada bayi extremely premature ( berat badan lahir sangat rendah)
mungkin dapat berlanjut apnea, dan atau hipotermi. Pada RDS yang
tanpa komplikasi maka surfaktan akan tampak kembali dalam paru
pada umur 36-48 jam. Gejala dapat memburuk secara bertahap
pada 24-36 jam pertama. Selanjutnya bila kondisi stabil dalam 24
jam maka akan membaik dalam 60-72 jam. Dan sembuh pada akhir
minggu pertama.
KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek ( akut ) dapat terjadi :
1. Ruptur alveoli
Bila dicurigai terjadi kebocoran udara ( pneumothorak,
pneumomediastinum, pneumopericardium, emfisema intersisiel ),
pada bayi dengan RDS yang tiba2 memburuk dengan gejala klinis
hipotensi, apnea, atau bradikardi atau adanya asidosis yang
menetap.
2. Dapat timbul infeksi yang terjadi karena keadaan penderita yang
memburuk dan adanya perubahan jumlah leukosit dan
thrombositopeni. Infeksi dapat timbul karena tindakan invasiv
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat respirasi.
3. Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular
Perdarahan intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur
dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS dengan ventilasi
mekanik.
4. PDA dengan peningkatan shunting dari kiri ke kanan merupakan
komplikasi bayi dengan RDS terutama pada bayi yang dihentikan
terapi surfaktannya.
Komplikasi jangka panjang yang sering terjadi :
1. Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian
oksigen pada bayi dengan masa gestasi 36 minggu. BPD
berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya

infeksi, inflamasi, dan defisiensi vitamin A. Insiden BPD meningkat


dengan menurunnya masa gestasi.
2. Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang
berhubungan dengan masa gestasi, adanya hipoxia, komplikasi
intrakranial, dan adanya infeksi.
FUNGSI SURFAKTAN
Pada tahun 1929 Von Neegard menyatakan bahwa tegangan
permukaan paru lebih rendah dari cairan biologi normal karena
menemukan adanya perbedaan elastisitas pada paru-paru yang
terisi udara dan terisi larutan garam ( saline ). Disebutkan juga
bahwa tegangan permukaan adalah lebih penting dari kekuatan
elastisitas jaringan untuk kekuatan penarikan paru pada saat
mengembang. Tegangan permukaan antara air-udara alveoli
memberikan kekuatan penarikan melawan pengembangan paru.
Rendahnya tegangan permukaan juga memastikan bahwa jaringan
aliran cairan adalah dari ruang alveoli ke dalam intersisial.
Kebocoran surfaktan menyebabkan akumulasi cairan ke dalam
ruang alveoli. Surfaktan juga berperan dalam meningkatkan klirens
mukosiliar dan mengeluarkan bahan particulate dari paru.
KOMPOSISI SURFAKTAN PARU
Surfaktan paru merupakan komplek lipoprotein yang disintesa dan
disekresi oleh sel alveolar tipe II dan Clara sel di saluran napas pada
lapisan epithel. Surfaktan paru merupakan senyawa komplek yang
komposisinya hampir 90% adalah lipid dan 10% protein. Secara
keseluruhan komposisi lipid dan fosfolipid dari surfaktan diisolasi
dari bermacam-macam spesies binatang yang komposisinya hampir
sama. Pada manusia phosphatidylcholine mengandung hampir 80%
total lipid, yang separuhnya adalah dipalmitoylphosphatidylcholine
(DPPC), 8% lipid netral, dan 12% protein dimana sekitar separuhnya
merupakan protein spesifik surfaktan dan sisanya protein dari
plasma atau jaringan paru. Fosfolipid surfaktan terdiri dari 60%
campuran saturated phosphatidylcholine yang 80% mengandung
dipalmitoylphosphatidylcholine, 25% campuran unsaturated
phosphatidylcholine, dan 15% phosphatidylglycerol dan
phosphatidylinositol dan sejumlah kecil phosphatidylserine,
phosphatidylethanolamine ,sphingomyeline, dan glycolipid.
Fosfolipid saturasi ini merupakan komponen penting untuk
menurunkan tegangan permukaan antara udara dan cairan pada
alveolus untuk mencegah kolaps saluran napas pada waktu
ekspirasi.
JENIS SURFAKTAN
Terdapat 2 jenis surfaktan , yaitu:
1. Surfaktan natural atau asli, yang berasal dari manusia,
didapatkan dari cairan amnion sewaktu seksio sesar dari ibu dengan
kehamilan cukup bulan

2. Surfaktan eksogen barasal dari sintetik dan biologik


3. Surfaktan eksogen sintetik terdiri dari campuran
Dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC), hexadecanol, dan tyloxapol
yaitu Exosurf dan Pulmactant ( ALEC) dibuat dari DPPC 70% dan
Phosphatidylglycerol 30%, kedua surfaktan tersebut tidak lama d
pasarkan di amerika dan eropa.2,5 Ada 2 jenis surfaktan sintetis
yang sedang dikembangkan yaitu KL4 (sinapultide) dan rSPC
( Venticute),belum pernah ada penelitian tentang keduanya untuk
digunakan pada bayi prematur.
4. Surfaktan eksogen semi sintetik, berasal dari campuran surfaktan
paru anak sapi dengan dipalmitoylphosphatidylcholine (DPPC),
tripalmitin, dan palmitic misalnya Surfactant TA, Survanta
5. Surfaktan eksogen biologik yaitu surfaktan yang diambil dari paru
anak sapi atau babi, misalnya Infasurf, Alveofact, BLES, sedangkan
yang diambil dari paru babi adalah Curosurf
Saat ini ada 2 jenis surfaktan di Indonesia yaitu :
Exosurf neonatal yang dibuat secara sintetik dari DPPC ,
hexadecanol, dan tyloxapol. Surfanta dibuat dari paru anak sapi,
dan mengandung protein, kelebihan surfanta biologi dibanding
sintetik terletak di protein.
PEMBERIAN SURFAKTAN PADA BAYI PREMATUR DENGAN
RESPIRATORY
DISTRESS SYNDROME
Pemberian surfaktan merupakan salah satu terapi rutin yang
diberikan pada bayi prematur dengan RDS. Sampai saat ini ada dua
pilihan terapi surfaktan, yaitu natural surfaktan yang berasal dari
hewan dan surfaktan sintetik bebas protein, dimana surfaktan
natural secara klinik lebih efektif. Adanya perkembangan di bidang
genetik dan biokimia, maka dikembangkan secara aktif surfaktan
sintetik. Surfaktan paru merupakan pilihan terapi pada neonatus
dengan RDS sejak awal tahun 1990 (Halliday,1997), dan merupakan
campuran antara fosfolipid, lipid netral, dan protein yang berfungsi
menurunkan tegangan permukaan pada air-tissue interface . Semua
surfaktan derifat binatang mengalami berbagai proses untuk
mengeluarkan SP-A dan SP-D, menurunkan SP-B dan SP-C, dan
merubah fosfolipid sehingga berbeda dengan surfaktan binatang.
Semua golongan surfaktan secara in vitro menurunkan tegangan
permukaan, terutama terdapat pada surfaktan kombinasi protein,
dapat menurunkan pemakaian kebutuhan oksigen dan ventilator
dengan cepat. Pada suatu studi meta analisis yang membandingkan
antara penggunaan surfaktan derifat binatang dengan surfaktan
sintetik bebas protein pada 5500 bayi yang terdaftar dalam 16
penelitian random, 11 penelitian memberikan hasil yang signifikan
bahwa surfaktan derifat binatang lebih banyak menurunkan angka
kematian dan pneumothorak dibandingkan dengan surfaktan
sintetik bebas protein Golongan derifat binatang yang sering
digunakan pada meta-analisis adalah Survanta. Beberapa studi

membandingkan efektifitas antara surfaktan derifat binatang, dan


yang sering dibandingkan pada golongan ini adalah Survanta dan
Curosurf . Penelitian di Inggris oleh Speer dkk (1995) yang
membandingkan terapi Survanta dosis 100 mg/kg dan Curosurf
dosis 200 mg/kg, pada bayi dengan RDS yang diberi terapi Curosurf
200 mg/kg memberikan hasil perbaikan gas darah dalam waktu 24
jam. Penelitian lain oleh Ramanathan dkk (2000) dengan dosis
Curosurf 100 mg/kg dan 200 mg/kg dibandingkan dengan Survanta
dosis 100mg/kg dengan parameter perbaikan gas darah
menghasilkan perbaikan yang lebih baik dan cepat pada terapi
Corosurf dengan kedua dosis tersebut, tetapi pada penelitian ini
tidak didapatkan data yang lengkap pada jurnalnya. Data tentang
penggunaan terapi surfaktan sintetik masih terbatas.
PROFILAKSIS SURFAKTAN DAN TERAPI
Berdasarkan penelitian,surfaktan merupakan terapi yang penting
dalam menurunkan angka kematian dan angka kesakitan bayi
prematur. Sampai saat ini masih ada perbedaan pendapat tentang
waktu pemberian surfaktan, apakah segera setelah lahir (pada bayi
prematur) atau setelah ada gejala Respiratory Distress Syndrome .
Alasan yang dikemukakan sehubungan dengan pemberian
profilaksis berhubungan dengan epithel paru pada bayi prematur
akan mengalami kerusakan dalam beberapa menit setelah
pemberian ventilasi. Hal ini menyebabkan kebocoran protein pada
permukaan sehingga mengganggu fungsi surfaktan. Beberapa
penelitian dengan binatang menyebutkan bahwa terapi surfaktan
yang diberikan segera setelah lahir akan menurunkan derajat
beratnya RDS dan kerusakan jalan napas, meningkatkan gas darah,
fungsi paru dan kelangsungan hidup.
Beberapa percoban klinik menunjukkan bahwa terapi surfaktan
untuk bayi prematur sangat bermanfaat dan aman. Sepuluh pusat
penelitian dari ALEC menggunakan surfaktan sebagai terapi
profilaksis, dan disebutkan terjadi penurunan insiden RDS sebanyak
30% dibandingkan kontrol dan menurunkan angka kematian sebasar
48% tanpa efek samping. Tidak mungkin bisa memprediksi bayi
prematur yang akan terkena RDS atau tidak sehingga sejauh ini
terapi surfaktan masih sangat bermanfaat. Rendahnya masa gestasi
merupakan penyebab meningkatnya RDS, tetapi pada bayi dengan
masa gestasi yang lebih tua dapat juga beresiko terkena RDS dan
komplikasinya. Beberapa alasan yang dikemukakan tentang tidak
diberikannya surfaktan pada saat bayi prematur lahir (sebagai
profilaksis) karena dianggap memberikan surfaktan yang tidak perlu
pada beberapa bayi yang tidak terkena RDS , disamping itu
harganya mahal sehingga sebaiknya digunakan bila memang benar
diperlukan. Beberapa uji coba klinik menyatakan bahwa pemberian
surfaktan dini mungkin dapat membahayakan sehingga hanya
diberikan pada RDS yang berat. Ada juga yang berpendapat bahwa
pemberian surfaktan segera setelah bayi prematur lahir dapat
mempengaruhi resusitasi dan stabilisasi bayi. Bila pemberian

surfaktan sama efektifnya jika diberikan beberapa jam setelah lahir,


maka pemberian surfaktan dini yaitu segera setelah lahir menjadi
tidak relevan.
Cochrane meta analysis ( Soll and Morley, 2003 ) menyatakan
bahwa yang
disebut terapi profilaksis bila surfaktan diberikan pada waktu
pertolongan pertama
pada bayi prematur yang baru lahir melalui endotrakheal tube.
Sedangkan sebagai terapi bila surfaktan diberikan beberapa jam
setelah lahir atau setelah ada gejala RDS . Pemberian surfaktan
profilaksis dapat menurunkan angka kematian, dan pneumothorax
tetapi mempunyai efek yang ringan pada komplikasi yang lain pada
bayi prematur. Yost dan Soll, 2003 menyatakan bahwa ada data
yang menunjang tentang pemberian awal (profilaksis) lebih baik
daripada pemberian yang lebih lambat. Beberapa uji klinik
memberikan informasi yang berbeda tentang pengaruh pemberian
dua surfaktan dalam hal oksigenasi, ventilasi, dan beratnya gejala
RDS. Semua uji coba menunjukkan perbaikan dalam pertukaran gas,
dan beratnya RDS dengan menggunakan surfaktan profilaksis. Dunn
dkk, menyebutkan bahwa terjadi perbaikan yang signifikan dalam
pertukaran gas pada kelompok terapi profilaksis dalam 24-48 jam
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Kendig dkk, menyatakan
bahwa bayi yang diberi terapi profilaksis membutuhkan tambahan
oksigen yang lebih rendah dan bantuan ventilasi dalam 72 jam
pertama serta didapatkan RDS yang tidak berat.
Pada penelitian yang dilakukan oleh kelompok studi penelitian
neonatus di
Texas tentang keberhasilan dan keselamatan pemberian surfaktan
dini terhadap 132 bayi RDS ringan sampai sedang dengan berat =
1250 gram, masa gestasi = 36 minggu, usia postnatal 4 -24 jam .
Dalam peneltian ini disebutkan bahwa tanpa pemberian surfaktan
dini, didapatkan hanya 43% bayi RDS yang memakai ventilasi, dan
dalam waktu singkat yaitu 31 jam. Secara keseluruhan disebutkan
bahwa pemberian rutin yang direncanakan pada bayi prematur,
tidak direkomendasikan.
PENATALAKSANAAN MEDIS
1. Memberikan lingkungan yang optimal. Suhu tubuh bayi harus
selalu diusahakan agar tetap dalam batas normal (36,5o-37oC)
dengan cara meletakkan bayi dalam incubator. Kelembapan
ruangan juga harus adekuat.
2. Pemberian oksigen. Pemberian oksigen harus dilakukan dengan
hati-hati karena berpengaruh kompleks pada bayi premature.
pemberian oksigen yang terlalu banyak dapat menimbulkan
komplikasi seperti fobrosis paru,dan kerusakan retina. Untuk
mencegah timbulnya komplikasi pemberian oksigen sebaiknya
diikuti dengan pemeriksaan analisa gas darah arteri. Bila fasilitas
untuk pemeriksaan analisis gas darah arteri tidak ada, maka
oksigen diberikan dengan konsentrasi tidak lebih dari 40% sampai

gejala sianosis menghilang.


3. Pemberian cairan dan elektrolit sangat perlu untuk
mempertahankan homeostasis dan menghindarkan dehidrasi. Pada
permulaan diberikan glukosa 5-10% dengan jumlah yang
disesuaikan dengan umur dan berat badan ialah 60-125
ml/kgBB/hari. Asidosis metabolic yang selalu dijumpai harus segera
dikoreksi dengan memberikan NaHCO3 secara intravena yang
berguna untuk mempertahankan agar pH darah 7,35-7,45. Bila tidak
ada fasilitas untuk pemeriksaan analisis gas darah, NaHCO3 dapat
diberi langsung melalui tetesan dengan menggunakan campuran
larutan glukosa 5-10% dan NaHCO3 1,5% dalam perbandinagn 4:1
4. Pemberian antibiotic. bayi dengan PMH perlu mendapat antibiotic
untuk mencegah infeksi sekunder. dapat diberikan penisilin dengan
dosis
50.000-100.000 U/kgBB/hari atau ampisilin 100
mg/kgBB/hari, dengan atau tanpa gentamisin 3-5 mg/kgBB/hari.
5. Kemajuan terakhir dalam pengobatan pasien PMH adalah
pemberian surfaktan eksogen (surfaktan dari luar). Obat ini sangat
efektif tapi biayanya sangat mahal.
Mengidentifikasi masalah dan mengatasi penyebab dan pencegah
infeksi amatlah penting. Kebutuhan ventilasi sama halnya dengan
kritis. Pada awalnya pasien hanya membutuhkan suplemen oksigen.
Sejalan dengan kemajuan penyakit, intubasi dan ventilasi mekanik
harus dilakukan. Konsentrasi oksigen dan ventilator ditentukan oleh
status pasien. Hal ini dipantau dengan gas darah arteri. Tekanan
ekspirasi-ahir positif (PEEP) atau tekanan udara positif kontinu
(CPAP) adalah bagian penting dari pengobatan RDS . PEEP dan CPAP
meningkatkan kapasitas residual fungsional (FRC) dan melawan
kolaps alvelar dengan menjaga agar alveoli tetap terbuka,
mengakibatkan perbaikan oksige arteri dan reduksi dalam
keseimbangan V/Q.
Hipotensi sistemik dapat terjadi pada pasien RDS karena
hipovolemia sekunder terhadap kebocoran cairan kedalam ruang
interstisial. Hipovolemia harus diatasi tanpa menyebabkan
kelebihan cairan lebih lanjut. Larutan kristaloid intravena diberikan
pemantauan yang cermat status paru. Agen inotopik atau
vasopresor mungkin diperlukan. Kateter tekanan paru arteri
digunakan untuk memantau status cairan pasien.
Dukungan nutrisi yang adekuat adalah penting dalam mengobati
RDS karena dapat terjadi malnutrisi yang bisa menyebabkan
berhentinya fungsi organ tubuh (kegagalan organ multipel). Pasien
dengan RDS membutuhkan 35 sampai 45 kal/kg sehari untuk
memenuhi kebutuhan normal. Pemberian makan enteral adalah
pertimbangan pertama; namun, nutrisi parenteral total dapat saja
diperlukan
Obat-obatan khusus dapat diberikan untuk mengobati infeksi,
mengurangi peradangan dan membuang cairan dari dalam paruparu. Misalnya pada infeksi diberikan antibiotik.

Anda mungkin juga menyukai