TINJAUAN PUSTAKA
(2.1)
(0 )
0
(2.2)
(2.3)
Daerah pertama yaitu OA, merupakan garis lurus dan menyatakan daerah
linear elastis. Kemiringan garis ini menyatakan besarnya modulus elastis atau
disebut juga Modulus young, E. diagram tegangan- regangan untuk baja lunak
umumnya memiliki titik leleh atas ( Upper Yield Point ),yu dan daerah leleh
datar. Secara praktis, letak titik leleh atas ini, A tidaklah terlalu berarti sehingga
pengaruhnya sering diabaiakan. Lebih lanjut, tegangan pada titik A disebut
sebagai tegangan leleh, dimana regangan pada kondisi ini berkisar 0.00012. Dari
grafik tersebut dapat dilihat bahwa bila regangan terus bertambah hingga
melampaui harga ini, ternyata tegangannya dapat dikatakan tidak mengalami
pertambahan. Sifat dalam daerah AB ini kemudian kemudian disebut sebagai
daerah plastis. Lokasi titik B, yaitu titik akhir sebelum tegangan mengalami
sedikit kenaikan, tidaklah dapat ditentukan. Tetapi, sebagai perkiraan dapat
ditentukan terletak pada regangan 0,014 atau secara praktis dapat ditetapkan
sebesar sepuluh kali besarnya regangan leleh.
Daerah BC merupakan daerah strain- hardening, dimana pertambahan
regangan akan diikuti oleh pertambahan sedikit tegangan. Disamping itu
hubungan tegangan- regangannya tidak bersifat linear. Kemiringan garis setelah
titik B ini didefinisikan sebagai Es. Di titik M, tegangan mencapai titik maksimum
yang disebut sebagai tegangan tarik ultimit ( ultimate tensile strength ). Pada
akhirnya material akan putus ketika mencapai titik C.
Besaran- besaran pada gambar 2.1 akan tergantung pada komposisi baja,
proses pembuatan pengerjaan baja dan temperature baja pada saat percobaan.
Tetapi factor- faktor tersebut tidak terlalu mempengaruhi besarnya modulus
elastisitas ( E ). Roderick dan Heyman (1951), melakukan percobaan terhadap
empat jenis baja dengan kadar karbon yang berbeda, data yang dihasilkan
ditampilkan pada table 2.1
(N/mm2)
ya /y
s / y
Es / Ey
0.28
340
1.33
9.2
0.037
0.49
386
1.28
3.7
0.058
0.74
448
1.19
1.9
0.070
0.89
525
1.04
1.5
0.098
Dari table 2.1 dapat dilihat bahwa semakin besar tegangan lelehnya maka
semakin besar kadar karbon yang dibutuhkan. Tegangan bahan akan berpengaruh
pada daktalitas bahan. Semakin tinggi tegangan leleh maka semakin rendah
daktalitas dari material tersebut. Daktalitas adalah perbandingan antara s dan y
dimana s adalah regangan strain hardening dan y adalah regangan leleh.
A
W/2
l/2
B
W/2
l/2
a
Wl/4
(2.4)
<
tegangan
(b)
(a)
(c)
2
(d)
(e)
10
regangan
10
A1
A2
D1
Z1
Z2
D2
D1 = A1. y
(2.5)
D2 = A2. y
(2.6)
A1 = A2 = 1/2 A
Selanjutnya
Z1 = S1/A1
Z2 = S2/A2
Dimana :
A1
B1
C1
M
A
a
y
a1
c1
b1
A1
C1
B1
gaya
luar
bekerja,
balok
akan
mengalami
pelenturan.
= ( )
11 =
sehingga, regangan pada arah memanjang disuatu serat sejauh y dari sumbu netral
dapat dinyatakan sebagai:
1 1
1 1
(2.7)
(2.8)
Ey
Tegangan tarik pada serat bawah dan tegangan tekan pada sera atas adalah :
Akhirnya didapat
EI
d2y
dx2
ESD/2
D/2
Garis netral
D/2
Jika Z=D/2, hanya serat terluar saja yang mencapai kondisi leleh dan
besar momen dalam yang ditahan disebut sebagai momen leleh (My ).
My = S .
(2.10)
= /
(2.11)
= 2 /
(2.12)
Dimana K
state)
K/ky
peningkatan
kekuatan
penampang
akibat
ditinjau
dari
kondisi
plastis.
1
2
D/2
D/2
1
2
2
1
B
Tampang persegi
Momen elastis
Momen plastis
Gambar 2.10. Distribusi tegangan pada keadaan leleh dan keadaan plastis pada
tampang persegi
Modulus elastis
My
= 2M1+2M2
= 2 . + + 2. . .
2 2
= + . + . 2
2
= . 2 + 2
2
= .
4
4
3 2
1 2
3 2 2
= .
= .
12
1
6
. 2 .
(2.13a)
Modulus plastis
Momen plastis yaitu luasan tampang kali lengan momen
Mp
= 2. .
=
1
4
. 2 .
(2.13b)
Jika menggunakan factor bentuk (shape factor) yang dinotasikan dengan f, maka
hubungan antara kapasitas momen pada saat keadaan leleh (My) dan kapasitas
momen pada keadaan plastis (Mp) akan menghasilkan :
=
=
1
. 2.
4
1
. 2.
6
= 1,5
2.2.
SENDI PLASTIS
2.2.1. Umum
Sendi plastis merupakan suatu kondisi dimana terjadi perputaran (rotasi)
pada suatu struktur yang berlangsung secara terus menerus sebelum pada akhirnya
mencapai keruntuhan yang diakibatkan oleh pembebanan eksternal.
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu sturktur maka sifat dari
konstruksi tersebut akan berubah, sebagai contoh:
1. Bila konstruksi semula merupakan statis tertentu, maka dengan
timbulnya satu sendi plastis akan membuat konstruksi menjadi labil dan
runtuh.
2. Pada suatu konstruksi yang hiperstatis berderajat n, bila timbul satu sendi
plastis maka konstruksi akan berubah derajat kehiperstatis dari suatu
konstruksi.
Dengan timbulnya sendi plastis pada suatu konstruksi maka momen yang
yang semula dihitung dengan cara elastis harus dihitung kembali sesuai dengan
perubahan sifat konstruksi yang ditimbulkan oleh sendi plastis tersebut.
Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada
balok sepanjang L dengan pembebanan terpusat asimetris
P
O
gn
lP
L
= (1 )
= (1 2 )
(1 ) = (1 2 )
= 2
() =
() =
Kita tinjau proses terjadinya sendi plastis dan panjang plastis ( lp ) pada
balok sepanjang L dengan pembebanan terbagi rata
gn
lP
L
Gambar 2.13. Balok dengan pembebanan terbagi rata
= (1
2
)
2
= (1 2 )
(1
2
) = (1 2 )
2
= 2 2
() =
() =
gn
lP
L
Gambar 2.15. Balok dengan pembebanan terbagi rata segitiga
= (1
3
)
3
= (1 2 )
(1
3
) = (1 2 )
3
= 3 2
3
= 2
() = 2
() = 2
2.3.
2.3.1.
yang dapat dipikul oleh suatu struktur ketika mengalami keruntuhan. Kruntuhan
struktur dimulai dengan terjadinya sendi plastis. Keruntuhan dapat bersifat
menyeluruh ataupun parsial.
Suatu struktur hiperstatis berderajat n akan mengalami mengalami
keruntuhan total jika kondisinya labil, di sini telah terbentuk lebih dari n buah
sendi plastis. Keruntuhan parsial terjadi apabila sendi plastis yang terjadi pada
mekanisme keruntuhan tidak menyebabkan struktur hiperstatis dengan derajat
yang lebih rendah dari yang semula.
1. untuk struktur balok dua perletakan sendi- sendi (struktur statis tertentu )
dengan = 0 = 1
P
Gambar 2.17. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi- sendi
Struktur diatas hanya memerlukan sebuah sendi platis untuk mencapai
mekanisme runtuhnya yaitu sendi plastis pad momen maksimum (dibawah
beban titik).
2. Suatu balok dua perletakan sendi- jepit ( struktur statis tak tentu berderajat
1) dengan = 1 = 2
P
Gambar 2.18. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan sendi- jepit
Struktur perletakan ini memerlukan dua buah sendi plastis untuk mencapai
mekanisme keruntuhannya . sendi plastis pada system perletakan tersebut
akan terjadi pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada
perletakan jepit.
3. Untuk balok struktur dua perletakan jepit- jepit (struktur statis tak tentu
berderajat dua) dengan = 2 = 3
P
Gambar 2.19. struktur pembebanan dan mekanisme runtuh perletakan jepit jepit
Pada struktur perletakan ini diperlukan tiga buah sendi platis untuk mencapai
mekanisme keruntuhannya. Sendi pada system perletakan tersebut akan terjadi
pada titik dimana terjadinya momen maksimum dan pada perletakan jepit.
2.3.2. Perhitungan struktur
Pada prinsipnya, jika suatu struktur mencapai kondisi keruntuhan maka
akan dipenuhi ketiga kondisi berikut:
1. Kondisi leleh (Yield Condition)
Momen lentur dalam struktur tidak ada yang melampaui momen batas
(Mp)
2. Kondisi keseimbangan (Equilibrium Condition)
3. Kondisi mekanisme (mechanism condition)
Beban batas tercapai apabila terbentuk suatu mekanisme keruntuhan.
dapat digunakan :
a.
Metode statis
b.
c.
d.
Dimana : Wi
(2.14)
Mj
tan =
(2.15)
[k]
{d}
= [ ]{}
{} = []{}
[ ]1 = [][ ]1
= [ ][][]1
Dengan [ ] adalah suatu faktor konversi gaya-gaya ke arah sumbu global yang
berbeda-beda untuk tiap jenis struktur dan akan dijabarkan kemudian. Setelah
diperoleh matriks kekakuan global, maka dapat disusun suatu matriks kekakuan
struktur yang memasukkan semua komponen-komponen elemen yang ada.
1 = 1
2
0
0 1
2 2
Langkah berikutnya yaitu menentukan syarat-syarat batas yang ada dan kemudian
nilai perpindahan dapat diperoleh. Dengan nilai perpindahan global yang
diperoleh, gaya-gaya batang untuk tiap element dapat ditentukan dengan :
{} = []{}
dimana :
{} = [ ]1
Gambar
2.20. TitikSimpul
simpuldan
danElemen
element
Gambar.II.11.Titik
berbeda dengan matriks kekakuan untuk elemen frame dan lain-lainnya. Begitu
pula halnya dengan matriks kekakuan untuk elemen grid. Matriks kekakuan dari
elemen plane frame dapat diperoleh dengan menggabungkan Matriks kekakuan
truss element dengan beam element. Memiliki 6 buah DOF dimana elementelementnya mengalami gaya normal, gaya lintang, dan momen pada arah z.
Kekakuan dalam suatu struktur terbagi dalam dua jenis yaitu kekakuan
lokal dan kekakuan global. Kekakuan lokal adalah kekakuan elemen yang
mengacu arah sumbu masing-masing elemen sedangkan kekakuan global adalah
kekakuan elemen yang mengacu pada sistem koordinat global yaitu sistem
koordinat kartesian (XYZ). Jika dalam suatu struktur terdapat lebih dari satu
batang dengan arah sumbu lokal yang berbeda, maka kekakuan lokal dari tiap
elemen harus diubah menjadi kekakuan global agar matriks kekakuan dari semua
elemen yang ada dapat digabungkan.
z1
Sx1
Sy1
z2
Sx2
Sy2
dimana :
1 = 2
1 =
=
1
1 =
Maka diperoleh :
2 =
(1 2 )
1 = 2 + .
2
(2 1 )
12
6
(1 2 ) + 2 (1 + 2 ) ;
3
2
12
6
(2 1 ) 2 (1 + 2 )
=
3
6
2
)
(
(21 + 2 ) ; 2
1
2
2
6
2
(1 + 22 )
= 2 (1 2 ) +
1
12
6
1
0
1
2
=
2
0
12
2 0
3
2
6
0
2
0
12
6
1
0
3
6
2
1
0
2
0
0 2
2
12
6
2 2
0
3
6
4
0 2
6
2
4
2
2
12
0
3
0
2
[] =
0
12
3
0
6
0
2
6
2
4
2
2
0
12
6
0
3
2
6
2
0
2
0
0
12
6
2
0
3
6
4
0 2
sin
cos
0
0 1
0 1 = [ ]{1 }
1 1
= [ ]{ }
1 =
0
2
dimana :
0 1
2
[ ] =
0
cos
sin
= 0
0
0
0
sin
cos
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0 cos
0 sin
0
0
0
0
0
sin
cos
0
0
0
12 6
0
3
2
0
0
0
0
0
0
0
0
1
6
12
2
0
3
6
2
12
3
6
2
12
3
6
2
6
2
cos
2 sin
0
0
0 0
6 0
2
4
sin
cos
0
0
0
0
0
0
0
0
1
0
0 cos
0 sin
0
0
Jika dimisalkan cos = c dan sin = s, maka matriks kekekakuan global untuk
Plane-Frame Element :
0
0
0
sin
cos
0
0
0
0
0
0
1
12
12
6
2 + 2 2
2
12 2
6
2
12
+ 2
6
6
=
12
12
6
2 + 2 2 2
12 2 + 12 2 6
2
2
6
6
12 2
12
6
2
2
12
12 2
6
2
2 + 2
6
6
12
12
6
2 + 2 2
2
12
12 2
6
2
2
+ 2
6
6
2 +
1
12
6
1
0
1
2
=
2
0
12
2 0
3
2
6
0
2
6
2
4
2
2
0
12
6
1
0
3
6
2
1
0
2
0
0 2
2
12
6
2 2
0
3
6
4
0 2
(2.16)
gaya-gaya dalam untuk tiap elemen dapat dicari dengan menggunakan persamaan
(2.15).