melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga penyusun dapat menyelesaikan refrat yang
berjudul Morbus Hansen. Tinjauan pustaka ini disusun dalam rangka memenuhi
persyaratan dalam kepaniteraan Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara pada bagian
Ilmu Kulit dan Kelamin RSUD Kudus.
Penyusun menyadari bahwa tinjauan pustaka ini jauh dari sempurna, oleh karena itu
penyusun menerima segala kritik dan saran yang membangun dari semua pihak demi
kesempurnaan tinjauan pustaka ini.
Penyusun mengucapkan banyak terima kasih kepada pembimbing atas segala bimbingan,
motivasi, serta ilmu yang diberikan sehingga penyusun dapat menyelesaiakan tugas pustaka
ini. Besar harapan penyusun semoga tinjauan pustaka ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak.
Kudus, Oktober 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit kusta atau dikenal juga dengan nama lepra dan Morbus Hansen
merupakan penyakit yang telah menjangkit manusia sejak lebih dari 4000 tahun yang lalu.
Kata lepra merupakan terjemahan dari bahasa Hebrew, zaraath, yang sebenarnya mencakup
beberapa penyakit kulit lainnya. Kusta juga dikenal dengan istilah kusta yang berasal dari
bahasa India, kushtha. Nama Morbus Hansen ini sesuai dengan nama yang menemukan
kuman, yaitu Dr. Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1874.1
Kusta adalah penyakit kronik granulomatosa yang terutama mengenai kulit, saluran
pernapasan atas dan sistem saraf perifer. Penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang
bersifat intraseluler obligat, dan pada tahun 2009 telah ditemukan penyebab baru yaitu
Mycobacterium lepramatosis. Kusta dahulu dikenal dengan penyakit yang tidak dapat
sembuh dan diobati, namun sejak tahun 1980, dimana program Multi Drug Treamtment
(MDT) mulai diperkenalkan, kusta dapat di diagnosis dan diterapi secara adekuat, tetapi
sayangnya meskipun telah dilakukan terapi MDT secara adekuat, risiko untuk terjadi
kerusakan sensorik dan motorik yaitu disabilitas dan deformitas masih dapat terjadi sehingga
gejala tangan lunglai, mutilasi jari. Keadaan tersebut yang membuat timbulnya stigma
terhadap penyakit kusta.2
Pengobatan Kusta pada wanita hamil dan anak-anak harus sangat di perhatikan. Baik
dari dosis sampai pemilihan jenis obat. Agar dapat menghindari efek samping yang tidak di
kehendaki.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Kusta adalah penyakit infeksi granulomatous kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae yang bersifat intraseluler obligat. Saraf perifer sebagai afinitas
pertama, namun dapat juga terjadi pada kulit dan mukosa traktus respiratorius bagian atas,
dan organ-organ lain kecuali susunan saraf pusat.2
2.2 Etiologi
Kuman penyebab adalah Mycobacterium leprae. Kuman ini bersifat obligat intrasel,
aerob, tidak dapat dibiakkan secara in vitro, berbentuk basil Gram positif dengan ukuran 3
8 m x 0,5 m, bersifat tahan asam dan alcohol.1
Kuman ini mempunyai afinitas terhadap makrofag dan sel Schwann, replikasi yang
lambat di sel Schwann menstimulasi cell-mediated immune response, yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronik, sehingga terjadi pembengkakkan di perineurium, dapat ditemukan
iskemia, fibrosis, dan kematian akson.2
Mycobacterium leprae dapat bereproduksi maksimal pada suhu 27C 30C, tidak
dapat dikultur secara in vitro, menginfeksi kulit dan sistem saraf kutan. Tumbuh dengan baik
pada jaringan yang lebih dingin (kulit, sistem saraf perifer, hidung, cuping telinga, anterior
chamber of eye, saluran napas atas, kaki, dan testis), dan tidak mengenai area yang hangat
(aksila, inguinal, kepala, garis tengah punggung.3
2.3 Epidemiologi
Prevalensi kusta di dunia dilaporkan hanya <1 per 10.000 populasi (sesuai dengan
target resolusi WHO mengenai eliminasi kusta). Paling banyak terjadi pada daerah tropis dan
subtropis. 86% dilaporkan terjadi di 11 negara, Bangladesh, Brazil, China, Congo, Etiopia,
India, Indonesia, Nepal, Nogeria, Filipina, Tanzania. Namun prevalensi lepra berkurang sejak
dimulai adanya MDT pada tahun 1982. Pada pertengahan tahun 2000, jumlah penderita kusta
terdaftar di Indonesia sebanyak 20.7042 orang, banyak ditemukan di Jawa Timur, Jawa Barat,
Sulawesi Selatan, dan Irian Jaya.1,2
Kusta lebih banyak didapatkan pada laki-laki daripada wanita, dengan perbandingan
2:1, dengan insidensi usia puncak 10-20 tahun dan 30-50 tahun, jarang terjadi pada bayi.
Faktor predisposisinya adalah penduduk pada area yang endemik, memiliki kerentanan lepra
dalam darah, dan kemiskinan (malnutrisi). 3
2.4 Patogenesis
Cara penularan belum diketahui secara pasti hanya beranggapan dari anggapan klasik
yaitu melalui kontak langsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan kedua adalah secara
inhalasi, sebab M. Leprae dapat hidup beberapa hari didalam droplet. Masa tunasnya sangat
bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, rata-rata 3,5 tahun.2
Sebenarnya M. Leprae mempunyai patogenisitas dan daya invasi yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman lebih banyak belum tentu memberikan gejala yang lebih
berat, bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan derajat infeksi dan derajat penyakit, tidak
lain disebabkan karena respon imun yang berbeda, yang mencetuskan timbulnya granuloma
setempat atau menyeluruh yang dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu, kusta
dapat disebut sebagai penyakit imunologik.2
Respon imun terhadap M. leprae dapat menghasilkan beberapa tipe reaksi yang
berhubungan dengan status klinis. Reaksi lepra tipe 1 (downgrading and reversal reactions)
terjadi pada individu dengan BT dan BL, inflamasi terjadi diantara lesi kulit yang sudah ada.
Downgrading reaction terjadi sebelum terapi, reversal reaction terjadi karena respon
terhadap terapi. Reaksi tipe 1 berhubungan dengan demam derajat rendah, lesi satelit
makulopapular baru yang kecil dan banyak, dan/ atau neuritis.3
Reaksi tipe 2 (Erythema Nodosum Leprosum, ENL) terjadi pada sebagian individu
dengan LL, biasanya timbul setelah awal pemberian terapi antilepra, umumnya dalam 2 tahun
pertama terapi. Terdapat inflamasi yang hebat mirip seperti lesi eritema nodosum. 3
Reaksi lucio merupakan rekasi yang terjadi pada individu dengan LL yang meluas.
Pada individu tersebut terjadi ulserasi yang dangkal, large polygonal sloughing pada kaki.
Reaksi ini timbul baik sebagai varian dari ENL atau sekunder terhadap oklusi arteriol.
Ulserasi ini sulit membaik, sering rekuren, dan distribusinya dapat general akibat infeksi
bakteri sekunder dan sepsis.3
2.5 Klasifikasi
Ridley dan Jopling memperkenalkan istilah spectrum determinate pada penyakit lepra
yang terdiri atas berbagai tipe, yaitu:
TT: tuberkuloid polar, bentuk yang stabil
Ti: tuberkuloid indefinite
BT: borderline tuberculoid
BB: mid borderline
dengan kerentanan orang trsebut. Bila Sistem Imunitas Seluler baik, akan tampak gambaran
klinis ke arah tuberkuloid, sebaliknya Sistem Imunitas Seluler rendah memberikan gambaran
lepromatosa. Kelainan kulit pada penyakit kusta tanpa komplikasi dapat hanya berbentuk
makula saja, infiltrat saja, atau keduanya.2
Penyakit kusta merupakan penyakit yang mendapat julukan the greatest imitator.
Penyakit kulit kulit yang harus diperhatikan sebagai diagnosis banding antara lain
dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis rosea, pitiriasis alba, dermatitis seboroika, psoriasis,
neurofibromatosis, granula anulare, xanthomatosis, skleroderma, leukemia kutis, tuberkulosis
kutis verukosa, dan birth mark.2
Kalau secara inspeksi mirip penyakit lain, ada tidaknya anestesia sangat banyak
membantu penentuan diagnosis, meskipun tidak selalu jelas.Hal ini dengan mudah dilakukan
dengan menggunakan jarum terhadap rasa nyeri, kapas terhadap rasa raba, dan pengujian rasa
suhu (panas dan dingin) menggunakan 2 tabung reaksi. Untuk mengetahui adanya kerusakan
fungsi saraf otononom perhatikan ada tidaknya dehidrasi di daerah lesi yang dapat jelas dan
dapat pula tidak, yang dipertegas menggunakan pensil tinta (tanda gunawan).Bila ada
gangguan, goresan pada kulit normal akan lebih tebal bila dibandingkan dengan bagian
tengah lesi.2
Perubahan saraf tepi yang terjadi dapat berupa
o
pembesaran saraf tepi yang asimetris pada daun telinga, ulnar, tibia posterior,
radial kutaneus,
Deformitas dapat dibagi dalam deformitas primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M.Leprae,
yang mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius
atas, tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat perubahan
saraf, umumnya deformitas terjadi diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan
saraf. 2
2. N. medianus
Anestesia pada ujung jari bagian anterior ibu jari, telunjuk, dan jari
tengah
3. N. radialis
4. N. poplitea lateralis
5. N. tibialis posterior
Claw toes
6. N. fasialis
7. N. trigeminus
Anestesia kulit wajah, kornea, dan konjungtiva mata
Atrofi otot tenar dan kedua otot lumbrikalis lateral
1. Lesi kulit
(makula datar, papul
yang meninggi, nodus)
2. Kerusakan
saraf
PB
-
1-5 lesi
Hipopigmentasi/eritema
Distribusi tidak simetris
Hilangnya sensasi jelas
MB
- > 5 lesi
- Distribusi
lebih
simetris
Hilangnya
sensasi
(menyebabkan
kurang jelas
Banyak
cabang
saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan otot
yang dipersarafi oleh
saraf yang terkena)
Gambaran Klinis, Bakteriologik, dan Imunologik Kusta MultiBasilar (MB) 2
Sifat
Lepromatosa (LL)
Borderline Lepromatosa
(BL)
Lesi
Bentuk
Makula
Makula
Plakat
Infiltrat difus
Plakat
Dome-shape (kubah)
Papul
Papul
Punched-out
kulit sehat
kulit sehat
jelas ada
Nodus
Jumlah
Distribusi
Simetris
Hampir simetris
Asimetris
Permukaan
Halus berkilat
Halus berkilat
Batas
Tidak jelas
Agak jelas
Agak jelas
Anestesia
Tak jelas
Lebih jelas
BTA
Lesi kulit
Banyak
Agak banyak
Sekret
Biasanya negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
hidung
Tes Lepromin
Tuberkuloid (TT)
Lesi
Tipe
Jumlah
Makula ; makula
dibatasi infiltrat
Satu
atau
dapat Beberapa
beberapa
Distribusi
atau
Hanya Infiltrat
Terlokalisasi
& Asimetris
Bervariasi
asimetris
Permukaan
Kering, skuama
Kering, skuama
Batas
Jelas
Jelas
Anestesia
Jelas
Jelas
BTA
lesi kulit
Hampir
Biasanya negatif
negative
Tes lepromin
Positif lemah
atau beberapa, lesi primer berupa plak,dan pada bagian tengah dapat ditemukan lesi yang
regresi atau central clearing.Permukaan lesi dapat bersisik, dengan tepi yang meninggi. Dapat
disertai penebalan saraf tepi yang biasanya teraba.
2. BorderlineTuberculoid Leprosy
Pada tipe BT meruapakan tipe yang tidak stabil. Lesi kulit primer berbentuk plak atau
papul Berbeda dengan tipe TT, Lesi BT yang berupa annular atau plak memiliki papul satelit
dan sisik bisa ada sedikit / tidak ada, sedikit eritem, sedikit indurasi, sedikit elevasi, tapi lesi
bisa berukuran lebih besar.Terdapat gangguan sensasi pada lesi kulit dan keterlibatan saraf,
serta pembesaran / palsi, biasanya asimetrik dan mempengaruhi tidak lebih dari 2 saraf.
Gambar 2. Lesi anular inkomplit dengan papul satelit Borderline Tuberculoid Leprosy.1
3. Borderline Leprosy
Pada tipe BB borderline,meruapakan tipe yang paling tidak stabil, disebut juga bentuk
dimorfik. Lesi kulit berbentuk annular dengan tepi interior dan eksterior meruncing, plak
besar dengan pulau-pulau memberikan gambaran Swiss cheese. Tipe ini merupakan tipe
yang sangat sulit ditemukan akibat dari ketidakstabilan lesi.1
juga
lesi
Dematofibroma-likemultipel,batastegas,nodul,eritem.
Distribusi lesi khas pada wajah, mengenai dahi, pelipis, dagu, cuping telinga. Kerusakan saraf
menyebabkan gejala stocking and glove anesthesia.
a. Tes sensorik
Gunakan kapas, jarum, serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
- Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya, disinggungkan ke kulit pasien.
Kapas disinggungkan ke kulit yang lesi dan yang sehat, kemudian pasien
disuruh menunjuk kulit yang disinggung dengan mata terbuka. Jika hal ini
-
Indeks morfologi adalah persentase bentuk solid dibandingkan dengan jumlah solid
dan non solid.
IM= Jumlah solidx 100 %/ Jumlah solid + Non solid
Syarat perhitungan IM adalah jumlah minimal kuman tiap lesi 100 BTA, I.B 1+ tidak
perlu dibuat IM karedna untuk mendapatkan 100 BTA harus mencari dalam 1.000
sampai 10.000 lapangan, mulai I.B 3+ maksimum harus dicari 100 lapangan.
2. Pemeriksaan histopatologi
Makrofag dalam jaringan yang berasal dari monosit di dalam darah ada yang
mempunyai nama khusus, dan yang dari kulit disebut histiosit. Apabila SIS nya
tinggu, makrofag akan mampu memfagosit M.Leprae. Datangnya histiosit ke tempat
kuman disebabkan karena proses imunologik dengan adanya faktor kemotaktik. Kalau
datangnya berlebihan dan tidak ada lagi yang harus difagosit, makrofag akan berubah
bentuk menjadi sel epiteloid yang tidak dapat bergerak dan kemudian akan dapat
berubah menjadi sel datia Langhans.2
Adanya massa epiteloid yang berlebihan dikelilingi oleh limfosit yang disebut
tuberkel akan menjadi penyebab utama kerusakan jaringan dan cacat. Pada penderita
dengan SIS rendah atau lumpuh, histiosit tidak dapat menghancurkan M.Leprae yang
sudah ada didalamnya, bahkan dijadikan tempat berkembang biak dan disebut sebagai
sel Virchow atau sel lepra atau sel busa dan sebagai alat pengangkut penyebarluasan. 2
antibodi anti phenolic glycolipid-1 (PGL-1) dan antibodi antiprotein 16kD serta
35kD. Sedangkan antibodi yang tidak spesifik antara lain antibodi antilipoarabinomanan (LAM), yang juga dihasilkan oleh kuman M.tuberculosis.
Kegunaan pemeriksaan serologik ialah dapat membantu diagnosis kusta yang
meragukan, karena tanda klinis dan bakteriologik tidak jelas.Pemeriksaan serologik
adalah MLPA (Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA (Enzyme
Linked Immuno-Sorbent Assay) dan ML dipstick (Mycobacterium Leprae dipstick).2
2.9 Reaksi kusta
Reaksi kusta adalah interupsi dengan episode akut pada perjalanan penyakit
yang sebenarnya sangat kronik. 1. Penyakit kusta yang merupakan suatu reaksi
kekebalan (cellular response) atau reaksi antigen antibody (humoral response). Reaksi
ini dapat terjadi sebelum pengobatan, tetapi terutama terjadi selama atau setelah
pengobatan. Dari segi imunologis terdapat perbedaan prinsip antara reaksi tipe 1 dan
tipe 2, yaitu pada reaksi tipe 1 yang memegang peranan adalah imunitas seluler (SIS),
sedangkan pada reaksi tipe 2 yang memegang peranan adalah imunitas humoral.
a. Reaksi tipe 1
Menurut Jopling, reaksi kusta tipe I merupakan delayed hypersensitivity
reaction yang disebabkan oleh hipersensitivitas selular (reaksi reversal upgrading)
seperti halnya reaksi hipersensitivitas tipe IV. Variasi morfologik termasuk perubahan
annular, konsentrik, dan eksematus. Reaksi DTH dapat terjadi hingga 7 tahun / lebih
setelah terapi dimulai, atau setelah terapi dihentikan. Perubahan mikroskopis yang
didapatkan termasuk differensiasi epitel makrofag, campuran langhans dan sel raksasa
badan asing, dan penebalan epidermis.1
Gejala klinis reaksi reversal ialah umumnya sebagian atau seluruh lesi yang
telah ada bertambah aktif dan atau timbul lesi baru dalam waktu yang relatif singkat.
Artinya lesi hipopigmentasi menjadi eritema, lesi eritema menjadi lebih eritematosa,
lesi makula menjadi infiltrat, lesi infiltrat makin infiltrat dan lesi lama menjadi
bertambah lesi luas. Tidak perlu seluruh gejala harus ada, satu saja sudah cukup 2.
b. Reaksi tipe II
setelah dibuktikan dengan pengobatan dan inokulasi pada mencit, ternyata M.Leprae yang
semula dorman, sleeping, atau persisten bangun dan aktif kembali. Pada pengobatan
sebelumnya, basil dorman sukar dihancurkan dengan obat atau MDT apapun.
Pada relaps resisten secara klinis, bakterioskopik, histopatologik yang khas dapat
dibuktikan dengan percobaan dan inokulasi pada mencit, bahwa M.Leprae resisten terhadap
DDS. Resisten hanya terjadi pada kusta multibasilar tetapi tidak pada pausibasilar, oleh
karena SIS penderita PB tinggi dan pengobatannya relative singkat.
Pengertian MDT pada saat ini adalah DDS sebagai obat dasar ditambah dengan obatobat lain. Dosis DDS ialah 1-2 mg/kg BB setiap hari. Efek sampingnya antara lain nyeri
kepala, erupsi obat, anemia hemolitik, leucopenia, insomnia, neuropati perifer, sindrom DDS,
nekrosis epidermal toksik, hepatitis, hipoalbuminemia, dan methemoglobinemia.2
Rifampicin:
Kombinasi DDS dengan dosis 10mg/kg BB, diberikan setiap hari atau setiap bulan.
Rifampicin tidak bileg diberikan sebagai monoterapi karena dapat memperbesar
kemungkinan terjadinya resistensi.
Efek Samping yang harus di perhatikan adalah hepatotoksik, nefrotoksik, gejala
gastrointestinal, flu-like syndrome dan erupsi kulit.2
Klofazimin (lamprene) :
Dosis sebagai antikusta ialah 50mg setiap hari, atau 100 mg selang sehari atau
3x100mg setiap minggu. Juga bersifat sebagai antiinflamasi sehingga dapat dipakai pada
penanggulangan E.N.L dengan dosis lebih tinggi yaitu 200-300 mg/hari namun awitan kerja
baru timbul setelah 2-3 minggu.
Efek sampingnya adalah warna kecokelatan pada kulit dan warna kekuningan pada
sclera sehingga mirip ikterus. Hal tersebut disebabkan oleh klofazimin yang merupakan zat
warna dan dideposit terutama pada sel system retikuloendotelial, mukosa, dan kulit. Obat ini
menyebabkan pigmentasi kulit yang sering merupakan masalah dalam ketaatan berobat
penderita. Efek samping hanya terjadi dalam dosis tinggi, berupa gangguan gastrointestinal
yakni nyeri abdomen, nausea, diare, anoreksia, dan vomitus. Selain itu dapat terjadi
penurunan berat badan.Perubahan warna tersebut akan mulai menghilang setelah 3 bulan obat
diberikan. 2
Ofloksasin:
Merupakan turunan flurokuinolon yang paling aktif terhadap Mycobacterium leprae
in vitro. Dosis optimal harian adalah 400 mg. Dosis tunggal yang diberikan dalam 22 dosis
akan membunuh kuman Mycobacterium Leprae hidup sebesar 99,99%.
Efek sampingnya adalah mual, diare, dan gangguan saluran cerna lainnya., berbagai
gangguan susunan saraf pusat termasuk insomnia, nyeri kepala, dizziness, nervousness dan
halusinasi. Walaupun demikian hal ini jarang ditemukkan dan biasanya tidak membutuhkan
penghentian pemakaian obat.
Penggunaan pada anak, remaja, wanita hamil dan menyusui harus hati-hati, karena
pada hewan muda kuinolon menyebabkan artropati. Selain ofloksasin dapat pula digunakan
levofloksasin dengan dosis 500 mg sehari. Obat tersebut lebih baru, jadi lebih efektif. 2
Minosiklin:
Termasuk dalam kelompok tetrasiklin. Efek bakterisidalnya lebih tinggi daripada
klaritromisin, tetapi lebih rendah daripada rifampicin. Dosis standar harian 100 mg. Efek
sampingna adalah pewarnaan gigi bayi dan anak-anak, kadang-kadang menyebabkan
hiperpigmentasi kulit dan membran mukosa, berbagai simptom saluran cerna dan susunan
saraf pusat, termasuk dizzines dan unsteadiness. Oleh sebab itu tidak di anjurkan untuk anakanak atau selama kehamilan.2
Klaritromisin:
Obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid antara lain prednison.
Dosisnya tergantung pada berat ringannya reaksi, biasanya prednison 15-30 mg sehari,
kadang-kadang lebih. Makin berat reaksinya makin tinggi dosisnya, tetapi sebaliknya bila
reaksinya terlalu ringan tidak perlu diberikan. Sesuai dengan perbaikan reaksi, dosisnya
diturunkan secara bertahap sampai berhenti sama sekali. 2
Ada lagi obat yang dianggap sebagai obat pilihan pertama yaitu thalidomide, tetapi
harus berhati-hati karena mempunyai efek teratogenik. Jadi tidak boleh diberikan kepada
orang hamil atau masa subur. Jika hal ini tidak mungkin, adalah penting bahwa kehamilan
dikeluarkan sebelum perawatan ini dimulai. Kontrasepsi yang efektif harus digunakan selama
4 minggu sebelum dan setelah pengobatan serta selama masa pengobatan. Haruskah
kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 2
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-reaksi
E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari kortikosteroid.
Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas dari ketergantungan
kortikosteroid. Dosis klofazimin untuk dewasa 300mg/hari selama 2-3 bulan, jika ada
perbaikan turunkan menjadi 200mg/hari selama 2-3 bulan, lalu jika ada perbaikan turunkan
menjadi 100mg/hari selama 2-3 bulan, dan kembali ke dosis semula menjadi 50 mg/hari, bila
penderita masih dalam pengobatan MDT, atau stop bila penderita sudah dinyatakan RFT.
Pada saat yang sama, dosis prednison diturunkan secara bertahap.2
Pengobatan reaksi reversal:
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau tanpa
neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut, obat pilihan
pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan berat ringannya
neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan prednison 40-60 mg sehari,
kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dan dengan dosis
yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. 2
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi reversal
kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 2
Pencegahan Cacat:
Gangguan saraf
tepi
Tangan/kaki
kurang rasa
sensorik
motorik
anestesi
kelemahan
Kornea mata
anestesi,
reflek kedip
Tangan/kaki
lemah atau
lumpuh
otonom
Mata
lagoftalmus
infeksi
luka
infeksi
mutilasi
kebutaa
n
Jari
bengkok/ka
ku
kebutaan
Kulit
kering/pecah
luka
infeksi
luka
mutila
si
3.3 Prognosis
Dengan adanya obat-obat kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih
singkat, serta prognosis menjadi lebih baik. Jika sudah ada kontraktur dan ulkus kronik
prognosis kurang baik.
BAB III
KESIMPULAN
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
2. A. Kosasih, I Made Wisnu, Emmy Sjamsoe-Daili, Sri Linuwih Menaldi. Kusta. Dalam:
Djuanda, Adhi dkk. (ed.). Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi 5 Cetakan Kedua.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 2007; 73-88.
3. Wolff, Klaus, Johnson, Richard A, Suurmond, Dick. Fitzpatrick's Color Atlas and Synopsis
of Clinical Dermatology 5th ed. USA: McGraw-Hill. 2007. P 665-671