Anda di halaman 1dari 26

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat

Tuhan Yang Maha Esa yang telah

melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan refrat yang
berjudul Morbus Hansen. Tinjauan pustaka ini disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan dalam kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara pada bagian
Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Kudus.
Penyusun menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan tinjauan pustaka ini.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing atas segala bimbingan,
motivasi, serta ilmu yang diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaiakan tugas pustaka
ini. Besar harapan penyusun semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak.
Kudus, Oktober 2016

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu.
Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari
bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan
kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.1
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat
sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat di diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi
sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi
kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga
gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma
terhadap penyakit kusta.2
Pengobatan Kusta pada wanita hamil dan anak-anak harus sangat di perhatikan. Baik
dari dosis sampai pemilihan jenis obat. Agar dapat menghindari efek samping yang tidak di
kehendaki.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
dan organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.2

2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3
8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alcohol.1
Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.2
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak
dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik
pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior
chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat
(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.3

2.3 Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan
target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan
subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia,
India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak
dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya.1,2

Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan
2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi.
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra
dalam darah, dan kemiskinan (malnutrisi). 3

2.4 Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara
inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3,5 tahun.2
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik.2
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang
berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions)
terjadi pada individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada.
Downgrading reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon
terhadap terapi. Reaksi tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah, lesi satelit
makulopapular baru yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis.3
Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu
dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi antilepra, umumnya dalam 2 tahun
pertama terapi. Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum. 3
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas.
Pada individu tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal sloughing pada kaki.
Reaksi ini timbul baik sebagai varian dari ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol.
Ulserasi ini sulit membaik, sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi
bakteri sekunder dan sepsis.3

2.5 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra
yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline

bentuk yang labil

BL: borderline lepromatous


Li: lepromatosa indefinite
LL: lepromatosa polar, bentuk yang stabil
TT adalah tipe tuberkuloid polar, yakni tuberkuloid 100%, tipe yang stabil. Jadi tidak
mungkin berubah tipe. Begitu juga LL adalah tipe lepromatosa polar, yakni lepromatosa
100%. Sedangkan tipe antara Ti dan Li disebut tipe borderline atau campuran, berarti
campuran antara tuberkuloid dan lepromatosa. BB adalah tipe campuran 50% tuberkuloid dan
50% lepromatosa. BT dan Ti lebih banyak tuberkuloidnya, sedang BL dan Li lebih banyak
lepromatosanya. Tipe-tipe campuran ini adalah tipe yang labil, berarti dapat beralih tipe, baik
ke arah TT maupun LL.2
Menurut WHO (1981), lepra dibagi menjadi multibasilar (MB) dan
pausibasilar (PB). Multibasilar berarti mengandung banyak basil dengan indeks biposi (IB),
ditemukan bakteri lebih dari +2, yaitu tipe LL, BL, dan BB pada klasifikasi Ridley-Joping.
Pausibasilar mengandung sedikit basil dengan IB kurang dari +2, yaitu tipe TT, BT, dan I
klasifikasi Ridley-Joping.2
Untuk kepentingan pengobatan, pada tahun 1987 telah terjadi perubahan. Yang
dimaksud dengan kusta PB adalah kusta dengan BTA negatif pada pemeriksaan kulit, yaitu
tipe TT,BT, dan I, sedangkan kusta MB adalah semua penderita kusta tipe BB,BL,LL atau
apapun klasifikasi klinisnya dengan BTA positif ,harus diobati dengan rejimen MDT-MB.2

2.6 Gejala klinis dan Diagnosis


Diagnosis penyakit kusta didasarkan gambaran klinis, bakterioskopis, histopatologis,
dan serologis. Di antara ketiganya, diagnosis secara klinislah yang terpenting dan paling
sederhana. Hasil Bakterioskopis memerlukan waktu paling sedikit 15-30 menit, sedangkan
histopatologik 10-14 hari. Gejala klinis saat kuman M. Leprae masuk ke dalam tubuh sesuai

dengan kerentanan orang trsebut. Bila Sistem Imunitas Seluler baik, akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya Sistem Imunitas Seluler rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya.2
Penyakit kusta merupakan penyakit yang mendapat julukan the greatest imitator.
Penyakit kulit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain
dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroika, psoriasis,
neurofibromatosis, granula anulare, xanthomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis
kutis verukosa, dan birth mark.2
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas.Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan pengujian rasa
suhu (panas dan dingin) menggunakan 2 tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan
fungsi saraf otononom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda gunawan).Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi.2
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa
o

pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior,
radial kutaneus,

Kerusakan sensorik pada lesi kulit

Kelumpuhan nervus trunkus tanpa tanda inflamasi berupa neuropati, kerusakan


sensorik dan motorik, serta kontraktur

Kerusakan sensorik dengan pola Stocking-glove

Acral distal symmethric anesthesia


(hilangnya sensasi panas dan dingin, serta nyeri dan raba)

Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.Leprae,
yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius
atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan
saraf, umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan
saraf. 2

Gejala-gejala kerusakan pada saraf :


1. N.ulnaris

Anestesia pada ujung jari anterior kelingking dan jari manis

Clawing kelingking dan jari manis

Atrofi hipotenar dan otot interoseus serta kedua otot lumbrikalis


medial

2. N. medianus

Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah

Tidak mampu aduksi ibu jari

Clawing ibu jari, telunjuk, dan jari tengah

Ibu jari kontraktur

Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Anestesia dorsum manus, serta ujung proksimal jari telunjuk

Tangan gantung (wrist drop)

Tak mampu ekstensi jari-jari atau pergelangan tangan

3. N. radialis

4. N. poplitea lateralis

Anestesia tungkai bawah, bagian lateral dan dorsum pedis

Kaki gantung (foot drop)

Kelemahan otot peroneus

5. N. tibialis posterior

Anestesia telapak kaki

Claw toes

Paralisis otot intrinsik kaki dan kolaps arkus pedis

Cabang temporal dan zigomatik menyebabkan lagoftalmus

6. N. fasialis

Cabang bukal, mandibular, dan servikal menyebabkan kehilangan


ekspresi wajah dan kegagalan mengatupkan bibir

7. N. trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral

Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO ( 1995 )2

1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang meninggi, nodus)

2. Kerusakan

saraf

PB
-

1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi jelas

Hanya satu cabang saraf

MB
- > 5 lesi
- Distribusi

lebih

simetris
Hilangnya

sensasi

(menyebabkan

kurang jelas
Banyak
cabang
saraf

hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 2
Sifat

Lepromatosa (LL)

Borderline Lepromatosa

Mid Borderline (BB)

(BL)
Lesi

Bentuk

Makula

Makula

Plakat

Infiltrat difus

Plakat

Dome-shape (kubah)

Papul

Papul

Punched-out

Tidak terhitung, praktis tidak ada

Sukar dihitung, masih ada

Dapat dihitung, kulit sehat

kulit sehat

kulit sehat

jelas ada

Nodus

Jumlah

Distribusi

Simetris

Hampir simetris

Asimetris

Permukaan

Halus berkilat

Halus berkilat

Agak kasar, agak berkilat

Batas

Tidak jelas

Agak jelas

Agak jelas

Anestesia

Biasanya tidak jelas

Tak jelas

Lebih jelas

BTA

Lesi kulit

Banyak (ada globus)

Banyak

Agak banyak

Sekret

Banyak (ada globus)

Biasanya negatif

Negatif

Negatif

Negatif

Negatif

hidung
Tes Lepromin

Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta PausiBasilar (PB) 2


Karakteristik

Tuberkuloid (TT)

Borderline Tuberculoid Indeterminate (I)


(BT)

Lesi
Tipe

Jumlah

Makula ; makula

Makula dibatasi infiltrat

dibatasi infiltrat

saja; infiltrat saja

Satu

atau

dapat Beberapa

beberapa
Distribusi

atau

Hanya Infiltrat

satu Satu atau beberapa

dengan lesi satelit

Terlokalisasi

& Asimetris

Bervariasi

asimetris
Permukaan

Kering, skuama

Kering, skuama

Dapat halus agak berkilat

Batas

Jelas

Jelas

Dapat jelas atau dapat


tidak jelas

Anestesia

Jelas

Jelas

Tak ada sampai tidak jelas

BTA
lesi kulit

Hampir

selalu Negatif atau hanya 1+

Biasanya negatif

negative
Tes lepromin

Positif kuat (3+)

Positif lemah

Dapat positif lemah atau


negatif

1.Tuberculoid Leprosy (TT)


Pada TT, imunitas masih baik,dapat sembuh spontan dan masih mampu
melokalisir sehingga didapatkan gambaran batas yang tegas. Lesi kulit bisa satu

atau beberapa, lesi primer berupa plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central clearing.Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat
disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba.

Gambar 1. Lesi soliter, anestetik, dan annular Tuberculoid Leprosy.1

2. BorderlineTuberculoid Leprosy
Pada tipe BT meruapakan tipe yang tidak stabil. Lesi kulit primer berbentuk plak atau
papul Berbeda dengan tipe TT, Lesi BT yang berupa annular atau plak memiliki papul satelit
dan sisik bisa ada sedikit / tidak ada, sedikit eritem, sedikit indurasi, sedikit elevasi, tapi lesi
bisa berukuran lebih besar.Terdapat gangguan sensasi pada lesi kulit dan keterlibatan saraf,
serta pembesaran / palsi, biasanya asimetrik dan mempengaruhi tidak lebih dari 2 saraf.

Gambar 2. Lesi anular inkomplit dengan papul satelit Borderline Tuberculoid Leprosy.1
3. Borderline Leprosy

Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga bentuk
dimorfik. Lesi kulit berbentuk annular dengan tepi interior dan eksterior meruncing, plak
besar dengan pulau-pulau memberikan gambaran Swiss cheese. Tipe ini merupakan tipe
yang sangat sulit ditemukan akibat dari ketidakstabilan lesi.1

Gambar 3 : Lesi plak annular khas gambaran tuberkuloid dan lepromatus


(dimorfik).1
4. Borderline Lepromatous Leprosy
Pada sepertiga pasien BL, ditemukan lesi dimorfik klasik dengan konfigurasi annular
dengan tepi luar tidak jelas (seperti lepromatus), tapi tepi dalam meruncing (seperti
tuberkuloid) Lesi infiltrat, dan plak seperti punched out atau gambaran Keju swiss. Tandatanda kerusakan batang saraf paling sering terjadi. Gangguan pada saraf ulnar dan medianus,
seringkali simetris juga umum terjadi. Jika penyakit meluas, pasien BL bisa mengalami
kerusakan saraf sensoris berpola stoking-sarung tangan.

Gambar 4 : Lesi multipel pada Borderline lepromatous Leprosy


5. Lepromatous Leprosy
Penebalan saraf tepi teraba pada tempat predileksi. Pada Tipe LL jumlah lesi sangat
banyak, nodul mencapai ukuran 2 cm, simetris, permukaan halus, lebih eritematous, berkilap,
berbatas tidak tegas dan pada stadium dini tidak ditemukan anestesi dan anhidrosis.
Ditemukan

juga

lesi

Dematofibroma-likemultipel,batastegas,nodul,eritem.

Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Kerusakan saraf
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.

Gambar 5 : Lesi Kulit pada Lepromatous Leprosy1

2.7 Pemeriksaan Fungsi Saraf

a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien
disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
-

telah dimengerti, tes kembali dilakukan dengan mata pasien tertutup.


Rasa tajam
Menggunakan jarum yang disentuhkan ke kulit pasien. Setelah
disentuhkan bagian tajamnya, lalu disentuhkan bagian tumpulnya,
kemudia pasien diminta menentukan tajam atau tumpul. Tes dilakukan

seperti pemeriksaan rasa raba.


Suhu
Menggunakan dua buah tabung reaksi yang berisi air panas dan air dingin.
Tabung reaksi disentuhkan ke kulit yang lesi dan sehat secara acak, dan

pasien diminta menentukan panas atau dingin.


b. Tes Otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi pada penyakit kusta,
pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan tes anhidrosis, yaitu :
1. Tes keringat dengan tinta ( tes Gunawan)
2. Tes Pilokarpin
3. Tes Motoris (voluntary muscle test) pada n. ulnaris, n.medianus, n.radialis, dan
n. peroneus

2.8 Pemeriksaan saraf tepi


a. N. auricularis magnus
Pasien menoleh ke kanan/kiri semaksimal mungkin, maka saraf yang
terlibat akan terdorong oleh otot-otot di bawahnya sehingga dapat terlihat
pembesaran saraf. Dua jari pemeriksa diletakkan di atas persilangan jalannya saraf
dengan arah otot. Bila ada penebalan, maka akan teraba jaringan seperti kabel atau
kawat. Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri
atau tidaknya.
b. N. ulnaris
Tangan yang diperiksa rileks, sedikit fleksi dan diletakkan di atas satu
tangan pemeriksa. Tangan pemeriksa meraba sulcus nervi ulnaris dan merasakan
adanya penebalan atau tidak Bandingkan kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk,
serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
c. N. peroneus lateralis

Pasien duduk dengan kedua kaki menggantung, diraba di sebelah lateral


dari capitulum fibulae, dan merasakan ada penebalana atau tidak. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
d. N. tibialis posterior
Meraba maleolus medialis kaki kanan dan kiri dengan kedua tangan,
meraba bagian posterior dan mengurutkan ke bawah ke arah tumit. Bandingkan
kanan dan kiri dalam hal besar, bentuk, serat, lunak, dan nyeri atau tidaknya.
2.9 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaaan bakterioskopik,
Digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis dan pengamatan obat.
Sediaan dibuat dari kerokan jaringan kulit atau usapan mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan ZIEHL NEELSON. Bakterioskopik negative pada seorang
penderita, bukan berarti orang tersebut tidak mengandung basil M.Leprae. Pertama
tama harus ditentukan lesi di kulit yang diharapkan paling padat oleh basil setelah
terlebih dahulu menentukan jumlah tepat yang diambil. Untuk riset dapat diperiksa 10
tempat dan untuk rutin sebaiknya minimal 4 6 tempat yaitu kedua cuping telinga
bagian bawah dan 2 -4 lesi lain yang paling aktif berarti yang paling eritematosa dan
paling infiltratif. Pemilihan cuping telinga tanpa menghiraukan ada atau tidaknya lesi
di tempat tersebut karena pada cuping telinga biasanya didapati banyak M. leprae.2
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah sediaan
dinyatakan dengan indeks bakteri ( I.B) dengan nilai 0 sampai 6+ menurut Ridley. 0
bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1 + Bila 1 10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1 10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1 10 BTA rata rata dalam 1 LP
4+ Bila 11 100 BTA rata rata dalam 1 LP
5+ Bila 101 1000BTA rata rata dalam 1 LP
6+ Bila> 1000 BTA rata rata dalam 1 LP

Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.

2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya
tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.2
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 2

Gambaran histopatologi tipe tuberkoloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf


yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Tipe lepromatosa
terdpat kelim sunyi subepidermal ( subepidermal clear zone ) yaitu suatu daerah
langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik. Bisa dijumpai sel
virchow dengan banyak basil. Pada tipe borderline terdapat campuran unsur unsur
tersebut.
3. Pemeriksaan serologik:
Didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang yang terinfeksi oleh
M.leprae. Antibodi yang terbentuk dapat bersifat spesifik terhadap M.Leprae, yaitu

antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta
35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).2
2.9 Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi
ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah
pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS),
sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.

a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading)
seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Variasi morfologik termasuk perubahan
annular, konsentrik, dan eksematus. Reaksi DTH dapat terjadi hingga 7 tahun / lebih
setelah terapi dimulai, atau setelah terapi dihentikan. Perubahan mikroskopis yang
didapatkan termasuk differensiasi epitel makrofag, campuran langhans dan sel raksasa
badan asing, dan penebalan epidermis.1
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa,
lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi
bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 2.
b. Reaksi tipe II

Reaksi tipe II disebabkan oleh hipersensitivitas humoral , yaitu reaksi


hipersnsitivitas tipe III karena adanya reaksi kompleks antigen-antibodi yang
melibatkan komplemen. Secara imunopatologis, reaksi tipe II atau sering disebut
Erithema Nodosum Leprosum (ENL) berupa fenomena kompleks imun akibat reaksi
antara antigen M.leprae + antibodi (IgM, IgG) + komplemen kompleks imun.
Terjadi lebih banyak pada tipe lepromatous juga tampak pada BL. Reaksi tipe II
memiliki gambaran lesi lebih eritematus, mengkilap, tampak nodul atau plakat,
ukuran bernacam-macam, pada umunnya kecil, terdistribusi bilateral dan simetris,
terutama di daerah tungkai bawah, wajah, lengan, dan paha, serta dapat pula muncul
di hampir seluruh bagian tubuh kecuali daerah kepala yang berambut, aksila, lipatan
paha, dan daerah perineum. Selain itu didapatkan nyeri, pustulasi dan ulserasi, juga
disertai gejala sistematik seperti demam dan malaise.2
3.0 Terapi
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai penularan
untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan menyembuhkan
penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai tujuan tersebut, strategi
pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan pengobatan penderita.2
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengatasi
resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien,
menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi persistensi kuman kusta
dalam jaringan.2
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun 1998 WHO
menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative yaitu ofloksasin,
minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan tuberculosis dengan obat
kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan resistensi obaat sedangkan MDT
untuk kusta baru dimulai tahun 1971.2
DDS:
Ada dua jenis relaps pada kusta yaitu relaps sensitive (persisten) dan relaps resisten.
Pada relaps persisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik dapat dinyatakan penyakit
tiba-tiba aktif kembali dengan timbulnya lesi baru dan bakterioskopik positif kembali. Tetapi

setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang
semula dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan
sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.
Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap
DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh
karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat.
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obatobat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri
kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS,
nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.2

Rifampicin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi.
Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.2

Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau
3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja
baru timbul setelah 2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada
sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat
warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini

menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat
diberikan. 2

Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae
in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis
akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena
pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 2

Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan
saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan untuk anakanak atau selama kehamilan.2

Klaritromisin:

Merupakan kelompok antibiotik makrolid dan mempunyai aktivitas bakterisidal


terhadap Mycobacterium leprae pada tikus dan manusia. Pada penderita kusta lepromatosa,
dosis harian 500 mg dapat membunuh 99 % kuman hidup dalam 28 hari dan lebih dari 99,9%
dalam 56 hari. Efek sampingnya adalah nausea, vomitus dan diare yang terbukti sering di
temukan bila obat ini diberikan dengan dosis 2000 mg. 2
Penghentian pemberian obat lazim disebut Release From Treatment (RFT). Setelah
RFT dilanjutkan dengan tindak lanjut tanpa pengobatan secara klinis dengan tindak lanjut
tanpa pengobatan secara klinis dan bakterioskopis minimal setiap tahun selama minimal 5
tahun. Kalau bakterioskopis tetap negative dan klinis tidak ada keaktivan baru, maka
dinyatakan bebas dari pengamatan atau disebut Release From Control (RFC). 2
Cara pemberian MDT :
MDT untuk multibasilar ( BB, BL, LL, atau semua tipe dengan BTA positif ) adalah
rifampicin 600 mg setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari dan klofazimin 300 mg tiap
bulan, dalam pengawasan, diteruskan 50mg sehari / 100mg selama sehari / 3 kali 100mg
setiap minggu.Awalnya kombinasi ini diberikan 24 dosis dalam 24-36 bulan dengan syarat
bakterioskopis negatif. Selama pengobatan, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan
bakterioskopis minimal setiap 3 bulan.Saat ini, apabila secara klinis sudah terjadi
penyembuhan, pemberian obat dapat dihentikan, tanpa memperhatikan bakterioskopis.2
MDT untuk pausibasilar ( I, TT, BT, degan BTA negatif ) adalah rifampicin 600 mg
setiap bulan dan DDS 100 mg setiap hari. Keduanya diberikan selama 6 bulan sampai 9
bulan. Selama pengobatam, pemeriksaan secara klinis setiap bulan dan bakterioskopis setelah
6 bulan pada akhir pengobatan. Pemeriksaan dilakukan minimal setiap tahun selama 2 tahun
secara klinis dan bakterioskopis. Kalau tidak ada keaktivan baru secara klinis dan
bakterioskopis tetap negative, maka dinyatakn RFC. 2
WHO pada tahun 1998 telah memperpendek masa pengobatan untuk kasus
Multibasilar menjadi 12 dosis dalam 12-18 bulan, sedangkan pengobatan untuk kasus
Pausibasilar dengan lesi kulit 2-5 buah tetap 6 dosis dalam 6-9 bulan. 2
Penderita multibasilar yang resisten dengan rifampisin biasanya akan resisten pula
dengan DDS sehingga hanya bisa mendapat klofazimin. Dalam hal ini rejimen pengobatan
menjadi klofazimin 50 mg, ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg setiap hari selama 6

bulan, dilanjutkan klofazimin 50 mg ditambah ofloksasin 400 mg atau minosiklin 100 mg


setiap hari selama 8 bulan. 2
Bagi penderita MB yang menolak klofazimin dapat di berikan ofloksasin 400 mg/hari
atau minosiklin 100 mg/hari selama 12 bulan. Alternatif lain ialah diberikan rifampicin 600
mg ditambah dengan ofloksasin 400 mg dan minosiklin 100 mg dosis tunggal setiap bulan
selama 24 bulan. 2

3.1 Pengobatan Reaksi Kusta:


Pengobatan E.N.L :

Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison.
Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. 2
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi
harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting bahwa kehamilan
dikeluarkan sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan selama
4 minggu sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa pengobatan. Haruskah
kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 2
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi
E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid.
Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan
kortikosteroid. Dosis klofazimin untuk dewasa 300mg/hari selama 2-3 bulan, jika ada
perbaikan turunkan menjadi 200mg/hari selama 2-3 bulan, lalu jika ada perbaikan turunkan
menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan, dan kembali ke dosis semula menjadi 50 mg/hari, bila
penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita sudah dinyatakan RFT.
Pada saat yang sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap.2
Pengobatan reaksi reversal:
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan
pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis
yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. 2
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal
kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 2
Pencegahan Cacat:

Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan


berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan
melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat dan tepat.
Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai gangguan saraf
serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 2
3.2 Komplikasi

Gangguan saraf
tepi

Tangan/kaki
kurang rasa

sensorik

motorik

anestesi

kelemahan

Kornea mata
anestesi,
reflek kedip

Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh

otonom

Gangguan kel. Keringat,


minak, aliran darah

Mata
lagoftalmus

infeksi

luka

infeksi

mutilasi

kebutaa
n

Jari
bengkok/ka
ku

kebutaan

Kulit
kering/pecah

luka

infeksi

luka

mutila
si

3.3 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik
prognosis kurang baik.

BAB III
KESIMPULAN

Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh


Mycobacterium leprae. Insidensi puncak pada usia 10-20 tahun dan 30-50 tahun.

Berdasarakan Ridley aand Jopling kusta dibagai menjadi TT,Ti,BT,BB,BI,Li,LL, dan


menurut WHO dibagi menjadi Multibasiler dan Pausibasiler. Diagnosis Kusta dilakukan
berdasarkam pemeriksaan klinis, bakteriologis, dan histopatologis. Penatalksanaan kusta
dengan terapi regimen Multi Drug Treatment mulai diterapkan untuk mencegah kemungkinan
timbul resistensi.

BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

1. Wolff Klaus, Doldsmith, Stevern, Barbara. Fitzpatricks Dermatology in General Medicine


7th ed. USA : McGraw Hill 2008. P 17889-1796

2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88.
3. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671

Anda mungkin juga menyukai