Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dengan mulai berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) terjadi perubahan
fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan, yang
sering kita sebut sebagi Hukum Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga
dikenal sebagai Hukum Agraria.
UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria. sesuai
dengan namanya Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok
persoalan agrarian serta penyelesaiannya.
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan tubuh bumi dibawahnya serta
yang berada dibawah air. permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah
yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya
mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak
penguasaan atas tanah.
Dan melalui makalah ini kami akan membahas lebih lanjut mengenai Hak Penguasaan atas
Tanah.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari penguasaan dan menguasai?
2. Bagaimana Pengaturan hak penguasaan atas tanah?
3. Bagaimana Prosedur Peningkatan dan Penurunan Hak Atas Tanah ?

BAB II

PEMBAHASAN
HAK PENGUASAAN ATAS TANAH
A. Pengertian Penguasaan dan Menguasai
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis.
Dan juga beraspek perdata dan beraspek publik. 1

Penguasaan dalam arti yuridis adalah

penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya
pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan
kepada pihak lain.
Ada penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki
secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seseorang
memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain,
dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara fisik
dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank)
memegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan
agunan jaminan, akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas
tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan
penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.2
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi
pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh,
wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi
kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam
Hukum Tanah.
B. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah
1 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008), hal 23.
2 Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Prenada Media
Group, 2010), hal 73-74.

Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah.
Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1.

Hak Bangsa Indonesia atas Tanah

Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada
dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi
hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3)
UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada
dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai
Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya
seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1
ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya selama
rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada
pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).
2. Hak menguasai dari Negara atas Tanah
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan
pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola
seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan
seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara atas tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat
(2) UUPA adalah:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan
tanah.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
3. Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah
serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.

Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila
memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat
tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
b. Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang
disadari sebagai kepunyaan bersama para warganya.
c. Masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak
ulayat.
4. Hak-hak atas Tanah
Macam-macam hak atas tanah dimuat dalam pasal 16 JO3 53 UUPA, yang
dikelompokkkan menjadi 3 bidang, yaitu:
a. Hak atas tanah yang bersifat tetap
Hak-hak atas tanah ini akan tetap ada selama UUPA masih berlaku atau belum dicabut
dengan undang-undang yang baru. Contoh: HM, HGU, HGB, HP, Hak Sewa untuk
Bangunan dan Hak Memungut Hasil Hutan.
b. Hak atas tanah yang akan di tetapkan dengan undang-undang
Hak atas tanah yang akan lahir kemudian, yang akan ditetapkan dengan undang-undang.
c. Hak atas tanah yang bersifat sementara
Hak atas tanah ini sifatnya sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapus
dikarenakan mengandung sifat-sifat pemerasan, feodal dan bertentangan dengan jiwa
UUPA. Contoh: Hak Gadai, Hak Menumpang, dan Hak Sewa Tanah Pertanian.
Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok, yaitu:
a. Hak atas tanah yang bersifat primer
Yaitu hak atas tanah yang bersal dari tanah negara. Contoh: HM, HGU, HGB Atas Tanah
Negara, HP Atas Tanah Negara.
b. Hak atas tanah yang bersifat sekunder.
Hak atas tanah yang berasal dari tanah pihak lain. Contoh: HGB Atas Tanah Hak
Pengelolaan, HGB Atas Tanah Hak Milik, HP Atas Tanah Hak Pengelolaan, HP Atas Tanah Hak
3 yang ditulis JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, jo berarti:juncto, bertalian
dengan, berhubungan dengan

Milik, Hak Sewa Untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, dan
Hak Sewa Tanah Pertanian.
Hak ini termasuk salah satu hak-hak perseorang atas tanah. Hak-hak perseorang atas tanah
adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya (perseorangan, sekelompok
orang secara bersama-sama, badan hukum) untuk memakai, dalam arti menguasai, menggunakan
dan atau mengambil manfaat dari bidang tanah tertentu. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 ayat (1)
UUPA.
Hak perseorangan atas tanah meliputi, hak atas tanah ( Pasal 16 dan 53 UUPA), wakaf tanah hak
milik (Pasal 49 ayat (3) UUPA), hak tanggungan atau hak jaminan atas tanah (Pasal 25, 33, 39
dan 51 UUPA) dan hak milik atas satuan rumah susun (Pasal 4 ayat (1) UUPA).
Meskipun bermacam-macam, tetapi hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang,
kewajiban dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang
dihaki. sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriterium atau tolak ukur pembeda diantara hak-hak penguasaan
atas tanah yang diatur dalam hukum tanah.
1) Hak-Hak Atas Tanah
Hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada pemegang haknya untuk
menggunakan tanah atau mengambil mamfaat dari tanah yang dihakinya (lihat pasal 16 dan 53
UUPA Jo. PP No 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah).
2) Wakaf tanah Hak Milik.
Wakaf tanah hak milik adalah hak penguasaan atas tanah bekas tanah hak milik, yang oleh
pemiliknya dipisahkan dari harta kekayaannya dan melembagakannya untuk selama-lamanya
guna kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran islam (lihat
pasal 49 ayat (3) UUPA Jo. PP No.28/1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Jo. Permendagri No.
6/1977 tentang Tata cara Pendaftaran Tanah Mengenai Perwakafan Tanah Milik).
3) Hak Tanggungan.
Hak tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah termasuk atau tidak
termasuk benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan
utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap
kreditor-kreditor lain.

Hak Tanggungan dapat dibebankan kepada Hak Milik, HGU, HGB dan Hak Pakai atas Tanah
Negara (lihat pasal 25, 33, 39 dan 51 UUPA Jo. UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas
Tanah Beserta Benda-benda yang berkaitan dengan Tanah)
4) Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Hak Milik Atas Satuan Tumah susun yaitu hak atas tanah yang diberikan kepada sekelompok
orang secara bersama dengan orang lain. Pada Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, bidang
tanah yang di atasnya berdiri rumah susun, hak atas tanahnya dimiliki atau dikuasai secara
bersama-sama oleh seluruh pemilik satuan rumah susun. Hak atas tanah yang dapat dimiliki atau
dikuasai oleh seluruh satuan rumah susun dapat berupa Hak Milik, HGB atau Hak Pakai atas
tanah Negara (lihat pasal 4 ayat (1) UUPA Jo. UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun.
C. Konfensi Hak-Hak Atas Tanah
Dalam konversi hak atas tanah ini merupakan perubahan hak lama atas tanah menjadi hak baru
menurut Undang-Undang Pokok Agraria. Hak lama di sini adalah hak-hak atas tanah sebelum
berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria, sedangkan hak baru memuat Undang-Undang
Pokok Agraria adalah hak-hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UUPA, khususnya
Pasal 16 ayat 1, c.q Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Maka
yang perlu diketahui adalah
a. Pengetahuan mengenai hak atas tanah mengenai hak lama, baik hak atas tanah, dengan hak barat
ataupun hak tanah adat, maupun tanah swapraja,
b. Pengetahuan peraturan tanah yang lama
c. Macam-macam hak atas tanah menurut hukum yang baru sebagai dimaksud dalam UndangUndang Pokok Agraria, termasuk siapa-siapa yang boleh mempunyai hak-hak tersebut, karena
ketentuan konversi sangat erat dengan ketentuan mengenai subyek hak
d. Tidak semua hak dikonversi undang-undang pokok agraria misal: hak erfpacht untuk pertanian
kecil tidak konversi/hapus.
Dengan diundangkannya Undang-Undang Pokok Agraria, sebagai dimuat dalam UndangUndang Nomor 5 tahun 1960, tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria, maka sejak
berlakunya UUPA tanggal 24 September 1960 itulah berlaku Hak-Hak atas tanah sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 16, khususnya Hak-Hak atas Tanah Primair, seperti Hak Milik, Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai. Hal ini dapat dimengerti, karena Hak Barat atas
tanah yang ada pada saat itu, seperti Hak Eigendom, Opstal, Erfpacht dan sebagainya hapus dan

dikonversi menjadi salah satu Hak yang tersebut dalam Undang-Undang Pokok Agraria :
1.

Tanah-tanah dengan bekas Hak Barat yang dapat dikonversi menjadi Hak Milik, hanyalah Si
Pemilik hak Eigendom, yaitu warga negara Indonesia tunggal dan sebelum tanggal 24 Maret1961
datang ke kantor pendaftaran tanah (sekarang: Seksi pendaftaran tanah, pada Kantor Pertanahan
kabupaten/kotamadya setempat). Bagi bekas Hak-Hak Eigendom yang tidak memenuhi
ketentuan tersebut dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan Tanah-tanah bekas Hak Barat, milik
Badan Hukum, dikonversi menjadi Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha, kecuali BadanBadan Hukum yang ditunjuk oleh Mentri Agraria dapat menjadi Hak Milik

2.

Tanah-tanah dengan bekas Hak Barat yang sifatnya sementara, yaitu Hak Opsional, Hak
Erfpacht dikonversi masing-masing menjadi Hak Guna Bangunan, Hak Guna Usaha untuk
selama sisa waktunya selambat-lambatnya akan berakhir pada tanggal 24 September 1980.
D. Penurunan Dan Peningkatan Atas Tanah
a. Penurunan Hak atas Tanah
Menurut Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 16
Tahun 1997 tentang Perubahan Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak
Guna Bangunan menjadi Hak Pakai (Kepmeneg Agraria No.16/1997), terdapat 2 (dua)
macam hak atas tanah yang dapat diturunkan, yaitu:
1. Hak Milik dapat diturunkan menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dengan jangka
waktu 30 (tiga puluh) tahun dan 25 (dua puluh lima) tahun.
2. Hak Guna Bangunan atas Tanah Negara atau atas tanah Hak Pengelolaan kepunyaan
perseorangan WNI atau badan hukum Indonesia diturunkan menjadi Hak Pakai atas
permohonan pemegang hak atau kuasanya dengan jangka waktunya 25 (dua puluh lima)
tahun.
Permohonan untuk mengubah Hak Milik menjadi Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai dan Hak
Guna Bangunan menjadi Hak Pakai diajukan kepada Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan
disertai:
1. Sertifikat Hak Milik atau Hak Guna Bangunan yang dimohon perubahan haknya, atau
bukti pemilikan tanah yang bersangkutan dalam hal Hak Milik yang belum terdaftar.

2. Kutipan Risalah Lelang yang dikeluarkan oleh pejabat lelang apabila hak yang
bersangkutan dimenangkan oleh badan hukum dalam suatu pelelangan umum.
3. Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila hak atas tanah tersebut
dibebani Hak Tanggungan.
4. Bukti identitas pemohon.
Dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya belum terdaftar, maka permohonan
pendaftaran perubahan hak dilakukan bersamaan dengan permohonan pendaftaran Hak Milik
tersebut dan penyelesaian pendaftaran perubahan haknya dilaksanakan sesudah Hak Milik itu
didaftar sesuai ketentuan yang berlaku.
Dan dalam hal Hak Milik yang dimohon perubahan haknya dimenangkan oleh badan hukum
melalui pelelangan umum, maka permohonan pendaftaran perubahan Hak Milik tersebut
diajukan oleh badan hukum yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan pendaftaran
peralihan haknya dan kedua permohonan tersebut diselesaikan sekaligus dengan mendaftar
perubahan hak tersebut terlebih dahulu, dan kemudian mendaftar peralihan haknya, dengan tetap
memperhatikan ketentuan mengenai Hak Milik yang belum terdaftar yang telah dibahas
sebelumnya.
Peningkatan Hak Atas Tanah
Menurut Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 Tahun
1998 tentang Pemberian Hak Milik atas Tanah untuk Rumah Tinggal (Kepmeneg Agraria
No.6/1998), terdapat 2 (dua) cara untuk meningkatkan hak atas tanah menjadi Hak Milik:
1. Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan
perseorangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang luasnya 600 m2 atau kurang, atas
permohonan yang bersangkutan dihapus dan diberikan kembali kepada bekas pemegang
haknya dengan Hak Milik.
2. Tanah Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai atas tanah untuk rumah tinggal kepunyaan
perseorangan WNI yang luasnya 600m2 atau kurang yang sudah habis jangka waktunya

dan masih dipunyai oleh bekas pemegang hak tersebut, atas permohonan yang
bersangkutan diberikan Hak Milik kepada bekas pemegang hak.
Untuk pemberian Hak Milik tersebut, penerima hak harus membayar uang pemasukan kepada
Negara sesuai ketentuan yang berlaku.
Permohonan

pendaftaran

Hak

Milik

diajukan

kepada

Kepala

Kantor

Pertanahan

Kabupaten/Kotamadya setempat dengan surat sesuai bentuk sebagaimana yang terdapat dalam
lampiran Kepmeneg Agraria No.6/1998 disertai dengan:
1. Sertifikat tanah yang bersangkutan.
2. Bukti penggunaan tanah untuk rumah tinggal berupa:
1)

Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan yang mencantumkan bahwa bangunan tersebut

digunakan untuk rumah tinggal, atau


2)

Surat keterangan dari Kepala Desa/Kelurahan setempat bahwa bangunan tersebut

digunakan untuk rumah tinggal, apabila Izin Mendirikan Bangunan tersebut belum dikeluarkan
oleh instansi berwenang
1. Fotokopi SPPT PBB yang terakhir (khusus untuk tanah yang luasnya 200 m2 atau lebih).
2. Bukti identitas pemohon.
3. Pernyataan dari pemohon bahwa dengan perolehan Hak Milik yang dimohon
pendaftarannya itu yang bersagkutan makan mempuyai Hak Milik atas tanah untuk
rumah tinggal tidak lebih dari 5 (lima) bidang yang seluruhnya meliputi luas tidak lebih
dari 5.000 (lima ribu) m2 dengan menggunakan contoh sebagaimana sesuai dengan
lampiran II Kepmeneg Agraria No.6/1998 keputusan ini.

BAB III

PENUTUP
A.

KESIMPULAN
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan dalam arti yuridis adalah
penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi
kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya
pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan
kepada pihak lain.
Dalam UUPA diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:

1.
2.
3.
4.

Hak Bangsa Indonesia atas tanah


Hak menguasai dari Negara atas tanah
Hak ulayat masyarakat hukum dapat
Hak perorangan atas tanah meliputi: hak-ha2 atas tanah, wakaf tanah hak milik, dan hak
tanggungan.

B.

KRITIK DAN SARAN


Kami dari penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah kami ini jauh dari kesempurnaan
karena keterbatasan referensi, waktu dan minimnya ilmu yang penulis miliki. Maka kepada
peserta diskusi lokal PMH dan dosen memberikan kritikan dan saran yang bersifat membangun,
demi kelancaran dan kebaikan penulis yang akan datang

DAFTAR PUSTAKA
Harsono, Boedi, 2008. Hukum Agraria Indonesia, Jakarta: Djambatan.
Santoso, Urip, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta: Prenada Media Group.

Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960

[1] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Jakarta: Djambatan, 2008), hal 23.
[2] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah (Jakarta: Prenada Media
Group, 2010), hal 73-74.

Anda mungkin juga menyukai